Tampilkan postingan dengan label UNI EMIRAT ARAB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UNI EMIRAT ARAB. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 November 2018

Peraih Nobel Perdamaian atas Perang Yaman: Cukup Sudah!


Salah satu sudut kota di Yaman yang hancur akibat perang.
Salah satu sudut kota di Yaman yang hancur akibat perang.
Foto: Reuters
Pihak-pihak yang terlibat perang di Yaman harus menahan diri.




CB, WASHINGTON— Perang di Yaman harus diakhiri, dan Arab Saudi serta Uni Emirat Arab harus dimintai pertanggung-jawab atas kerusakan yang mereka sebabkan.


Pernyataan ini disampaikan Tawakkol Karman, seorang wartawati Yaman, yang juga peraih Nobel Perdamaian, menyikapi perang di negaranya.

Dalam satu artikel opini untuk The Washington Post, dia menulis perang tersebut telah mengakibatkan kerusakan luas pada prasarana Yaman dan telah membuat jutaan orang berada di tepi kelaparan.


"Mengapa Arab Saudi dan sekutu mereka menolak untuk mengizinkan pemerintah yang sah kembali ke wilayah yang sudah dibebaskan?" tulis Tawakkol Karman, sebagaimana dikutip Kantor Berita Anadolu, yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis (22/11) malam.


"Mengapa Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dua negara paling kaya di dunia, membiarkan krisis kemanusiaan ini berlangsung terus?"


Sementara itu, Yaman telah menghadapi blokade darat, laut dan udara, dan telah terjadi "pembantaian warga sipil" di pasar, kamp pengungsi, rumah sakit dan sekolah.


"Jalan bagi diakhirinya perang sudah jelas. Pertama, Amerika Serikat dan negara lain harus menghentikan eksport senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE)," tulis Tawakkol.


Baik Dewan Keamanan PBB maupun pendukung Barat koalisi pimpinan Arab Saudi tak pernah mempertanyakan logika di balik konflik itu, kata wartawati tersebut.


Yaman tetap porak-poranda oleh kerusuhan sejak 2014, ketika gerilyawan Syiah Al-Houthi merebut sebagian besar wilayah negeri itu, termasuk Ibu Kotanya, Sana'a.


Konflik itu meningkat pada 2015, ketika Arab Saudi dan sekutu Arab-Sunninya melancarkan operasi udara yang memporak-porandakan di Yaman dengan tujuan memutar-balikkan perolehan gerilyawan Al-Houthi.


Puluhan ribu orang, termasuk banyak warga sipil Yaman. diduga telah tewas dalam konflik tersebut, yang telah membuat sebagian besar prasarana dasar di negeri itu menjadi puing.


PBB saat ini memperkirakan bahwa sebanyak 14 juta warga Yaman terancam kelaparan, dan dengan menggunakan data yang diberikan oleh PBB, kelompok hak asasi manusia Save the Children menyimpulkan bahwa 85.000 anak yang berusia di bawah lima tahun di Yaman telah meninggal akibat kelaparan.


Tawakkol Karman juga mengatakan pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi dapat menciptakan "kesadaran global" mengenai Arab Saudi dan mengembalikan perhatian ke krisis di Yaman.


Khashoggi, wartawan Arab Saudi dan kolumnis untuk The Washington Post, hilang setelah ia memasuki Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada 2 Oktober.


Setelah mulanya mengatakan ia "telah meninggalkan Konsulat itu dalam keadaan hidup", Pemerintah Arab Saudi beberapa pekan kemudian mengakhi bahwa Khashoggi tewas di dalam Konsulat.


Peraih Nobel tersebut juga menyatakan bahwa gerilyawan Al-Houthi "harus dipaksa mengakhiri prilakunya yang merusak".


"Arab Saudi, UAE dan gerilyawan Al-Houthi harus diberitahu dengan satu suara: Cukup sudah semuanya," tambah Tawakkol Karman.





Credit  republika.co.id





Kamis, 22 November 2018

Dituduh Terlibat Perang Yaman, Putra Mahkota UEA Digugat


Kondisi wilayah di Sanaa, Yaman, akibat perang antara milisi Houthi dan pendukung Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Kondisi wilayah di Sanaa, Yaman, akibat perang antara milisi Houthi dan pendukung Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Foto: Reuters
Putra Mahkota dinilai telah memerintahkan pengeboman.




CB, PARIS -- Sebuah kelompok hak asasi Prancis, Alliance for the Defence of Rights and Freedoms (AIDL), menggugat Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Muhammad bin Zayed al-Nahyan atas tuduhan terlibat dalam perang di Yaman. AIDL menuduh Al-Nahyan melakukan kejahatan perang, serta terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi di Yaman.

"Dalam kapasitas ini, dia telah memerintahkan pengeboman di wilayah Yaman," tulis AIDL dalam dokumen gugatan yang diajukan oleh pengacara Joseph Breham pada Rabu (21/11). Gugatan itu diajukan ke pengadilan Paris, selama kunjungan Al-Nahyan ke Prancis.

Gugatan terhadap Al-Nahyan didasari pada laporan para ahli PBB yang mengatakan serangan pasukan koalisi pimpinan Saudi di Yaman mungkin merupakan kejahatan perang. Penyiksaan juga dilakukan di dua fasilitas penahanan yang dikendalikan oleh pasukan UEA.

Aljazirah melaporkan, UEA adalah salah satu negara koalisi yang terlibat dalam perang di Yaman. Mereka secara teratur mengambil bagian dalam serangan pengeboman.



Salah satu kasus yang disebut dalam gugatan itu adalah pengeboman sebuah bangunan di ibu kota Sanaa pada 2016. Gugatan ini mirip dengan yang diajukan pada April lalu terhadap Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman saat berkunjung ke Prancis.

Kejaksaan Prancis memperkirakan, proses hukum terhadap gugatan itu akan berlangsung selama setahun. Prancis adalah sekutu dekat UEA dan Arab Saudi, yang memimpin koalisi untuk memerangi kelompok Houthi yang mengendalikan sebagian besar Yaman utara dan ibu kota Sanaa.

Selama beberapa pekan terakhir, Presiden Prancis Emmanuel Macron mendapat banyak tekanan atas penjualan senjata Prancis ke dua negara Teluk itu. Prancis juga memiliki pangkalan militer di Abu Dhabi yang dibuka pada 2009.

Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa negara Barat menyerukan gencatan senjata untuk mengakhiri perang di Yaman yang telah berlangsung selama hampir empat tahun dan telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang.


Perang tersebut telah menyebabkan krisis kemanusiaan paling mendesak di dunia.
Badan-badan PBB mengatakan, 14 juta warga Yaman berisiko kelaparan jika pelabuhan Hudaidah ditutup karena pertempuran.




Credit  republika.co.id






Lakukan Aksi Spionase, Akademisi Inggris Divonis Seumur Hidup


Lakukan Aksi Spionase, Akademisi Inggris Divonis Seumur Hidup
Matthew Hedges. Foto/Istimewa

LONDON - Seorang akademisi Inggris dijatuhi hukuman seumur hidup karena melakukan aksi spionase di Uni Emirat Arab (UEA). Hal itu diungkapkan seorang juru bicara keluarga.

Matthew Hedges (31) seorang spesialis dalam studi Timur Tengah di Universitas Durham di Inggris, ditangkap pada 5 Mei oleh pejabat UEA ketika ia meninggalkan bandara Dubai. Dia sebelumnya ditahan di sel isolasi selama hampir enam bulan karena tuduhan mata-mata, tetapi dibebaskan dengan jaminan bulan lalu.

"Hedges telah dijatuhi hukuman seumur hidup di penjara setelah sidang lima menit di mana dia tidak memiliki perwakilan hukum," kata Nikita Bernardi, juru bicara keluarga Hedges seperti dikutip dari CNN, Kamis (22/11/2018).

Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt mengatakan dia sangat terkejut dan kecewa dengan putusan itu.

"Keputusan hari ini bukanlah apa yang kami harapkan dari seorang teman dan mitra terpercaya Kerajaan Inggris dan bertentangan dengan jaminan sebelumnya," kata Hunt.

Dia menambahkan bahwa pemerintah Inggris telah berhubungan dekat dengan Hedges dan keluarganya, dan akan terus melakukan segala yang mungkin untuk mendukungnya.

"Saya telah berulang kali menegaskan bahwa penanganan kasus ini oleh otoritas UEA akan memiliki dampak bagi hubungan antara kedua negara kami, yang harus dibangun berdasarkan kepercayaan," ucap Hunt.

"Saya menyesali fakta bahwa kami telah mencapai posisi ini dan saya mendesak UEA untuk mempertimbangkan kembali," imbuhnya.

Hedges berada di UEA untuk melakukan wawancara guna tesis PhD-nya terkait hubungan sipil militer yang dibangun dari Arab Spring, menurut surat yang diposting di akun Twitter istrinya, Daniela Tejada, pada bulan Oktober.

Tejada sempat menyambut pembebasan sementara suaminya, tetapi menambahkan: "Saya tidak dapat membiarkan diri saya terlalu bersemangat dengan informasi ini karena Matt belum sepenuhnya bebas."

"Di atas segalanya, saya berharap keadilan akan dilakukan dan Matt diberikan kebebasannya yang sah - sesuatu yang ditolaknya secara tidak adil dalam enam bulan terakhir," tukasnya. 





Credit  sindonews.com





Rabu, 21 November 2018

Saudi dan UAE Tawarkan 500 Juta Dolar AS untuk Bantu Yaman


Perang terus terjadi di berbagai penjuru wilayah di Yaman.
Perang terus terjadi di berbagai penjuru wilayah di Yaman.
Foto: Reuers
Bantuan untuk menjamin pangan bagi 12 juta orang Yaman.



CB, RIYADH -- Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE) menawarkan bantuan sebesar 500 juta dolar AS untuk meringankan situasi kemanusiaan yang sulit di Yaman. Tujuan gagasan tersebut ialah menjamin makanan untuk 10-12 juta orang Yaman.

Abdullah bin Abdulaziz Ar-Rabiah, Penyelia Pusat Peredaan dan Bantuan Kemanusiaan Raja Salman menyatakan Arab Saudi, UAE dan Kuwait telah menawarkan 1,25 miliar dolar buat upaya kemanusiaan di Yaman. "Kami bekerjasama dengan organisasi PBB untuk mengirim bantuan buat mereka yang memerlukan di Yaman," kata pejabat itu, sebagaimana dikutip Kantor Berita Anadolu, Selasa (20/11).

Arab Saudi dan UAE adalah bagian dari koalisi pimpinan Arab Saudi yang telah melancarkan operasi udara gencar terhadap gerilyawan Syiah Al-Houthi, yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman pada 2014. Berbagai kelompok hak asasi manusia telah menyalahkan koalisi pimpinan Arab Saudi karena menciptakan krisis kemanusiaan di Yaman. Tuduhan ini dengan tegas dibantah oleh koalisi militer itu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa memperingatkan bahwa lebih dari 11 juta anak memerlukan bantuan kemanusiaan di Yaman. Konflik empat-tahun telah memporak-porandakan prasarana Yaman, termasuk sistem kebersihan dan air, sehingga PBB menggambarkan situasi tersebut sebagai salah satu bencana kemanusiaan paling besar pada zaman modern.

"Mereka memikul beban paling besar selama tiga-setengah tahun konflik yang memporak-porandakan," kata Kantor WHO di Yaman di akun Twitter.




Credit  republika.co.id



Kamis, 20 September 2018

Tabrak Kesepakatan, Jerman Jual Senjata ke Arab Saudi dan UEA

Seorang bocah yang menderita gizi buruk akut dimandikan di sekitar kediamannya di Aslam, Hajjah, Yaman, Sabtu, 25 Agustus 2018. Perang saudara di Yaman sejak 2015 membuat pemerintah tidak mampu mencukupi  kebutuhan pangan warganya. AP Photo.
Seorang bocah yang menderita gizi buruk akut dimandikan di sekitar kediamannya di Aslam, Hajjah, Yaman, Sabtu, 25 Agustus 2018. Perang saudara di Yaman sejak 2015 membuat pemerintah tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan warganya. AP Photo.

