Kamis, 14 Juli 2016

Cina Ancam Bangun Zona Pertahanan Udara di Laut Cina Selatan

 Cina Ancam Bangun Zona Pertahanan Udara di Laut Cina Selatan  
Suasana penutupan public hearing yang membahas gugatan Filipina terhadap Cina atas Laut Cina Selatan di Pengadilan Arbitrase Internasional, Den Haag, Belanda, 30 November 2015. Tampak kursi yang seharusnya diduduki delegasi Cina kosong. (Foto/Permanent Court of Arbitration)
 
CB, Beijing - Pemerintah Cina memberikan peringatan kepada para pesaingnya di Laut Cina Selatan hari ini, 13 Juli 2016, agar tidak menjadikan perairan yang kaya sumber daya alam tersebut sebagai medan perang. Jika ini dilakukan, Cina akan membangun zona pertahanan udara di daerah itu setelah klaim Beijing terhadap perairan tersebut dinyatakan tidak sah.

Keputusan mendadak dan berdampak besar oleh Mahkamah Arbitrase Internasional yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu memberikan dasar diplomatik kokoh kepada Filipina yang mengajukan gugatan atas sengketa dengan Cina di perairan yang kaya dengan sumber laut.

Kemarahan Cina terhadap keputusan itu dilakukan dengan mengeluarkan beberapa peringatan keras kepada Amerika Serikat dan negara lain yang mengkritiknya.

"Jangan jadikan Laut Cina Selatan sebagai medan perang," kata Wakil Menteri Luar Liu Zhenmin di Beijing sambil menyebut keputusan itu sebagai kertas sampah. "Tujuan Cina adalah untuk menjadikan Laut Cina Selatan sebagai laut perdamaian, persahabatan, dan kerja sama."

Lui mengatakan Cina juga memiliki hak membentuk zona pertahanan udara (ADIZ) di perairan itu yang bakal memberikan tentara Cina kekuasaan terhadap setiap pesawat asing. Satu zona serupa didirikan pada 2013 di Laut Timur Cina menimbulkan kemarahan Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara sekutunya.

"Apakah kita perlu membentuk ADIZ di Laut Cina Selatan atau tidak akan tergantung pada tingkat ancaman yang kami terima," katanya. "Kami berharap negara lain tidak menangguk di air yang keruh untuk mengancam Cina."

Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, bahkan mengatakan bahwa konsekuensi dari putusan itu akan mengintensifkan konflik dan bahkan konfrontasi.

Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, memutuskan Cina tidak punya hak di kawasan Laut Cina Selatan. Pemerintah Cina geram dengan keluarnya keputusan yang dianggap tidak berdasar itu.

Cina bersikukuh bahwa sumber daya laut di wilayah sembilan garis demarkasi (nine dash line) itu ditemukan sejak 1940-an lalu pada peta wilayah Cina. Klaim tersebut tumpang-tindih dengan klaim dari Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.


Credit  TEMPO.CO





Cina Kecam Pernyataan Amerika Terkait Tribunal


 Cina Kecam Pernyataan Amerika Terkait Tribunal
Dua kapal induk kelas Nimitz milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS John C. Stennis (kiri) dan USS Ronald Reagan dari Armada 7 di perairan Filipina, 18 Juni 2016. Amerika Serikat menempatkan dua kapal induknya setelah suasana di Laut Cina Selatan memanas. Jake Greenberg/U.S. Navy via Getty Images
 
CB, Beijing - Cina merasa sangat tidak senang dengan pernyataan terbaru Amerika Serikat terkait keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase Internasional (PCA atau Tribunal). Sebelumnya, pada Senin, 11 Jui 2016, Tribunal telah menyatakan bahwa Cina tidak memiliki hak klaim atas Laut Cina Selatan dan memenangkan gugatan yang diajukan Filipina.

“Amerika Serikat memegang kuat prinsip rule of law. Kami pun mendukung usaha untuk menyelesaikan sengketa teritori dan maritim di Laut Cina Selatan secara damai melalui proses arbitrase. Keputusan dari Tribunal sudah final dan mengikat secara legal kedua negara, Cina maupun Filipina," ujar Kirby dalam jumpa pers di Washington, Selasa, 12 Juli 2016, yang dilansir dalam laman resmi Departemen Luar Negeri AS.

Pernyataan tersebut, menurut Lu Kang, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, malah bertentangan dengan semangat rule of law itu sendiri. Amerika Serikat, menurutnya, selalu pilah-pilih ketika menerapkan hukum internasional. "Mengutip hukum internasional ketika dirasa cocok, namun menyingkirkannya dalam kondisi lain," ujarnya seperti dikutip media lokal, Xinhua, Selasa, 12 Juli 2016.


“Anda mendesak negara-negara lain untuk mematuhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) namun tidak menyetujui konvensi lainnya. Apa yang membuat Amerika Serikat berpikir bahwa mereka bisa menentang negara lain dengan pernyataan-pernyataan tak bertanggung jawab tersebut?“ kata Lu Kang mengecam.

Lu bahkan mendesak Amerika Serikat untuk tidak campur tangan atau menyulut api dalam sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan. Dia juga meminta AS untuk berhenti menggangu kedaulatan dan kepentingan keamanan Cina.

Amerika Serikat sendiri memiliki perhatian serius di Laut Cina Selatan. Daniel Kritenbrink, Penasehat Presiden Barrack Obama, mengatakan bahwa Amerika Serikat memiliki kepentingan abadi di Laut Cina Selatan.

“Kami memiliki kepentingan abadi dalam sengketa teritori dan maritim di Asia Pasifik, termasuk Laut Cina Selatan. Kami berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa tersebut tanpa paksaan dan konsisten terhadap hukum internasional,” ujar Kritenbrink dalam sebuah acara seperti yang dilansir oleh Reuters.

Laman resmi Depertemen Pertahanan Amerika Serikat, defense.gov, pun melansir berita pada hari Senin, 11 Juli 2016, bahwa Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Ash Carter dan Menteri Pertahanan Filipina, Deflin Lorenzana akan melakukan konsultasi intens terkait hasil apapun keputusan Tribunal nantinya.

Presiden Xi Jinping, dalam pernyataan terbarunya, mengatakan bahwa Cina tidak akan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan tersebut. Cina tetap bersikukuh bahwa wilayah yang disengketakan adalah bagian dari teritori Cina.




Credit  TEMPO.CO



Filipina: Putusan Laut Cina Selatan Berdampak ke Indonesia

 Filipina: Putusan Laut Cina Selatan Berdampak ke Indonesia
Pulau buatan yang dibangun Tiongkok di Laut Cina Selatan. businessweek.com
 
CB, Beijing -Pengadilan tetap arbitrase internasional (PCA- Tribunal) di Den Haag, Belanda, memutuskan klaim wilayah sembilan garis demarkasi atau nine-dash line yang dikeluarkan oleh Cina tak berlaku bagi Filipina. Artinya, klaim tersebut juga tak sahih untuk negara-negara lain yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.

“Keputusan pengadilan tidak hanya bermanfaat untuk Filipina, tetapi juga untuk negara lain yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Jika nine-dash line tidak berlaku untuk Filipina, tidak berlaku juga bagi negara-negara tersebut,” kata Paul Reichler, pengacara dari firma hukum Foley Hoag LLP yang menjadi tim hukum Filipina.

Senketa atas Laut Cina Selatan melalui jalur atribase yang ditunjuk oleh PBB telah berlangsung sejak 2013. Sengketa batas ini diajukan oleh pemerintah Filipina. Atribase pekan ini memutuskan klaim sejarah atas Laut Cina Selatan oleh Cina tak bisa diterima.

Mengutip kantor berita Reuters, pengacara bidang kelautan mencatat, Cina mengklaim kepemilikan atas Laut Cina Selatan sejak tahun 1947. Mereka membuat garis batas yang disebut nine-dash line dalam peta resminya tahun 1953. Nine-dash line berisi klaim Cina atas 90 persen dari 3.5 juta kilometer persegi Laut Cina Selatan.

Seperti dilansir theguardian.com, Laut Cina Selatan merupakan wilayah maritim yang dipercaya memiliki minyak dan gas bumi berlimpah. Adapun kepulauan yang masuk dalam wilayah nine-dash line, di antaranya Scarborough Shoal, Paracel, dan Spratly.

Dalam putusan sepanjang lebih dari 500 halaman, tribunal menyatakan tindakan Cina yang mereklamasi dan membangun pulau buatan di tujuh karang di Kepulauan Spratly melanggar kewajiban menahan diri. Cina, melalui situs Kementerian Luar Negeri dan berbagai media pemerintah, seperti kantor berita Xinhua, menyatakan keputusan tribunal tidak sah dan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. "Tiongkok tidak menerima dan tidak mengakuinya," bunyi pernyataan yang dilansir di situs berita Cina, CRI.CN.

Adapun Philippe Sands QC yang mewakili Filipina dalam persidangan arbitrase mengatakan, kasus ini merupakan isu internasional yang penting.  “Ini merupakan kasus hukum internasional yang signifikan selama hampir 20 tahun terakhir sejak penghakiman Pinochet,” ujar Sands.




Credit  TEMPO.CO





Ini Perjalanan Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan

 Ini Perjalanan Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan
Suasana public hearing yang membahas gugatan Filipina terhadap Cina atas Laut Cina Selatan di Pengadilan Arbitrase Internasional, Den Haag, Belanda, 25 November 2015. (Foto: Istimewa)
 
CB, Beijing- Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag, Belanda pada Selasa, 12 Juli 2016  telah memutuskan bahwa Cina tidak memiliki hak sejarah terhadap Laut Cina Selatan. Keputusan tersebut keluar tiga tahun setelah Filipina mengajukan gugatan, pada Januari 2013 silam.

PCA yang terdiri dari para ahli hukum yang ditunjuk PBB memutuskan bahwa Cina tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut hak sejarah dan hak ekonomi  terhadap kawasan perairan laut Cina Selatan. Beijing tidak menerima keputusan tersebut.

Sengketa di wilayah perairan yang mengandung banyak sumber daya alam serta menjadi jalur ekonomi yang strategis bermula ketika pada tahun 1947, Cina membuat peta yang mengklaim sebagian besar wilayah tersebut. Partai Komunis yang mengambil alih kekuasaan di Tiongkok pada tahun 1949, kemudian membuat sembilan garis putus-putus (nine dash lines) di seputar kawasan Laut Cina Selatan di peta resminya pada 1953.

Sembilan garis putus-putus itu meliputi wilayah-wilayah yang disengketakan dengan negara lain. Seperti, kepulauan Spratly dan Paracel yang disengketakan oleh Vietnam, kemudian Scarborough Reef yang disengketakan dengan Filipina.

