Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -Blok East Natuna, ladang gas terbesar
Indonesia yang memiliki cadangan sampai 46 TCF (triliun kaki kibuk),
termasuk dalam 'nine dash line' atau 9 garis batas di Laut Cina Selatan
yang diklaim China sebagai wilayahnya.
Kemenko Maritim dan Sumber
Daya berpendapat, blok ini harus segera digarap untuk menegakkan
kedaulatan Indonesia di perairan Natuna.
Memang tak mudah, ada
berbagai kendala untuk pengembangan Blok East Natuna, terutama masalah
keekonomian dan teknologi. Tapi sebaiknya pertimbangan keekonomian
dikesampingkan dulu demi kedaulatan nasional.
"Seharusnya Natuna
D-Alpha (Blok East Natuna) ini segera dikembangkan. Kandungan CO2 yang
tinggi memang membuat biaya investasinya tinggi. Memang biaya untuk
mengembangkannya mahal dan gas baru mengalir 5-10 tahun, tapi ya harus
dimulai," kata Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko Maritim dan Sumber Daya,
Haposan Napitupulu, kepada
detikFinance di Jakarta, Jumat (15/7/2016).
Menurutnya,
selama pembangunan proyek tersebut akan melibatkan banyak orang kerja,
dan terlihat ada aktivitas. Sehingga, China akan berpikir dua kali
sebelum mengklaim wilayah yang terlihat sibuk tersebut.
"Saat
tahap produksi juga ada kegiatan, ada helikopter bolak-balik, ada segala
macam. Kalau sekarang kan kosong, seharusnya pemerintah berpikir bukan
hanya segi komersialitas, tapi juga kedaulatan negara, jangan hanya
berpkir komersialnya saja," ujarnya.
Dia menambahkan, hambatan
utama dalam pengembangan Blok East Natuna sebenarnya bukan masalah
keekonomian dan teknologi seperti yang disebut-sebut selama ini, tapi
komitmen dari pemerintah.
Kalau pemerintah memang punya kemauan,
pasti ada jalan. Skenario untuk membuat Blok East Natuna menjadi
ekonomis bisa dicari, teknologi untuk pengembangannya bisa diciptakan.
"Kendala
utamanya adalah keinginan pemerintah. Pemerintah punya kemauan tidak
untuk membangun ini? Kalau ada kemauan, diberikan lah semua fasilitas
yang penting ini terbangun. Harusnya kan begitu baru bisa dibangun,"
ucapnya.
Selama ini pemerintah terkesan enggan membuat terobosan,
terlalu birokratis dan kaku dalam menerapkan aturan. Kalau saja
pemerintah mau berkorban sedikit, kedaulatan bisa ditegakan, keuntungan
pun bisa diperoleh dalam jangka panjang.
Misalnya insentif tax
holiday untuk pengembangan Blok East Natuna. Pemerintah memang untuk
sementara tidak akan mendapat apa-apa dari pajak, tapi dalam jangka
panjang akan memperoleh keuntungan dari pajak, gas yang diproduksi,
hingga penciptaaan nilai tambah dari industri pengguna gas di dalam
negeri. Jadi jangan terlalu perhitungan dalam pemberian insentif.
"Kalau
kata pemerintah aturannya harus begini begitu, fiskalnya nggak bisa
begini nggak bisa begitu, pemerintah dapat apa? Nggak dapat apa-apa
juga. Kalau kasih
tax holiday 10 tahun, memang 10 tahun nggak
dapat pendapatan pajak, tapi setelah 10 tahun kan dapat. Yang penting
ini bisa dikembangkan," pungkasnya.
Credit
detikfinance
Ini Alasan RI Wajib Bangun Blok Migas di Natuna
Foto: istimewa
Jakarta -Tenaga Ahli Bidang Migas Kementerian
Koordinator Kemaritiman, Haposan Napitupulu berpendapat bahwa potensi
blok migas di Perairan Natuna harus segera digarap untuk menegakkan
kedaulatan Indonesia.
Natuna sendiri saat ini telah mulai
dikembangkan oleh pemerintah. Proyek pengembangan blok migas ini pun
digadang-gadang akan menjadi salah satu yang terbesar di kawasan Asia
Tenggara.
"Jadi kegiatan migas di Natuna telah dimulai sejak
akhir 60-an. Tidak ada klaim dari China saat itu. Jalan aja. Salah satu
gas besar di dunia, dan terbesar di Asia Tenggara. Namun sayang gasnya
72% CO2 yang saat ini bukan gas komersil," katanya di kantor Kementerian
Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Jakarta, Senin (18/7/2016).
