Kamis, 05 Oktober 2017

Insiden Las Vegas, Pegiat Muslim Sebut AS Abaikan Terorisme


Insiden Las Vegas, Pegiat Muslim Sebut AS Abaikan Terorisme 
Ilustrasi senjata api. (REUTERS/Jim Young)

Jakarta, CB -- Menyusul insiden penembakan yang menewaskan 59 dan melukai 500 orang di Las Vegas, seorang pegiat hak dan pemberdayaan perempuan Muslim menyebut Amerika Serikat telah membiarkan perkembangan terorisme yang berasal dari negeri sendiri.

Penembakan itu dilakukan oleh Stephen Paddock, warga lokal berkulit putih yang menembaki kerumunan orang dari kamarnya di lantai 32 Mandalay Bay Hotel. Hingga kini, pemerintah belum menyebut aksi brutal itu sebagai insiden terorisme.

"Menjinakkan teror yang berasal dari negeri sendiri dan memperketat pengendalian senjata api akan dikesampingkan karena dainggap tak pantas atau politisasi tak perlu dari sebuah tragedi dan dengan cepat menjadi isu sekunder dari agenda pemerintah," kata Naaz Modan dalam artikel opini yang dimuat CNN, Rabu (4/10).


Modan, editor konten di Muslim Girl, sebuah publikasi yang berfokus pada isu hak dan pemberdayaan perempuan Muslim, menjelaskan Amerika sudah berulang kali berada di posisi mengkhawatirkan ini. Dia menggarisbawahi bahwa AS sudah melewati ini 273 sepanjang 2017.

Merujuk pada Gun Violence Archive yang mendokumentasikan penembakan massal dengan korban lebih dari empat orang, terjadi 11.698 kematian karena kekerasan dengan senjata api sepanjang tahun ini. Antara 2001 hingga 2014, 440.095 kematian terjadi di tanah AS, sementara korban jiwa karena terorisme ada pada angka 3.412.

"Hari ini, Amerika mengalami rata-rata kurang lebih satu penembakan massal per hari," tulisnya. "Penembakan massal adalah epidemi jahat yang dihadapi dengan kepasifan fatal untuk terlalu lama."

"Jika penembakan massal dilakukan oleh kulit coklat, insiden akan segera dirangkai ulang dan direformasi sebagai isu imigrasi. Jika ribuan orang tewas di tangan kulit hitam, insiden akan digunakan sebagai alasan untuk mengizinkan brutalitas polisi, meminimalisir gerakan Black Lives Matter dan menegaskan stereotip 'amukan kulit hitam'."

"Jika penembak massal teridentifikasi sebagai Muslim, insiden akan segera ditetapkan sebagai terorisme dan memicu peningkatan pengeluaran pertahanan dan keamanan."

Namun, ini adalah masalah kulit putih, kata Modan merujuk pada analisis Mother Jones dari kasus-kasus yang terjadi antara 1982 dan 2012. Dalam rentang waktu itu, 44 dari pelaku pembunuhan adalah laki-laki kulit putih dan hanya satu di antaranya perempuan.

"Sejak 1982, penembakan massal di Amerika Serikat telah dilakukan oleh laki-laki kulit putih yang kerap dilabeli 'lone wolves atau 'cacat psikologis'. Hasilnya, pemerintah yang semestinya menggerakan institusi untuk mereformasi tetap terpaku pada Amandemen Kedua dan sekutu terbesar penembak massal," kata Modan.

Isu pengendalian senjata adalah salah satu aspek yang diperdebatkan dalam amandemen kedua konstitusi AS. Hal ini, disebut Modan terkait dengan isu nasionalis, terutama di Partai Republik, pengusung Presiden Donald Trump.

"Jangan salah: ini adalah perang budaya yang dibajui Paman Sam dan dilekatkan pada jiwa Amerika. Jalan lainnya--katakanlah, aborsi atau teror asing--yang berujung pada kehancuran hidup pada tingkatan ini akan diserang karena bertentangan dengan jiwa Amerika," ujarnya.

"Tapi karena budaya ini dipeluk oleh ras dan partai yang mengendalikan pemerintahan, hal tersebut seterusnya diusung dan dipertahankan dengan semangat mencintai negara."



Credit  cnnindonesia.com