Sengketa terus berlanjut antara Cina dan beberapa negara ASEAN, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Pada 1994, Filipina mengajukan tuntutan ke pengadilan Arbitrase di bawah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang kemudian diratifikasi oleh 60 negara. Perjanjian ini mendefinisikan wilayah perairan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.

Pada 1995, Cina semakin frontal dengan melakukan pembangunan di pulau Mischief Reef, yang dikatakan akan berfungsi sebagai tempat penampungan bagi nelayan. Filipina kemudian menyampaikan protes melalui ASEAN.

Berlanjut pada 1997 kapal angkatan laut Filipina mencegah kapal Cina mendekati Scarborough Shoal, pulau karang tidak berpenghuni yang dikenal sebagai Pulau Huangyan di Cina. Hal tersebut memicu protes keras dari Cina terhadap pulau yang berjarak sekitar 1.000 kilometer dari daratannya dan 230 kilometer dari Filipina. Dalam tahun-tahun berikutnya, Filipina menahan nelayan Cina berkali-kali untuk dugaan pencurian ikan di kawasan itu.

Untuk mematenkan Laut Cina Selatan sebagai teritorialnya, pada 2009 Cina mengajukan peta sembilan garis putus-putusnya kepada PBB. Pengajuan itu lantas ditentang oleh Vietnam dan Malaysia, diikuti protes dari Filipina dan Indonesia.

Ketegangan terus berlanjut dengan beberapa gesekan serius, seperti saling cegat oleh kapal angkatan laut masing-masing negara. Lalu pada 2013, Filipina membawa sengketa dengan Cina ke Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag, Belanda, yang kemudian memancing kemarahan Beijing.

Sengketa berlanjut pada 2014 ketika Cina menyatakan bahwa panel tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, karena menyangkut masalah kedaulatan dan definisi batas, yang tidak tercakup oleh Konvensi PBB. Selain itu, Cina juga menyatakan bahwa Filipina dan Cina telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa hanya melalui negosiasi.

Namun pada Oktober 2015, PCA di Den Haag mengatakan bahwa mereka memiliki yurisdiksi atas setidaknya tujuh dari 15 klaim yang diajukan oleh Filipina. Sidang atas klaim tersebut kemudian diadakan pada November lalu dengan tidak dihadiri oleh perwakilan dari Cina.

PCA kemudian mengambil keputusan pada 12 Juli 2016, bahwa Cina tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim teritorial Laut Cina Selatan serta dianggap telah memperburuk sengketa regional dengan reklamasi lahan dan pembangunan pulau buatan yang menghancurkan terumbu karang dan kondisi alam di daerah sengketa.

Filipina, menyambut baik keputusan arbitrase itu sementara Cina menolaknya mentah-mentah.



Credit  TEMPO.CO

Perancis Kembali Turunkan Kapal Induk untuk Perangi ISIS

 
Perancis Kembali Turunkan Kapal Induk untuk Perangi ISIS 
 Pemerintah Perancis akan kembali menurunkan kapal induk Charles de Gaulle sebagai pembalasan dendam atas serangan ISIS di Paris tahun lalu. (Wikipedia))
 
Jakarta, CB -- Perancis akan kembali mengerahkan kapal induk Charles de Gaulle ke Timur Tengah untuk memerangi ISIS pada akhir tahun ini. Armada Perancis akan bergabung dengan koalisi AS untuk menghantam ISIS dari laut dan udara.

Menurut Presiden Francois Hollande pada Rabu (14/6) penurunan kapal induk ini untuk membalas dendam atas serangan militan ISIS di Perancis.

"Armada perang, termasuk Charles de Gaulle akan kembali dikerahkan di Operasi Chammal, karena kami harus menyerang balik mereka yang menyerang kami pada Januari dan November 2015," kata Hollande dalam pidatonya jelang parade militer dalam hari nasional Perancis 14 Juli.

Tahun lalu Perancis beberapa kali diserang oleh kelompok militan. Januari 2015, serangan dilakukan terhadap majalah satire Charlie Hebdo di Paris, menewaskan 17 orang. Pelakunya adalah para simpatisan Al-Qaidah.

Pada November lalu, serangkaian penembakan dan pengeboman juga terjadi Paris, menewaskan 130 orang. Para pelaku adalah pengikut ISIS, seorang di antaranya baru kembali berperang di Suriah.

Usai serangan November lalu, Perancis juga telah mengerahkan kapal induknya ke laut dekat Suriah untuk melancarkan serangan. Kapal induk Perancis membawa armada jet tempur Rafale dan Super Etendards.

Serangan demi serangan yang dilakukan pasukan koalisi AS membuat ISIS kehilangan banyak wilayah di Irak dan Suriah.

Juni lalu, ISIS kehilangan wilayah mereka di Mosul setelah satu bulan pertempuran. ISIS masih menguasai Mosul di Irak yang disebut sebagai ibu kota kedua mereka setelah Raqqah di Suriah.

Sementara itu AS mengatakan pekan ini akan mengirimkan tambahan 560 tentara ke Irak untuk membantu infrastuktur dan logistik di pangkalan udara Qayara.



Credit  CNN Indonesia




PM Baru Inggris Theresa May, 'Reinkarnasi' Margaret Thatcher


PM Baru Inggris Theresa May, 'Reinkarnasi' Margaret Thatcher  
Theresa May menjadi pemimpin baru Inggris. Karier politik May yang gemilang diharapkan bisa membawa Inggris melalui huru-hara Brexit. (Reuters/Dylan Martinez)
 
Jakarta, CB -- Theresa May menjadi pemimpin baru Inggris setelah David Cameron mundur dari posisi perdana menteri. Karier politik May yang gemilang diharapkan bisa membawa Inggris melalui huru-hara Brexit.

May merupakan perdana menteri wanita kedua Inggris setelah Margaret Thatcher. Di usia 59 tahun, May menjadi perdana menteri tertua yang memulai memimpin di Downing Street sejak James Callaghan tahun 1976 dan pemimpin Inggris pertama sejak Ted Heath yang tidak memiliki anak.

Istri dari Philip May ini memulai karier politiknya di tengah masa kepemimpinan Thatcher, Sejauh jauh hari, May dengan sifatnya yang keras telah diprediksi akan menjadi pemimpin wanita kedua Inggris. Bahkan, Adam Boulton dari Sky News menyebut sosok May mengingatkannya pada Thatcher.

Awal kiprah politik May dimulai dari dewan lokal kota London di medio 1980-an, namun baru pada tahun 1997 dia masuk menjadi anggota parlemen. Sejak saat itu kariernya moncer.

Dia pernah menjadi asisten menteri pendidikan, tenaga kerja dan pensiun. Sejak tahun 2010 di pemerintahan Cameron, May menjabat sebagai menteri dalam negeri Inggris. Dia merupakan satu dari hanya empat wanita pemangku jabatan tinggi di pemerintahan Inggris.

Di awal kedatangannya di parlemen sebagai bagian dari Partai Konservatif, May dikenal bukan karena prestasinya, melainkan karena pilihan busananya. Sepatu May dengan motif kulit kucing menjadi sorotan media.

Namun ketegasannya dalam memimpin menghilangkan citra "anak kucing" yang disematkan media akibat busananya. May mengaku sebagai konservatif sejati dalam urusan ekonomi dan hukum serta ketertiban negara.

Namun dia juga menentang kesewenangan polisi dalam menghentikan dan menggeledah warga. May keras menentang ekstremisme dan mendorong asimilasi pendatang, khususnya warga Muslim, ke kebudayaan Inggris.

Pada tahun 2010, May sebagai menteri dalam negeri Inggris membatalkan visa Dr Zakir Naik beberapa jam sebelum penceramah asal India itu terbang ke London. May menyebut Naik kerap menyampaikan ujaran kebencian dan mendukung terorisme dalam ceramah perbandingan agamanya. Naik membantah tuduhan tersebut dan menggugat May.

 
Theresa May dan suaminya, Philip. (Reuters/Neil Hall)

Tahun 2013, May mendeportasi Abu Qatada, ulama yang dianggap radikal dari Inggris ke Yordania setelah melalui proses panjang selama 10 tahun.

May juga mencekal Pamela Geller dan Robert Spencer, dua bloger anti-Islam pendiri kelompok Stop Islamization of America masuk Inggris. Alasannya, kedatangan mereka berdua akan menciptakan situasi yang tidak kondusif di Inggris.

Pada Mei lalu, May memicu kontroversi saat mengatakan bahwa hukum Syariah Islam akan menguntungkan Inggris. Dia lalu mengadakan penyelidikan independen untuk mencari tahu apakah pengadilan Islam melakukan diskriminasi terhadap wanita atau tidak.

Secara pribadi, May ingin agar Inggris keluar dari Konvensi HAM Eropa. Dia juga mendukung pernikahan sesama jenis, aborsi, dan menentang perburuan rubah.

May juga keras dalam menerapkan beijakan imigrasi selama menjabat mendagri. Dia menentang imigrasi yang bebas. Dalam kepemimpinannya, imigran non-Uni Eropa harus memiliki pendapatan minimal setara Rp500 juta jika ingin tinggal di Inggris selama 10 tahun. Menurut dia, derasnya arus imigran kian menggerus nilai-nilai Inggris yang mereka anut.

Karena kepemimpinannya yang bertangan besi, seorang kolumnis politik kenamaan Amerika Cal Thomas menyebut May adalah "reinkarnasi" dari Thatcher. Dalam tulisannya di Washington Post, Thomas menyebut May memiliki kedekatan ideologi dengan Thatcher, Si Wanita Besi.

Kehidupan pribadi

May, lahir tahun 1956 di Eastbourne, adalah putri dari seorang pendeta. Ayahnya, Hubert Brasier, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil. Sementara ibunya, Zaidee, meninggal dunia akibat penyakit multiple sclerosis.

Penggemar ABBA ini menikah dengan Philip May pada tahun 1980. Dia dikenalkan dengan Philip oleh Benazir Bhutto, mantan perdana menteri Pakistan yang terbunuh tahun 2007, dalam sebuah pesta dansa di Oxford.

Pasangan May tinggal di Sonning-on-Thames, dalam permukiman warga yang juga tinggali oleh pengacara dan aktivis, Amal Clooney, pesulap Uri Geller dan gitaris Led Zeppelin, Jimmy Page.

Hobinya adalah memasak, May memiliki 100 buku resep di rumahnya. Selain itu dia juga gemar olah raga jalan kaki.

Posisi dalam Brexit

May menentang Brexit, atau upaya Inggris keluar dari Uni Eropa dalam referendum bulan lalu. Namun sebagai pemimpin baru Inggris, May menolak mengulangi kembali referendum tersebut, dengan alasan menghargai keputusan rakyat.

