Yangon (CB) - Skala penderitaan di dalam negara
bagian Rakhine di Myanmar "tidak terbayangkan" menurut Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (2/10), setelah tiga anggotanya turut
serta dalam kunjungan terlambat pemerintah ke wilayah konflik tersebut.
Myanmar mengontrol ketat akses ke negara bagian itu sejak bulan lalu, ketika serangan militan Rohingya memicu serangan balasan dari militer yang membuat 500.000 minoritas muslim tersebut melarikan diri ke Bangladesh.
Puluhan desa-desa Rohingya telah dibakar. Perhitungan resmi Myanmar menyebutkan bahwa ratusan orang telah tewas saat aksi kekerasan mendera beberapa komunitas terpencil, termasuk Rohingya. Warga beragama Hindu dan etnis Rakhine juga termasuk di antara korban yang tewas.
Beberapa kelompok hak asasi manusia menyatakan bahwa jumlah kematian yang sebenarnya lebih tinggi, khususnya di antara warga Rohingya, sementara PBB menyebut operasi militer itu sebagai "pembersihan etnis" terhadap kelompok muslim tersebut.
Banyak pihak di Myanmar menuding PBB menunjukkan sikap bias pro-Rohingya sehingga membatasi akses lebih jauh lagi.
Kunjungan pada Senin menandai membaiknya hubungan, dengan PBB menyambut kunjungan itu sebagai "langkah positif" sembari menegaskan "kebutuhan akses kemanusiaan yang lebih besar".
"Skala penderitaan manusia ini tak terbayangkan dan PBB menyampaikan belasungkawa terdalam kepada semua yang terdampak," kata badan dunia itu, menyerukan diakhirinya "siklus aksi kekerasan" tersebut.
PBB juga mendesak "pemulangan aman, secara sukarela, bermartabat dan berkelanjutan para pengungsi ke daerah asal mereka."
Para diplomat dan lembaga swadaya masyarakat internasional menemani anggota PBB dalam perjalanan mereka, yang tertunda pekan lalu.
Delegasi Uni Eropa untuk Myanmar juga ikut dalam kunjungan ke daerah Maungdaw dan Rathedaung, menjelaskan bahwa "ini bukan misi investigasi dan keadaannya tidak memungkinkan."
"Kami melihat desa-desa yang telah dibakar rata dengan tanah dan kosong tak berpenghuni. Kekerasan ini harus dihentikan," kata delegasi Uni Eropa, menyeru akses untuk lembaga bantuan kemanusiaan dan media.
Kelompok-kelompok internasional khawatir puluhan ribu muslim Rohingya yang masih berada di bagian utara Rakhine membutuhkan makanan, obat-obatan dan tempat berlindung setelah sebulan lebih operasi militer.
Beberapa ribu Rohingya masih bertebaran di pantai menunggu kapal-kapal ke Bangladesh setelah menerima ancaman kematian.
Myanmar memiliki sekitar 1,1 juta warga Rohingya sebelum serangan 25 Agustus militan dari kelompok minoritas itu memicu penumpasan masif dari militer. Jumlahnya tinggal separuh sejak itu.
Rakhine telah lama menjadi kawah ketegangan etnis dan ahama, namun dalam lima tahun terakhir hubungan komunalnya anjlok ke titik terburuk, demikian menurut warta kantor berita AFP.
Myanmar mengontrol ketat akses ke negara bagian itu sejak bulan lalu, ketika serangan militan Rohingya memicu serangan balasan dari militer yang membuat 500.000 minoritas muslim tersebut melarikan diri ke Bangladesh.
Puluhan desa-desa Rohingya telah dibakar. Perhitungan resmi Myanmar menyebutkan bahwa ratusan orang telah tewas saat aksi kekerasan mendera beberapa komunitas terpencil, termasuk Rohingya. Warga beragama Hindu dan etnis Rakhine juga termasuk di antara korban yang tewas.
Beberapa kelompok hak asasi manusia menyatakan bahwa jumlah kematian yang sebenarnya lebih tinggi, khususnya di antara warga Rohingya, sementara PBB menyebut operasi militer itu sebagai "pembersihan etnis" terhadap kelompok muslim tersebut.
Banyak pihak di Myanmar menuding PBB menunjukkan sikap bias pro-Rohingya sehingga membatasi akses lebih jauh lagi.
Kunjungan pada Senin menandai membaiknya hubungan, dengan PBB menyambut kunjungan itu sebagai "langkah positif" sembari menegaskan "kebutuhan akses kemanusiaan yang lebih besar".
"Skala penderitaan manusia ini tak terbayangkan dan PBB menyampaikan belasungkawa terdalam kepada semua yang terdampak," kata badan dunia itu, menyerukan diakhirinya "siklus aksi kekerasan" tersebut.
PBB juga mendesak "pemulangan aman, secara sukarela, bermartabat dan berkelanjutan para pengungsi ke daerah asal mereka."
Para diplomat dan lembaga swadaya masyarakat internasional menemani anggota PBB dalam perjalanan mereka, yang tertunda pekan lalu.
Delegasi Uni Eropa untuk Myanmar juga ikut dalam kunjungan ke daerah Maungdaw dan Rathedaung, menjelaskan bahwa "ini bukan misi investigasi dan keadaannya tidak memungkinkan."
"Kami melihat desa-desa yang telah dibakar rata dengan tanah dan kosong tak berpenghuni. Kekerasan ini harus dihentikan," kata delegasi Uni Eropa, menyeru akses untuk lembaga bantuan kemanusiaan dan media.
Kelompok-kelompok internasional khawatir puluhan ribu muslim Rohingya yang masih berada di bagian utara Rakhine membutuhkan makanan, obat-obatan dan tempat berlindung setelah sebulan lebih operasi militer.
Beberapa ribu Rohingya masih bertebaran di pantai menunggu kapal-kapal ke Bangladesh setelah menerima ancaman kematian.
Myanmar memiliki sekitar 1,1 juta warga Rohingya sebelum serangan 25 Agustus militan dari kelompok minoritas itu memicu penumpasan masif dari militer. Jumlahnya tinggal separuh sejak itu.
Rakhine telah lama menjadi kawah ketegangan etnis dan ahama, namun dalam lima tahun terakhir hubungan komunalnya anjlok ke titik terburuk, demikian menurut warta kantor berita AFP.
Credit antaranews.com