Kamis, 31 Januari 2019

Utusan Khusus Putin Temui Netanyahu Bahas Situasi Suriah


Utusan Khusus Putin Temui Netanyahu Bahas Situasi Suriah
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan bertemu dengan utusan khusus Presiden Rusia Vladimir Putin untuk urusan Suriah, Alexander Lavrentiev. Foto/Reuters

TEL AVIV - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan bertemu dengan utusan khusus Presiden Rusia Vladimir Putin untuk urusan Suriah, Alexander Lavrentiev. Keduanya bertemu di Kantor Perdana Menteri di Yerusalem.

Kementerian Luar Negeri Israel dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Xinhua pada Rabu (30/1), mengatakan bahwa pertemuan keduanya difokuskan pada keterlibatan Rusia dan Israel dalam situasi di Suriah.

"Di antara masalah yang dibahas adalah Iran dan situasi di Suriah. Keduanya membahas bagaimana memperkuat mekanisme koordinasi keamanan antara militer untuk mencegah gesekan di lapangan," bunyi pernyataan kemlu Israel.

Dalam pernyataannya, kemlu Israel menuturkan pertemuan itu juga turut dihadiri oleh Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Vershinin dan Penasihat Keamanan Nasional Israel, Meir Ben-Shabbat.

Pertemuan antara Netanyahu dan Lavrentiev sendiri terjadi setelah adanya kesepakatan yang dicapai awal Januari antara militer Israel dan Rusia untuk melanjutkan koordinasi aksi militer mereka di Suriah. 




Credit  sindonews.com



Pasukan Keamanan Sudan Tangkap Putri Pemimpin Oposisi


Presiden Sudan Omar al-Bashir
Presiden Sudan Omar al-Bashir
Foto: Reuters
Gelombang protes meluas di Sudan yang menuntut Presiden Bashir mundur.




CB, KHARTOUM -- Pasukan keamanan menahan putri pemimpin oposisi Sudan, Sadiq al-Mahdi pada Rabu (31/1). Sementara aksi-aksi unjuk rasa anti-pemerintah meluas ke universitas utama di ibu kota Sudan.

Dua kendaraan keamanan tiba di rumah Mariam Sadiq al-Mahdi di Khartoum pada Rabu pagi dan membawa dia, kata saudara perempuannya Rabah kepada Reuters. Penahanan itu terjadi sehari setelah kepala keamanan Sudan memerintahkan pembebasan puluhan pengunjuk rasa yang ditahan.

Sejauh ini tidak ada komentar segera dari pemerintah.

Mariam adalah wakil kepala Partai Umma yang beroposisi. Partai itu dipimpin oleh ayahnya, yang merupakan perdana menteri terpilih secara demokratis terakhir dan digulingkan oleh Presiden Sudan Omar al-Bashir dalam kudeta pada 1989.

Ia telah mendukung gelombang protes yang telah mengguncang seluruh Sudan sejak 19 Desember. Para demonstran, yang frustrasi karena kekurangan roti dan bahan bakar serta kesulitan ekonomi, menyerukan diakhirinya pemerintahan Bashir yang sudah berlangsung selama tiga dekade.

Kelompok-kelompok HAM menyatakan sedikitnya 45 orang tewas tapi pemerintah menyebutkan 30 orang. Sekitar 250 profesor dari Universitas Khartoum berunjuk rasa di kampus pada Rabu, menuntut pemerintahan transisi baru untuk menggantikan pemerintahan saat ini.

Sekitar 510 profesor menandatangani memo yang menyerukan pembentukan suatu "badan berdaulat" untuk membentuk pemerintahan baru dan mengawasi periode transisi empat-tahun. Universitas itu mendidik banyak politisi terkemuka Sudan dan telah menjadi tempat protes-protes dan kerusuhan sepanjang sejarah negeri itu.

"Peran Universitas Khartoum sebagai institusi akademik ialah menemukan solusi-solusi bagi peralihan damai kekuasaan," kata Montasser al-Tayeb, salah seorang guru besar, kepada wartawan.

Sadiq al-Mahdi kembali ke Sudan bulan lalu dari tempat pengasingannnya selama hampir setahun dan menyerukan transisi demokratis di hadapan ribuan pendukungnya. Ia digulingkan oleh aliansi Islamis dan para panglima militer, dipimpin Bashir, yang masih membentuk inti dari Partai Kongres Nasional yang berkuasa.




Credit  republika.co.id




OHCHR: Indonesia Izinkan Komisaris HAM PBB Masuk Papua Barat



Prajurit TNI mengangkat peti jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang tiba di Landasan Udara Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (7/12). Sebanyak 16  jenazah korban penembakan KKB di Nduga dipulangkan dan  diserahterimakan kepada pihak keluarga.
Prajurit TNI mengangkat peti jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang tiba di Landasan Udara Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (7/12). Sebanyak 16 jenazah korban penembakan KKB di Nduga dipulangkan dan diserahterimakan kepada pihak keluarga.
Foto: Abriawan Abhe/Antara

Ada petisi kemerdekaan Papua yang diserahkan untuk Bachelet.




CB, JAKARTA -- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengatakan, Indonesia sudah mengizinkan tim mereka untuk masuk ke Papua Barat. Tim dari OHCHR ini akan melakukan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.

Kepala OHCHR Michelle Bachelet mengatakan, saat ini ia sedang berkomunikasi dengan pihak berwenang Indonesia dalam isu Papua Barat dan situasi hak asasi manusia yang berlaku di sana. Ia juga sudah mendapat izin akses ke Papua Barat.

"Pada prinsipnya Indonesia sudah setuju untuk memberi izin OHCHR akses ke Papua dan kami sedang menunggu konfirmasi persiapannya," kata juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasandi, seperti dilansir dari the Guardian, Rabu (30/1).

Sejak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan 17 pekerja pembangunan di Nduga, Indonesia melancarkan aktivitas militer di Papua Barat. Kepada media internasional OPM mengaku 17 orang tersebut adalah anggota militer.



Shamdasani sebelumnya mengatakan pembunuhan pekerja di Nduga sebagai kekerasan yang tidak dapat diterima. Tapi pemerintah Indonesia juga tidak menjelaskan alasan mengapa konflik tersebut dapat terjadi.
Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda menyerahkan satu petisi dengan 1,8 juta tanda tangan yang menuntut referendum kemerdekaan kepada Bachelet pada Jumat (25/1) lalu. Benny mengatakan ia harap PBB akan mengirimkan misi pencari fakta ke provinsi itu untuk membuktikan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.

“Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan rakyat saya, saya menyerahkan apa yang saya sebut tulang-belulang dari rakyat Papua Barat, karena begitu banyak orang yang telah dibunuh,” kata Benny. 

Ia mengatakan, warga Papua Barat tidak memiliki kebebasan berbicara atau berkumpul dan satu-satunya cara untuk bisa didengar adalah melalui petisi, ditandatangani oleh hampir tiga perempat dari 2,5 juta populasi. “Beratnya 40 kg. Seperti buku paling besar di dunia,” tambah Benny.

Ia mengaku juga berbicara kepada Bachelet tentang situasi di wilayah Nduga. Benny menyebut setidaknya 11 orang telah terbunuh dan banyak lainnya tewas setelah kabur ke semak-semak untuk melarikan diri dari pasukan Indonesia. Ia mengklaim 22 ribu orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal.

Pada September 2017 lalu Benny sudah menyerahkan petisi ke Komite Dekolonisasi PBB. Tapi petisi itu ditolak. Komite Dekolonisasi PBB mengatakan Papua Barat diluar mandat mereka.

Pada saat itu Ketua Komite Rafael Ramirez mengatakan mandat komite yang ia pimpinnya hanya 17 negara yang diidentifikasi PBB sebagai 'wilayah tidak memerintah diri mereka sendiri'. Papua Barat sudah dihapus dari daftar itu sejak diambil alih Indonesia pada tahun 1963.

Petisi yang serahkan Benny termasuk permintaan agar PBB menginvestigasi kekerasan yang dilakukan militer Indonesia di Nduga. Termasuk tuduhan yang mengatakan militer Indonesia menggunakan senjata kimia untuk menyerang warga sipil.

Pemerintah Indonesia dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Billy Wibisono, Sekretaris I untuk urusan politik di kedutaan Indonesia di Canberra, mengatakan tuduhan itu tidak berdasar, menyesatkan dan berita yang salah'.

“Separatis bersenjata di Papua telah melakukan kejahatan mengerikan termasuk pembunuhan penduduk sipil yang tidak bersalah,” tulis Billy ke Saturday Paper, surat kabar Australia yang menerbitkan tuduhan Benny itu.

Billy menulis sebagai anggota yang patuh dari Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia, Indonesia tidak memiliki senjata kimia seperti yang terdaftar dalam bagan 1 dari Konvensi Senjata Kimia. Sementara senjata kimia bagan 2 dan bagan 3 secara tegas digunakan untuk tujuan damai.

