Pemerintah Filipina menyambut baik sebuah laporan yang menyatakan bahwa Tiongkok belum menjelaskan klaim maritimnya berdasarkan peta 10 garis putusnya dalam cara yang konsisten dengan hukum internasional.
Laporan Departemen Luar Negeri AS mengatakan undang-undang, deklarasi, tindakan resmi, dan pernyataan resmi Beijing menunjukkan bukti-bukti yang bertentangan perihal sifat dan cakupan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan.
Laporan yang berjudul “Limits in the Seas No. 143; China: Maritime Claims in the South China Sea” [Batasan di Lautan No. 143; Tiongkok: Klaim Maritim di Tiongkok Selatan] disiapkan oleh Dinas Urusan Samudra & Kutub di bawah Biro Urusan Samudra dan Lingkungan Hidup dan Ilmiah Internasional dan dikeluarkan pada 5 Desember 2014.
Pemerintah Filipina menyambut baik makalah itu, mengatakan fakta-fakta dan analisis di dalam laporan tersebut mendukung posisinya atas perlunya penjelasan secara damai akan hak-hak maritim di Laut Tiongkok Selatan.
“Filipina terus mendukung penyelesaian sengketa yang berbasis aturan dan damai sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal,” katanya.
Klaim Laut Tiongkok Selatan
Laporan itu mengatakan setidaknya ada tiga tafsiran yang berbeda yang digunakan Tiongkok untuk mengklaim Laut Tiongkok Selatan.
Termasuk di antaranya garis putus-putus di peta Tiongkok adalah [1] garis yang melingkupi kepulauan yang diklaim kedaulatannya oleh Tiongkok, bersama dengan zona maritimnya berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut [UNCLOS]; [2] kepulauan tersebut akan menghasilkan garis perbatasan nasional; atau [3] batas-batas yang disebut sebagai klaim maritim bersejarah berbagai segi.
Makalah itu mengatakan jika garis putus-putus itu dimaksudkan untuk menunjukkan hanya kepulauan yang diklaim Tiongkok, maka, agar konsisten dengan hukum laut, “Klaim maritim Tiongkok di dalam lingkup garis putus-putus akan dipatok mulai dari daratan utama dan fitur daratan Tiongkok yang memenuhi definisi sebagai sebuah ‘pulau.’
“Karena kedaulatan atas kepulauan Laut Tiongkok Selatan disengketakan, zona maritim yang terkait dengan kepulauan tersebut juga akan disengketakan. Selain itu, walaupun Tiongkok memegang kedaulatan atas kepulauan itu, zona maritim yang didapat dengan kepulauan itu … akan bergantung pada penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga,” kata studi tersebut.
Sementara itu, jika garis putus-putus itu dimaksudkan untuk menunjukkan garis perbatasan nasional, “maka garis-garis itu tidak memiliki dasar hukum yang layak berdasarkan hukum laut.”
Hal ini dikarenakan batasan maritim diciptakan dari perjanjian antara negara-negara yang bertetangga, berdasarkan hukum internasional.
Oleh karenanya, satu negara tidak boleh secara sepihak mendirikan batasan maritim dengan negara lain, katanya. “Selain itu, perbatasan tersebut tidak akan konsisten dengan praktik negara dan yurisprudensi internasional, yang tidak memberikan bobot lebih pada pulau-pulau terpencil yang sangat kecil seperti yang ada di Laut Tiongkok Selatan dalam menentukan posisi batasan maritim daripada garis pantai yang berseberangan yang panjang dan tidak terpotong-potong,” tambahnya.
Makalah itu terutama menyinggung garis putus-putus 2, 3, dan 8 yang muncul di peta 9 garis putus Tiongkok tahun 2009 sebagai “tidak hanya relatif dekat dengan pantai daratan negara lain, tapi semua atau sebagian darinya juga melebihi 200 mil laut dari fitur daratan yang diklaim Tiongkok.” Tiongkok sejak itu telah memperbarui peta klaim lautannya, menambahkan satu garis putus-putus lagi.