"Brexit ya Brexit. Kampanye telah diperjuangkan, voting dilakukan, pesertanya banyak dan publik telah memutuskan. Tidak boleh ada upaya untuk terus berada di UE, bergabung kembali melalui pintu belakang atau referendum kedua," kata May.

Pemerintah Inggris sebelumnya juga menolak petisi yang ditandatangani jutaan orang untuk mengulang kembali referendum.

May kini memiliki tugas besar membawa Inggris dalam proses keluar dari UE dan berjalan sendiri tanpa Eropa.



Credit  CNN Indonesia



Rabu, 13 Juli 2016

Jenderal Pol Tito Karnavian Resmi Jabat Kapolri



 
Fabian Januarius Kuwado Presiden Joko Widodo menyematkan pangkat Jenderal di pundak Tito Karnavian setelah pelantikan sebagai Kapolri di Istana Negara Rabu 13 Juli 2016.
JAKARTA, CB - Tito Karnavian resmi menjabat Kepala Polri setelah dilantik Presiden Joko Widodo. Pangkat Tito langsung dinaikan satu tingkat menjadi Jenderal Polisi.
Prosesi pelantikan dilaksanakan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/7/2016) pukul 14.00 WIB.
Pantauan Kompas.com, pelantikan diawali dengan pembacaan surat Keputusan Presiden pengangkatan Tito.
"Keputusan Presiden Nomor 48 Polri Tahun 2016 tentang pemberhentian dan pengangkatan Kepala Polri," ujar Sekretariat Militer Marsekal Muda Hadi Tjahjanto saat membacakan surat keputusan.
Melalui Keppres itu, Presiden menetapkan, memberhentikan Jenderal Pol Badrodin Haiti dengan NRP 85070887 dari jabatan Kapolri sekaligus mengangkat Tito Karnavian dengan NRP 64100600 sebagai Kapolri.
"Keputusan Presiden ini mulai berlaku setelah selesai pelantikan pejabat," ujar Hadi.
Setelah itu, acara pelantikan dilanjutkan dengan pengucapan sumpah dibimbing langsung oleh Presiden Jokowi dan diakhiri dengan penandatanganan berita acara upacara pelantikan.
Usai seluruh prosesi itu dilaksanakan, Hadi kembali membacakan Surat Keputusan Presiden Nomor 49 Polri Tahun 2016 tentang kenaikan jabatan satu tingkat Tito dari Komisaris Jenderal menjadi Jenderal Pol.
Pelantikan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden kelima Megawati Soekarnoputri, dan pejabat tinggi negara.
Jajaran Kabinet Kerja juga hadir, diantaranya Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dan Kepala BIN Sutiyoso.
Petinggi Polri yang hadir, antara lain Wakil Kapolri Komjen Budi Gunawan, Kalemdikpol Komjen Sjafruddin, Kakorlantas Irjen Agung Budi Maryoto, Kadiv Humas Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar dan Kepolda Metro Jaya Irjen Moechgiyarto.
Selain itu, turut hadir jajaran Komisioner Kompolnas. Mereka bergantian memberi selamat kepada Tito diakhir prosesi.
Proses pencalonan Tito sebagai Kapolri berjalan mulus. Secara aklamasi, seluruh Fraksi di Komisi III DPR menyetujui mantan Kepala BNPT itu memimpin Polri. Begitu pula ketika dibawa dalam rapat paripurna DPR.




Credit  KOMPAS.com









Vietnam sambut putusan sidang seraya pertegas klaim LCS


 
Vietnam sambut putusan sidang seraya pertegas klaim LCS
Ilustrasi peta kawasan Laut China Selatan. China mengklaim secara sepihak hampir semua Laur China Selatan, dan menerapkan area udara pertahanan di atas wilayah itu. Sampai kini China tidak menetapkan koordinat pasti Sembilan Garis Putus-putus yang dijadikan dasar klaim sepihak mereka. (www,beforeitnews.com)
 
Hanoi, Vietnam (CB) - Vietnam menyambut putusan sidang mahkamah internasional terkait sengketa Laut China Selatan (LCS), Selasa. Mereka mendukung resolusi damai, dan menegaskan kembali klaim atas kedaulatan negaranya di perairan itu.

"Vietnam menyambut putusan akhir pengadilan arbitrase," kata juru bicara kementerian luar negeri, Le Hai Binh. Tribunal Arbitrase PBB hari ini bersidang di Den Haag untuk mengambil keputusan tetap atas sengketa Laut China Selatan yang didaftarkan Filipina versus klaim sepihak China atas perairan itu. 

Sejak jauh hari sebelumnya, China menegaskan tidak akan mengakui "kewenangan" sidang Tribunal Arbitrase PBB, padahal China salah satu negara penandatangan ratifikasi UNCLOS 1982 sebagai satu-satunya landasan hukum laut internasional tentang perairan dan laut.

"Vietnam sangat mendukung resolusi damai penyelesaian sengketa di Laut China Selatan, termasuk proses perundingan diplomatis dan hukum, serta mendorong tiap pihak terkait agar menaati hukum internasional, juga menahan diri untuk tak mengancam atau menggunakan pasukan militernya."

Pihak kementerian menyatakan pihaknya akan memberi komentar lebih lanjut terkait isi putusan pengadilan dalam waktu lain.

Negara itu juga kembali menegaskan klaim atas kedaulatannya di Pulau Paracel dan Spratly, serta yuridiksi zona ekonomi eksklusif negaranya di sekitar perairan pulau itu.

Credit  ANTARA News




Indonesia dorong penghormatan hukum internasional terkait LCS

 
Indonesia dorong penghormatan hukum internasional terkait LCS
Ilustrasi peta kawasan Laut China Selatan. China mengklaim secara sepihak hampir semua Laur China Selatan, dan menerapkan area udara pertahanan di atas wilayah itu. Sampai kini China tidak menetapkan koordinat pasti Sembilan Garis Putus-putus yang dijadikan dasar klaim sepihak mereka. (www,beforeitnews.com)
... semua pihak di Laut China Selatan diminta agar tetap berperilaku sesuai dengan prinsip yang telah disepakati bersama...
Jakarta (CB) - Pemerintah Indonesia mendorong semua pihak menghormati hukum internasional, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dalam menyikapi hasil putusan Tribunal Arbitrase PBB, di Den Haag, terkait sengketa Laut China Selatan.

Sikap Indonesia itu disampaikan Kementerian Luar Negeri, di Jakarta, Selasa, setelah Tribunal Arbitrase PBB, di Den Haag, mengeluarkan keputusan akhir dalam menyelesaikan kasus Filipina-China di Laut China Selatan.

Indonesia sekali lagi menyerukan agar semua pihak dapat menahan diri dan tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan terkait sengketa Laut China Selatan.

Selain itu, Indonesia juga mendorong semua pihak tetap berupaya memelihara suasana kondusif di kawasan Asia Tenggara, khususnya dengan menghindari aktivitas militer yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian.

Selain itu, Indonesia juga meminta semua pihak, khususnya yang terlibat dalam sengketa LCS, yaitu China, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.

Selanjutnya, Indonesia juga menyerukan semua pihak terus melanjutkan komitmen bersama menegakkan perdamaian, serta menunjukkan persahabatan dan kerja sama, sebagaimana telah diupayakan dan dibina dengan baik selama ini.

"Untuk itu semua pihak di Laut China Selatan diminta agar tetap berperilaku sesuai dengan prinsip yang telah disepakati bersama," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri.

Indonesia akan terus mendorong terciptanya zona damai, bebas dan netral di kawasan Asia Tenggara dalam rangka memperkokoh komunitas politik dan keamanan ASEAN.

Selain itu, Indonesia mendorong semua negara pengklaim untuk melanjutkan perundingan secara damai atas sengketa tumpang tindih klaim kedaulatan di Laut China Selatan sesuai dengan hukum internasional.

Sementara itu, China --yang secara agresif dan sepihak mengklaim kepemilikan hampir seluruh Laut Cina Selatan-- menyatakan tidak mengakui hasil Tribunal Arbitrase PBB dan menolak ikut ambil bagian.




Credit  ANTARA News






Keputusan Arbitrase Laut China Selatan Untungkan Indonesia


Keputusan Arbitrase Laut China Selatan Untungkan Indonesia
Ilustrasi (Reuters/Nguyen Minh/File Photo)
 
Jakarta, CB -- Keputusan pengadilan arbitrase internasional yang menolak klaim China atas Laut China Selatan dalam nine-dash line bentukan Beijing merupakan keuntungan tersendiri bagi Indonesia.

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana kini Indonesia bisa lebih percaya diri dalam melakukan penegakan hukum atas kapal-kapal nelayan berbendera China yang masuk wilayah Indonesia.

Pasalnya, keputusan pengadilan arbitrase atas aduan Filipina pada 2013 itu sesuai dengan posisi Indonesia saat ini.

"Putusan majelis terkait Sembilan Garis Putus sangat sesuai dengan posisi pemerintah Indonesia yang tidak mengakui klaim China atas Traditional Fishing Ground," ujar Hikmahanto dalam pernyataannya yang diterima CNN Indonesia (12/7).

"Oleh karenanya otoritas Indonesia bisa lebih percaya diri melakukan penegakan hukum atas kapal-kapal nelayan berbendera China yang beroperasi di ZEE [Zona Ekonomi Eksklusif] Indonesia," lanjut dia.

Pengadilan arbitrase mengeluarkan keputusan setebal 497 halaman yang menyatakan klaim China dalam sembilan garis putus atau nine-dash line tidak berdasar dan tidak sesuai dengan hak berdaulat ZEE yang didasarkan pada UNCLOS.

China berdalih, wilayah itu merupakan lahan memancing ikan tradisional mereka sejak lampau. Namun pengadilan arbitrase menyatakan secara historis China tidak pernah menjalankan hak eksklusifnya di wilayah itu.

Dengan klaim ini, China merasa bisa menangkap ikan di wilayah tersebut, yang di antaranya bersinggungan dengan perbatasan Indonesia. Klaim China juga tumpang tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei dan Vietnam.

Saat ini dunia tengah menanti reaksi konkret China terkait keputusan arbitrase tersebut, apakah mengorbankan perdamaian di kawasan atau melancarkan kebijakan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Menurut Hikmahanto, dunia harus bersiap atas tindakan apa pun yang akan dilakukan China nanti.

"Mulai dari mengundurkan diri dari UNCLOS hingga meningkatkan kehadirannya baik militer maupun non-militer dengan mengirim para nelayannya di Laut China Selatan," ujar Hikmahanto.

"Apapun tindakan yang diambil oleh China, dunia dan negara-negara harus siap menghadapinya. Dunia dan China harus dapat mengelola dinamika pasca putusan Arbitrase. Perdamaian kawasan harus dapat dijaga," lanjut dia.