"Seperti yang telah dikonfirmasi oleh inspeksi 19 OPCW sejak 2004. Karena itu, tidak ada aparat Indonesia yang pernah memiliki atau menggunakan senjata kimia apapun," tambahnya.

Sampai saat ini konflik senjata masih terus terus terjadi. Hari Senin, militer Indonesia mengatakan kelompok separatis melancarkan tembakan ke arah pesawat yang membawa anggota TNI dan pejabat setempat, dan menewaskan seorang tentara.

Kapendam XVII/Cendrawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi, menyebutkan, serangan yang dilakukan oleh kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) bukan dilakukan kepada pesawat rombongan Bupati Kabupaten Nduga, Yarius Gwijangge, dan logistik bantuan sosial. Serangan dilakukan terhadap pasukan pengamanan yang berjaga di Bandara Mapenduma, Papua.


"Bukan ke pesawat. Jadi pesawatnya belum mendarat, yang ditembak itu pasukan pengamanan yang ada di situ. Tapi yang jelas mereka (KKSB) tahu kalau ada pesawat mau mendarat di sana," ungkap Aidi.



Credit  republika.co.id




RI Berencana Undang Tim PBB ke Papua Paruh Pertama 2019


RI Berencana Undang Tim PBB ke Papua Paruh Pertama 2019
Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa, Swiss, Hasan Kleib. (CNN Indonesia/Natalia Santi)



Jakarta, CB -- Pemerintah Indonesia berencana mewujudkan janjinya mengundang tim Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Papua pada paruh pertama 2019. Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa, Hasan Kleib, mengatakan pihaknya saat ini terus mengkoordinasikan jadwal kunjungan.

"Saat ini sedang dikoordinasikan jadwal kunjungan pada paruh pertama 2019. Pada Oktober lalu, ketika saya melakukan pertemuan bilateral dengan Komisioner Tinggi HAM PBB yang baru, Michelle Bachelet, dibahas juga rencana dan jadwal kunjungan tersebut," ucap Hasan melalui pesan instan kepada CNNIndonesia.com pada Rabu (30/1).

Indonesia memang mengundang PBB untuk melawat Papua. Undangan itu disampaikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo saat Komisioner Tinggi HAM PBB sebelumnya, Zeid Raad Al Hussein, berkunjung ke Istana Kepresidenan pada Februari 2018.


Kendati begitu, sejak saat itu pemerintah Indonesia belum menerbitkan izin karena prosesnya tak kunjung rampung. Kantor Zeid sempat mempertanyakan undangan tersebut dan menunggu pemerintah RI memberikan akses masuk ke Papua.


Menanggapi hal itu, Hasan membantah pemerintah batal mengundang tim KT HAM PBB ke Papua. Dia beralasan jadwal kunjungan menjadi salah satu alasan undangan tersebut sampai saat ini belum juga terealisasikan.

Dia bahkan menganggap kantor KT HAM PBB di Bangkok, Thailand, sebagai perwakilan untuk kawasan Asia Pasifik, kurang berkoordinasi dengan markas pusat di Jenewa.

"Tahun lalu, saya pernah mengeluarkan pernyataan di sidang Dewan HAM PBB ketika Zeid menyebut Indonesia belum berikan akses (ke Papua). Yang terjadi adalah bahwa kantor KTHAM di Bangkok kurang koordinasi dan beberapa kali fait accompli jadwal kunjungan yang disampaikan 1-2 hari sebelumnya tanpa terlebih dahulu koordinasi dengan kita," kata Hasan.

"Jadi, undangan sudah disampaikan dan tidak bisa dikatakan KTHAM masih menunggu undangan pemerintah."

Pernyataan itu diutarakan Hasan menanggapi pernyataan penerus Zeid, Bachelet, yang mengatakan masih menunggu pemerintah Indonesia untuk memberikan akses ke Papua. Bachelet menyatakan bertemu pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, pada Jumat (25/1) pekan lalu.


Benny berhasil bertemu Bachelet lantaran berada dalam rombongan Vanuatu, yang tengah melakukan kunjungan kehormatan ke kantor KT HAM PBB untuk membahas laporan penegakan HAM tahunan (Universal Periodic Review/UPR) negara pulau di Pasifik tersebut.

Dalam pertemuan tersebut, Benny menyerahkan petisi referendum kemerdekaan Papua Barat yang diklaim sudah ditandatangani oleh 1,8 juta orang.

Hasan mengatakan Vanuatu memasukkan Beny ke dalam delegasinya tanpa sepengetahuan KT HAM PBB. Menurutnya, nama Benny Wenda tidak masuk dalam daftar resmi delegasi Vanuatu untuk UPR.

"Indonesia mengecam keras tindakan Vanuatu yang dengan sengaja telah mengelabui KTHAM dengan melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu," kata Hasan.


"Tindakan Vanuatu tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji dan sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental Piagam PBB. Indonesia tidak akan pernah mundur untuk membela dan mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI," ujar Hasan.




Credit  cnnindonesia.com




Protes Petisi Papua Barat, Dubes RI Temui KT HAM PBB


Protes Petisi Papua Barat, Dubes RI Temui KT HAM PBB
Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa, Hasan Kleib menyatakan kecewa terhadap Komisi Tinggi HAM karena menerima pemimpin ULMWP, Benny Wenda. (CNN Indonesia/Natalia Santi)



Jakarta, CB -- Pemerintah Indonesia menyatakan kecewa terhadap Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dianggap lalai, lantaran menerima pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda. Benny disebut menyusup dalam delegasi Vanuatu kemudian menyerahkan petisi referendum, yang diklaim diteken 1,8 juta penduduk Papua Barat, dalam sebuah pertemuan di Jenewa pada pekan lalu.

"Kami sudah langsung menyampaikan deeply regrets kepada KT HAM yang lalai dalam menerima delegasi Vanuatu," ucap Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa, Hasan Kleib, kepada CNNIndonesia.com melalui pesan instan pada Rabu (30/1).

Hasan menyatakan KT HAM PBB juga 'terkejut' saat mengetahui Benny hadir bersama delegasi Vanuatu dalam pertemuan yang seharusnya membahas laporan penegakan HAM tahunan (Universal Periodic Review/UPR) negara itu di Dewan HAM PBB.


"Karena memang selama ini lazimnya kantor KT HAM PBB tidak memeriksa (screening) setiap delegasi negara anggota yang akan courtesy call ke KT HAM. PBB," paparnya.



Hasan mengatakan dia juga berencana menemui Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, siang hari ini waktu Jenewa untuk meminta penjelasan KT HAM PBB terkait keberadaan Benny dalam delegasi resmi Vanuatu.

Hasan meminta KT HAM lebih teliti lagi dalam menerima delegasi asing ke kantornya tersebut, terutama delegasi Vanuatu.

"Kami hanya ingin mendengar langsung penjelasan KT HAM terkait adanya penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi resmi Vanuatu, sekalian meminta kehati-hatian dalam komunikasi KT HAM dengan Vanuatu di masa yang akan datang," ujar Hasan.

Pernyataan itu diutarakan Hasan menanggapi Vanuatu yang kedapatan 'menyelundupkan' Benny untuk bertemu Bachelet saat melakukan kunjungan kehormatan ke kantor KT HAM pada Jumat (25/1).

Dalam pertemuan tersebut, Benny menyerahkan petisi referendum kemerdekaan Papua Barat yang diklaim sudah ditandatangani oleh 1,8 juta orang.

Hasan mengatakan Vanuatu memasukkan Beny ke dalam delegasinya tanpa sepengetahuan KT HAM PBB. Menurutnya, nama Benny Wenda tidak masuk dalam daftar resmi delegasi Vanuatu untuk UPR.



Menurut Hasan, tindakan Vanuatu yang membawa Benny Wenda yang dianggap sebagai kelompok separatis sangat tidak terpuji. Dia menganggap hal itu sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental Piagam PBB.

"Indonesia tidak akan pernah mundur untuk membela dan mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI," ujar Hasan.





Credit  cnnindonesia.com





Indonesia tak Mau Campuri Urusan Kedaulatan Venezuela


Ikustrasi krisis Venezuela.
Ikustrasi krisis Venezuela.
Foto: Reuters
Indonesia meminta semua pihak agar dapat menahan diri.




CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia prihatin atas krisis politik yang tengah dihadapi Venezuela. Indonesia berharap Venezuela dapat melaksanakan proses politik yang demokratis dan kredibel.

“Indonesia dalam hal ini, dengan sangat menghargai kedaulatan dan tanpa adanya niat untuk mencampuri urusan dalam negeri Venezuela, mengharapkan agar proses politik yang demokratis, transparan, dan kredibel, dapat diambil segera terkait situasi yang dihadapi Venezuela saat ini,” kata Pejabat Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Caracas Restu Fajar Anggriawan kepada Republika.co.id, Rabu (30/1).

Indonesia meminta semua pihak agar dapat menahan diri dan tidak mengambil tindakan yang dapat memperburuk situasi. Menurut Restu, belum ada imbauan resmi yang dikeluarkan Pemerintah Venezuela maupun kubu oposisi untuk kedutaan-kedutaan besar di negara tersebut.

