CB - Secara klasik, manusia Indonesia biasanya dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu penutur Austronesia dan penutur Papua. Pengelompokan ini
terutama didasarkan pada perbedaan bahasa dan kebudayaan selain ciri
fisik. Namun, hasil penelitian terbaru, pembauran budaya dan genetika di
antara dua penutur ini sejak perjumpaan ribuan tahun silam.
Orang
Melanesia memang berbeda," kata Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)
Frans Lebu Raya, dalam pembukaan Konferensi Internasional Melanesia, di
Kupang, akhir Oktober 2015. "Kulit kami hitam, rambut keriting
kriwil-kriwil," ujarnya.
Bukan
hanya ciri fisik, kebudayaan Melanesia juga khas, seperti tenun ikat,
arsitektur, dan seni ukir. "Dari 22 kabupaten/kota di NTT, 11 di
antaranya punya latar belakang budaya Melanesia," katanya.
Konferensi
dihadiri 200 peserta dari negara yang tergabung dalam Melanesian
Spearhead Group (MSG), seperti Fiji, Papua Niugini (PNG), Kepulauan
Solomon, Timor Leste, Kaledonia Baru. Indonesia diwakili masyarakat lima
provinsi: NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Istilah
"melanesia" awalnya disematkan penjelajah Perancis, Jules Dumont
d'Urville (1790-1842) tahun 1832 untuk menunjukkan populasi manusia yang
mendiami ujung barat Lautan Pasifik. Secara lateral, kata ini berasal
dari bahasa Yunani,
Melano-nesos, 'nusa-hitam' atau 'kepulauan hitam', sehingga kerap dianggap sebagai sebuah klasifikasi yang rasial.
Jadi,
Melanesia awalnya lebih mengacu pada zona geografis. Belakangan kerap
dipakai menyebut populasi. Gugus kepulauan itu saat ini berimpit dengan
teritori sejumlah negara, yang lalu terhimpun dalam MSG; Indonesia
menjadi anggotanya sejak pertengahan 2015.
Secara sederhana,
keberadaan "Melanesia" di Indonesia ada di kawasan timur. Sebagaimana
disebut Alfred Russel Wallace (1823-1913), Kepulauan Nusantara dibelah
batas geografis yang membedakan flora, fauna, dan manusia. "Ras Melayu
mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sedangkan ras Papua
mendiami New Guinea (Papua) dan beberapa pulau di dekatnya...," sebut
Wallace pada buku The Malay Archipelago (1869).
Selain sebutan
kelompok Melayu, yang dinilai tidak tepat menggambarkan populasi manusia
Indonesia di bagian barat, istilah "ras" sendiri belakangan tak dipakai
lagi. Pakar genetika populasi asal Italia, Luigi Luca Cavalli-Sforza
(2000), membuktikan bahwa membagi manusia dalam "ras" adalah usaha
keliru. Secara biologis, hanya ada satu ras manusia modern, yaitu Homo
sapiens, walaupun kemudian tiap populasi mengembangkan kebudayaan.
Bahkan, ciri fisik berbeda sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang
berbeda.
Gelombang kedatanganAhli
genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo,
pembicara konferensi, menolak pemisahan populasi manusia Indonesia di
timur dan barat. Genetika manusia Indonesia adalah produk campuran dua
atau lebih populasi moyang, walaupun presentasi genetika Austronesia
lebih dominan di bagian barat Indonesia, sedangkan presentasi genetika
Papua lebih tinggi di bagian timur Indonesia.
"Studi genetika di
lima provinsi Indonesia yang dianggap bagian dari Melanesia menunjukkan
ada pembauran genetika. Jadi, Melanesia bukan sebuah entitas gen yang
tunggal, demikian juga Austronesia," ujarnya.
Bahkan, di Papua,
yang selama ini dianggap wilayah yang dihuni hanya penutur Papua,
ternyata secara genetika terjadi pencampuran, terutama di kawasan
pesisir. Motif genetika (haplotipe) DNA-mitokondria P dan Q dan
haplotipe C-M208, C-M38, dan M-P14 dalam kromosom-Y yang jadi penanda
keberadaan genetika Papua juga ditemui dalam persentase sangat tinggi di
Pulau Alor. "Jadi, tipe genetik Papua tidak khas hanya di Provinsi
Papua dan Papua Barat," ucap Herawati.