CB, Jakarta - Jerman menyetujui penjualan senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, UEA  meski sebelumnya koalisi pemerintah Jerman membuat kesepakatan untuk tidak menjual senjata ke negara yang terlibat kejahatan perang di Yaman.
Menurut laporan Deutsche Welle, Kamis, 20 September 2018, Menteri Ekonomi Jerman, Peter Altmaier memberikan lampu hijau untuk mengapalkan empat kenderaan militer yang dilengkapi persenjataan. Selain itu dikirim juga radar yang dapat mendeteksi lokasi awal penembakan musuh dan mampu secara tepat melakukan perlawanan balik.

Reuters melaporkan, Menteri Peter Altmaier menulis surat penjualan 4 kendaraan militer sistem penempatan artileri ke anggota parlemen.

Untuk Uni Emirat Arab, Jerman mengekspor 48 hulu ledak dan 91 homing heads untuk kapal dengan sistem pertahanan udara. Penjualan ini disepakati oleh Dewan Keamanan Federal dan sejumlah menteri bersama Merkel.
Penjualan senjata berat ke Arab Saudi dan UA awalnya tidak direstui koalisi partai Perdana Menteri Angela Merkel awal tahun ini. Kesepakatan koalisi itu menegaskan, Jerman tidak akan menjual seluruh senjatanya ke siapapun yang terlibat dalam perang sipil di Yaman.

Seorang perawat menggendong seorang anak yang menderita gizi buruk di bangsal malnutrisi rumah sakit Al-Sabeen di Sanaa, Yaman, Selasa, 11 September 2018. Meritxell Relano, perwakilan UNICEF di Yaman, menyatakan diperkirakan 1,8 juta anak-anak kekurangan gizi di negara yang telah dilanda perang lebih dari tiga tahun tersebut. REUTERS/Khaled Abdullah


Koalisi militer Arab Saudi terlibat dalam perang di Yaman pada tahun 2015 untuk memulihkan pemerintahan yang diakui internasional, Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi, namun disingkirkan milisi Houthi.
Koalisi militer pimpinan Arab Saudi juga melakukan blokade angkatan laut di Yaman.

Lebih dari 10 ribu orang telah tewas dalam perang di Yaman dan bersamaan itu terjadi krisis kemanusiaan masif dan mengancam jutaan warga Yaman menderita kelaparan berat.
Pasukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah dituduh melakukan pelanggaran HAM dan kemungkinan keduanya akan dijerat hukum dengan tuduhan melakukan kejahatan perang.




Credit  tempo.co





Senin, 17 September 2018

UAE: Koalisi Arab hampir usir gerilyawan Al-Houthi dari Hodeidah, Yaman

UAE: Koalisi Arab hampir usir gerilyawan Al-Houthi dari Hodeidah, Yaman
Presiden UAE, Sheikh Khalifa bin Zayed al-Nahyan (uk.news.yahoo.com)



Dubai, UAE (CB) - Koalisi pimpinan Arab Saudi telah menuntaskan pengepungan atas Kota Pelabuhan Yaman, Hodeidah, dan "pembebasan kota itu" akan menjadi kunci untuk menemukan "penyelesaian" bagi negara yang dicabik perang tersebut, kata seorang pejabat Uni Emirat Arab (UAE).

Operasi saat ini di Hodeidah "berhasil mencapai sasarannya", kata Menteri Negara Urusan Luar Negeri UAE Anwar Gargash di dalam pernyataan yang disiarkan di akun Twitternya pada Jumat (14/9).

Kota Pelabuhan Hodeidah, yang berada di pantai Laut Merah di bagian barat-daya Yaman, memiliki kepentingan strategis sebab kota tersebut adalah gerbang ke luar Ibu Kota Yaman, Sana`a, yang telah diduduki gerilyawan Al-Houthi --yang didukung Iran-- sejak September 2014.

Gargash, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu pagi, juga mengatakan anggota milisi Syiah Al-Houthi membayar harga karena telah "absen dari konsultasi Jenewa".


Pembicaraan perdamaian Jenewa untuk menemukan penyelesaian politik macet pada awal pekan lalu, sebab delegasi Al-Houthi tidak hadir.

Gargash mengatakan, "Kami tetap yakin bahwa pembebasan Hodeidah adalah kunci bagi penyelesaian di Yaman."

UAE adalah bagian dari koalisi pimpinan Arab Saudi yang telah mencampuri perang saudara di Yaman sejak 2015 melawan gerilyawan Al-Houthi --yang didukung Iran-- untuk mendukung Pemerintah Yaman di pengasingan.




Credit  antaranews.com


Senin, 10 September 2018

UAE kecam ketidakhadiran al-Houthi dalam pembicaraan Jenewa


UAE kecam ketidakhadiran al-Houthi dalam pembicaraan Jenewa
Warga yang menyelamatkan diri dari pertempuran dekat kota pelabuhan Laut Merah Hodeidah membawa selimut dan bantuan lainnya yang mereka dapatkan dari lembaha PBB di Hodeidah, Yaman, Rabu (27/6/2018). (REUTERS/Abduljabbar Zeyad)




Dubai, Uni Emirat Arab (CB) - Anwar Gargash, Menteri Negara Urusan Luar Negeri Uni Emirat Arab (UAE), pada Sabtu mengatakan ketidakhadiran gerilyawan Al-Houthi dalam pembicaraan perdamaian Jenewa, yang ditaja PBB, memperlihatkan "ketidakpedulian mereka untuk mengakhiri penderitaan rakyat Yaman".

Gerilyawan Al-Houthi pada Jumat (7/9) dilaporkan mengatakan bahwa mereka tidak menghadiri pembicaraan di Jenewa sebab mereka tak diberi jaminan untuk "bisa pulang secara aman" ke Ibu Kota Yaman, Sana`a, yang telah diduduki kelompok itu sejak September 2014.

Pembicaraan tersebut dimaksudkan untuk menemukan penyelesaian diplomatik bagi perang tiga-setengah-tahun di Yaman, yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang Yaman.

"Proses perdamaian Yaman, yang dipelopori PBB, di Jenewa memperlihatkan apa sebenarnya gerilyawan Al-Houthi: milisi ekstrem penuh kekerasan dan penghalang," kata Gargash di akun Twitternya, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu malam.


Gerilyawan Al-Houthi tertarik pada "memperoleh ibu kota, kekuatan dan keuntungan ekonomi dari perang", sementara Yaman sangat memerlukan proses politik guna mengakhiri krisis saat ini, kata Gargash.

UAE menuduh Iran mendukung gerilyawan Al-Houthi dalam upaya merusak kestabilan di Wilayah Teluk.

