Rabu, 06 Februari 2019

AS-Rusia Tegang soal INF, Prancis Simulasikan Serangan Nuklir


AS-Rusia Tegang soal INF, Prancis Simulasikan Serangan Nuklir
Pesawat jet tempur multirole Rafale Angkatan Udara Prancis. Foto/REUTERS

PARIS - Angkatan Udara Prancis melakukan simulasi serangan nuklir yang melibatkan sebuah jet tempur multirole Rafale pada hari Selasa. Misi langka ini dilakukan di saat Amerika Serikat dan Rusia sedang bersitegang setelah keduanya sama-sama menangguhkan kepatuhannya terhadap Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) 1987.

Juru bicara Angkatan Udara Prancis Kolonel Cyrille Duvivier kepada Reuters yang dilansir Rabu (6/2/2019) mengatakan simulasi berlangsung selama 11 jam. Simulasi mencakup semua fase misi serangan nuklir, termasuk adegan pengisian bahan bakar hingga penembakan rudal layaknya seperti dalam serangan nyata.

"Serangan nyata ini dijadwalkan dalam kehidupan sistem senjata," kata Kolonel Duvivier. "Itu dilakukan secara berkala, tetapi tetap langka karena rudal yang sebenarnya, tanpa hulu ledak, ditembakkan," ujarnya.

Mantan Menteri Luar Negeri Prancis Hubert Vedrine mendesak Moskow dan Washington untuk membuat perjanjian baru untuk menggantikan Perjanjian INF 1987.

Pada hari Jumat lalu AS mengonfirmasi telah menangguhkan keikutsertaannya dalam Traktat INF yang telah bertahan selama beberapa dekade. Perjanjian kontrol senjata rudal dan nuklir yang diteken AS dan Uni Soviet dan kemudian dilanjutkan oleh Rusia itu berisi larangan memiliki dan menguji coba rudal jarak menengah yang diluncurkan dari darat dengan jangkauan 310-3.400 mil.

Pemerintah Washington menuduh misil 9M729 Moskow bertentangan dengan perjanjian era Perang Dingin tersebut dan meminta untuk dihancurkan. Namun, Moskow membantah dan menuntut bukti atas tuduhan itu.

Pada hari berikutnya setelah AS menangguhkan kepatuhannya dari Perjanjian INF, Presiden Rusia Vladimir Putin bereaksi dengan mengikuti langkah serupa sepeti yang dilakukan pemerintah Trump.

Putin mengatakan Rusia akan memberikan "respons cermin" terhadap AS dengan terlibat dalam penelitian dan pengembangan untuk teknologi rudal nuklir terbaru. Kendati demikian, dia menjamin Moskow tidak akan terlibat dalam perlombaan senjata yang mahal.

Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan negaranya harus membuat rudal hipersonik berhulu ledak nuklir dan rudal jelajah Kalibr berbasis darat terbaru. Keputusan itu sebagai "respons cermin" terhadap tindakan AS yang mulai memproduksi bom nuklir baru setelah menarik diri dari Perjanjian INF 1987.

Misil hipersonik baru yang diminta Kremlin untuk diproduksi adalah misil berbasis darat dengan jangkauan tembak 500km. Pembuatan diminta dimulai tahun 2020 dan tahun 2021 harus sudah siap dioperasikan.

Shoigu, sebagaimana dikutip kantor berita RIA, mengatakan pada Selasa (5/2/2019) bahwa mengingat Perjanjian INF itu tidak lagi diperhatikan, maka menjadi penting bagi Moskow untuk meningkatkan jangkauan sistem rudal daratnya dalam dua tahun ke depan.

"Pada 2019-2020, kita harus mengembangkan versi kompleks Kalibr berbasis laut dengan rudal jelajah jarak jauh, yang terbukti efektif di Suriah. Selama periode yang sama, kita harus membuat kompleks rudal darat dengan misil hipersonik jarak jauh," kata Shoigu.

Keluarga rudal Kalibr berbeda dalam ukuran, platform peluncuran, jangkauan, dan kecepatan. Namun, semuanya dapat membawa hulu ledak konvensional atau pun nuklir. 



Credit  sindonews.com