Arkeolog dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan,
keberagaman manusia Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur
perjalanan yang berbeda walaupun asal- usulnya tetap satu, yaitu dari
Afrika (out of Africa). "Kapan manusia modern (
Homo sapiens)
keluar dari Afrika memang masih kontroversi. Ada versi terjadi 100.000
tahun lalu, ada yang mengatakan 70.000 tahun lalu," kata Truman.
Migran
awal dari Afrika inilah yang lalu mencapai kawasan Indonesia sekitar
60.000 tahun silam. "Mereka nenek moyang jauh sebagian masyarakat
Indonesia di kawasan timur, yang sekarang sering disebut Melanesia ini,"
papar Truman.
Bukti-bukti keberadaan migrasi awal manusia modern
ini bisa ditemui di banyak situs di Jawa Timur (Song Terus, Braholo,
dan Song Kepek), Sulawesi Selatan (Leang Burung dan Leang Sekpao), serta
di sejumlah wilayah lain Nusantara. Temuan lukisan tangan di Leang
Timpuseng, Maros, berusia 40.000 tahun, dan yang tertua di dunia, juga
berasosiasi dengan kelompok migran awal ini.
Di akhir Zaman Es,
sekitar 12.000 tahun lalu, menurut Truman, kembali terjadi gelombang
migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara akibat perubahan iklim. "Mereka
datang dari Asia daratan dan membuat diaspora ke berbagai arah, termasuk
ke Nusantara," katanya.
Kelompok yang dikenal sebagai
Austromelanesia atau Austroasiatik ini lalu mengembangkan hunian goa
yang sebelumnya dilakukan manusia migran pertama dan melanjutkan tradisi
berburu serta meramu. Gelombang migrasi berikutnya ke Nusantara adalah
kedatangan populasi Austronesia (out of Taiwan) sekitar 4.000 tahun
lalu.
PembauranDari penelitian genetika,
seperti dijelaskan Herawati, ternyata menunjukkan ada pembauran
genetika melalui kawin-mawin penutur Austronesia dan Papua ini sejak
fase-fase awal perjumpaan mereka, 4.000 tahun lalu. Dengan menganalisis
DNA 2.740 individu dari 12 pulau, enam dari Indonesia barat dan
selebihnya dari NTT (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor),
Tumonggor (2013) menemukan pembauran intensif antara penutur Austronesia
dan penutur Papua itu.
Jejak pembauran dalam genetika ini
ternyata juga bisa dilihat dalam produk kebudayaan di antara dua
penutur. Truman mencontohkan tradisi menyirih dan menginang dari
Austronesia yang membudaya di Papua. Sebaliknya, arsitektur rumah
penutur Austronesia di Wae Rebo, Flores, menunjukkan peminjaman
kebudayaan Papua.
Pembauran ini, kata ahli bahasa dari
Universitas Indonesia, Multamia RMT Lauder, juga terlihat dalam
penggunaan bahasa. Sekalipun secara garis besar ada dua rumpun bahasa di
Indonesia, yaitu Austronesia dan Papua, keduanya menunjukkan ada saling
meminjam kata, terutama di Indonesia timur.
"Di kawasan ini,
penutur Austronesia banyak pinjam bahasa non-Austronesia. Demikian
sebaliknya. Pertukaran terutama terkait angka dan cara berhitung yang
menunjukkan adanya barter dan perdagangan," tuturnya.
Bukti-bukti
genetik, kebudayaan, hingga bahasa memang menunjukkan evolusi pembauran
manusia Nusantara sejak ribuan tahun lalu, dan kian intensif sejak
pembentukan Indonesia sebagai negara berdaulat tahun 1945. Jejak
pembauran ini mestinya jadi bekal penting pembangunan ekonomi-politik
Indonesia yang lebih adil dan merata, dari Aceh hingga Papua.