
Amerika
Serikat kini diguncang skandal intervensi Rusia dalam proses Pemilihan
Presiden AS yang kemudian dimenangkan Donald Trump dari Republik.
(REUTERS/Jim Young)
Jakarta (CB) - Para peretas Rusia berhasil mengakses
ribuan email para pejabat puncak Partai Demokrat setelah orang dekat
bekas kepala tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta, salah
mengetikkan kata yang seharusnya "
illegitimate" menjadi "
legitimate".
Kesimpulan ini didapatkan dari hasil penyelidikan yang dilakukan surat kabar New York Times.
Kesimpulan
ini sejalan dengan temuan badan intelijen Amerika Serikat CIA pekan
lalu yang menyatakan Rusia sengaja mengintervensi Pemilihan Presiden AS
demi menaikkan Donald Trump yang kini menjadi presiden AS berikutnya.
Trump sendiri marah atas temuan CIA itu dengan menyebut temuan itu "menggelikan".
Pada masa kampanye Pilpres AS lalu, Komite Nasional Demokrat (DNC) menerima berbagai email 'pishing', tulis New York Times.
Salah
satu email 'pishing' itu dikirimkan kepada John Podesta. Seorang
pembantu dekat Podesta bernama Charles Delavan mengetahui pesan virus
ini dan mengirimkannya (
forward) kepada akun pribadi Podesta. Pesan itu sendiri berisi permintaan kepada Podesta untuk mengubah
password akun emailnya.
Delavan tahu itu pesan 'phising' dan kemudian mem-forward pesan itu kepada seorang teknisi komputer.
Masalahnya, dia melakukan
typo atau kesalahan mengetikkan kata, dengan menulis "Ini email
legitimate (sah atau benar)". Delavan menambahkan kalimat dalam pesannya itu, "John mesti segera mengganti
password-nya".
Blunder ini tak pelak membuat para peretas Rusia seketika bisa mengakses 60.000 email dalam akun pribadi Gmail milik Podesta.
Menurut para pejabat intelijen AS, Rusia kemudian memberikan semua
cache
atau tembolok email-email itu kepada WikiLeaks. Nah, WikiLeaks kemudian
merilisnya ke publik pada Oktober. Segera setelah itu skandal email
Hillary pun mendominasi siklus berita dan dieksploitasi oleh Donald
Trump.
Menurut New York Times, FBI sudah tahu Rusia tengah
melancarkan upaya sistematis besar-besaran untuk meretas lembaga
politik-lembaga politik AS. termasuk Gedung Putih dan Departemen Luar
Negeri.
Pada September 2015, FBI telah menemukkan sebuah tim
mata-mata siber yang ada kaitannya dengan pemerintah Rusia telah
berhasil masuk DNC.
Namun alih-alih mengirimkan tim penyelidik
dan mewanti-wanti Demokrat, FBI malah hanya mengutus seorang agen untuk
menelepon Demokrat. Sang agen bernama Adrian Hawkins itu menelepon DNC
yang diteruskan kepada bagian IT lembaga Demokrat itu. Dia mengungkapkan
sebuah rahasia kepada kontraktor IT yang lagi bertugas, Yared Tamene,
bahwa satu kelompok menamakan diri "The Dukes" telah meretas jejaring
komputer DNC.
Tamene mengira pesan telepon Hawkins itu lelucon
belaka. Dia kemudian 'googleing' kata "Dukes" namun tak menemukan
apa-apa. Karena menganggap tidak serius, Tamene tidak melaporkan
panggilan telepon itu kepada atasannya, apalagi dia menemukan tak ada
tanda-tanda log sistem komputer DNC telah disusupi hacker.
Hawkins
kemudian berulang kali menelepon kembali DNC dalam beberapa pekan
berikutnya. Tapi kali ini Tamene tak mau mengangkat panggilan
teleponnya. "Saya tidak menjawab panggilan dia karena saya merasa tidak
ada hal yang harus dilaporkan," tulis dia dalam sebuah memo yang
diperlihatkan kepada New York Times.
Pendekatan gampangan FBI itu
telah membuat para peretas Rusia leluasa menyusup sistem komputer DNC
selama hampir tujuh bulan, sebelum para pejabat Demokrat akhirnya
menyadari adanya serangan peretasan itu dan menyewa para pakar keamanan
siber dari luar.
Pada Maret 2016, satu kelompok peretas Rusia
lainnya menyerang DNC. Kelompok ini mengirimkan ratusan email "pishing"
yang dimulai dengan kata, "
Someone just used your password to try to sign into your Google account (Seseorang baru saja menggunakan password Anda untuk berusaha masuk ke akun Google Anda)".
Salah satu korban email scam atau sampah ini adalah Billy Rinehart, bekas direktur lapangan DNC, yang mengklik pesan "
change password" atau "ubah
password" dalam keadaan setengah mengantuk.
Menurut
New York Times, pemerintahan Presiden Barack Obama lamban menanggapi
ancaman siber dari peretas ini, menyepelekan keseriusan serangan
peretasan ini dan menyianyiakan beberapa kesempatan untuk menghentikan
serangan-serangan itu.
Akibatnya, serangan email itu telah
membuat berantakan prospek keterpilihan Hillary Clinton dan sebaliknya
menguntungkan Trump sehingga bisa memenangkan Pemilu seperti diinginkan
Rusia.
Setelah pembobolan data itu DNC menyewa CrowdStrike,
sebuah perusahaan keamanan siber. Perusahaan ini dengan cepat
menghentikan peretasan yang berasal dari Rusia itu dan mengidentifikasi
dua kelompok pelakunya, yakni Cozy Bear dan Fancy Bear. Cozy Bear, ada
kaitannya dengan badan intelijen Rusia FSB, sudah sejak musim panas 2015
melancarkan serangan phishing ke AS, kata New York Times.
Fancy
Bear bergabung dengan serangan peretasan itu pada Maret 2016. Kelompok
ini ada kaitannya dengan GRU, intelijen militer Rusia. Kelompok ini pula
yang meretas akun email Podesta. Dua kelompok peretas Rusia ini
sepertinya tidak saling mengenal karena kadang-kadang mereka mencuri
dokumen-dokumen yang sama.
Dmitri Alperovitch, pendiri dan bos
CrowdStrike, berkata kepada New York Times bahwa tak diragukan lagi
Rusia bertanggung jawab atas serangan peretasan Demokrat dan Pemilu AS
itu.
"Tak ada pelaku yang lebih masuk akal yang memiliki kepentingan kepada semua korbannya ketimbang Rusia," kata dia.
Apalagi, kata dia, dua kelompok peretas itu aktif pada jam yang cocok sekali dengan zona waktu Rusia.
Credit
ANTARA News