“Namun seperti yang kita tahu, saat ini ada dua kubu, yakni pemerintah dan oposisi yang sedang berkonflik, sehingga KBRI Caracas tentunya akan bertindak sebaik-baiknya dan akan terus melaporkan situasi serta perkembangan yang terjadi di Venezuela,” kata Restu.



Dia mengatakan, saat ini situasi di Venezuela, khususnya di Caracas, sudah cukup kondusif. Belum ada gelombang demonstrasi lanjutan seperti pekan lalu. “Tidak ada lagi demo lanjutan, demo hanya terjadi satu hari (pada 23 Januari), dan selesai pada hari tersebut,” ucapnya.
Saat ratusan ribu warga Venezuela menggelar demonstrasi pekan lalu, KBRI Caracas telah mengimbau warga negara Indonesia (WNI) di sana untuk meningkatkan kewaspadaan dan tidak mengenakan pakaian atau aksesoris mencolok yang dapat mengundang tindak kejahatan.


Mereka pun diharapkan terus menjalin komunikasi dengan KBRI Caracas. “Kami juga menyampaikan agar WNI menghindari daerah-daerah konsentrasi massa atau tempat-tempat yang menjadi wilayah demonstrasi,” ujar Restu.

Terdapat 48 WNI di Venezuela. “Sampai saat ini, sejauh pengetahuan kami, semua (WNI) dalam kondisi baik,” kata Restu.

Krisis politik di Venezuela terjadi setelah ratusan ribu warga di sana berdemonstrasi menuntut Presiden Nicolas Maduro mundur dari jabatannya. Majelis Nasional Venezuela kemudian menyatakan bahwa pemerintahan Maduro tidak sah.

Juan Guaido selaku pemimpin oposisi dan Majelis Nasional kemudian memproklamirkan diri sebagai presiden sementara negara tersebut. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS), Israel, dan Australia telah menyatakan dukungannya terhadap kepemimpinan Guaido. Sementara Rusia dan Cina mengecam intervensi pihak asing dalam krisis politik yang sedang berlangsung di sana. 





Credit  republika.co.id





Pesawat Rusia Disebut Bawa 20 Ton Emas Keluar dari Venezuela


Pasukan Garda Nasional Bolivarian Venezuela menduduki Bolivar Avenue di mana pemerintah mengatakan sebuah drone yang dipersenjatai dengan bahan peledak diledakkan di dekat Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Venezuela, Sabtu, 4 Agustus 2018.[AP Photo / Fernando Llano]
Pasukan Garda Nasional Bolivarian Venezuela menduduki Bolivar Avenue di mana pemerintah mengatakan sebuah drone yang dipersenjatai dengan bahan peledak diledakkan di dekat Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Venezuela, Sabtu, 4 Agustus 2018.[AP Photo / Fernando Llano]

CB, Jakarta - Pesawat Boeing 777 Nordwind Airlines milik Rusia dikabarkan terbang meninggalkan Venezuela dengan membawa sekitar 20 ton emas dengan taksiran harga sekitar US$ 840 juta. Tidak diketahui tujuan akhir pesawat itu.
Menurut laporan Fox news, Rabu, 30 Januari 2019, pesawat Rusia mendarat di bandara internasional Simon Bolivar pada hari Senin dan meninggalkan bandara keesokan harinya dengan membawa 20 persen dari emas yang dimliki negara itu.


Seorang anggota parlemen Venezeula yang diketahui bernama Jose Guerra menulis di akun Twitter tentang kedatangan pesawat Rusia tersebut.Media Venezuela, Noticias Venezuela mengunggah foto pesawat Nordwind Airlines yang terbang dari Moskow ke Caracas hanya dengan membawa dua kru pesawat.
Reuters melaporkan, adanya spekuliasi bahwa pesawat jet itu diparkirkan di tempat khusus pesawat pribadi di satu sudut bandara. Pesawat itu juga baru pertama kali terbang ke Venezuela.


Sejumlah rumor pun muncul mengenai pesawat yang berpenumpang 277 kursi tiba di Karakas. Ada yang menyebut pesawat itu membawa tentara bayaran. Namun tidak ada bukti soal itu.Menteri Keuangan Venezuela, Simon Zerpa, menolak berkomentar tentang emas yang dibawa pesawat Rusia itu. Ia juga membantah ada pesawat Rusia mendaparat di bandara internasional Simon Bolivar.
"Saya akan mulai membawa pesawat-pesawat Rusia dan Turki setiap pekan sehingga semua orang ketakutan," kata Zerpa melawak.


Adapun pihak maskapai Nordwind Airlines  belum menjawab pertanyaan wartawan tentang kedatangan pesawat Rusia itu ke Caracas. Rusia merupakan sekutu dekat Nicolas Maduro. 



Credit  tempo.co



Rusia Diam-diam Tawarkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ke Korut


Rusia Diam-diam Tawarkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ke Korut
Rusia diam-diam menawarkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir kepada Korut di tengah buntunya pembicaraan denuklirisasi dengan AS. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Para pejabat Rusia diam-diam menawarkan Korea Utara (Korut) pembangkit listrik tenaga nuklir untuk mengganggu negosiasi antara Washington dan Pyongyang yang buntu. Demikian laporan The Washington Post.

Para pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada surat kabar itu tawaran tersebut sebagai imbalan bagi Korut karena telah membongkar seluruh persenjataan dan fasilitas nuklirnya. Langkah ini dinilai akan memungkinkan Rusia untuk mengoperasikan fasilitas nuklir di semenanjung Korea.

"Rusia sangat oportunistik ketika datang ke Korea Utara, dan ini bukan pertama kalinya mereka mengejar saham energi di Korea," Victor Cha, mantan staf Gedung Putih mengatakan kepada The Washington Post yang dinukil Anadolu, Kamis (31/1/2019).



Kesepakatan itu menguraikan bahwa Rusia akan mengendalikan dan mengoperasikan pabrik, dan juga mengembalikan semua produk sampingan dan limbah ke Moskow, yang akan mengurangi risiko digunakan Pyongyang untuk mengembangkan senjata nuklir.

The Washington Post mencatat masih belum jelas bagaimana Presiden AS Donald Trump akan bereaksi terhadap kesepakatan seperti itu. Pasalnya, Trump mempunyai pendekatan yang tidak konvensional dalam berurusan dengan Rusia.

Setelah tertunda selama berbulan-bulan dalam negosiasi, pertemuan puncak kedua antara Trump dan pemimpin Korut Kim Jong Un akhirnya diumumkan akan dilakukan pada akhir Februari.

"Waktu akan memberi tahu apa yang akan terjadi dengan Korea Utara, tetapi pada akhir pemerintahan sebelumnya, hubungan itu menghebohkan dan hal-hal yang sangat buruk akan terjadi. Sekarang cerita yang sama sekali berbeda," kata Trump di Twitter. 


"Aku tak sabar untuk bertemu Kim Jong-un segera. Kemajuan yang membuat-perbedaan besar!" imbuhnya.

Namun, penilaian intelijen AS yang dirilis Selasa membantah pandangan Trump tentang negosiasi, mengatakan bahwa Korut tidak mungkin menyerahkan sepenuhnya senjata nuklir dan kemampuan produksinya.




Credit  sindonews.com





Erekat: rakyat Palestina perlu perlindungan internasional sampai pendudukan Israel berakhir


Erekat: rakyat Palestina perlu perlindungan internasional sampai pendudukan Israel berakhir
Salah seorang pimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat. (MENA)


Ramallah, Palestina (CB) - Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengatakan rakyat Palestina memerlukan perlindungan internasional sampai pendudukan Israel berakhir.

Pernyaaan itu ia keluarkan saat bereaksi terhadap keputusan Israel untuk tidak memperpanjang mandat Kehadiran Sementara Internasional di Hebron (TIPH).

"Kami menyeru Perserikatan Bangsa-bangsa agar menjamin keselamatan dan perlindungan rakyat Palestina, bukan hanya memastikan TIPH tetap hadir di Al-Khalil (Hebron) tapi juga menggelar kehadiran internasional yang permanen di Wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Al-Quds (Jerusalem) Timur, sampai berakhirnya pendudukan Israel --yang senang berperang," kata Erekat di dalam satu pernyataan pada Selasa (29/1).

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin mengumumkan bahwa Israel takkan memperpanjang mandat TIPH, yang telah beroperasi di kota bagian selatan Tepi Barat tersebut sejak 1994.

Pemerintah Otonomi Palestina memperpanjang mandat TIPH pekan lalu.

TIPH, yang terdiri atas 64 pengamat internasional dari lima negara Eropa dan dipimpin oleh Norwegia, dibentuk berdasarkan pengesahan Resolusi 904 Dewan Keamanan PBB.

Resolusi itu berisi pernyataan rasa terkejut dan pengutukan Dewan Keamanan terhadap pembantaian mengerikan yang terjadi pada 1994, selama Shalat Subuh pada pagi hari Ramadhan di Masjid Al-Ibrahim di Al-Khalil.

