Sabtu, 22 Desember 2018

Profesor ITB Temukan Batubara Hibrida Ramah Lingkungan




JAKARTA - Dewasa ini, penggunaan batubara sebagai sumber energi banyak disorot lantaran limbah buang yang mencemari lingkungan. Tak heran, sejak abad 20, terjadi perubahan signifikan pada penggunaan batubara.
Moda transportasi dan mesin industri banyak beralih menggunakan energi ramah lingkungan. Di sisi lain, stok batubara di dunia masih cukup melimpah. Sumber energi ini bisa menjadi alternatif di tengah menipisnya bahan bakar minyak. Indonesia adalah negara kesembilan yang memiliki sumber energi batubara dunia.
Namun, semakin minimnya penggunaan batubara dipastikan akan berdampak pada kelangsungan industri di sektor ini. Pertambangan batubara terus menurun. Diikuti dampak ekonomi yang sedikit terpengaruh.
Dilatarbelakangi banyaknya potensi dan penggunaan batubara yang semakin berkurang, profesor ITB yang terdiri atas Prof Dwiwahju Sasongko (guru besar FTI ITB), Dr Winny Wulandari, dan Dr Jenny Rizkiana, membuat terobosan menghasilkan produk batubara hibrida.
“Batubara hibrida dibuat dengan mencampurkan partikel batubara dan biomassa, misalnya serbuk gergaji kayu, menggunakan perekat (binder). Campuran itu kemudian diproses menggunakan piro lisis pada temperatur rendah (200-300°C) atau sering disebut sebagai proses torefaksi,” kata dia.
Melalui proses itu, sebagian bahan volatil mengalami dekomposisi dan terlepas dari matriks batubara atau biomassa. Dengan demikian, nilai kalor bahan bakar padat ini lebih tinggi dibandingkan nilai kalor umpan. Sementara biomassa menjadi lebih hidrofobik sehingga tidak mudah membusuk dan tingkat ketergerusannya meningkat.
Hasil akhir dari semua proses itu menyebabkan pengecilan ukuran partikel batubara hibrida untuk umpan FBC atau pun PF lebih mudah dilakukan.
“Yang lebih menarik, emisi CO2 pada pembakaran batubara hibrida lebih rendah dibandingkan dengan batubara umpan. Karena CO2 yang dihasilkan pada pembakaran biomassa adalah CO2 netral,” beber dia.
Dengan begitu, limbah buang dari proses pembakaran batubara lebih ramah lingkungan. Tak hanya menghasilkan energi dari pemanasan batubara, dari proses itu kandungan sulfur dalam batubara dapat disisihkan dari batubara secara biologik dengan memanfaatkan Thiobacillus ferrooxidans.
Hasil penelitian lainnya juga menghasilkan bahan bakar cair melalui biosolubilisasi. Dengan mengonversi batubara menjadi bahan bakar cair, abu tidak akan dihasilkan pada pembakaran.

“Mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki batubara, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi pemrosesan batubara ramah lingkungan pada masa kini dan masa depan,” kata Dwiwahju Sasongko.
Temuan tersebut, kata dia, diharapkan dapat kembali menggerakkan industri batubara. Karena, kata dia, Indonesia memiliki cadangan terbanyak kesembilan atau sekitar 2,2% dari seluruh cadangan batubara dunia. Sayangnya, sekitar 80% cadangan batubara Indonesia termasuk batubara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5.000 kkal/kg.
Batubara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan. Dengan produksi batubara lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20% yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri sementara 80% diekspor.
Saat ini, pemanfaatan batubara yang paling banyak dijumpai adalah pembakaran langsung untuk membangkitkan panas. Salah satunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Namun, proses itu menyebabkan terbentuknya emisi gas rumah kaca dan berpotensi mencemari lingkungan dengan senyawa, seperti NOx dan SOx yang menyebabkan hujan asam.

Credit Okezone.com

https://economy.okezone.com/amp/2018/03/21/320/1875846/profesor-itb-temukan-batubara-hibrida-ramah-lingkungan