Credit  CNN Indonesia




China Tolak Putusan Arbitrase, Giliran Filipina Ambil Sikap


China Tolak Putusan Arbitrase, Giliran Filipina Ambil Sikap
Ilustrasi Laut China Selatan. (REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative).
 
Jakarta, CB -- Presiden China Xi Jinping mengaku menolak keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) yang memutuskan mendukung Filipina dalam sengketa Laut China Selatan (LCS). Pengadilan internasional di Den Haag tersebut menyimpulkan, China tidak memiliki dasar hukum mengklaim hak bersejarah untuk sebagian besar LCS.

"China tidak akan pernah menerima klaim atau tindakan berdasarkan atas penghargaan tersebut," ujar Xi seperti dilansir CNN, Selasa (12/7).

Pengadilan menyebutkan China tidak berhak untuk sumber daya yang membentang ratusan mil ke selatan dan timur pulau dari Hainan dan mencakup sekitar 90 persen dari perairan yang disengketakan.


Keputusan ini dipandang sebagai kemenangan yang menentukan bagi Filipina. Kendati demikian, keputusan itu bisa meningkatkan gesekan antara kedua belah pihak. Amerika Serikat (AS) sendiri yang berselisih dengan China atas kebebasan navigasi di LCS mendesak semua pihak untuk menghindari pernyataan provokatif.

Keputusan ini tidak hanya memengaruhi China dan Filipina, namun juga negara-negara lain yang memiliki klaim bersaing. Kini Malaysia, Vietnam, dan Indonesia boleh mengambil tindakan lebih lanjut atas klaim China.

Jepang, sekutu AS yang notabene tetangga China mengeluarkan pernyataan resmi yang berbunyi, "Sangat mengharapkan kepatuhan para pihak dengan putusan ini. Pada akhirnya, akan mengarah pada penyelesaian damai sengketa di LCS."


Sebetulnya, AS merupakan pemain utama di wilayah tersebut. AS mengirimkan kapal perang dan pesawat militer di sekitar LCS, termasuk di dekat wilayah sengketa. Ini yang kemudian memicu peringatan keras dari China.

Sebelumnya, Presiden AS Barack Obama telah mendesak resolusi damai untuk sengketa dan saat mengunjungi Vietnam pada Mei lalu. Ia mengatakan, negara-negara besar sebaiknya tidak mengganggu yang kecil.

"Keputusan ini dapat dan harus menjadi kesempatan baru untuk memperbaharui upaya untuk mengatasi sengketa maritim dengan damai," kata Departemen Luar Negeri AS dalam pernyataan resminya.

Pengadilan Arbitrase juga menemukan fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh China yang mampu menghasilkan apa yang disebut zona ekonomi eksklusif yang memberikan negara hak maritim untuk sumber daya, seperti ikan dan minyak, dan gas dalam 200 mil laut dari massa tanah.

Karena China tidak punya hak zona ekonomi eksklusif, pengadilan menyebutkan, beberapa kegiatan di wilayah itu melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. China melanggar hak-hak tersebut dengan memancing eksplorasi minyak, membangun pulau buatan dan gagal menghentikan kegiatan nelayan China.

Bahkan, panel pengadilan menemukan China bertanggungjawab atas kerusakan terumbu karang di sekitar lokasi pulau buatannya. Itu berarti, melanggar kewajiban untuk melestarikan dan melindungi ekosistem yang rapuh.

Bukan cuma itu, pengadilan mengungkapkan, nelayan China juga telah membunuh penyu yang terancam punah dan kerang raksasa.

Filipina dan China telah lama berselisih atas klaim LCS. Filipina sendiri mengambil langkah perjuangannya ke pengadilan sejak tahun 2013 silam. Ketegangan makin menjadi setelah China melakukan reklamasi dalam operasi pengerukan besar-besaran, membuat pulau buatan, landasan terbang dan mercusuar.

Di Filipina, tagar #Chexit menjadi trending di Twitter, menyerukan China untuk meninggalkan LCS. Topik ini juga paling banyak dibicarakan di jejaring sosial China, Weibo (sejenis Twitter buatan China).

Sayangnya, meskipun putusan PCA merupakan putusan kuat terhadap China, namun tidak ada petunjuk pelaksanaan untuk apa yang terjadi selanjutnya. Pengadilan tidak memiliki yurisdiksi untuk mempertimbangkan implikasi antara militer China dengan Filipina.

Pengadilan tidak memerintahkan China untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk memperbaiki situasi. Misalnya, dengan membongkar konstruksi di pulau atau memberikan reparasi ke Filipina. Sementara, putusan itu dianggap sebagai hukum yang mengikat.

"Dalam hal penegakan hukum, banyak bergantung pada Filipina, apa sekarang siap untuk tegas terhadap China didasarkan pada tanggapan China yang menolak hasil putusan PCA," pungkas Natalie Klein, profesor hukum internasional di Macquarie Law School di Australia.






Credit  CNN Indonesia





China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan


China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan
Pengadilan arbitrase juga memutuskan bahwa pulau buatan China tidak memberikan hak zona ekonomi eksklusif bagi Beijing. (Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Handout)
 
Jakarta, CB -- China menolak hasil keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) atas tuntutan Filipina mengenai sengketa Laut China Selatan.

"Menanggapi hasil Pengadilan Arbitrase mengenai Laut China Selatan atas permintaan Filipina, Kementerian Luar Negeri China mendeklarasikan bahwa hasil ini tidak sah dan tak mengikat. China juga tak menerima dan mengakuinya," demikian bunyi pernyataan Kemlu China melalui siaran persnya, Selasa (12/7).

Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.

Selain itu, pengadilan juga memutuskan bahwa pulau buatan China tidak memberikan hak zona ekonomi eksklusif bagi Beijing.

Selama ini, China membangun pulau buatan di wilayah Kepulauan Spratly, wilayah ZEE yang tumpang tindih dengan sejumlah negara, termasuk Filipina. Melalui tuntutan ini, Filipina meminta pengadilan memutuskan sejauh mana sebuah negara dapat mengeksploitasi sumber daya di perairan.

Dalam hasil keputusan tersebut, para hakim di pengadilan merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Dalam konvensi tersebut dijelaskan bahwa setiap pulau memiliki zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen.

Namun, "Bebatuan yang tidak memiliki habitat manusia atau kehidupan ekonomi sendiri tidak memiliki zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen."

Atas dasar tersebut, pengadilan menyimpulkan bahwa, "semua yang ada di Kepulauan Spratly (termasuk, contohnya, Itu Aba, Thitu, West York Island, Spratly Island, North-East Cay, South-West Cay, merupakan 'bebatuan' yang tidak memberikan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen."

Namun, China kembali menampik keputusan ini dan mengatakan bahwa Beijing memiliki hak zona ekonomi eksklusif atas di wilayah Spratly.

Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, pun mengatakan bahwa hasil pengadilan ini justru memperburuk tensi dan konfrontasi.


Credit  CNN Indonesia













Pengadilan Arbitrase Tolak Klaim China di Laut China Selatan


Pengadilan Arbitrase Tolak Klaim China di Laut China Selatan Nine-dash line, garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara Asia, menjorok hingga teritori Indonesia di perairan Natuna. (CNN Indonesia/Fajrian)
 
Jakarta, CB -- Hasil keputusan pengadilan arbitrase atas sengketa Laut China Selatan akhirnya dirilis pada Selasa (12/7). Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.

"Tak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak berdasarkan sejarah terhadap sumber daya di wilayah perairan yang termasuk di dalam 'nine-dash line,'" demikian bunyi keputusan pengadilan tersebut seperti dikutip Reuters.

Klaim China ditandai dengan sembilan garis putus-putus, atau nine-dash line, meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.

China kerap menangkap ikan di wilayah yang masuk dalam garis imajiner itu atas dasar historis, meskipun daerah tersebut masuk dalam zona ekonomi eksklusif negara lain.

Dalam siaran pers berisi rangkuman hasil keputusan tersebut, para hakim mengatakan bahwa klaim China atas sumber daya berdasarkan sejarah itu tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut (UNCLOS).

Dilansir Reuters, keputusan ini dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Filipina yang mengajukan tuntutan ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag pada 2013 lalu.

Dalam keputusan setebal 497 halaman tersebut, para hakim juga menyebutkan bahwa patroli aparat penegak hukum di sekitar wilayah sengketa Laut China Selatan juga dapat berisiko kecelakaan dengan kapal penangkap ikan Filipina.

Akibatnya, terjadi kerusakan terhadap terumbu karang. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki dengan konstruksi.

China sebagai pihak yang sejak awal sudah memboikot kasus ini, mengatakan tidak akan mematuhi keputusan pengadilan tersebut.

Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, pun meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang dalam menanggapi keputusan ini.

"Para ahli kami mempelajari keputusan ini dengan hati-hati dan teliti. Kami meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang. Filipina menekankan penghormatan kami terhadap keputusan penting ini," ujar Yasay dalam jumpa pers.



Credit  CNN Indonesia




PCA: China tak miliki hak sejarah atas Laut China Selatan

PCA: China tak miliki hak sejarah atas Laut China Selatan
Peta konflik klaim wilayah antar-negara di Laut Tiongkok Selatan (inquirer.net)
 
Amsterdam/Beijing (CB) - Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) pada Selasa mengeluarkan keputusan bahwa China tak memiliki hak sejarah atas perairan Laut China Selatan dan bahwa negara itu telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan aksi-aksinya yang dilakukannya.

Keputusan itu membuat marah Beijing yang menolak kasus tersebut dan menyebutnya sebuah lelucon, lapor Reuters.

China yang memboikot dengar pendapat di PCA di Den Haag berjanji lagi tidak akan mematuhi keputusan tersebut dan menyatakan angkatan bersenjatanya akan pertahankan kedaulatan dan kepentingan maritimnya.

Kantor berita China Xinhua melaporkan beberapa saat sebelum keputusan itu diumumkan bahwa sebuah pesawat sipil China sukses melakukan pengujian kalibrasi di dua bandar udara baru di Kepulauan Spratly yang disengketakan.

Dan Kementerian Pertahanan China mengumumkan bahwa sebuah kapal penghancur baru yang dilengkapi peluru kendali diresmikan di sebuah pakalan di Provinsi Hainan, pulau di bagian selatan China, yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah LCS.

"Putusan ini merupakan sebuah tamparan hukum yang menghancurkan atas klaim-klaim yurisdiksi China di Laut China Selatan," kata Ian Storey, dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, kepada kantor berita Reuters.

"China akan menanggapi dengan amarah, tentu dengan retorika dan barangkali melalui aksi-aksi agresif di laut."