Perbuatan jahat itu dilakukan oleh seorang pemimpin gerakan teroris pemukim Yahudi, yang, bersama peristiwa yang terjadi sesudahnya, telah merenggut 50 nyawa warga sipil Palestina. Beberapa ratus orang lagi cedera.

Di antara tindakan lain, resolusi itu juga menyeru penguasa pendudukan, Israel, agar menyita senjata para pemukim Yahudi guna mencegah mereka melakukan kejahatan lain terhadap rakyat Palestina, demikian dilaporkan Kantor Berita Palestina, WAFA --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu. Permukiman Yahudi telah sering dikutuk sebagai tidak sah oleh DK PBB dan Majelis Umum PBB dan sebagai kejahatan perang berdasarkan Rome Statute.

Tapi setakat ini, kata Erekat, "Israel tak pernah menghormati hukum atau keinginan masyarakat internasional. Baru kemarin, Benjamin Netanyahu sekali lagi mengkonfirmasi kepada gerakan pemukim Yahudi bahwa bahkan instalasi kolonial Israel --yang dipandang tidak sah berdasarkan Hukum Israel-- takkan dipindahkan dan bahwa seluruh tanah Palestina, yang bersejarah, disiapkan untuk Negara Israel."

Ia menambahkan, "Keputusan paling akhir Israel untuk tidak memperbarui mandat TIPH, yang telah ada sejak 1997, adalah langkah tambahan ke arah pembatalan semua kesepakatan yang ditandatangani oleh Israel, termasuk Kesepakatan Sementara Oslo. Itu memperkuat kegiatan kolonial Israel dan merupakan salah satu langkah lebih lanjut ke arah pencaplokan `de jure` daerah lain di Negara Palestina yang Diduduki. Itu merupakan bukti lebih lanjut bahwa Israel adalah negara keji yang membenci keabsahan internasional dan menempatkan dirinya di atas dan di luar tatanan masyarakat internasional. Dengan dukungan pemerintah AS saat ini, Israel terus menghasut terhadap dan melanggar hak asasi nasional yang mendasar dan kebebasan rakyat Palestina serta merendahkan dan menghina setiap orang yang menyatukan bangsa di dunia kita, PBB."




Credit  antaranews.com




Palestina Minta PBB Kerahkan Pasukan Permanen di Yerusalem


Palestina Minta PBB Kerahkan Pasukan Permanen di Yerusalem
Pemerintah Palestina meminta PBB untuk mengerahkan pasukan internasional permanen di Tepi Barat dan juga Yerusalem Timur. Foto/Istimewa

RAMALLAH - Pemerintah Palestina meminta PBB untuk mengerahkan pasukan internasional permanen di Tepi Barat dan juga Yerusalem Timur. Permintaan itu datang setelah Israel mengatakan mereka menangguhkan operasi pengamat di kota Hebron.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Saeb Erekat mengatakan, kehadiran pasukan internasional PBB di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sangat penting untuk memastikan keamanan warga Palestina di daerah itu.

"PBB harus menjamin keselamatan dan perlindungan rakyat Palestina sampai akhir masa pendudukan Israel," kata Erekat dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Arabiya pada Rabu (30/1).

Awal pekan ini, Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan tidak akan memperpanjang mandat Kehadiran Internasional Sementara di Hebron atau TIPH, dengan mengatakan Tel Aviv tidak akan membiarkan kelanjutan pasukan internasional yang bertindak melawan Israel.

TIPH telah mengerahkan pengamat sipil tak bersenjata sejak 1997. Ratusan pemukim Yahudi garis keras yang dijaga oleh tentara tinggal di jantung kota Hebron, di mana di wilayah itu juga terdapat lebih dari 200 ribu warga Palestina.







Credit  sindonews.com




Gadis Palestina Ditembak Mati Tentara Israel



Demonstran Palestina melambaikan bendera di hadapan tentara Israel.
Demonstran Palestina melambaikan bendera di hadapan tentara Israel.
Foto: AP Photo/Adel Hana
BSM Palestina menyebut Israel mencegah petugas medis memberi pertolongan pertama.



CB, YERUSALEM -- Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan, pasukan Israel menembak mati seorang gadis Palestina berusia 16 tahun di Tepi Barat pada Rabu (30/1) waktu setempat.


Dalam sebuah pernyataan, kementerian mengatakan gadis itu syahid oleh tentara Israel di pos pemeriksaan Zayem di timur laut Yerusalem.

Polisi Israel mengatakan, gadis itu terpaksa ditembak mati setelah dia berusaha menikam petugas keamanan di pos pemeriksaan dekat Yerusalem. Tidak ada cedera yang dilaporkan di antara tentara Israel.

Sementara itu, Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan, pasukan Israel mencegah petugas medis dari memberikan bantuan pertolongan pertama kepada gadis itu, sehingga menyebabkan dia tewas.

"Di pos pemeriksaan keamanan di Zaaim, seorang tersangka perempuan berusaha menikam penjaga keamanan yang sedang berpatroli di daerah itu," kata juru bicara kepolisian Israel Micky Rosenfeld dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Middle East Eye, Rabu.


"Polisi hingga kini tengah menyelidiki dari mana perempuan itu berasal dan peningkatan keamanan berlanjut di daerah ini," tambah Rosenfeld.



Seorang fotografer AFP di tempat kejadian mengatakan, gadis itu mengenakan pakaian berwarna hitam dengan wajah tertutup. Tubuhnya kemudian dibawa pergi oleh pasukan Israel.

Seperti diketahui, pos pemeriksaan Zaaim memisahkan Yerusalem yang diambil alih wilayahnya dari Tepi Barat yang diduduki. Menurut PBB, pasukan Israel membunuh 36 warga Palestina di Tepi Barat pada tahun 2018.

Laman The Times of Israel Rabu (30/1) mengatakan, para pejabat keamanan Israel banyak mendapat serangan dari warga Palestina, terutama wanbita. Hal itu diduga didorong oleh masalah pribadi dan domestik, lebih dari pertimbangan ideologis.

Beberapa pekan terakhir juga terjadi sejumlah serangan oleh Palestina terhadap pasukan keamanan Israel di Tepi Barat. Semisal, Senin malam lalu, seorang pria Palestina berusaha menikam pasukan Israel di dekat kota Nablus di Tepi Barat utara, tetapi ditembak mati.


Pada 11 Januari, seorang lelaki Palestina juga mencoba menikam pasukan Israel di kota Hebron, Tepi Barat, tetapi dia tertembak dan terluka parah oleh para prajurit terlebih dahulu.




Credit  republika.co.id





Polisi Israel larang perempuan Palestina masuk ke Masjid Al-Aqsha

Polisi Israel larang perempuan Palestina masuk ke Masjid Al-Aqsha
Seorang polisi Israel berargumen dengan seorang perempuan Palestina diluar Kota Tua Yerusalem di Gerbang Damaskus, Minggu (13/5/2018). (REUTERS/Ammar Awad)




Al-Quds (CB) - Polisi Israel memerintahkan seorang perempuan Palestina dari dalam wilayah Israel untuk menjauhi Masjid Al-Aqsha selama 15 hari.

Sebabnya ialah perempuan Palestina tersebut melawan polisi Israel ketika anggota pasukan kepolisian melanggar tempat suci ketiga umat Muslim itu, setelah mereka memasuki bangunan masjid, kata koresponden Kantor Berita Palestina, WAFA --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu.

Polisi menahan Muntaha Imara, seorang warga Desa Zulfa, di pos polisi Gerbang Jaffa di Al-Quds (Jerusalem) selama beberapa jam pada Senin (28/1) setelah polisi mengejar perempuan itu ke dalam kompleks Masjid Al-Aqsha saat ia melawan keberadaan provokatif polisi Israel di tempat suci umat Muslim tersebut.

Muntaha Imara dibebaskan pada Senin malam setelah polisi memerintahkan dia untuk tidak berada di Masjid Al-Aqsha selama 15 hari.

Polisi Israel juga memperingatkan beberapa bus yang membawa jamaah dari dalam wilayah Israel menuju Masjid Al-Aqsha agar tidak memberi Muntaha tumpangan, atau bus mereka akan disita.

Itu bukan untuk pertama kali Muntaha Imara ditahan oleh polisi dan diperintahkan untuk menjauhi Masjid Al-Aqsha.

Dalam peristiwa terpisah, pasukan keamanan Israel memberi tahu seorang warga Palestina di Kota Kecil Yatta, bagian selatan Al-Khalil (Hebron), di Tepi Barat Sungai Jordan --yang diduduki, agar menghentikan pekerjaan pembuatan sumur untuk menampung air hujan di tanah miliknya sendiri, kata seorang pegiat lokal.

Koordinator komite rakyat di Yatta, Rateb Al-Jabbour, mengatakan kepada Kantor Berita WAFA bahwa pasukan Israel menyerahkan kepada Fareed Al-Jabbour instruksi penghentian pembuatan sumur penampung air hujan di tanah miliknya pribadi.