"Natuna
itu lapangan gas bumi Natuna. Yang bisa dikomersilkan 46 TCF. Sejak
tahun 73 hingga sekarang belum dikomersilkan karena terganjal masalah
keekonomian," tambahnya
Nine dash line sebagai sembilan
titik area penangkapan tradisional yang menunjukkan klaim China atas
sebagian besar wilayah di Laut China Selatan pun menjadi salah satu
penyebab munculnya konflik.
"Ada 85% diklaim oleh China. China mengklaim berdasarkan
nine dashed lines. Dihubung-hubungkan lah ini. Dari situ (
nine dashed lines),
maka Vietnam 50% diklaim lautnya oleh China, Brunei 90%, Indonesia 30%,
Malaysia dan Filipina 80% diklaim oleh China," tandasnya.
Meski
begitu pengembangan potensi migas di wilayah Natuna terbilang tak mudah.
Setidaknya, ada 7 poin yang menjadi tantangan dalam pengembangan
wilayah blok migas Natuna Timur. Tangan tersebut di antaranya:
1. Investasi yang cukup besar (sekitar US$ 24 Miliar)
2. Produksi gas sekitar 4 BSCFD, dan hanya 1 BSCFD yang dapat dipasarkan
3. Membutuhkan area khusus untuk penyimpanan CO2
4. Fasilitas pemrosesan khusus pemisahan CO2 dengan volume terbesar di dunia
5. Konstruksi fasilitas pemrosesan terapung terbesar di dunia
6. Letak lapangan gas jauh dari konsumen
7. Diperlukan waktu 9 sampai 10 tahun (sejak dibuatnya
final investment decision) untuk membangun fasilitas proyek hingga gas sudah dapat mulai diproduksi
"Seandainya
itu kita kembangkan maka akan ada kesibukan. Akan ada pergerakan
pengembangan ekonomi di wilayah tersebut. Maka eksistensi Indonesia akan
jelas di situ," jelas Haposan.
Credit
detikfinance
Cadangan Migas RI di Natuna Bisa Jadi 'Mesin' Uang
Foto: istimewa
Jakarta -Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko
Kemaritiman, Haposan Napitupulu mengatakan potensi migas di perairan
Natuna dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan sumber pendapatan
bagi Indonesia.
"Gas D alpha di Natuna merupakan cadangan migas
terbesar yang pernah ditemukan selama sepanjang sejarah permigasan di
Indonesia 130 tahun. Cadangannya itu 222 triliun TFC," ungkapnya di
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (18/7/2016).
Namun,
cadangan gas yang melimpah ini tidak dibarengi dengan aspek komersil
yaitu gas yang bisa dieksplorasi untuk saat ini. Kandungan CO2 yang
tinggi membuat calon investor menjadi kurang berminat untuk 'menggali'
blok migas tersebut.
"Selama ini tidak bisa dikembangkan karena
kandungan CO2-nya 72%. Sehingga yang bisa dikomersialkan menjadi gas
metana dan sebagainya hanya sekitar 46 TCF saja," tambahnya.
Menurut
Haposan, pengembangan wilayah perairan Natuna ini akan menjadi suatu
peringatan bagi negara lain, termasuk China yang selama ini melakukan
klaim terhadap wilayah ini.
"Seandainya itu kita kembangkan maka
akan ada kesibukan. Akan ada pergerakan pengembangan ekonomi di wilayah
tersebut. Maka eksistensi Indonesia akan jelas di situ," terangnya.
Harga
minyak yang saat ini terjun bebas pun menjadikan nilai ekonomis blok D
Alpha ini kurang menarik untuk dikembangkan. Sehingga pengembangan Blok
Natuna oleh beberapa konsorsium seperti PT Pertamina pun masih melakukan
studi mencari cara paling tepat dan ekonomis untuk mengembangkannya.
"Pemerintah
harus duduk dengan Pertamina agar lapangan ini bisa dikembangkan.
Insentif-insentif apa yang bisa diberikan sehingga bisa ekonomis lagi,"
jelasnya.
"Migas ini biasanya jadi ujung tombak, karena biasanya kan kita bekerja sama dengan
big player dari negara besar. Mengerjakan ribuan orang dan
budget-nya cukup besar. Hanya migas yang melakukan demikian di Natuna," pungkasnya.
Credit
detikfinance