UAE adalah bagian dari koalisi militer Arab, pimpinan Arab Saudi, di Yaman --yang telah memerangi gerilyawan Al-Houthi sejak Maret 2015-- untuk mendukung pemerintah yang diakui masyarakat internasional dan dipimpin oleh Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.





Credit  antaranews.com




Rabu, 29 Agustus 2018

UEA: Laporan PBB Soal Kejahatan Houthi Harus Ditanggapi



UEA: Laporan PBB Soal Kejahatan Houthi Harus Ditanggapi
Pemberontak Houthi Yaman. Foto/Istimewa


ABU DHABI - Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan bahwa laporan PBB yang merinci kekejaman Houthi dan kriminalitas mereka terhadap warga sipil layak mendapat tanggapan dan tinjauan.

"Setiap krisis memiliki tantangan politik dan kemanusiaan sendiri, tetapi tetap menjadi dasar krisis Yaman bahwa koalisi, pada gilirannya, bertujuan untuk memulihkan negara Yaman dan melestarikan masa depan wilayah tersebut dari pelanggaran Iran dan merusak keamanan kita selama beberapa generasi untuk datang," cuit Menteri Negara Urusan Luar Negeri UAE Anwar Gargash seperti dikutip dari Xinhua, Rabu (29/8/2018).

Dalam laporan terbaru kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, para penyelidik mengatakan bahwa pemerintah Yaman, Arab Saudi, dan UEA mungkin telah bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dalam perang. Mereka juga menunjukkan kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh pemberontak Houthi dalam memerangi koalisi pimpinan Saudi.

UAE adalah bagian dari koalisi militer Arab Saudi yang telah memerangi Houthi sejak Maret 2015 untuk mendukung pemerintah yang diakui dunia internasional yang dipimpin oleh Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.

Koalisi telah meluncurkan serangan udara terus menerus terhadap target pemberontak Houthi yang didukung Iran yang telah merebut Ibu Kota Sanaa dan sebagian besar provinsi Yaman utara.

Koalisi mengatakan Selasa bahwa mereka telah merujuk laporan PBB ke tim hukumnya untuk ditinjau dan akan mengambil tindakan yang tepat setelah peninjauan selesai.

Perang di Yaman telah menyebabkan lebih dari 10.000 orang terbunuh, kebanyakan warga sipil, dan juga menelantarkan 3 juta orang lainnya.

Koalisi menyalahkan Iran karena mendukung pemberontak Syiah Houthi dan mendestabilisasi semenanjung Arab.

Pada hari Senin, UAE menolak klaim pemberontak Houthi yang menyerang Bandar Udara Internasional Dubai oleh sebuah pesawat tak berawak militer. 





Credit  sindonews.com




Rabu, 08 Agustus 2018

UAE sampaikan solidaritas untuk lawan "campur tangan asing"

UAE sampaikan solidaritas untuk lawan "campur tangan asing"
Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab. (Pixabay/dniyer)




Dubai, UAE (CB) - Uni Emirat Arab (UAE) pada Senin (6/8) menyampaikan "penolakan tegasnya" terhadap setiap campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Arab Saudi, kata Kantor Berita UAE, WAM.

UAE dengan kuat mendukung setiap tindakan atau kebijakan yang mungkin dilakukan atau disahkan oleh Arab Saudi berkaitan dengan urusan dalam negerinya, kata Kementerian Urusan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional di dalam satu pernyataan.

Pernyataan UAE tersebut, sekutu utama regional Arab Saudi, dikeluarkan sehari setelah Arab Saudi memutuskan untuk mengusir duta besar Kanada dan menarik duta besarnya, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.

Kanada telah mengecam penangkapan belum lama ini oleh Arab Saudi atas pegiat hak asasi perempuan, demikian Saudi Press Agency.

Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan di dalam satu pernyataan Duta Besar Kanada untuk Arab Saudi Dennis Horak dinyatakan sebagai persone non grata dan harus meninggalkan Kerajaan itu dalam waktu 24 jam.

"UAE dengan solidaritas mendukung Riyadh dalam menghadapi setiap campur tangan asing yang bisa merusak kedaulatannya," kata pernyataan UAE tersebut.




Credit  antaranews.com




Selasa, 07 Agustus 2018

Soal Pengusiran Dubes Kanada, UEA Dukung Sikap Saudi


Soal Pengusiran Dubes Kanada, UEA Dukung Sikap Saudi
Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan dukungan penuh atas keputusan Arab Saudi mengusir diplomat Kanada. Foto/Istimewa

ABU DHABI - Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan dukungan penuh atas keputusan Arab Saudi mengusir diplomat Kanada. UEA menyatakan, mereka menolak apa yang disebut sebagai campur tangan Ottawa dalam urusan internal Riyadh.

Saudi mengusir Duta Besar (Dubes) Kanada dan membekukan semua transaksi perdagangan dan investasi baru dengan Kanada, setelah penangkapan aktivis HAM di Saudi dikritik. Kementerian Luar Negeri Saudi menyatakan, Dubes Kanada Dennis Horak berstatus persona non-grata dan diberi waktu 24 jam untuk hengkang dari negara Muslim tersebut

“Kita akan selalu berdiri bersama Arab Saudi dalam membela kedaulatan dan hukumnya dan mengambil prosedur yang diperlukan," kata Menteri Luar Negeri UEA, Anwar Gargas dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Arabiya pada Senin (6/8).

"Kami juga tidak dapat menerima hukum dan kedaulatan kami untuk ditawar atau mengalami tekanan. Kepercayaan beberapa negara bahwa gaya dan pengalaman mereka memungkinkan mereka untuk campur tangan dalam urusan kami tidak dapat diterima," sambungnya.

Sebelumnya, dukungan serupa juga disampaikan oleh Bahraian. Manama menegaskan bahwa mereka menegaskan solidaritas penuh dengan Saudi, terhadap siapa pun yang berusaha merusak kedaulatannya.

Sementara itu, Kanada menyatakan mereka akan mencoba meminta penjelasan dari Saudi mengenai pengusiran Duta Besar dan juga pembekukan semua transaksi perdagangan dan investasi baru Kanada disana.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Kanada, Marie-Pier Baril menyatakan mereka akan mencoba mencari kejelasan mengenai situasi ini. Namun, dia juga menegaskan bahwa Kanada akan selalu mendukung perlindungan HAM dan membela hak untuk menyampaikan pendapat.

