Selasa, 19 Juli 2016

Ladang Gas Natuna Harus Segera Digarap Sebelum Dicuri China

 
Ladang Gas Natuna Harus Segera Digarap Sebelum Dicuri China  
Foto: Grandyos Zafna
 
Jakarta -Blok East Natuna, ladang gas terbesar Indonesia yang memiliki cadangan sampai 46 TCF (triliun kaki kibuk), termasuk dalam 'nine dash line' atau 9 garis batas di Laut Cina Selatan yang diklaim China sebagai wilayahnya.

Kemenko Maritim dan Sumber Daya berpendapat, blok ini harus segera digarap untuk menegakkan kedaulatan Indonesia di perairan Natuna.

Memang tak mudah, ada berbagai kendala untuk pengembangan Blok East Natuna, terutama masalah keekonomian dan teknologi. Tapi sebaiknya pertimbangan keekonomian dikesampingkan dulu demi kedaulatan nasional.

"Seharusnya Natuna D-Alpha (Blok East Natuna) ini segera dikembangkan. Kandungan CO2 yang tinggi memang membuat biaya investasinya tinggi. Memang biaya untuk mengembangkannya mahal dan gas baru mengalir 5-10 tahun, tapi ya harus dimulai," kata Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Haposan Napitupulu, kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (15/7/2016).

Menurutnya, selama pembangunan proyek tersebut akan melibatkan banyak orang kerja, dan terlihat ada aktivitas. Sehingga, China akan berpikir dua kali sebelum mengklaim wilayah yang terlihat sibuk tersebut.

"Saat tahap produksi juga ada kegiatan, ada helikopter bolak-balik, ada segala macam. Kalau sekarang kan kosong, seharusnya pemerintah berpikir bukan hanya segi komersialitas, tapi juga kedaulatan negara, jangan hanya berpkir komersialnya saja," ujarnya.

Dia menambahkan, hambatan utama dalam pengembangan Blok East Natuna sebenarnya bukan masalah keekonomian dan teknologi seperti yang disebut-sebut selama ini, tapi komitmen dari pemerintah.

Kalau pemerintah memang punya kemauan, pasti ada jalan. Skenario untuk membuat Blok East Natuna menjadi ekonomis bisa dicari, teknologi untuk pengembangannya bisa diciptakan.

"Kendala utamanya adalah keinginan pemerintah. Pemerintah punya kemauan tidak untuk membangun ini? Kalau ada kemauan, diberikan lah semua fasilitas yang penting ini terbangun. Harusnya kan begitu baru bisa dibangun," ucapnya.

Selama ini pemerintah terkesan enggan membuat terobosan, terlalu birokratis dan kaku dalam menerapkan aturan. Kalau saja pemerintah mau berkorban sedikit, kedaulatan bisa ditegakan, keuntungan pun bisa diperoleh dalam jangka panjang.

Misalnya insentif tax holiday untuk pengembangan Blok East Natuna. Pemerintah memang untuk sementara tidak akan mendapat apa-apa dari pajak, tapi dalam jangka panjang akan memperoleh keuntungan dari pajak, gas yang diproduksi, hingga penciptaaan nilai tambah dari industri pengguna gas di dalam negeri. Jadi jangan terlalu perhitungan dalam pemberian insentif.

"Kalau kata pemerintah aturannya harus begini begitu, fiskalnya nggak bisa begini nggak bisa begitu, pemerintah dapat apa? Nggak dapat apa-apa juga. Kalau kasih tax holiday 10 tahun, memang 10 tahun nggak dapat pendapatan pajak, tapi setelah 10 tahun kan dapat. Yang penting ini bisa dikembangkan," pungkasnya.




Credit  detikfinance


Ini Alasan RI Wajib Bangun Blok Migas di Natuna


Ini Alasan RI Wajib Bangun Blok Migas di Natuna  
Foto: istimewa
 
Jakarta -Tenaga Ahli Bidang Migas Kementerian Koordinator Kemaritiman, Haposan Napitupulu berpendapat bahwa potensi blok migas di Perairan Natuna harus segera digarap untuk menegakkan kedaulatan Indonesia.

Natuna sendiri saat ini telah mulai dikembangkan oleh pemerintah. Proyek pengembangan blok migas ini pun digadang-gadang akan menjadi salah satu yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

"Jadi kegiatan migas di Natuna telah dimulai sejak akhir 60-an. Tidak ada klaim dari China saat itu. Jalan aja. Salah satu gas besar di dunia, dan terbesar di Asia Tenggara. Namun sayang gasnya 72% CO2 yang saat ini bukan gas komersil," katanya di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Jakarta, Senin (18/7/2016).