Klaim sejarah Tiongkok tidak ada dalam ketentuan Hukum Laut
Dan yang terakhir, jika garis putus-putus itu dimaksudkan untuk menunjukkan wilayah yang diklaim Tiongkok sebagai “hak sejarah” atas perairan yang eksklusif untuk Tiongkok, klaim tersebut tidak ada di dalam kategori sempit klaim bersejarah yang diakui di dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut, menurut makalah itu.
“Laut Tiongkok Selatan adalah lautan luas yang semi-tertutup dengan sejumlah negara berpantai memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif dan landas benua di dalamnya, konsisten dengan Konvensi Hukum Laut.
“Hukum Laut tidak mengizinkan hak-hak tersebut ditimpa dengan klaim maritim negara lain yang berbasiskan ‘sejarah,’” kata makalah tersebut.
“Sebaliknya, tujuan dan pencapaian besar dari Konvensi adalah untuk memberikan penjelasan dan keseragaman terhadap zona maritim yang menjadi hak negara-negara berpantai. Selain itu, walaupun uji hukum untuk perairan bersejarah dapat diterapkan, klaim garis putus-putus akan gagal di setiap unsur ujian tersebut,” menurut studi itu.
Tiongkok abaikan batas waktu untuk jawab kasus arbitrase
Laporan tersebut dikeluarkan beberapa hari sebelum batas waktu Tiongkok mengajukan laporan ke Majelis Arbitrase untuk UNCLOS.
Majelis Arbitrase mengharuskan Tiongkok menanggapi claim yang diajukan oleh Filipina hingga tanggal 15 Desember yang meminta untuk mempertahankan Zona Ekonomi Eksklusifnya di Laut Tiongkok Selatan.
Beijing mengabaikan batas waktu tersebut dan menegaskan kembali bahwa Tiongkok menolak proses arbitrase tersebut.
Pada hari yang sama, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Qin Gang mengatakan arbitrase bukanlah jalan untuk menyelesaikan sengketa, dan Majelis tidak memiliki yurisdiksi atas kasus ini.
“Kami mempertahankan sikap bahwa para pihak yang bersangkutan harus menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi dan negosiasi atas dasar rasa hormat terhadap fakta sejarah dan hukum internasional,” kata Qin.
Qin menyinggung bahwa semua negara penggugat semestinya mengikuti Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan, sebuah perjanjian tak mengikat yang diadakan Tiongkok dengan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara [ASEAN] pada tahun 2002.
Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan mengklaim bagian dari lautan itu. Tiongkok, sebaliknya, mengklaim keseluruhannya.
“Idealnya, AS ingin Tiongkok … hadir di hadapan Majelis dan mencoba membela klaimnya. Akan tetapi, penolakan Tiongkok atas yurisdiksi Majelis membuat hal itu tidak mungkin terjadi,” kata Zachary Abuza, analis di Southeast Asian Analytics, kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF].
Abuza menyinggung studi itu menggunakan perjanjian UNCLOS terhadap klaim Tiongkok, dan secara luas menyanggahnya di beberapa titik pokok.
Yang paling utama adalah klaim berdasarkan kepemilikan bersejarah.
“Tidak ada ketentuan hukum untuk menggambar peta seperti yang dilakukan Tiongkok berdasarkan Hukum Laut, dan reklamasi daratan yang dilakukan Beijing secara tegas bertentangan berdasarkan UNCLOS sebagai basis untuk perairan teritorial,” kata Abuza.
Abuza mengatakan Tiongkok tampak bertekad untuk meneruskan reklamasi dan penegakan sepihak atas apa yang disebut peraturan perikanan guna mendapatkan kendali tersebut.
Tiongkok akan berpotensi membentuk atau mendeklarasikan sebuah Zona Identifikasi Pertahanan Udara [ADIZ] di wilayah tersebut, tambah Abuza.
“Sekali lagi, kita tahu posisi Tiongkok. Mereka menolak fakta bahwa pengadilan mungkin akan mendengarkan kasus mereka. Mereka tidak menerima yurisdiksinya,” katanya.
Credit APDForum