China mengklaim sebagian besar perairan yang kaya minyak itu. Perdagangan sekitar 5 trilun dolar AS yang diangkut dengan kapal-kapal melintasi perairan tersebut tiap tahun. Tetangga-tetangga China, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam juga merupakan para pihak yang turut mengklaim.

Panel di PCA mengatakan tak ada basis hukum bagi China untuk mengklaim hak sejarah atas sumber daya di dalam apa yang disebut garis putus-putus sebanyak sembilan yang mencakup banyak wilayah LCS.

Dikatakan, China telah mencampuri hak-hak mencari ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal, salah satu dari ratusan pulau karang di laut itu, dan telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan melakukan eksplorasi minyak dan gas dekat Reed Bank, tempat lain di kawasan tersebut.

Tak satu pun dari pulau karang China di Kepulauan Spratly masuk dalam kategori zona ekonomi ekslusif 200 mil, tambahnya.

Kementerian Luar Negeri China menolak dengan tegas keputusan itu, dengan menyatakan rakyatnya telah memiliki sejarah lebih 2.000 tahun di LCS, bahwa pulau-pulaunya mempunyai zona ekonomi eksklusif dan pihaknya telah mengumukan ke dunia peta garis bintik-bintiknya pada tahun 1948.

"Kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim dan kepentingan China di Laut China Selatan tak akan terpengaruh oleh putusan-putusan itu. China menentang dan tak akan pernah menerima setiap klaim atau aksi atas dasar keputusan-keputusan tersebut," katanya.

Namun, kementerian itu juga mengulangi bahwa China menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan navigasi dan terbang dan China siap menyelesaikan perselisihan secara damai melalui pembicaraan dengan negara-negara yang terkait langsung.

Kementerian Pertahanan China menyatakan dalam sebuah pernyataan berbahasa Inggris dan China beberapa saat sebelum keputusan PCA diumumkan bahwa angkatan bersenjata China akan "mempertahankan kedaulatan nasional, keamanan dan kepentingan dan hak-hak maritim, menjunjung tinggi perdamaian dan stabilitas regional, dan siap menghadapi segala bentuk ancaman dan tantangan".

Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan kasus itu telah menjadi lelucon sejak awal hingga akhir dan membuat perselisihan itu ke dalam wilayah bahaya, memperburuk ketegangan dan konfrontasi.

Tetapi Wang dalam komentar yang disiarkan media mengeluarkan suara yang tak memicu konflik, dengan menyatakan bahwa sudah waktunya untuk menempatkan segala sesuatu di lintasan yang tepat dan menggarisbwahi ketulusan pemerintah baru Filipina dalam mangambil langkah-langkah untuk memperlihatkan kesediaan memperbaiki hubungan.

Putusan itu juga menyatakan China telah menyebabkan kerusakan permanen atas ekosistem terumbu karang di Spratlys, tuduhan-tuduhan yang ditolak China.

Panel itu mengakui penolakan China untuk berperan serta, tetapi mengatakan mereka berusaha untuk mempertimbangkan posisi China atas dasar pernyataan-pernyataan dan korespondensi diplomatiknya.

Credit  ANTARA News


Jumat, 01 Juli 2016

Jenderal Badrodin Haiti Pamit di Upacara Hari Bhayangkara

 Jenderal Badrodin Haiti Pamit di Upacara Hari Bhayangkara
Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti melakukan pengecekan pasukan saat upacara hari Bhayangkara ke-70 di lapangan Bhayangkara,Jakarta, 1 Juli 2016. Peringatan tahun ini mengambil tema Memperkuat Soliditas Profesionalisme dan Revolusi Mental. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
 
CB, Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menjadi inspektur upacara peringatan Hari Bhayangkara ke-70 di Lapangan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 1 Juli 2016. Hari Kepolisian Nasional ini diperingati setiap 1 Juli.

"Saya sebagai Kapolri menyampaikan permohonan maaf atas pelayanan dan perlindungan yang tidak optimal atau mengecewakan," kata Badrodin saat memberikan sambutan. Ia mengatakan dirinya juga adalah manusia biasa yang lemah.

"Saya mohon diri dan mohon maaf sebesar-besarnya," kata Badrodin. Badrodin akan pensiun pada akhir Juli, saat usianya memasuki 58 tahun. Komisaris Jenderal Tito Karnavian akan dilantik dalam waktu dekat menggantikan dia.

Selain memberi sambutan, Badrodin menyampaikan pidato Presiden Joko Widodo. Dalam pidato itu, Jokowi meminta Kepolisian RI membangun sistem yang terintegrasi dalam menangani karakter kejahatan yang semakin canggih.

Ia juga meminta polisi tak melakukan praktek pungutan liar dan menjadi mafia kasus. "Intensifkan komunikasi dan jalin kedekatan dengan masyarakat. Perbaiki mutu dan kualitas pelayanan dengan masyarakat," kata Badrodin menyampaikan pesan-pesan Jokowi. Ia berharap para polisi memberikan pelayanan mudah, sederhana, dan prosedur yang jelas.

"Hindari pungutan tidak jelas maupun percaloan," ucap Badrodin. Ia juga berharap polisi memberi pelayanan publik yang baik kepada kelompok rentan, penyandang disabilitas, dan anak-anak.

"Saya berharap Polri mampu menjaga toleransi dan memperkuat persatuan Indonesia," tutur Badrodin. "Saya berharap dengan tangan Polri negara dapat hadir di masyarakat dengan memberikan rasa aman, menjadi teladan kepatuhan hukum, dan tidak melakukan perbuatan tercela."

Menurut Jokowi, tugas polisi tidaklah ringan dan mudah. Namun ia berharap setiap anggota Polri akan mampu profesional dan berintegritas.

"Semoga dapat dijadikan momentum untuk memberi yang terbaik, menuju Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian," ujar Badrodin. "Dirgahayu Kepolisian Negara Republik Indonesia."




Credit  TEMPO.CO





Indonesia Pimpin Sidang PBB soal Perdamaian Israel-Palestina


 Indonesia Pimpin Sidang PBB soal Perdamaian Israel-Palestina
Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani, memimpin pertemuan soal prospek perdamaian Palestina-Israel di Markas PBB Jenewa, Swiss, 30 Juli 2016. Foto: PTRI New York 

CB, Jenewa - Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Dian Triansyah Djani, memimpin sesi pertemuan soal prospek perdamaian Palestina-Israel di Markas PBB Jenewa, Swiss, Kamis, 30 Juni 2016.

Pertemuan yang berlangsung dua hari sejak 29 Juni 2016 itu digelar dalam kerangka United Nations International Conference in Support of Israeli-Palestinian Peace (Konferensi Internasional PBB Dalam Mendukung Perdamaian Israel dan Palestina), yang diselenggarakan United Nations Committee on the Exercise of the Inalienable Rights of the Palestinian People (Komite Palestina).

“Sesi pertemuan ini penting karena mendiskusikan berbagai peluang dan tantangan dalam mendorong perdamaian antara Palestina dan Israel, termasuk berbagai contoh dalam penyelesaian konflik internasional lainnya serta langkah selanjutnya,” kata Dubes Djani dalam rilis yang diterima Tempo, Jumat 1 Juli 2016.

Ditegaskan bahwa konflik Palestina dan Israel, yang berawal dari pendudukan wilayah Palestina oleh Israel, telah berlangsung terlalu lama. “Walaupun tantangannya tidak ringan, dunia internasional harus bersatu dalam mengupayakan perdamaian, dan kreatif mencari berbagai model penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak,” tambah Dubes Djani yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Palestina PBB.

Konferensi Internasional tersebut merupakan salah satu kegiatan Komite Palestina dalam menggalang dukungan internasional terhadap rakyat Palestina, dan dihadiri delegasi negara-negara anggota PBB di Jenewa, wakil pemerintah Palestina, akademisi, LSM, dan media, dari Palestina, Israel, dan negara-negara Timur Tengah.

Pertemuan dihadiri pula oleh sejumlah tokoh-tokoh pelaku perundingan Madrid, Oslo, dan Arab Peace Initiative, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah panjang perundingan damai Palestina dan Israel.

Salah satu isu yang dibahas dalam sesi pertemuan soal Palestina-Israel yang dipimpin Indonesia adalah peran organisasi non-pemerintah (track II) dalam mendukung upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah dan organisasi internasional antar-pemerintah.

 “Semua pihak harus memainkan peran dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel, sesuai kapasitas masing-masing, antara lain melalui penyaluran bantuan kemanusiaan atau pendidikan.

 “Banyak organisasi non-pemerintah kita yang memiliki hubungan baik dengan berbagai kalangan dunia, dan dapat menyebarkan pesan perdamaian antara Palestina dan Israel.” tutur Dubes Djani.

Dubes Djani memandang organisasi non-pemerintah dari Indonesia memiliki kapasitas untuk memainkan peran kunci.

Hal ini juga dapat memperkuat serangkaian kegiatan Pemerintah RI dalam mendukung Palestina, yang momentumnya terus diperkuat melalui Konferensi Luar Biasa OKI mengenai Palestina di Jakarta, Maret 2016, dan partisipasi Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada Paris Conference, di Paris, Juni 2016.


Credit  TEMPO.CO


Rusia Mendadak Pecat Puluhan Perwira Militernya di Baltik


 
Rusia Mendadak Pecat Puluhan Perwira Militernya di Baltik
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Pertahanan Sergey Shoigu. | (Reuters)
 
MOSKOW - Puluhan perwira militer Rusia yang bertugas di Armada Baltik tibat-tiba dipecat. Pemecatan massal perwira militer Rusia ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Rusia modern.

Pemecatan diumumkan oleh Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoigu. Alasannya, belum jelas namun departemen pertahanan Rusia menyebut mereka yang dipecat karena lalai menjalankan tugas.

Komando Armada Baltik menjadi komando penting karena jadi andalan Rusia untuk patroli di wilayah “perseteruan” utama antara Rusia dan Barat.

“Komandan armada; Laksamana Viktor Kravchuk; kepala staf, Laksamana Madya Sergei Popov; dan petugas lainnya dipecat karena melalaikan tugas dan distorsi dari keadaan sesungguhnya,” bunyi pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia, seperti dikutip New York Times, semalam.

“Komandan bertanggung jawab atas kelemahan serius dalam organisasi pelatihan militer dan aktivitas sehari-hari serta kurangnya perawatan yang tepat untuk personel,” lanjut Kementerian Pertahanan Rusia.

Analis militer Valentin Selivanov yang merupakan mantan Wakil Kepala Angkatan Laut Rusia menduga ada kesalahan serius yang dilakukan sehingga terjadi pemecatan massal.

”Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah modern Rusia di mana komandan telah diberhentikan sedemikian rupa,” kata Selivanov. ”Komandan ini telah membuat serangkaian kesalahan yang serius.”

Media Rusia Fontanka.ru melansir laporan terkait dugaan kesalahan serius yang dilakukan komandan Armada Baltik Rusia sehingga terjadi pemecatan massal. Salah satunya, insiden pada bulan April, ketika sebuah kapal selam Rusia rusak parah dan hampir tenggelam setelah bertabrakan dengan sebuah kapal perang Polandia.

Media yang berbasis di St. Petersburg ini menyebut sekitar 50 petugas dipecat.



Credit  Sindonews



Putin: Rusia Tak Tertarik Tanggapi Perlombaan Senjata NATO

 
Putin Rusia Tak Tertarik Tanggapi Perlombaan Senjata NATO
Presiden Vladimir Putin menyatakan Rusia siap bereaksi atas penumpukan militer NATO | (Istimewa)
 
MOSKOW - Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan, Rusia akan menanggapi penumpukan militer NATO di dekat perbatasannya. Tetapi, Rusia tidak akan menceburkan diri ke dalam sebuah perlombaan senjata.

Putin mengatakan, NATO menggarisbawahi bantuan anti Rusia dengan mengerahkan pasukan di Polandia dan Baltik, serta membangun situs pertahanan rudal, seperti dikutip dari New York Times, Kamis (30/6/2016).

Di hadapan diplomat Rusia, Putin mengatakan, tindakan NATO merusak paritas militer. Ia mengatakan, Rusia akan mempertahankan diri tanpa memasuki kancah perlombaan senjata yang mahal.

Rusia telah berulangkali mengungkapkan keberatannya atas keberadaan perisai rudal NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Moskow menilai, keberadaan perisai rudal mengancam kedaulatan Rusia.

Rusia menolak jika keberadaan perisai rudal tersebut dikatakan untuk menangkis ancaman dari Iran. Putin mengatakan, AS sedang mengembangkan pertahanan rudal, meskipun perjanjian rudal tahun lalu antara Iran dan kekuatan dunia telah ditandatangani.




Credit  Sindonews


Rusia Kerahkan 2.000 Alat Tempur Baru untuk Lawan NATO

 
Rusia Kerahkan 2 000 Alat Tempur Baru untuk Lawan NATO
Sistem rudal pertahanan S-300, salah satu unit tempur andalan Rusia. | (Reuters)
 
MOSKOW - Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoigu, mengatakan bahwa lebih dari 2.000 unit alat tempur baru dan modern akan dikerahkan di distrik militer barat Rusia tahun ini. Langkah itu dilakukan untuk melawan NATO yang telah menumpuk kekuatan militer di depan “pintu” Rusia.

Shoigu telah bersumpah mengambil tindakan pembalasan atas langkah penumpukan militer NATO secara besar-besaran di perbatasan Rusia di Eropa Timur.

“AS dan anggota NATO lainnya terus membangun potensi militer mereka, pertama dan terutama di negara-negara tetangga Rusia,” kata Shoigu dalam sebuah pernyataan yang dirilis Departemen Pertahanan Rusia.

“Lebih dari 2.000 unit alat baru dan modern akan dikerahkan di distrik militer barat Rusia tahun ini,” lanjut pernyataan Shoigu, seperti dikutip AFP, Kamis (30/6/2016).

 

Menhan Rusia menyebut bahwa saat ini NATO dan Amerika Serikat (AS) telah mengerahkan sekitar 1.200 buah peralatan militer, termasuk 30 jet tempur, serta lebih dari 1.000 tentara di wilayah negara-negara Eropa Timur secara rotasi.

”Kapal-kapal Angkatan Laut AS serta kapal militer dari anggota NATO lainnya secara teratur memasuki Baltik dan Laut Hitam,” lanjut Shoigu.

Dia menambahkan bahwa NATO juga terus memodernisasi dan meningkatkan berbagai fasilitas militer di Polandia, Rumania, Bulgaria dan Baltik untuk membawa negara-negara itu ke standar NATO.

Menurut Shoigu, penyebaran sistem pertahanan anti-rudal (ABM) AS di Eropa Timur merupakan sumber perhatian khusus bagi militer Rusia.

”Pada tanggal 12 Mei, sistem anti-rudal Aegis di kompleks pertahanan darat mulai beroperasi di Rumania,” ujarnya. Dengan sistem itu, kompleks pertahanan darat Rumania dapat digunakan untuk meluncurkan rudal Tomahawk. AS juga bersiap membangun sistem serupa di Polandia.






Credit  Sindonews




Tjahjo: Pangkalan Militer Akan Ubah Wajah Indonesia di 2017

 
Tjahjo: Pangkalan Militer Akan Ubah Wajah Indonesia di 2017 Pangkalan militer di Natuna mulai dibangun. Kawasan di barat daya Kalimantan itu jadi basis pertahanan RI di tepi wilayah sengketa Laut China Selatan. (ANTARA/M Risyal Hidayat)
 
Jakarta, CB -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, pembangunan pangkalan militer di Natuna penting untuk menjaga sumber daya alam di kawasan itu. Tak cuma di Natuna, pangkalan militer akan dibangun di wilayah-wilayah lain yang berada di garis terluar perbatasan Indonesia.

“Targetnya, mudah-mudahan (pembangunan pangkalan militer) 2017 sudah selesai. Wajah Indonesia nanti akan berubah total,” kata Tjahjo di Kantor Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Jakarta, Kamis (30/6).

Natuna sebagai salah satu wilayah yang bakal berubah wajah, belakangan menjadi titik panas setelah Indonesia dan China terlibat tiga kali insiden di perairannya. China menyebut perairan Natuna yang berdasarkan laut internasional merupakan zona eksklusif Indonesia, sebagai zona perikanan tradisionalnya.

“Natuna punya potensi jual pariwisata yang tinggi. Harus ada pasukan, radar canggih, satu skuadron pesawat, kapal selam, dan armada-armada pendukung seperti tank di sana,” kata Tjahjo.

Tahun ini pembangunan pangkalan militer di Natuna mulai berjalan. Daerah di barat daya Kalimantan ini akan menjadi basis pertahanan Republik Indonesia di tepi wilayah sengketa Laut China Selatan.

“Natuna kebetulan berbatasan dengan beberapa negara, maka dikembangkan radar monitoring di situ,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kantor Presiden, Jakarta, sehari sebelumnya.

Sebagai rangkaian dari pembangunan pangkalan militer itu, landasan pacu di Natuna akan diperbaiki dan dikembangkan hingga bisa didarati pesawat berbadan besar.

“Untuk menjaga kedaulatan Natuna sebagai pulau terdepan RI, saya perintahkan TNI khususnya Angkatan Laut dan Bakamla (Badan Keamanan Laut) meningkatkan patroli penjagaan di kawasan itu,” kata Presiden Jokowi.

Jokowi juga menginstruksikan pengembangan industri perikanan. Berdasarkan laporan yang ia terima, hasil laut Natuna baru 8,9 persen dari potensi yang dimiliki. Oleh sebab itu pemerintah akan membangun gudang penyimpanan ikan awal Agustus di Natuna.

Potensi minyak-gas di Natuna juga jadi perhatian. Dari 16 blok migas di Natuna, hanya lima yang berproduksi, sedangkan tujuh blok dalam tahap eksplorasi dan empat blok sisanya dalam proses terminasi.

“Ini perlu didorong lagi, dipercepat sehingga mendatangkan manfaat bagi kita,” kata Jokowi.

Selain itu, Presiden memerintahkan perbaikan dan pembangunan infrastruktur di Natuna untuk mempercepat akses masyarakat dan meningkatkan konektivitas mereka.

Soal pangkalan militer, selain di Natuna, Saumlaki di Tanimbar Maluku Tenggara Barat dan Morotai di Halmahera Maluku yang berbatasan dengan Australia dan Papua Nugini, juga akan memilikinya.

“Semua wilayah perbatasan akan diperkuat,” kata Tjahjo.

Terlebih, daerah-daerah perbatasan selama ini marak dengan kasus penyelundupan, mulai rokok, narkotik, sampai manusia.

Kasus penyelundupan narkotik dan barang ilegal yang tinggi di perbatasan, menurut Sekretaris BNPP Triyono Budi Sasonko, merupakan tantangan terbesar lembaganya.

Ia mencontohkan perbatasan Kalimantan Utara yang rawan penyelundupan narkotik. “Kaltara itu meski provinsi baru, ancaman narkobanya nomor dua setelah DKI Jakarta.”

Perkuat peran BNPP

Untuk menunjang pengamanan di perbatasan, pemerintah akan memperkuat peran Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan. Petugas BNPP nantinya lebih banyak turun ke lapangan untuk memonitor. Mereka juga akan merancang perencanaan dan menyusun anggaran terkait fasilitas infrastruktur yang masih kurang dan mesti diperbaiki.

“Kami akan membangun gapura-gapura perbatasan, kantor-kantor imigrasi, bea cukai dan sebagainya. Mudah-mudahan 2017 selesai, sehingga 2018 tinggal melengkapi jika perlu dibangun terminal, rumah sakit, pasar tradisional, dan lain-lain,” ucap Tjahjo selaku pengarah sekaligus anggota BNPP.

Sejak 2015, BNPP telah membangun pelabuhan, jalan, bandara dan menara base transceiver station (BTS) di 187 kecamatan di perbatasan. Pada 2017, Tjahjo yakin pembangunan infrastruktur akan rampung.

“Pada 2017, satuan-satuan TNI harus sudah siap semua. Radar siap, pasukan siap, asrama siap,” kata Tjahjo.

Meski mengakui pemangkasan anggaran untuk kementerian dan lembaga menghambat pembangunan infrastrukur dan fasilitas penunjang di daerah perbatasan, Tjahjo optimistis Kementerian Keuangan akan meningkatkan anggaran untuk BNPP.

“Pada 2015, anggaran kami hampir Rp14 triliun. Tahun 2016 Rp9,2 triliun. Pada 2017 kami minta Rp17 triliun. Namun kami tak mau egois, ikut apa perintah Presiden. Sekarang dipotong, siapa tahu tahun depan naik,” ujar Tjahjo.




Credit  CNN Indonesia





Nelayan, Pasukan Garda Depan China di Laut China Selatan

 
Nelayan, Pasukan Garda Depan China di Laut China Selatan  
Indonesia kini hendak menggunakan pola China: tangkap ikan di Laut Natuna, maka terbukti perairan tersebut berada di bawah kuasa dan kendali Indonesia. (REUTERS/Tim Wimborne)
 
Jakarta, CB -- Nelayan-nelayan China berperan penting sebagai perpanjangan tangan pemerintah Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan. Berlayar menyebar cukup jauh dari negaranya, mereka menebar jala di perairan-perairan yang disebut China sebagai zona perikanan tradisionalnya.