Pegiat itu mengutuk tindakan pemerintah Israel di daerah tersebut, yang ia katakan dilakukan sebagai langkah awal untuk mengambil alih tanah orang Palestina di bagian selatan Al-Khalil untuk kepentingan perluasan permukiman Yahudi.




Credit  antaranews.com




Raja Spanyol Kunjungi Baghdad


Raja Spanyol, Felipe VI
Raja Spanyol, Felipe VI
Foto: ABC News
Ini merupakan kunjungan pertama Raja Spanyol dalam waktu 40 tahun.




CB,  BAGHDAD -- Raja Spanyol Felipe VI melakukan kunjungan resmi pertamanya ke ibu kota Irak, Baghdad pada Rabu (30/1).  Ini merupakan kunjungan pertama kali Raja Spanyol dalam waktu 40 tahun sebagai negara anggota koalisi internasional kelompok ISIS.

Sumber Kementerian Luar Negeri yang meminta anonim dikutip Anadolu Agency mengatakan, kedatangan Raja disambut dalam sebuah upacara resmi.  Presiden Irak Barham Salih menerima langsung Raja Felipe.


Sekitar 425 personel militer Spanyol saat ini bertugas di koalisi yang dipimpin AS. Koalisi itu dibentuk pada 2014 untuk melawan kelompok teroris ISIS. Kontingen Spanyol dilaporkan telah ditugaskan secara eksklusif untuk melatih personel militer Irak dan tidak terlibat dalam operasi tempur.



Ketika koalisi dibentuk pada 2014, Madrid awalnya hanya mengirim 30 personel militer untuk melayani dengan aliansi. Namun, dalam lebih dari empat tahun sejak itu, kontribusi Spanyol meningkat secara bertahap.
Pada akhir 2017, para pejabat di Baghdad menyatakan bahwa kehadiran militer ISIS di Irak telah hancur setelah perang tiga tahun antara kelompok teroris dan tentara Irak yang didukung koalisi.


Namun demikian, Baghdad terus melakukan operasi terhadap keberadaan kelompok itu yang masih ada di bagian-bagian tertentu negara itu.

Raja Felipe adalah salah satu dari pemimpin yang mengunjungi Baghdad sejak awal tahun ini, termasuk Presiden AS Donald Trump. .Baghdad juga menjadi tuan rumah bagi para diplomat utama dua sekutu utamanya, Washington dan Teheran. 





Credit  republika.co.id




Jeman Sebut Tidak Punya Legitimasi, Maduro Tolak Pemilu Ulang



Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, menggelar acara lari bersama tentara loyalis pada 27 Januari 2019. Reuters
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, menggelar acara lari bersama tentara loyalis pada 27 Januari 2019. Reuters

CBBerlin – Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mengatakan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, tidak memiliki legitmasi demokrasi sebagai pemimpin.

 
Maas mendesak Maduro segera menggelar pemilu yang terbuka dan adil secepatnya.


“Agar jelas, Nicolas Maduro tidak memiliki legitimasi demokrasi. Dia bukan seorang Presiden Venezuela yang terpilih secara demokratis,” kata Maas dalam penjelasan kepada parlemen Jerman menyusul pernyataan pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, yang menobatkan dirinya sebagai Presiden interim pada pekan lalu seperti dilansir Reuters pada Rabu, 30 Januari 2019.

 
Maas mengatakan rakyat Venezuela berjuang untuk hidup setiap hari karena kondisi ekonomi yang buruk.
“Nicolas Maduro menginjak demokrasi, HAM, dan penegakan hukum,” kata Maas di Bundestag, yang merupakan gedung parlemen Jerman.
Maas menjelaskan keprihatinan pemerintahan Jerman mengenai kondisi di Venezuela yaitu runtuhnya sistem jaminan kesehatan, hiperinflasi, kelangkaan pangan, pembunuhan serta penangkapan para pengunjuk rasa, dan sekitar 3 juta warga melarikan diri ke negara tetangga karena kesulitan ekonomi.

 
Krisis politik di Venezuela semakin dalam dengan pencekalan Juan Guaido dan pembekuan rekening banknya oleh Jaksa Agung Venezuela.
Pada saat sama Maduro menggungah video di akun Facebook menuding Amerika Serikat sebagai kekaisaran yang mencoba menguasai cadangan minyak negara itu. Venezuela, seperti dilansir Reuters, memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Dan AS merupakan pembeli terbesar minyak Venezuela selama ini di atas Cina dan India.

Juan Guaido.[REUTERS/Carlos Garcia Rawlins]
Sedangkan Presiden AS, Donald Trump mengeluarkan pernyataan kepada rakyatnya agar tidak berpergian ke Venezuela. Dia juga menyatakan dukungan kepada perjuangan rakyat Venezuela untuk meraih kembali demokrasi dan kebebasan.


 
Soal pernyataan Menlu Maas ini, anggota parlemen Jerman dari Partai Sosial Demokrat Niels Annen, menyatakan dukungannya.
“Pengalaman kami melakukan pembicaraan dengan Presiden Maduro seluruhnya negatif,” kata Annen kepada media DW. “Uni Eropa mencoba melakukan dialog selama bertahun-tahun.”
Juru bicara Partai Demokrasi Merdeka, Alexander Graf Lambsdorff, mengatakan Guaido memiliki legitimasi lebih baik dibandingkan Maduro. “Jadi tekanan agar Maduro terus bergerak merupakan strategi yang tepat,” kata dia.

 
Wakil dari Partai Hijau, Jurgen Trittin, juga mendukung sikap pemerintah Jerman soal perlunya pemilu yang demokratis. Namun, Trittin meminta pemerintah Jerman tidak mendukung kekuatan negara luar yang mencoba membangun hubungan kolonial dengan Venezuela. Ini seperti AS pada satu sisi dan Cina serta Rusia di sisi lain.
Namun, sikap pemerintah Jerman ini mendapat kritik dari Partai Kiri yang berhaluan sosialis seperti Maduro di Venezuela. “Ultimatum satu sisi dan ilegal dari beberapa negara Uni Eropa termasuk Jerman telah berkontribusi membuat masalah bertambah buruk,” kata dia.




Credit  tempo.co







Via Telepon, Trump Tegaskan Dukungannya untuk Guaido


Via Telepon, Trump Tegaskan Dukungannya untuk Guaido
Presiden AS Donald Trump menegaskan dukungannya untuk tokoh oposisi Venezuela, Juan Guaido. Foto/Ilustrasi/Istimewa

WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menegaskan kembali dukungannya kepada tokoh oposisi Venezuela yang memproklamirkan dirinya sebagai presiden Juan Guaido. Penegasan ini seiring desakan Washington memaksa Presiden Nicolas Maduro untuk lengser dari kekuasaan.

Gedung Putih mengatakan Trump dan Juan Guaido sepakat untuk mempertahankan komunikasi setelah pemerintah Venezuela membuka penyelidikan yang dapat mengarah pada penangkapan ketua Majelis Nasional, sebutan untuk parlemen Venezuela, itu.

Langkah yang diambil pemerintah Venezuela termasuk pencekalan dan pembekuan aset. Ini sebagai balasan atas sanksi minyak yang diberlakukan oleh AS minggu ini. 



Dalam pembicaraan telepon itu, Trump dan Guaido mengintensifkan perjuangan untuk mengendalikan Venezuela, negara OPEC yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia.

"Presiden AS berbicara kepada Guaido untuk memberi selamat kepadanya atas asumsi bersejarah kepresidenannya dan untuk memperkuat dukungan kuat Presiden Trump terhadap perjuangan Venezuela untuk mendapatkan kembali demokrasinya," kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders seperti dikutip dari Reuters, Kamis (31/1/2019).

Dikatakan oleh Sanders, Guaido berterima kasih kepada Trump atas komitmen AS terhadap kebebasan dan kemakmuran di Venezuela serta kawasan dan mencatat pentingnya protes yang direncanakan di seluruh negara itu terhadap Maduro pada hari Rabu dan Sabtu.

"Mereka sepakat untuk mempertahankan komunikasi rutin untuk mendukung jalan Venezuela kembali ke stabilitas, dan untuk membangun kembali hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Venezuela," ujar Sanders.

Maduro menuduh Trump memerintahkan pembunuhannya dengan menyatakan telah memerintahkan negara tetangganya, Kolombia, untuk membunuhnya.

"Donald Trump tanpa ragu memberikan perintah untuk membunuh saya dan telah mengatakan kepada pemerintah Kolombia dan mafia Kolombia untuk membunuh saya," kata Maduro dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Rusia RIA.

Bogota dan Washington secara rutin membantah tudingan tersebut.

Namun, spekulasi tentang tindakan militer terhadapnya minggu ini dipicu ketika penasihat keamanan nasional Trump John Bolton membawa notepad dengan tulisan "5.000 Tentara ke Kolombia." Sementara Mayor Jenderal AS Mark Stammer, komandan Angkatan Darat AS, berada di Kolombia pada hari Rabu, kata pejabat kedutaan AS.



