Selasa, 19 Juli 2016

Presiden Turki Tolak Hapus Hukuman Mati untuk Pelaku Kudeta

 
Presiden Turki Tolak Hapus Hukuman Mati untuk Pelaku Kudeta  
Presiden Erdogan menilai telah terjadi sebuah kejahatan pengkhianatan kepada negara saat kudeta militer yang menewaskan lebih dari 200 orang terjadi pekan lalu. (Murat Cetinmuhurdar/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
 
Jakarta, CB -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan menolak untuk menghapus hukuman mati atas ribuan orang yang ditangkap terkait kudeta militer yang gagal dilakukan pada Jumat pekan lalu.

"Ada sebuah kejahatan pengkhianatan yang jelas di sana," ujar Erdogan, berbicara melalui penerjemahnya dalam wawancara eksklusif dengan jurnalis CNN, Becky Anderson di Istana Kepresidenan Turki di Istanbul, Senin (18/7) malam waktu setempat.

"Namun tentu saja, akan ada keputusan dari parlemen untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan aturan konstitusi. Sehingga para pemimpin harus berkumpul dan mendiskusikan hal itu. Dan jika mereka menerima untuk membahasnya, maka saya sebagai Presiden akan menyetujui setiap keputusan yang dibuat oleh parlemen."

Pernyataan itu diungkapkan oleh Erdogan dalam wawancara dengan CNN, yang dilakukan pertama kali olehnya pasca gagalnya usaha kudeta milliter empat hari lalu.

Meski menegaskan keputusannya, namun jika Turki memperkenalkan kembali hukuman mati maka Turki tidak lagi dapat bergabung dengan Uni Eropa. Hal itu sebelumnya telah disampaikan oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini.

Pernyataan yang dikeluarkan oleh Mogherini itu merupakan tanggapan resmi Uni Eropa setelah Erdogan bersumpah akan memberikan sanksi yang berat kepada orang-orang yang dianggap melakukan pengkhianatan kepada negara.

Menurut kantor berita Turki, Anadolu, sebanyak 8.777 petugas dari Kementerian Dalam Negeri Turki telah dikeluarkan dari kantor kementerian. Di antara ribuan orang itu tercatat ada 103 staf berpangkat Jenderal dan Laksamana dari militer Turki.

Erdogan juga menyampaikan, pihaknya telah membuat permintaan tertulis resmi yang dikirimkan kepada Amerika Serikat untuk mengekstradisi ulama Turki bernama Fethullah Gulen, yang kini berada dalam pengasingan legal di Saylorsburg, Pennsylvania, AS.

Ketika ditanya apa yang akan dilakukan jika AS menolak untuk mengekstradisi Gulen, Erdogan mengatakan bahwa Turki telah memiliki kesepakatan tentang ekstradisi pelaku kejahatan.

"Jadi sekarang Anda meminta seseorang untuk diekstradisi, Anda adalah mitra strategis saya, saya selama ini telah mematuhi dan taat dengan peraturan, tentu saja harus ada timbal balik dalam beberapa hal," ujar Erdogan.

Meski begitu, hingga saat ini, Menteri Luar Negeri John Kerry menyatakan pemerintahnya belum menerima surat permintaan resmi dari Turki terkait ekstradisi Gulen.

Sebelumnya, Gulen, ulama Turki yang dituding mendalangi percobaan kudeta militer terhadap pemerintahan Erdogan, telah menyatakan akan mematuhi ekstradisi jika pemerintah AS memutuskannya.

"Saya benar-benar tidak khawatir tentang permintaan ekstradisi, sebagaimana saya tidak khawatir terhadap kematian," kata Gulen dalam wawancara dengan wartawan di kediamannya pada Minggu (17/7), seperti dikutip dari Reuters.

Gulen juga sempat membantah tudingan dirinya sebagai dalang kudeta militer pada yang menewaskan lebih dari 200 orang itu. Sebaliknya, ia menuding bahwa Erdogan berada di balik percobaan kudeta, yang menurutnya, bisa jadi direkayasa itu.

"Sebelumnya, ada permintaan dari pihak Erdogan agar saya meminta maaf, tapi seseorang yang memiliki keyakinan kuat tidak akan meminta maaf kepada seorang penindas," katanya.



Credit  CNN Indonesia