Beijing mengklaim hampir seluruh
wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya, tanpa mengindahkan klaim
dari Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
(Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe)
Jakarta, CB
--
Pengadilan Tetap Arbitrase Belanda memutuskan pada
Kamis (29/10) bahwa mereka berkewajiban mendengar klaim teritorial yang
diajukan Filipina melawan China di Laut China Selatan.
Manila
mengajukan kasus itu pada 2013 demi mendapatkan haknya untuk
mengeksploitasi zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, atau sekitar
370k m di Laut China Selatan, seperti yang diizinkan Konvensi PBB untuk
Hukum Kelautan, UNCLOS.
Dilansir dari Reuters pada Jumat
(30/10), Pengadilan Tetap Arbitrase di kota Den Haag, Belanda itu
menolak klaim Beijing perihal kedaulatan teritorial dan mengatakan akan
menggelar audiensi tambahan untuk mendengar argumen Filipina.
Sementara
itu, China memboikot hasil tersebut dan menolak kewenangan pengadilan
dalam kasusnya. Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China
Selatan sebagai miliknya, tanpa mengindahkan klaim dari Vietnam,
Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Menurut pengadilan, mereka berwenang untuk mendengarkan tujuh gugatan
Manila di bawah UNCLOS. Penolakan China untuk berpartisipasi "tidak
menghilangkan yurisdiksi pengadilan."
Menteri Luar Negeri China, Liu Zhenmin, menyatakan pemerintahnya tdak akan berpartisipasi maupun menerima hasil pengadilan.
"Hasil
arbitrase ini tidak akan berdampak pada kedaulatan, hak, ataupun
yurisdiksi China atas Laut China Selatan di bawah fakta historis dan
hukum internasional," kata Liu menerangkan.
"Dari keputusan ini,
Anda dapat melihat bahwa tujuan Filipina bukan untuk menyelesaikan
sengketa, tetapi menolak hak China di Laut China Selatan dan membenarkan
haknya sendiri," ujar Liu.
Sementara, pemerintah Filipina menyambut baik hasil tersebut.
Pengacara
Jenderal Florin Hilbay, kepala pengacara Manila untuk kasus itu
mengatakan keputusan pengadilan menunjukkan "langkah signifikan bagi
usaha Filipina dalam mencari resolusi damai dan imbang untuk
perselisihan antarpihak, serta klarifikasi haknya di bawah UNCLOS."
Sementara
ahli Laut China Selatan di Pusat Studi Strategis dan Internasional,
Washington D.C., menyebutnya "tamparan keras bagi China, mengingat opini
tersebut secara eksplisit menolak argumen China bahwa Filipina tidak
cukup bernegosiasi tentang isu itu dengan China."
Amerika
Serikat, aliansi dekat Filipina yang pekan ini menantang klaim
teritorial Beijing dengan berlayar dekat pulau buatan mereka di Laut
China Selatan turut menyambut keputusan ini, menurut pejabat senior
pertahanan AS.
"Ini menunjukkan isu peradilan berdasarkan hukum
dan praktik internasional seperti ini merupakan cara yang layak untuk
setidaknya mengelola konflik teritorial bila belum bisa
menyelesaikannya," tutur pejabat yang enggan mengungkap identitasnya.
Pejabat
AS lainnya mengatakan keputusan ini berhasil memotong klaim China atas
90 persen wilayah Laut China Selatan, atau seluas 3,5 juta kilometer
persegi.
Batasan yang kabur itu dipublikasi secara resmi pada
peta milik pemerintah nasionalis China tahun 1947, dan telah disertakan
pada peta pemerintah komunis.
"Anda tidak bisa mengatakan batasan
itu tidak dapat disangkal lagi, karena dengan mengakui yurisdiksi,
pengadilan telah menunjukkan bahwa memang ada sengketa," kata pejabat AS
tersebut.
"Bagi saya, hasil pengadilan ini menyasar tepat di jantung klaim batasan itu," ujarnya.
Hasil
pengadilan tersebut bersifat mengikat, meskipun pengadilan tidak berhak
memaksakannya dan tidak diindahkan oleh sejumlah negara.
Klaim yang dipertanyakanWalau demikian, keputusan ini tetap menyorot China.
"Keputusan
hari ini adalah langkah penting dalam menegakkan hukum internasional
untuk melawan usaha China, dan menurut saya, klaimnya di Laut China
Selatan," kata John McCain, ketua komite layanan bersenjata Senat AS.
Dalam
kunjungannya ke Beijing hari Kamis kemarin, kanselir Jerman Angela
Merkel menyarankan China agar menyelesaikan urusannya di pengadilan
internasional.
China berpendapat Desember lalu bahwa sengketa itu
tidak bisa dipersoalkan dengan UNCLOS, sebab itu benar-benar soal
kedaulatan, bukan hak eksploitasi.
UNCLOS tidak mengatur ihwal
kedaulatan, melainkan sistem teritori dan zona ekonomi yang bisa diklaim
berdasarkan fitur-fitur seperti pulau, batuan, atau koral.
Namun menurut pengadilan, karang dan dangkalan di Laut China Selatan tidak terlalu penting sebagai dasar klaim teritori.
Mengenai
tujuh gugatan Filipina, salah satunya terkait pelanggaran China atas
hak kedaulatan Filipina untuk mengeksploitasi wilayah lautnya,
pengadilan menyebut akan menampung penilaian tersebut hingga dapat
menentukan arah kasus ini.
Pengadilan belum menetapkan tanggal untuk audiensi berikutnya.
Pengadilan
Tetap Arbitrase didirikan di Belanda pada tahun 1899 untuk mendorong
resolusi damai bagi percekcokan antarnegara, organisasi, dan pihak
swasta. China dan Filipina adalah dua dari 117 negara anggotanya.
Credit
CNN Indonesia