Credit  sindonews.com






Ribuan Warga Venezuela Unjuk Rasa Desak Militer Tolak Maduro


Ribuan Warga Venezuela Unjuk Rasa Desak Militer Tolak Maduro
Ribuan warga Venezuela berunjuk rasa mendesak militer menolak Nicolas Maduro dan mendukung Juan Guaido, oposisi yang mendeklarasikan diri jadi presiden interim. (Reuters/Carlos Barria)



Jakarta, CB -- Ribuan warga Venezuela turun ke jalan untuk mendesak militer menolak Nicolas Maduro dan mendukung Juan Guaido, pemimpin oposisi yang sudah mendeklarasikan diri sebagai presiden interim.

Di ruas-ruas jalan Caracas dan sejumlah kota lainnya di Venezuela, para demonstran memukul pot-pot dan meniup peluit sambil mengacungkan poster bertuliskan, "Pasukan bersenjata, kembalikan martabat kalian!"

Sejumlah pengunjuk rasa lainnya berteriak, "Maduro, perampas kuasa! Guaido, presiden! Katakan tidak pada kediktatoran!"


Mendukung demonstrasi tersebut, Guaido mengirimkan pesan kepada militer, "Jangan tembak orang yang mengajukan tuntutan, termasuk demi keluarga kalian."


Guaido mengambil alih kekuasaan secara sepihak demi membentuk pemerintahan transisi pada pekan lalu, ketika gelombang demonstrasi anti-Maduro kian tinggi di Venezuela.

Ia pun langsung mendapatkan dukungan dari negara Barat dan Amerika Latin, seperti Amerika Serikat, Kanada, Chile, Meksiko, bahkan sampai Australia.

Sementara itu, enam negara besar Eropa mendesak Maduro untuk menggelar pemilihan umum dengan batas waktu hingga akhir pekan ini. Jika tidak, mereka juga akan mengakui Guaido sebagai pemimpin Venezuela.


Sebagian besar pendukung Guaido ini menganggap Maduro tak pantas memimpin karena mendapatkan kursi presiden melalui proses pemilu yang tidak sah. Mereka menganggap Majelis Nasional pimpinan Guaido adalah satu-satunya institusi negara yang dipilih rakyat.

Popularitas Maduro menurun karena dianggap membawa perekonomian Venezuela terus terpuruk hingga mengalami hiperinflasi.

Di tengah krisis ini, warga Venezuela menggelar demonstrasi besar-besaran yang kerap berakhir ricuh, hingga menewaskan lebih dari 40 orang.

Setelah Guaido mengambil alih kuasa, militer menyatakan tetap mendukung Maduro, meski sejumlah pejabat menyatakan membelot dari sang presiden, termasuk atase pertahanan Venezuela di AS.

Warga pun kembali turun ke jalan untuk "menuntut agar angkatan bersenjata memihak rakyat."




Credit  cnnindonesia.com




Maduro Tuding Trump Perintahkan Pembunuhan Dirinya




CBCaracas – Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, mengatakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, meminta pemerintah Kolombia dan kelompok mafia di negara itu untuk membunuhnya.

 
Maduro mengatakan ini dalam wawancara dengan media RIA Novosti dari Rusia.
“Tanpa diragukan lagi, Donald Trump memerintahkan pembunuhan atas diri saya, meminta pemerintah Kolombia, mafia Kolombia, untuk membunuh saya. Jika sesuatu terjadi pada diri saya, Donald Trump dan Presiden Kolombia, Ivan Duque, bertanggung jawab,” kata Maduro kepada media RIA Novosti dan dilansir Reuters dan Russia Today pada Rabu, 30 Januari 2019.
Maduro mengaku dia merasa yakin dengan keamanannya karena dijaga dengan ketat. “Saya selalu dilindungi oleh rakyat Venezuela. Kami punya lembaga intelijen yang bagus,” kata dia.

 
Soal Kolombia, penasehat keamanan AS, John Bolton, terekam kamera memegang catatan yang berisi tulisan 5000 tentara ke Kolombia. Ini menimbulkan pertanyaan apakah AS akan mengirim pasukan lewat Kolombia terkait krisis di Venezuela.

Penasehat keamanan nasional Gedung Putih, John Bolton, memegang buku catatan yang berisi tulisan "5000 tentara ke Kolombia" pada Selasa, 29 Januari 2019. Sky News
Maduro baru saja dilantik sebagai Presiden Venezuela pada 10 Januari 2019 untuk masa pemerintahan kedua selama enam tahun.
Namun, seperti dilansir Reuters, kalangan oposisi dan negara Barat menilai pelaksanaan pemilu Venezuela berlangsung penuh kecurangan sehingga tidak memiliki legitimasi. Sejumlah negara Barat seperti Jerman dan Prancis mendesak Maduro menggelar pemilu dalam delapan hari.

 
Pada saat yang sama, pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, menobatkan diri sebagai Presiden interim pada pekan lalu dan berjanji akan menggelar pemilu secepatnya setelah Maduro mundur. Trump, sejumlah negara Eropa dan Amerik Latin, mendukung Guaido sebagai Presiden interim.

Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, menggelar acara lari bersama tentara loyalis pada 27 Januari 2019. Reuters
Lewat cuitan di akun @realdonaldtrump, Trump mengatakan baru saja bicara dengan Guaido. “Saya baru saya bicara hari ini dengan Presiden interim Venezuela, Juan Guaido, untuk mengucapkan selamat kepadanya mengenai kenaikannya sebagai Presiden dan menguatkan dukungan kuat AS kepada perjuangan Venezuela untuk meraih kembali demokrasi,” kata Trump sambil menyebut terjadi unjuk rasa besar terhadap Maduro. “Perjuangan untuk kebebasan sudah dimulai,” kata dia.

 
Trump juga mencuit soal kesediaan Maduro untuk bernegosiasi dengan kelompok oposisi di Venezuela. “Ini terjadi setelah AS mengenakan sanksi memotong pendapatan minyak,” kata Trump sambil menyebut Guaido menjadi target Mahkamah Agung dan unjuk rasa besar di sana.

Dalam wawancara ini, Maduro menolak permintaan pemilu ulang dan mengatakan pemilu berikutnya akan berlangsung pada 2025.
Dia juga mengaku mencoba menjalin dialog dengan Presiden Trump namun upaya ini gagal karena dihalangi oleh penasehat keamanan nasional Gedung Putih yaitu John Bolton.
“Selama bertahun-tahun, saya mencoba mengadakan dialog.. Tapi Bolton mencegah Donald Trump melakukan dialog dengan Nicolas Maduro. Saya punya informasi dia mencegah ini agar tidak terjadi,” kata Maduro.






Credit  tempo.co






Aksi Militer, Maduro Sebut AS Ingin Jadikan Venezuela Seperti Vietnam


Aksi Militer, Maduro Sebut AS Ingin Jadikan Venezuela Seperti Vietnam
Presiden Venezuela Nicolas Maduro peringatkan AS untuk tidak melakukan aksi militer terhadap negaranya. Foto/Istimewa

CARACAS - Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, memperingatkan Amerika Serikat (AS) bahwa aksi militer bergaya perang Vietnam akan sangat berbahaya jika dilakukan terhadap negaranya. Sementara di saat yang sama ia mengaku bersedia untuk memulai dialog dengan para pemimpin oposisi.

“Kami tidak akan mengizinkan Vietnam di Amerika Latin. Mereka ingin meletakkan tangan mereka pada minyak kita seperti yang mereka lakukan di Irak, seperti yang mereka lakukan di Libya,” kata Maduro dalam video empat menit yang diterbitkan di Facebook.

"Saya meminta Venezuela dihormati dan saya meminta dukungan orang-orang Amerika Serikat sehingga tidak ada Vietnam baru," tambahnya seperti dikutip dari New York Post, Kamis (31/1/2019).

Pemerintahan Trump telah memberikan dukungannya di belakang Juan Guaido, pemimpin Majelis Nasional Venezuela yang menyatakan dirinya sebagai presiden pekan lalu. AS juga telah menjatuhkan sanksi pada perusahaan minyak milik Venezuela.

Penasihat keamanan nasional AS John Bolton memberi tahu Maduro dan para pendukungnya bahwa langkah apa pun untuk mengintimidasi atau menargetkan diplomat Amerika atau Guaido di negara Amerika Selatan itu akan disambut dengan "respons yang signifikan."

Dalam kesempatan itu, Maduro juga mengatakan dia bersedia untuk berbicara dengan Guaido.

"Saya siap untuk duduk di meja perundingan dengan oposisi sehingga kita dapat berbicara tentang apa yang menguntungkan Venezuela," kata Maduro dalam sebuah wawancara dengan media pemerintah Rusia.


Dia juga menyarankan bahwa negara-negara lain - termasuk Meksiko, Uruguay, Bolivia, Vatikan dan Rusia - dapat bertindak sebagai mediator.

Rusia, Turki, Iran, Kuba, Bolivia, dan El Salvador mendukung Maduro.


Presiden Trump, mencatat kerusuhan di Venezuela, mengeluarkan peringatan di Twitter tentang perjalanan ke sana.