Zona perikanan tradisional yang diklaim China itu kerap lebih dekat dengan negara-negara Asia Tenggara ketimbang China sendiri, termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna yang amat jauh dari China. Perairan di barat daya Kalimantan tersebut jadi titik panas hubungan kedua negara beberapa bulan belakangan.

Staf Ahli Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Laksda Surya Wiranto, meyakini kehadiran kapal-kapal China di Natuna bukan sekadar soal menangkap ikan. Pun penangkapan ikan tanpa izin di ZEE Indonesia melanggar hukum laut internasional, yakni United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982.

“Itu bagian dari upaya state practice untuk menunjukkan kepada dunia positive occupation China terhadap wilayah maritim di Laut China Selatan. Tiongkok berupaya melakukan ekspansi ke wilayah berdaulat Indonesia. Jadi jika dibiarkan, status quo, dan Indonesia diam, China akan mengokupasi (menguasai) perairan Natuna,” kata Surya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).

Kecurigaan Surya itu persis dengan yang pernah dikemukakan Zhang Hongzhou, pakar di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura. Menurutnya, seperti dikutip dari The Washington Post, Selasa (12/4), nelayan-nelayan digunakan pemerintah China untuk misi politik.

“Nelayan-nelayan dan kapal mereka menjadi alat penting otoritas China untuk memperluas kehadiran mereka, serta memperkuat klaim China atas perairan yang dipersengketakan. Nelayan berperan kian penting, berada di garis depan sengketa Laut China Selatan, dan karenanya insiden perikanan bisa memicu ketegangan diplomatik lebih besar di antara China dan negara-negara kawasan itu,” kata Zhang.

Armada nelayan China yang bergentayangan hingga mendekati pantai negara-negara tetangganya, membuat Negeri Tirai Bambu lebih sering terlibat konflik. Insiden di Natuna yang membuat berang Indonesia misalnya, terjadi hanya beberapa mil laut dari garis pantai Natuna, namun berjarak 900 mil laut dari Hainan –wilayah paling selatan China.

 
Nine-dashed line, peta yang dibuat China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan. Perairan Natuna di Indonesia yang bahkan berjarak 900 mil laut dari China, ikut dimasukkan dalam peta itu, memicu ketegangan antara kedua negara. (CNN Indonesia/Fajrian)
Krisis meletup rutin di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya yang dimasukkan China ke dalam peta nine-dashed line buatannya, serta disebut sebagai zona perairan tradisionalnya. Tak tanggung-tanggung, China mengklaim 90 persen wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya.

Selain dengan Indonesia, ketegangan juga berkobar antara China dengan Malaysia dan Vietnam. Nelayan-nelayan China yang mengembara jauh kerap dikawal oleh kapal penjaga pantai negaranya. Ini termasuk salah satu hal yang dikeluhkan Indonesia pasca-insiden terakhirnya dengan China di Natuna pada 17 Juni, saat kapal Han Tan Cou ditangkap TNI Angkatan Laut karena menurunkan jaring di ZEE Indonesia.

“Kapal ikan China berbeda dengan negara lain karena di-back up sama coast guard-nya. Kapal Vietnam misal tidak ada yang dikawal, dan kalau diperiksa tidak melawan karena sadar salah (telah mengambil ikan di ZEE Indonesia). Kapal China tidak begitu,” kata Asisten Operasi Panglima Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat, Kolonel Laut I Gusti Kompiang Aribawa.

Tak pelak, China dituding sedang bersiasat untuk mengukuhkan dominasinya di Laut China Selatan, termasuk dengan berekspansi atau memperluas wilayah maritimnya.

Sebelum insiden ketiga dengan Indonesia pada 17 Juni, China juga punya perkara nyaris serupa dengan Malaysia. Kantor berita Malaysia, Bernama, melaporkan 100 kapal China terdeteksi melanggar wilayah perairan Malaysia di Laut China Selatan pada 25 Maret, di titik yang berjarak kurang dari 100 mil laut dari Serawak di utara Kalimantan, dan 800 mil laut dari Hainan.

Seperti di perairan Natuna, kapal-kapal ikan di perairan Malaysia itu dikawal oleh kapal penjaga pantai China. Soal kapal penjaga pantai China itu, Indonesia melalui Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Muda A Taufiq R, menyatakan curiga kapal penjaga itu merupakan perpanjangan tangan resmi pemerintah China.

Enam hari sebelumnya, 19 Maret, China baru terlibat insiden –yang kedua– dengan Indonesia. Kala itu Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan RI yang hendak menangkap kapal Kway Fey yang diduga mencuri ikan, diintervensi kapal penjaga pantai China dengan menabrak Kway Fey.

Kecurigaan terhadap China memuncak karena awal Maret itu, Vietnam menangkap kapal China yang disebut memasok bahan bakar untuk kapal-kapal nelayan China di perairan Vietnam.

Tangkap ikan, kuasai laut

The Washington Post yang menemui seorang nelayan China di pelabuhan perikanan Tanmen, selatan Hainan, melaporkan betapa sisi ekonomi dan politik dari misi Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan saling berkelindan.

“Itu air kami. Tapi jika kami tidak menangkap ikan di sana, bagaimana kami bisa mengklaim itu wilayah kami?” kata Chen Yuguo, kapten kapal nelayan berusia 50 tahun yang baru kembali dari pelayarannya ke Kepulauan Spratly, salah satu wilayah sengketa di Laut China Selatan.

Hasil tangkapan ikan di Spratly, kata Chen, jauh lebih baik ketimbang di perairan lepas pantai China. Kapal Chen dilengkapi sistem navigasi satelit canggih yang menurutnya disediakan oleh pemerintah China.

Sistem navigasi satelit yang diberikan cuma-cuma untuk sekitar 50 ribu kapal itu membuat nelayan-nelayan China yang mengalami kesulitan di laut, dapat dengan segera mengirim sinyal darurat ke kapal penjaga pantai China. Sinyal itu menunjukkan lokasi persis keberadaan mereka.

Pemerintah China memang murah hati kepada melayan-nelayan mereka. Selain menyediakan sistem navigasi satelit, subsidi bahan bakar minyak diberikan. Pun subsidi untuk membuat kapal pukat baja dengan ukuran lebih besar.

Nelayan-nelayan di Hainan bahkan berkata, kala ketegangan di Laut China Selatan sedang meningkat, pemerintah sering mengirim mereka berlayar ke Spratly dengan pengawasan kapal penjaga pantai China.

“Ketika negara membutuhkan kami, kami akan pergi tanpa berpikir dua kali untuk membela hak-hak kami,” ujar Chen.

Alan Dupont, profesor keamanan internasional di University of New South Wales, Sydney, Australia, menyebut strategi China di Laut China Selatan itu terbagi dalam empat tahap: menangkap (ikan), melindungi (kapal nelayan), menguasai (wilayah), dan mengendalikan (wilayah yang telah dikuasai).

Strategi tersebut belakangan membuat Indonesia, yang sesungguhnya netral dan tak memiliki klaim sengketa di Laut China Selatan, gerah karena ZEE-nya di Natuna ikut diklaim China. Indonesia dan China pun berbalas melayangkan nota protes.

Untuk mencegah upaya ekspansi China lebih dalam ke perairan Natuna, Indonesia segera membangun “benteng.” Pangkalan militer akan dibangun di Natuna sebagai salah satu basis pertahanan terluar negeri itu.

Industri minyak-gas dan perikanan di Natuna pun bakal dibangun besar-besaran. Pemerintah RI bahkan berencana mengirim nelayan-nelayan di pantai utara Jawa ke Natuna untuk memancing di perairan kaya ikan itu.

Guna mematahkan klaim China atas perairan Natuna, Indonesia kini menggunakan pola China: menangkap ikan di Laut Natuna akan jadi bukti bahwa perairan itu berada di bawah kuasa dan kendali Indonesia.


Credit  CNN Indonesia






PM Kamboja copot Jenderal karena menolak ditilang Polantas

 
Phnom Penh (CB) - Perdana Menteri Kamboja Samdech Techo Hun Sen pada Kamis mencopot jabatan Letnan Jenderal Mam Srim Vanna karena menghina seorang polisi lalu lintas (polantas) dan menolak ditilang oleh polisi tersebut.

Namun pada hari yang sama, Hun Sen kemudian mengembalikan Mam Srim Vanna ke jabatannya semula, yaitu wakil direktur jenderal Departemen Imigrasi.

Hun Sen pada Kamis pagi sudah menandatangani perintah untuk mencopot Vanna dari posisinya setelah pejabat tersebut menghina seorang polisi lalu lintas ketika keduanya berdebat soal pelanggaran hukum.

"Untuk memberikan kesempatan kepada pejabat tersebut (Letjen Vanna, red), yang telah melayani negara dengan penuh pengabdian dan telah mengakui kesalahannya, saya memutuskan untuk membatalkan perintah yang saya tandatangani pagi ini menyangkut kasus Jenderal Mam Srim Vanna," kata perdana menteri di laman Facebooknya.

Jabatan Letjen Vanna dikembalikan lagi setelah ia pada Kamis bertemu dengan polisi lalu lintas yang dihinanya dan menyampaikan permohonan maaf kepada petugas kepolisian tersebut.

Vanna terlibat argumentasi dengan sang polantas ketika ia melanggar lampu merah saat menyetir mobil di Phnom Penh pada Senin dan menolak ditilang oleh polisi tersebut, demikian menurut cuplikan video yang diunggah di media sosial.

Sang jenderal menghina dengan menyebut polantas tersebut sebagai "Polisi lalu lintas Ar". Ar adalah kata hinaan untuk menyebut anak-anak atau anak muda.

Hun Sen menegaskan bahwa pemakaian kata itu tidak hanya menghina bawahan tapi juga berarti memandang rendah keseluruhan unit polisi lalu lintas. Demikian Xinhua.


Credit  ANTARA News




Singapura segera putuskan pembelian helikopter militer satu miliar dolar

 
Singapura segera putuskan pembelian helikopter militer satu miliar dolar
Bendera Singapura (istimewa)
 
Singapura (CB) - Singapura segera memutuskan pembelian sejumlah helikopter militer baru dengan perkiraan anggaran satu miliar dolar AS, setelah penundaan akibat kecelakaan pesawat sipil oleh salah satu perusahaan penawar, kata Menteri Pertahanan Ng Eng Hen, Kamis.

Negara kota kecil itu mempunyai anggaran militer terbesar di Asia Tenggara pada saat China meningkatkan tindakan angkuh dalam sengketa di Laut China Selatan, sehingga negara di kawasan tersebut meningkatkan belanja pertahanan.