"Kanada akan selalu membela perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan, dan kebebasan berekspresi di seluruh dunia. Kami akan mencoba menjadi penjelasan dari pemerintah Saudi," ucap Baril. 



Credit  sindonews.com


Jumat, 27 Juli 2018

Houthi Klaim Serang Bandara Abu Dhabi dengan Drone



Gerilyawan Houthi (ilustrasi)
Gerilyawan Houthi (ilustrasi)
Foto: EPA/Yahya Arhab


Pejabat UEA membantah adanya serangan bandara menggunakan pesawat tak berawak.



CB, YAMAN -- Gerilyawan Houthi Yaman mengatakan mereka telah menyerang Bandara Internasional Abu Dhabi di Uni Emirat Arab (UEA) dengan pesawat tak berawak, Kamis (26/7). Menurut saluran televisi Al-Masirah yang dikelola Houthi, pesawat drone Sammad-3 meluncurkan tiga serangan di bandara tersebut. Namun, belum jelas apakah ada kerusakan atau korban.

Bandara Abu Dhabi sebelumnya juga mengabarkan ada sebuah insiden pada kendaraan pengangkut barang di bandara. Namun, tidak jelas apakah itu terkait dengan serangan pesawat tak berawak seperti yang dilaporkan.

Sumber militer Houthi mengatakan pesawat tanpa awak itu terbang sejauh 1.500 kilometer sebelum mencapai bandara Abu Dhabi. Juru bicara Houthi, Jenderal Abdullah al-Jafri mengatakan, pesawat tak berawak itu mampu menghancurkan infrastruktur penting dari koalisi militer Saudi-Emirat yang memerangi pemberontak di Yaman.

"Mereka mengejek kami sebelumnya, tetapi izinkan saya menjelaskan bahwa tahap berikutnya akan menargetkan infrastruktur musuh kami di Saudi dan UEA," ujar Abdullah seperti dilansir di Aljazirah, Jumat (27/7).

Seorang pejabat UEA membantah adanya serangan bandara menggunakan pesawat tak berawak tersebut. Meskipun ada bantahan itu, orang-orang di media sosial menuliskan banyak penerbangan di bandara yang tertunda.


"Operasi di bandara adalah bisnis seperti biasanya," kata pejabat UEA yang tidak disebutkan namanya itu.

Menanggapi hal itu, juru bicara Houthi, Mohammed Abdul-Salam mengatakan kepada Al Jazirah melalui saluran telepon bantahan UEA itu tidak berdasar. "Itu bohong. Mereka tidak bisa mengingkari realitas baru di lapangan," kata Abdul-Salam.

"Kami berada dalam keadaan perang. Kami diserang setiap hari. Orang-orang kami dibantai setiap hari. Kota-kota kami, bandara kami sedang ditargetkan oleh koalisi Saudi-UAE. Jadi mengapa mereka terkejut dengan kami menyerang posisi mereka?" ujarnya.




Credit  republika.co.id




Jumat, 13 Juli 2018

Yaman Desak Uni Emirat Arab Tutup Rumah Tahanan di Aden


Het Arresthuis yang berkapasitas 105 kamar tahanan ini dirubah menjadi hotel dengan 40 kamar yang nyaman untuk ditinggali. 24 kamar tipe standar, 12 kamar tipe deluxe dan 4 kamar suite, semuanya dengan interior modern. Easyoops.com
Het Arresthuis yang berkapasitas 105 kamar tahanan ini dirubah menjadi hotel dengan 40 kamar yang nyaman untuk ditinggali. 24 kamar tipe standar, 12 kamar tipe deluxe dan 4 kamar suite, semuanya dengan interior modern. Easyoops.com

CB, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Yaman Ahmed al-Maysari meminta Uni Emirat Arab (UEA) menutup rumah tahanan tidak resmi selama perang saudara berlangsung. Demikian laporan kantor berita SABA, Rabu, 11 Juli 2018.
Al-Maysari menyampaikan desakan itu dalam sebuah pertemuan di Aden pada Senin, 9 Juli 2018, bersama Reem al-Hashemi, Menteri Kerja Sama Internasional UEA.

Tersangka Muhammad al-Maghrabi turun dari mobil tahanan untuk dieksekusi mati di alun-alun kota Sanaa, Yaman, 31 Juli 2017. Eksekusi mati ini disaksikan ratusan warga yang tengah berada di alun-alun kota. REUTERS/Khaled Abdullah
Dalam laporannya, Kamis, 12 Juli 2018, Al Jazeera menyebutkan hal yang disampaikan al-Maysari itu pertama kalinya dikatakan secara langsung kepada pejabat senior UEA.
"Pertemuan kedua pejabat tinggi itu juga dihadiri komandan militer UEA di Yaman, Brigadir Jenderal Mohammed al-Hassani," demikian ditulis Al Jazeera.
Sebuah investigasi yang dilakukan Associated Press pada awal Juni 2018 menemukan fakta bahwa ratusan pria Yaman dijebloskan ke penjara setelah mereka diduga terlibat dalam jaringan al-Qaeda atau ISIS. Dalam laporannya, kantor berita ini juga menyebutkan mereka ditahan tanpa proses peradilan.

Tentara Arab Saudi berjaga di sepanjang perbatasan dengan bersenjata lengkap. Tentara Arab Saudi mengerahkan kendaraan tempur canggih untuk menghadapi militan Houthi Aden, Yaman, 30 September 2015. REUTERS/Faisal Al Nasser
Menurut laporan AP, pasukan keamanan Yaman bekerja berdasarkan arahan dari pejabat UEA menggunakan beberapa metode penyiksaan seksual dan penghinaan. Pasukan keamanan tersebut, AP melanjutkan, diduga melakukan pemerkosaan terhadap para tahanan. Adapun petugas lain merekam adegan kekerasan itu dan menyetrum alat vital tahanan atau buah zakarnya digantungi batu.
Namun demikian, kabar dari media, termasuk AP, dibantah Menteri Luar Negeri UEA. Dia menjelaskan, "Negara mengontrol para tahanan atau membangun pangkalan militer di Pulau Socotra Yaman adalah berita palsu."