"Maduro bersedia bernegosiasi dengan oposisi di Venezuela setelah sanksi AS dan pemotongan pendapatan minyak," tulis Trump di halaman Twitter-nya.

“Guaido menjadi sasaran Mahkamah Agung Venezuela. Protes besar-besaran diharapkan terjadi hari ini. Orang Amerika seharusnya tidak melakukan perjalanan ke Venezuela sampai pemberitahuan lebih lanjut," imbaunya.

Guaido telah menyerukan pemogokan nasional hari Rabu setelah pemerintah Maduro melarang dia meninggalkan negara itu. 








Credit  sindonews.com





5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS



5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS
Ribuan warga Venezuela demo besar-besaran di Caracas pada 19 April 2017. Massa pro-oposisi ini menuntut Presiden Nicolas Maduro Moros lengser. Foto/REUTERS

CARACAS - Keputusan Amerika Serikat (AS) di bawah kekuasaan Presiden Donald John Trump telah membebani krisis politik yang saat ini mengguncang Venezuela. Intervensi Paman Sam bisa mendorong negara warisan Hugo Chavez yang kaya minyak ini menjadi panggung untuk perang di masa depan.

Saat ini, negara Amerika Latin tersebut berada di tengah-tengah konflik politik yang berpotensi meledak antara dua orang yang keduanya mengklaim sebagai presiden Venezuela yang sah; Nicolás Maduro Moros, yang terpilih kembali sebagai presiden pada pemilihan umum (pemilu) Mei 2018, dan pemimpin oposisi Juan Guaido.

Maduro, 56, dari partai berhaluan sosialis, United Socialist Party of Venezuela (PSUV) sudah dilantik sebagai presiden untuk periode kedua pada 11 Januari 2019. Dia akan berkuasa hinggga enam tahun ke depan.


Tapi, Guaido, 35, mengklaim pemilu tahun 2018 dicurangi. Guaido dari Partai Popular Will (VP) yang menjabat sebagai ketua Majelis Nasional (badan legislatif negara) sekarang merasa menjadi presiden yang sah menurut konstitusi negara.

Pada hari Rabu, 23 Januari 2019, Trump secara resmi mengakui Guaido sebagai presiden sementara Venezuela dan menyebut klaim Maduro sebagai presiden "tidak sah". Namun Maduro telah menanggapi dengan menantang lawan-lawannya, dan sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda dia akan mundur.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang terjadi selanjutnya. Para pejabat dan pakar AS mengatakan jawaban yang meresahkan adalah tidak ada yang benar-benar tahu. Tetapi Ronal Rodriguez, seorang ahli di Observatorium Venezuela di University of Rosario di Kolombia, menyusun lima skenario yang memungkinkan.

Yang paling mungkin saat ini adalah bahwa dorongan untuk menggulingkan Maduro gagal, dan dia mempertahankan kekuasaan sambil menjerumuskan Venezuela ke dalam krisis ekonomi dan kesehatan yang lebih besar. Hasil yang paling tidak mungkin adalah bahwa invasi militer asing untuk menghapus Maduro memicu perang saudara yang dapat membunuh ribuan orang dan mengubah negara yang sudah berjuang itu menjadi negara yang gagal.

Mengutip Vox, berikut lima skenario yang mungkin terjadi pada Venezuela di masa depan, yang diperingkat berdasarkan urutan kemungkinan yang paling kecil terjadi.

Skenario 1: Maduro Tetap Berkuasa



5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS
Foto/REUTERS


Terlepas dari kekacauan beberapa hari terakhir, Maduro mungkin akan tetap pada kekuasaannya.

Alasannya, kepemimpinan angkatan bersenjata Venezuela tetap setia kepada Maduro. Pada hari Senin, misalnya, militer dengan cepat menghentikan pemberontakan dari 27 anggota garda nasional anti-Maduro yang tampaknya bertujuan untuk mendorong penggulingan presiden. Plus, loyalis Maduro mengendalikan banyak lembaga penting lain di negara itu, seperti Mahkamah Agung.

Jadi Maduro tidak memiliki insentif untuk mundur, meskipun ribuan orang di Venezuela mendukung penggulingannya dan mendukung Guaido. Dia sudah mengatakan dia tidak akan lengser, dan bahkan sudah mulai melawan.

Pada hari Rabu, 23 Januari 2019, hanya beberapa jam setelah keputusan Trump, Maduro memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Washington dan memberikan waktu 72 jam bagi para diplomat Amerika untuk meninggalkan Venezuela. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Pompeo membalas dengan mengatakan bahwa AS tidak akan mematuhi perintah Maduro karena pemerintah Washington tidak melihatnya lagi sebagai presiden sah negara Venezuela.

Meski begitu, Maduro kemungkinan akan tetap berkuasa. Itu berita buruk bagi banyak orang di Venezuela, petak besar penduduk hidup dalam kemiskinan karena salah urus ekonomi oleh diktator sosialis.

Inflasi di negara itu sekarang melayang di atas satu juta persen, dan bisa mencapai 10 juta persen tahun ini, menurut Dana Moneter Internasional. Makanan dan obat-obatan terlalu mahal untuk dibeli. Dan sejak 2015, lebih dari 3 juta rakyat Venezuela telah meninggalkan negara itu untuk mencari peluang yang lebih baik di tempat lain, terutama di Kolombia. Pada 2019, diprediksi ada 2 juta lagi warga negara itu yang akan menjadi pengungsi.

Tekanan politik terhadap Maduro tentu akan melemahkannya, dan tekanan ekonomi akan mempersulit upaya apa pun yang ia lakukan untuk memperbaiki situasi ekonomi negaranya. AS, misalnya, telah memberlakukan sanksi pada perusahaan minyak negara Venezuela. Sanksi itu mengancam akan menjatuhkan peringkat kepercayaan Maduro di mata rakyatnya 20 menjadi lebih rendah.

Kenyataannya kemudian, adalah hasil yang paling mungkin dari dorongan anti-Maduro saat ini ia tetap menjadi pemimpin negara, meskipun sangat "babak belur".

Skenario 2: Maduro Mundur, tapi Ideologi Politik dan Kebijakan Ekonomi yang Dahsyat Berlanjut



5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS
Foto/REUTERS



Maduro dapat mundur dari kursi kepresidenan jika dia dapat memilih pemimpin baru yang menganut ideologi politik yang sama dengan yang dia lakukan.


Dia adalah seorang chavista, seseorang yang percaya merek populis sosialisme otoriter seperti mantan Presiden Hugo Chavez adalah cara terbaik untuk memerintah.

Chavez adalah tokoh legendaris di Venezuela yang mengubah lanskap politik dan ekonomi negara itu dengan menasionalisasi industri dan menyalurkan sejumlah besar uang pemerintah ke dalam program sosial.

Di bawah pemerintahannya, tingkat pengangguran Venezuela menurun hampir 50 persen, pendapatan per kapita meningkat lebih dari dua kali lipat, tingkat kemiskinan turun lebih dari setengahnya, pendidikan meningkat, dan angka kematian bayi menurun.

Tetapi dia juga menumpuk pengadilan negara itu dengan sekutu politik, mengeluarkan undang-undang yang membatasi kemampuan jurnalis untuk mengkritik pemerintah, dan secara konsisten mencari cara untuk menghilangkan cek pada kekuasaannya.

Maduro mencoba mengikuti buku pedoman Chavez, tetapi hasilnya merusak bagi negara. Harga minyak jatuh pada akhir 2014, dan ekonomi ikut-ikutan jatuh. Setelah lawan politik mengambil alih Majelis Nasional pada 15 Desember, ia mencoba membubarkannya sambil menempatkan kroninya di Mahkamah Agung dan di tempat lain. Apa yang didapat Venezuela adalah pemimpin yang semakin otoriter yang mengawasi ekonomi yang hancur.

Sekarang, kira-kira 80 persen warga negara—dan ribuan orang di jalanan—menentangnya. Itu mungkin memaksa para pemimpin partai sosialis Maduro untuk memintanya minggir dan melihat apakah chavista lain bisa berbuat lebih baik sebagai presiden. Setidaknya ada empat orang, termasuk seorang gubernur dan walikota, menunggu di sayap untuk saatnya tiba diangkat.

Jika skenario ini berjalan, itu berarti masa depan Venezuela akan terlihat cukup mirip dengan jika Maduro tetap menjabat. Pada dasarnya; wajah baru, pemerintahan sama.

Skenario 3: Oposisi Mengambil Alih Kekuasaan



5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS
Foto/REUTERS



Tekanan domestik dan internasional yang meningkat pada akhirnya mungkin terbukti terlalu banyak untuk Maduro, memaksanya untuk membuat kesepakatan dengan oposisi dan mundur.


Tidak jelas seperti apa kesepakatan itu. Salah satu kemungkinannya adalah Maduro setuju untuk tetap berkuasa sampai pemilu yang adil diadakan dan kemudian lengser sehingga pemenang pemilu dapat mengambil alih. Kemungkinan lain adalah Maduro rela menyerahkan negara ke Guaido sebagai juru kunci sementara ia menyerukan pemilu baru.