Singapura membekukan rencana untuk mengganti 32 helikopter super puma yang sudah menua setelah pada 29 April terjadi kecelakaan pesawat sipil super puma dari Airbus, sementara jenis militer pesawat itu adalah helikopter terdepan yang akan memenangkan pembelian.

Negara kota itu merupakan nasabah incaran, ketika diketahui bakal mengumumkan rencana akhir pembelian pada paruh pertama tahun ini, setelah mempelajarinya selama 18 bulan.

"Kami sedang melakukan tahap akhir evaluasi untuk penggantian," kata Ng kepada wartawan, "Kami akan segera mengumumkannya."

Namun, menteri itu tidak memberikan ancer-ancer waktunya.

Persaingan untuk memenangkan kontrak terjadi antara helikopter Airbus dan perusahaan Italia Leonardo Finmeccanica.

Itu ujian penting pertama untuk memulihkan kepercayaan diri setelah kecelakaan menewaskan 13 warga Norwegia.

"Manakala ada perkembangan, komite evaluasi akan melihatnya," kata Ng, "Anda tidak bisa mengabaikannya dan itu bisa terjadi pada semua program."

Armada jet tempur F15 dan F16 Singapura yang ada saat ini sudah memenuhi kebutuhan, kata Ng, meskipun para ahli mengharapkan negara itu untuk memesan jenis pesawat tempur penyerang gabungan, Lockheed F-35 pada akhir dasawarsa ini.

"Kami menyaksikannya, tetapi tidak terburu-buru, dan belum ada kepastian waktu yang kita perlukan untuk suatu penilaian," kata Ng.

Negara kecil itu juga mempelajari helikopter pengangkat taktis untuk menggantikan jenis Chinooks dari Boeing.

Singapura dapat meningkatkan kemampuan pertahanan udara selain pembelian helikopter dengan memperluas pangkalan udara di Tengah dan Changi menjadi "pangkalan udara pintar" yang berpotensi disiapkan untuk meluncurkan pesawat udara dan memulihkannya dengan sistem otomatis.

Dua kapal selam baru jenis 218SG produksi dari perusahaan Jerman ThyssenKrupp akan melengkapi armada negeri itu pada 2020.

Untuk perlindungan dari serangan teror, Singapura akan membentuk satu Pasukan Tentara Penyebar terlatih dengan kekuatan setara satu batalyon militer yang dapat menanggapi keadaan dalam hitungan menit.

Ng mengatakan, adalah tidak menguntungkan bahwa para pemuka negara ASEAN mencabut pernyataan bersama mengenai wilayah sengketa di Laut China Selatan, dimana Singapura bukan negara yang mengajukan pengakuan atas wilayah tersebut, dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri pada Juni.

"Kami berharap bahwa masalah itu akan segera membaik, tetapi semua masih seperti itu," katanya.



Credit  ANTARA News






China sudah lama tidak jelas soal klaim Laut China Selatan


China sudah lama tidak jelas soal klaim Laut China Selatan
Peta konflik klaim wilayah antar-negara di Laut Tiongkok Selatan. (inquirer.net)
Jakarta (CB) - Pakar hukum laut internasional Hasyim Djalal mengingatkan bahwa klaim yang tidak jelas dari Republik Rakyat China terkait dengan persoalan Laut China Selatan sudah lama terjadi.

"Sesungguhnya isu 9 dash line (garis putus-putus di Laut China Selatan yang diklaim China) sudah lama muncul. Yang pertama muncul tahun 1947, tapi tidak jelas maksudnya apa," kata Hasyim Djalal dalam diskusi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal di Jakarta, Kamis.

Semenjak itu, ujar Hasyim Djalal, sudah banyak peristiwa berkembang dan salah satu insiden yang terbesar adalah konflik antara China dan Vietnam pada tahun 1988, sehingga puluhan serdadu Vietnam menjadi korban.

Dia juga mengingatkan bahwa setelah diberlakukan Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982, China juga menggunakan prinsip negara-negara kepulauan dengan menggunakan gugus-gugus kepulauan Paracel yang direbut China dari Vietnam pada tahun 1974.

"Tahun 1974 China mengambil Paracel dari Vietnam Selatan, tetapi karena saat itu Vietnam Utara melawan Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat (AS), tidak kedengaran reaksi yang keras dari Vietnam Utara," paparnya.

Dia mengemukakan, pada tahun 1994 pihak Indonesia sudah mengirimkan nota diplomatik untuk menanyakan apa yang diklaim China di Laut China Selatan, dan di mana saja koordinatnya.

Namun terhadap nota diplomatik tersebut ternyata tidak ada jawaban dari pemerintahan China.

Hasyim mengungkapkan bahwa saat Menlu Ali Alatas pada tahun 1995 ke China, dijawab bahwa Indonesia tidak perlu khawatir karena lautan Natuna telah diakui merupakan milik Republik Indonesia.



Credit  ANTARA News






China tak berhak atas "traditonal fishing ground" di ZEE Indonesia

 
China tak berhak atas
Presiden Tinjau KRI Imam Bonjol Presiden Joko Widodo meninjau KRI Imam Bonjol 383 usai memimpin rapat rapat terbatas tentang Natuna di atas kapal perang tersebut saat berlayar di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (23/6/2016). (ANTARA FOTO/Setpres-Krishadiyanto) 
 
Jakarta (CB) - Traditional fishing ground yang diklaim China di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah hal yang tidak benar, kata pakar hukum laut internasional Profesor Hasyim Djalal.

"Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional. Di dalam ZEEI tidak ada traditional fishing ground China," kata Hasyim Djalal dalam diskusi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal di Jakarta, Kamis.

Hasyim Djalal juga mengingatkan bahwa dalam Konvensi PBB tentang hukum laut tidak muncul istilah "traditional fishing ground", namun yang ada adalah "traditional fishing rights".

Masih sesuai dalam konvensi hukum laut, ujar dia, "traditional fishing rights" juga harus dirumuskan dengan negara terkait yang memiliki zona ekonomi sehingga memiliki kedaulatan akan sumber daya di sana.

"Makanya konvensi hukum laut mengatur hak-hak atas zona ekonomi itu," katanya.

Sementara itu, pengajar hukum internasional Fakultas Hukum UI Prof Melda Kamil Ariadno mengingatkan Indonesia adalah negara yang perbatasannya sangat terbuka dan dapat dimasuki dari mana saja sehingga sangat rentan dilanggar oleh kapal-kapal asing.

Apalagi, ujar Melda Kamil, ditengarai penegakan hukum di kawasan perairan masih lemah dan tidak terintegrasi sehingga ada daerah yang tidak bisa diawasi secara terus menerus sehingga wajar bila pemerintah membentuk Satgas 115 Anti-IUUF.

Melda mengapresiasi kinerja penegak hukum selama ini yang telah memberantas kapal ikan asing serta diberikan efek jera dengan ditenggelamkannya sejumlah kapal ikan asing, tetapi langkah-langkah ini juga masih belum cukup dan harus terus dioptimalkan ke depannya.

Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya ada kejelasan di seluruh wilayah perairan Indonesia mengenai siapa yang bisa melakuan penegakan hukum terhadap pihak yang melanggar sehingga SOP-nya juga harus lebih jelas.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan Tiongkok bahwa perairan Natuna termasuk dalam wilayah penangkapan ikan tradisional mereka adalah klaim yang tidak berdasar.

"Dari sejak awal ketika insiden pertama terjadi, saat muncul kalimat traditional fishing ground (wilayah penangkapan ikan tradisional), yang kita perlukan adalah dasar yang dijadikan pertimbangan atas klaim tersebut," kata Menlu Retno usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (20/6).

Pernyataan tersebut disampaikan Menlu RI tersebut untuk menanggapi pernyataan juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok yang menyatakan kapal Tiongkok berhak menangkap ikan di perairan Natuna karena termasuk wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.

Pada Sabtu (18/6), jubir Kemlu Tiongkok menyampaikan protes melalui laman resmi mereka yang kemudian dimuat di media Tiongkok dan internasional, atas penangkapan satu kapal dan tujuh ABK Tiongkok oleh TNI AL karena melakukan penangkapan ikan ilegal di Natuna pada Jumat (17/6) lalu.

Penangkapan kapal ikan Tiongkok di wilayah ZEE pada 17 Juni tersebut merupakan kejadian yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya TNI AL menangkap kapal dan ABK Tiongkok di perairan Natuna pada Maret dan Mei 2016.

"Apabila nanti terulang lagi, sikap yang sama akan dilakukan oleh Indonesia karena ini adalah sikap yang kita lakukan di ZEE kita dan sesuai dengan hukum internasional," kata Menlu.*



Credit  ANTARA News




Tiongkok tidak akan akui putusan sengketa Laut China Selatan


 
Tiongkok tidak akan akui putusan sengketa Laut China Selatan
Kapal-kapal nelayan China di Kepulauan Spratly, yang juga diklaim oleh Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei. (AFP)
 
Beijing (CB) - Tiongkok menyatakan tidak akan mengakui putusan yang akan dikeluarkan Mahkamah Arbitrase Internasional pada 12 Juli mengenai tuntutan Filipina setelah Tiongkok meningkatkan program pembangunan lapangan udara dan fasilitas militer di Kepulauan Spratly di Laut China Selatan, yang kepemilikannya diklaim oleh enam negara.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hong Lei dalam pernyataan tertulis yang diterima Antara di Beijing, Kamis, menegaskan bahwa tindakan Filipina mengajukan persoalan Laut China Selatan ke pengadilan arbitrase internasional "ilegal dan tidak berdasar sama sekali."

"Proses persidangan yang didasarkan pada tindakan yang tidak legal menghasilkan keputusan yang juga tidak memiliki legalitas secara internasional. Dan karenanya Tiongkok tidak akan mengakui, karena Tiongkok tidak berpartisipasi dalam hal tersebut," katanya.

Hong Lei menegaskan Arbitrase Internasional tidak memiliki yurisdiksi terhadap sengketa di Laut China Selatan antara Tiongkok dengan negara-negara lain yang bersengketa di wilayah perairan tersebut.

"Jadi, secara legal keputusan tersebut tidak mengikat dan Tiongkok tidak akan pernah menerima serta melaksanakan keputusan yang nanti akan dihasilkan," tuturnya.

Pengadilan arbitrase internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag di laman resminya menyatakan keputusan kasus sengketa itu akan disampaikan pada 12 Juli 2016 dan bahwa keputusan majelis pertama akan dikirim lewat surel ke kedua pihak terkait.

Tiongkok menggerakkan mesin diplomasinya untuk mencari "dukungan" sejumlah negara tentang sikap dan posisinya di Laut China Selatan dan mengklaim telah mendapat dukungan dari 40 negara.




Credit  ANTARA News