Credit  tempo.co




Jumat, 06 Juli 2018

Delegasi Militer Uni Emirat Arab Kunjungi Israel, Beli Jet?



Jet tempur F-35 milik Israel mengudara dalam upacara wisuda pilot angkatan udara Israel di pangkalan udara Hatzerim di Israel selatan, 29 Desember 2016. REUTERS/Amir Cohen
Jet tempur F-35 milik Israel mengudara dalam upacara wisuda pilot angkatan udara Israel di pangkalan udara Hatzerim di Israel selatan, 29 Desember 2016. REUTERS/Amir Cohen

CB, Jakarta - Satu delegasi militer dari Uni Emirat Arab, UAE, baru-baru ini melakukan kunjungan resmi ke Israel. UAE ingin membeli jet tempur F-35s.
"Angkatan Udara Israel, belum lama ini, mendapatkan kunjungan delegasi militer UAE untuk melihat kemampuan jet tempur F-35 buatan Amerika Serikat," demikian kabar dari saluran televisi berita Israel, 124, mengutip sumber yang tak bersedia disebutkan namanya.

Jet tempur F-35 milik Israel mengudara dalam upacara wisuda pilot angkatan udara Israel di pangkalan udara Hatzerim di Israel selatan, 29 Desember 2016. REUTERS/Amir Cohen
"Satu delegasi Amerika Serikat juga hadir pada saat yang sama," tambah sumber.
Menurut laporan 124 sebagaimana diberitakan Middle East Monitor, UAE berusaha membeli jet tempur F-35s di tengah sejumlah laporan munculnya persekutuan Israel- Negara Teluk melawan Iran.
"UAE membenarkan laporan atas kunjungan delegasi militer mereka ke Israel meskipun kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik," tulis Middle East Monitor.
Militer UAE turun dari helikopter saat melakukan penyergapan sebuah bus dalam latihan militer di Al Ain, Uni Emirat Arab, 24 Februari 2018.
Sementara itu, laporan New Yorker menyebutkan, Israel dan UAE secara diam-diam melakukan hubungan selama dua dekade, sejak 1990-an. Hubungan itu difokuskan pada tukar menukar informasi intelijen, "Termasuk jual beli senjata," tulis Times of Israel."
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga sering kali disebut-sebut melakukan kesepakatan rahasia dengan negara-negara Sunni Arab untuk menghadapi Iran yang dianggap sebagai musuh bersama.





Credit  tempo.co




Uni Emirat Arab kembali tunda peluncuran reaktor nuklir


Uni Emirat Arab kembali tunda peluncuran reaktor nuklir
Ilustrasi reaktor nuklir ( REUTERS/Robert Pratta)



Abu Dhabi (CB) - Uni Emirat Arab mengatakan bahwa reaktor nuklir pertamanya akan mulai dioperasikan pada akhir 2019 atau awal 2020, yang artinya peluncuran pembangkit listrik tenaga atom pertama Dunia Arab itu kembali tertunda.

"Pembangunan pertama dari empat reaktor di pembangkit listrik Barakah senilai 20 miliar dolar AS telah rampung sebelum dioperasikan pada akhir 2019 (atau) awal 2020,” kata Emirates Nuclear Energy Corpation, yang dikutip kantor berita negara WAM.

Reaktor pertama dijadwalkan beroperasi tahun lalu, tetapi peluncuran awalnya ditunda hingga 2018 untuk memberikan waktu persetujuan regulator dan pemeriksaan keselamatan menyeluruh.


Alasan untuk penundaan terbaru tidak diumumkan. Badan usaha milik negara ENEC mengatakan reaktor kedua sudah 93 persen selesai, reaktor ketiga sudah 83 persen selesai dan reaktor keempat sudah 72 persen.

Pembangkit listrik tenaga nuklir di barat Abu Dhabi sedang dibangun oleh konsorsium yang dipimpin Korea Electric Power Corporation.

Jika sudah beroperasi secara penuh, keempat reaktor akan menghasilkan listrik 5.600 megawatt, atau sekitar 25 persen dari kebutuhan UEA, menurut Kementerian Energi.

Nuklir dan energi terbarukan ditargetkan menyumbang sekitar 27 persen dari listrik UEA pada 2021.

UAE mengatakan ingin 50 persen energinya dihasilkan oleh sumber-sumber bersih pada 2050.

Arab Saudi, pengekspor minyak mentah terbesar dunia, berencana untuk membangun hingga 16 reaktor nuklir, tetapi proyek-proyek tersebut belum terwujud, demikian dilansir kantor berita AFP.




Credit  antaranews.com


Jumat, 22 Juni 2018

UEA Sebut Gerilyawan Houthi Halangi Bantuan Buat Warga Yaman


[ilustrasi] Milis Houthi di Sana'a, Yaman.
[ilustrasi] Milis Houthi di Sana'a, Yaman.
Foto: EPA/Yahya Arhab

Gerilyawan Houthi menghalangi pembongkaran bantuan di Pelabuhan Hodeidah




CB, DUBAI -- Uni Emirat Arab (UEA) menuduh gerilyawan Houthi menghalangi bantuan buat warga sipil di Yaman. UEA juga mendesak gerilyawan agar meninggalkan Kota Pelabuhan Laut Merah Yaman, Hodeidah.

"Gerilyawan Houthi menghalangi pembongkaran bantuan di Pelabuhan Hodeidah, menghancurkan sitem pengairan dan pembuangan, secara membabi-buta menaruh ranjau, bahan peledak rakitan (IED), penembak gelap dan senjata berat di sekitar daerah permukiman," kata Kementerian Luar Negeri UAE di akun Twitter, Kamis (21/6).

Menurut Menlu UEA Anwar Gargash, penarikan penuh, damai dan tanpa syarat gerilyawan Houthi dari kota tersebut dan pelabuhan Hodeidah adalah satu-satunya jalan guna menghindari bertambah buruknya situasi di dalam kota itu dan sekitarnya.

Meskipun koalisi militer pimpinan Arab Saudi telah membuat kemajuan dalam beberapa pekan belakangan, pejabat senior UEA tersebut kembali menyatakan bahwa aliansi itu takkan mengubah sasaran strategisnya. "Kami akan terus melancarkan tekanan militer dan menghormati kondisi kemanusiaan yang rapuh. Pembebasan Hodeidah akan mempercepat penyelesaian damai buat Yaman dan rakyat Yaman."

"Koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman telah merebut kekuasaan atas bandar udara Hodeidah dan terus menyerang daerah kantung perlawanan gerilyawan Houthi di dekatnya," kata seorang juru bicara koalisi tersebut pada Rabu (20/6).

Hodeidah adalah jalur kehidupan buat import dan pengangkutan bantuan kemanusiaan ke Yaman Utara. Koalisi pimpinan Arab Saudi mencampuri perang saudara di Yaman pada Maret 2015.



Credit  republika.co.id






Rabu, 20 Juni 2018

Jenderal UEA Dikabarkan Tewas dalam Pertempuran di Hodeidah



Wakil Kepala Staf Angkatan Darat UEA, Mayjen Eisa Saif al-Mazrouei.[newnewss.net]
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat UEA, Mayjen Eisa Saif al-Mazrouei.[newnewss.net]

CB, Jakarta - Media Yaman pro Houthi melaporkan bahwa Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata UEA dikabarkan tewas dalam pertempuran sengit yang terjadi kota pelabuhan penting Hodeidah, di pantai barat Yaman antara milisi Houthi dengan koalisi Arab.
Dilansir dari media Iran, Mehr News Agency, pada 19 Juni 2018, televisi berbahasa Arab yang berbasis di Teheran, Al-Alam, mengutip bahwa Wakil gubernur provinsi Hudaida, Ali Qashar, Senin kemarin mengatakan bahwa dalam pertempuran Sabtu dan Minggu di sepanjang garis pantai barat Hodeidah, 43 pasukan koalisi yang dipimpin UAE tewas, termasuk Wakil kepala staf Angkatan Bersenjata UEA, Mayor Jenderal Eisa Saif al-Mazrouei, dan beberapa pejabat militer UEA lainnya. Namun belum ada tanggapan dari pihak UEA terkait kabar ini.

Surat kabar UEA, Al-Bayan, melaporkan pada 16 Juni bahwa Eisa Saif al-Mazrouei mengunjungi pasukan UEA di front Pantai Barat.

Jenderal Shaikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, Pangeran Abu Dhabi dan Panglima Angkatan Bersenjata UEA, bersama Mayor Jenderal Eisa Saif Al Mazrouei.[Khaleej Times]
Menurut pejabat Yaman, jumlah pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi dan UEA yang tewas dalam pertempuran Hodeidah telah mencapai 253.
Sementara Farsnews melaporkan pada Minggu 17 Juni, laskar Ansarullah Yaman membantah laporan koalisi Arab yang mengklaim telah merebut Hodeidah dan menambahkan pasukan koalisi Arab mundur di sepanjang garis front.

"Sebuah pertempuran menunggu koalisi Arab yang tidak dapat bertahan. Koalisi Arab tidak akan memenangkan pertempuran di Hodeidah," kata juru bicara Ansarullah, Mohammed Abdulsalam kepada televisi Al-Mayadeen yang berbasis di Lebanon.
Namun pasukan Yaman dukungan koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi dan UEA mengklaim memasuki kompleks bandara di kota pelabuhan Yaman, Hodeidah, Selasa, 19 Juni.
"Dengan partisipasi dan dukungan dari angkatan bersenjata Emirat, pasukan gabungan Yaman memasuki bandara Hodeidah," tulis kantor berita negara UEA, WAM.




Credit  tempo.co





Selasa, 12 Juni 2018

Lakukan Blokade, Qatar Seret UAE ke Mahkamah Internasional



Lakukan Blokade, Qatar Seret UAE ke Mahkamah Internasional
Pemerintah Qatar mengatakan telah membawa Uni Emirat Arab (UEA) ke Mahkamah Internasional terkait blokade yang dilakukan oleh negara itu. Foto/Istimewa


DOHA - Pemerintah Qatar mengatakan telah membawa Uni Emirat Arab (UEA) ke Mahkamah Internasional terkait blokade yang dilakukan oleh negara itu. Doha menggambarkan blokade itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

UEA, Arab Saudi, Bahrain dan Mesir memberlakukan boikot terhadap Qatar pada Juni 2017, memutus hubungan diplomatik dan transportasi dengan negara kecil yang kaya, menuduh negara itu mendukung terorisme. Doha membantahnya dan mengatakan bahwa tekanan ditujukan untuk menghapus kedaulatannya.

"Sebagaimana dinyatakan secara terperinci dalam penerapan Qatar ke Mahkamah Internasional, UAE memimpin tindakan-tindakan ini, yang telah memiliki dampak yang menghancurkan terhadap hak asasi manusia Qatar dan penduduk Qatar," kata pemerintah Qatar dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin (11/6).

Doha mengatakan UEA memberlakukan serangkaian tindakan yang mendiskriminasi warga Qatar, termasuk mengusir mereka dari UEA, melarang mereka memasuki atau melewati UEA, memerintahkan warga negara UEA untuk meninggalkan Qatar, dan menutup wilayah udara UEA dan pelabuhan ke Qatar.

Qatar mengatakan pihaknya yakin tindakan itu melanggar Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD), termasuk diskriminasi atas dasar kewarganegaraan, di mana UAE dan Qatar keduanya adalah negara penandatangan konvensi.

Tiga negara lain yakni Saudi, Bahrain dan Mesir tidak turut diseret oleh Qatar karena mereka bukan negara penandatangan konvensi CERD.

Qatar meminta agar pengadilan memerintahkan UAE untuk mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kewajibannya di bawah CERD, menghentikan dan mencabut langkah-langkah dan memulihkan hak-hak orang Qatar.

"Kami juga meminta UEA membuat reparasi, termasuk kompensasi," tukasnya, tanpa memberikan rincian mengenai jumlah uang yang diminta.





Credit  sindonews.com





Selasa, 24 April 2018

Qatar Bantah Jet Tempur Mereka Cegat Pesawat Sipil UE



Qatar Bantah Jet Tempur Mereka Cegat Pesawat Sipil UE
Pemerintah Qatar membantah tudingan bahwa jet tempur mereka telah mencegat sebuah pesawat sipil asal Uni Emirat Arab (UEA). Foto/Istimewa


DOHA - Pemerintah Qatar membantah tudingan bahwa jet tempur mereka telah mencegat sebuah pesawat sipil asal Uni Emirat Arab (UEA). Qatar menyatakan, yang mereka cegat adalah jet tempur UEA, bukan pesawat sipil.