"Natuna itu lapangan gas bumi Natuna. Yang bisa dikomersilkan 46 TCF. Sejak tahun 73 hingga sekarang belum dikomersilkan karena terganjal masalah keekonomian," tambahnya

Nine dash line sebagai sembilan titik area penangkapan tradisional yang menunjukkan klaim China atas sebagian besar wilayah di Laut China Selatan pun menjadi salah satu penyebab munculnya konflik.

"Ada 85% diklaim oleh China. China mengklaim berdasarkan nine dashed lines. Dihubung-hubungkan lah ini. Dari situ (nine dashed lines), maka Vietnam 50% diklaim lautnya oleh China, Brunei 90%, Indonesia 30%, Malaysia dan Filipina 80% diklaim oleh China," tandasnya.

Meski begitu pengembangan potensi migas di wilayah Natuna terbilang tak mudah. Setidaknya, ada 7 poin yang menjadi tantangan dalam pengembangan wilayah blok migas Natuna Timur. Tangan tersebut di antaranya:
1. Investasi yang cukup besar (sekitar US$ 24 Miliar)
2. Produksi gas sekitar 4 BSCFD, dan hanya 1 BSCFD yang dapat dipasarkan
3. Membutuhkan area khusus untuk penyimpanan CO2
4. Fasilitas pemrosesan khusus pemisahan CO2 dengan volume terbesar di dunia
5. Konstruksi fasilitas pemrosesan terapung terbesar di dunia
6. Letak lapangan gas jauh dari konsumen
7. Diperlukan waktu 9 sampai 10 tahun (sejak dibuatnya final investment decision) untuk membangun fasilitas proyek hingga gas sudah dapat mulai diproduksi

"Seandainya itu kita kembangkan maka akan ada kesibukan. Akan ada pergerakan pengembangan ekonomi di wilayah tersebut. Maka eksistensi Indonesia akan jelas di situ," jelas Haposan.

Credit  detikfinance



Cadangan Migas RI di Natuna Bisa Jadi 'Mesin' Uang


Cadangan Migas RI di Natuna Bisa Jadi Mesin Uang 
 Foto: istimewa
 
Jakarta -Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko Kemaritiman, Haposan Napitupulu mengatakan potensi migas di perairan Natuna dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan sumber pendapatan bagi Indonesia.

"Gas D alpha di Natuna merupakan cadangan migas terbesar yang pernah ditemukan selama sepanjang sejarah permigasan di Indonesia 130 tahun. Cadangannya itu 222 triliun TFC," ungkapnya di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (18/7/2016).

Namun, cadangan gas yang melimpah ini tidak dibarengi dengan aspek komersil yaitu gas yang bisa dieksplorasi untuk saat ini. Kandungan CO2 yang tinggi membuat calon investor menjadi kurang berminat untuk 'menggali' blok migas tersebut.

"Selama ini tidak bisa dikembangkan karena kandungan CO2-nya 72%. Sehingga yang bisa dikomersialkan menjadi gas metana dan sebagainya hanya sekitar 46 TCF saja," tambahnya.

Menurut Haposan, pengembangan wilayah perairan Natuna ini akan menjadi suatu peringatan bagi negara lain, termasuk China yang selama ini melakukan klaim terhadap wilayah ini.

"Seandainya itu kita kembangkan maka akan ada kesibukan. Akan ada pergerakan pengembangan ekonomi di wilayah tersebut. Maka eksistensi Indonesia akan jelas di situ," terangnya.

Harga minyak yang saat ini terjun bebas pun menjadikan nilai ekonomis blok D Alpha ini kurang menarik untuk dikembangkan. Sehingga pengembangan Blok Natuna oleh beberapa konsorsium seperti PT Pertamina pun masih melakukan studi mencari cara paling tepat dan ekonomis untuk mengembangkannya.

"Pemerintah harus duduk dengan Pertamina agar lapangan ini bisa dikembangkan. Insentif-insentif apa yang bisa diberikan sehingga bisa ekonomis lagi," jelasnya.

"Migas ini biasanya jadi ujung tombak, karena biasanya kan kita bekerja sama dengan big player dari negara besar. Mengerjakan ribuan orang dan budget-nya cukup besar. Hanya migas yang melakukan demikian di Natuna," pungkasnya.




Credit  detikfinance