Otoritas penerbangan sipil Qatar mengatakan, pesawat militer Doha sedang dalam penerbangan rutin ketika sebuah jet tempur UEA memasuki ruang udara Qatar tanpa izin. Jet tempur UEA itu, menurut otoritas penerbangan sipil Qatar masuk di wilayah udara yang sama dengan pesawat sipil UEA, jadi seolah-oleh jet tempur Qatar mencegat pesawat sipil.

"UEA sayangnya telah memanipulasi fakta untuk mengobarkan dan menyesatkan masyarakat internasional. Pernyataan terbaru adalah buktinya," kata otoritas penerbangan sipil Qatar, seperti dilansir Reuters pada Senin (23/4).

Sebelumnya diwartakan, UEA mengatakan pesawat tempur Qatar mencegat sebuah pesawat sipil yang membawa 86 penumpang ke Bahrain, kemarin.

Mengutip otoritas penerbangan sipil, laporan itu menyebut bahwa pesawat sipil UEA harus mengambil manuver menghindar untuk menghindari tabrakan. Namun laporan itu tidak menyebutkan nama pesawat yang terlibat insiden.

Seperti diketahui, kedua negara menuduh satu sama lain atas serangkaian insiden udara sejak Abu Dhabi dan kekuatan lain menjatuhkan sanksi perjalanan, diplomatik dan perdagangan terhadap Qatar pada bulan Juni lalu.

UEA, bersama dengan Arab Saudi, Bahrain dan Mesir, menuduh Qatar mendukung musuh regional Iran serta ekstremis Islam. Namun Qatar membantah tuduhan itu dan balik menuduh keempat negara itu berusaha membatasi kedaulatannya. 




Credit  sindonews.com





UEA Sebut Jet Tempur Qatar Cegat Pesawat Sipil


UEA Sebut Jet Tempur Qatar Cegat Pesawat Sipil
Foto/Ilustrasi/Istimewa


DUBAI - Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan pesawat tempur Qatar mencegat sebuah pesawat sipil yang membawa 86 penumpang ke Bahrain pada hari Minggu (22/4/2018). Demikian laporan kantor berita milik UAE, WAM.

Mengutip otoritas penerbangan sipil, laporan itu menyebut bahwa pesawat sipil UEA harus mengambil manuver menghindar untuk menghindari tabrakan. Namun laporan itu tidak menyebutkan nama pesawat yang terlibat insiden seperti dikutip dari Reuters.

Hingga saat ini tidak ada komentar dari pejabat Qatar atas tuduhan itu.

Kedua negara menuduh satu sama lain atas serangkaian insiden udara sejak Abu Dhabi dan kekuatan lain menjatuhkan sanksi perjalanan, diplomatik dan perdagangan terhadap Qatar pada bulan Juni lalu.

UEA, bersama dengan Arab Saudi, Bahrain dan Mesir, menuduh Qatar mendukung musuh regional Iran serta ekstremis Islam. Namun Qatar membantah tuduhan itu dan balik menuduh keempat negara itu berusaha membatasi kedaulatannya.

Qatar juga telah menolak serangkaian tuntutan yang dipimpin oleh kuartet Timur Tengah itu, termasuk menutup media seperti Al Jazeera dan The New Arab yang berbasis di London. Doha telah menyerukan dialog untuk mengakhiri krisis, yang ditolak oleh Arab Saudi dan mitranya.

Analis melihat blokade sebagai upaya untuk memaksa Qatar berada di bawah pengawasan Arab Saudi-UEA dan mengakhiri kebijakan luar negerinya yang independen.






Credit  sindonews.com





Minggu, 15 April 2018

UAE sampaikan keprihatinan mendalam atas Suriah


UAE sampaikan keprihatinan mendalam atas Suriah
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi selamatkan Ghouta di Jakarta, Jumat (2/3/2018). Dalam aksinya mereka menuntut diakhirinya perang yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan dan merenggut nyawa ratusan orang di Ghouta, Suriah. (ANTARA /Akbar Nugroho Gumay)



Dubai, UAE (CB) - Uni Emirat Arab (UAE) pada Sabtu (14/4) menyatakan negara itu mengikuti dengan "prihatin" perkembangan di Suriah dan peningkatan saat ini, demikian laporan media setempat.

Kementerian Urusan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional UAE di Abu Dhabi juga "dengan keras mengutuk" penggunaan senjata kimia terhadap warga sipil, kata kantor berita UAE, WAM.

Satu pernyataan resmi menambahkan UAE mendukung semua tindakan internasional dengan tujuan menghapuskan dan menghancurkan senjata yang dilarang secara internasional tersebut.

UAE juga menekankan perlunya mencegah senjata itu jatuh ke tangan "organisasi teroris internasional di daerah konflik".

UAE, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad pagi, menegaskan dukungannya bagi operasi militer terhadap senjata terlarang tersebut dan instalasinya di Suriah.

Pernyataan itu menambahkan UAE percaya penyelesaian politik adalah dasar bagi penanganan krisis Suriah. Negara Arab tersebut juga menyerukan semua pihak untuk bertindak sejalan dengan resolusi terkait keabsahan internasional.

Pernyataan itu mengatakan UAE mengharapkan berakhirnya krisis Suriah dengan segala resiko yang ditimbulkannya bagi persatuan negeri tersebut dan kehilangan nyawa manusia yang meningkat. Pada saat yang sama, pernyataan itu menegaskan bahwa diaktifkannya peran Arab dalam upaya politik diperlukan untuk menemukan penyelesaian politik.


Secara terpisah, Kementerian Urusan Luar Negeri Estonia pada Sabtu kembali menegaskan dukungan Estonia bagi upaya pimpinan PBB untuk mewujudkan penyeleisaian politik yang langgeng bagi konflik Suriah.

"Estonia dengan keras mengutuk penggunaan senjata kimia oleh rejim Suriah, yang paling akhir di Douma pada 7 April 2018 dan menyerukan semua yang bertanggung-jawab diseret ke pengadilan," katanya.

Pemerintah Suriah telah membantah tuduhan itu dan menyebut laporan tersebut adalah berita palsu yang digunakan oleh Barat untuk membenarkan serangannya ke Suriah.


Credit  antaranews.com