Kamis malam, Guaido mengatakan kepada Univision bahwa dia mungkin mempertimbangkan untuk menawarkan amnesti Maduro jika dia rela meninggalkan kantor. "Dalam masa transisi, kami telah melihat hal serupa terjadi," katanya. “Kami tidak dapat membuang elemen apa pun. Kita harus tegas, untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan. Prioritas kami adalah orang-orang kami."

Harapannya adalah bahwa pemimpin baru, mungkin bukan dari partai sosialis Maduro, akan mengarahkan negara kembali ke demokrasi. Tetapi hasil yang indah ini pun memiliki tantangan.

Itu karena beberapa kebijakan Maduro tetap populer, terutama penekanan partainya pada pengeluaran sejumlah besar pendapatan negara untuk mendanai program-program sosial seperti perawatan medis gratis dan makanan yang terjangkau. Dan pemimpin baru hampir pasti harus membuat pilihan sulit—termasuk memotong dana untuk beberapa program tersebut—demi mengakhiri keruntuhan ekonomi Venezuela.

Itu bisa membuat warga berkelahi, dan mungkin mendongkel pemimpin baru dalam waktu singkat. Dengan kata lain, orang yang menggantikan Maduro dengan harapan tulus memperbaiki Venezuela akan memiliki pekerjaan yang sangat sulit, dan mungkin tidak terlalu populer untuk melakukannya.

Skenario 4: Militer Venezuela Mengambil Alih Kekuasaan



5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS
Foto/REUTERS



Militer Venezuela adalah salah satu institusi paling kuat di negara itu. Kepemimpinan militer mendukung klaim Maduro atas kekuasaan. Tetapi jika krisis politik memburuk, militer pada akhirnya dapat memutuskan saatnya untuk membelot dan memilih untuk menangani sendiri dengan menggulingkan Maduro.


Ada kemungkinan bahwa para pemimpin militer akan menyerukan pemilu yang bebas dan adil dan kemudian minggir untuk memberi kesempatan bagi pemenang pemilu.

Tetapi sejarah menyarankan sebaliknya. Banyak yang khawatir bahwa skenario ini dapat membawa kembali pada hari-hari mengerikan tentang kediktatoran militer di Venezuela (dan Amerika Selatan pada umumnya). Dari tahun 1948 hingga 1958, para pemimpin militer--terutama Jenderal Marcos Pérez Jiménez--mengawasi penyiksaan, pemenjaraan politik, dan pembunuhan lawan. Korupsi juga merajalela, karena dana untuk pendidikan dan kesehatan dialihkan untuk memenuhi kantong para elite.

Kekhawatirannya adalah bahwa seorang penguasa militer—mungkin seorang perwira senior, seperti seorang jenderal—seperti pada tahun-tahun sebelumnya akan mengorbankan akuntabilitas demokratis atas nama stabilitas sosial.

Itu mungkin berarti masyarakat yang represif dengan kebebasan pribadi yang lebih sedikit, dan kemungkinan besar tahanan politik menjadi meningkat. Meskipun, untuk bersikap adil, itu tidak tampak berbeda dari bagaimana Maduro menjalankan negaranya sekarang.

Kediktatoran militer di Venezuela juga akan menjadi hasil yang ironis. Para pemrotes anti-Maduro berunjuk rasa pada 23 Januari karena alasan tertentu. Itu adalah peringatan ke-61 tahun ketika sebuah kediktatoran militer jatuh di negara itu.

Namun, sekali lagi, skenario ini sangat tidak mungkin. Pada hari Kamis, kepemimpinan militer Venezuela mengatakan bahwa mereka berdiri kokoh di belakang Maduro dan akan menentang upaya kudeta terhadapnya. Jadi jika Maduro lengser, itu mungkin tidak akan terjadi karena militer mengambil alih. Tetapi hal-hal aneh telah terjadi, termasuk pembelotan para perwira.

Skenario 5: Invasi Militer AS Menggulingkan Maduro dan Memicu Perang Saudara

5 Skenario Gonjang-ganjing Venezuela: Maduro Bertahan hingga Invasi AS
Foto/REUTERS


Pada Agustus 2017, Trump secara terbuka mengumumkan kemungkinan menggunakan beberapa "opsi militer" yang tidak ditentukan untuk mengusir Maduro dan untuk mengatasi kemalangan politik dan ekonomi Venezuela. Menurut beberapa laporan, Trump membahas kemungkinan mengambil tindakan militer terhadap negara itu dengan beberapa pembantunya pada waktu itu.

Penasihat Trump, terutama Penasihat Keamanan Nasional saat itu; H.R. McMaster, jelas meyakinkan presiden untuk tidak melanjutkan tindakan itu.

Tapi itu dulu. Saat ini, situasi di Venezuela sangat berbeda; Ada pemimpin oposisi yang jelas mengklaim mantel legitimasi yang tampaknya mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat Venezuela, dan yang secara terbuka dinyatakan oleh AS sebagai pemimpin sejati negara itu.

Selain itu, para penasihat yang menjauhkan Trump dari "opsi militer" terakhir kali bukanlah penasihat yang sama dengan yang ia miliki sekarang. McMaster dan Menteri Pertahanan James Norman Mattis telah hengkang, dan John Bolton yang jauh lebih hawkish kini menjadi Penasihat Keamanan Nasional.

Bolton, dalam pidatonya November lalu, menyinggung Venezuela. "Di bawah Presiden Trump, Amerika Serikat mengambil tindakan langsung...untuk mempertahankan supremasi hukum, kebebasan, dan kesusilaan dasar manusia di wilayah kita," katanya. Sikap Bolton jauh lebih terbuka untuk intervensi militer AS daripada McMaster.

Jadi, ada kemungkinan—meski bukan yang besar—bahwa Trump dapat memilih untuk menyerang Venezuela, atau setidaknya mendukung negara-negara regional yang mungkin ingin secara paksa menyingkirkan Maduro menggunakan militer mereka sendiri. Sejauh ini, tampaknya tidak ada selera untuk itu. Misalnya, pada hari Kamis, para jenderal Brasil mengatakan kepada BuzzFeed News bahwa mereka mengesampingkan opsi militer.

Invasi semacam itu, untuk lebih jelasnya, hampir pasti akan mematikan, mahal, dan bertahan lama, serta dapat dengan mudah menjerumuskan negara itu ke dalam perang saudara.

Dan dalam skenario seperti ini, militer Maduro kemungkinan akan membela dirinya. Maduro sudah mengerahkan pasukannya kalau-kalau Trump melancarkan invasi. "Anda tidak dapat menurunkan kewaspadaan Anda untuk sedetik pun, karena kami akan membela hak terbesar yang dimiliki tanah air kami dalam semua sejarahnya, yaitu hidup dalam damai," kata Maduro Juli lalu.

Namun, beberapa bagian dari militer mungkin "bercerai" dan bergabung dengan pasukan penyerang. Hal itu bisa memicu perang brutal berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan yang berpotensi menyebabkan ratusan atau ribuan orang tewas dan kota-kota hancur.

Tetapi Rodriguez dan para pejabat AS memperingatkan hal itu bisa menjadi lebih buruk. Jika Maduro akhirnya digulingkan, perebutan kekuasaan atas siapa yang akan menggantikannya dapat mengadu banyak faksi di negara itu satu sama lain, memicu perang saudara. Dengan tidak ada pemenang yang jelas, faksi-faksi itu dapat mulai mengontrol dan mengatur wilayah Venezuela mereka sendiri yang terpisah.

Akibatnya, Venezuela bisa tidak ada lagi dan menjadi negara yang lebih gagal daripada sekarang. Itu jelas skenario terburuk, tetapi tidak di luar bidang kemungkinan. Situasi serupa telah terjadi di negara-negara lain, termasuk di Libya dan Suriah.

Untungnya, invasi militer—baik oleh AS atau negara lain—tampaknya merupakan skenario yang paling tidak mungkin saat ini. Tokoh oposisi Venezuela dan banyak pemimpin Amerika Latin mengatakan mereka menentang langkah semacam itu. Dan Trump, terlepas dari pernyataan publiknya pada tahun 2017 tentang kemungkinan "opsi militer" dan komentar 2018 tentang bagaimana Maduro dapat "dijatuhkan dengan sangat cepat" oleh kudeta militer, sebaliknya sangat jelas dan konsisten tentang keinginannya untuk menjauhkan AS dari perang asing.

Jenderal Angkatan Udara Douglas Fraser, yang memimpin Komando Selatan AS dari Juni 2009 hingga November 2012, mengatakan kepada bahwa dia tidak "melihat alasan yang baik" bagi militer AS "untuk dipekerjakan dalam situasi ini."

Tapi Trump mengatakan dia belum sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan itu. Ketika ditanya oleh wartawan Kamis apakah opsi militer masih di atas meja, presiden berkata, "Kami tidak mempertimbangkan apa pun, tetapi semua opsi ada di atas meja." 




Credit  sindonews.com




FBI Sebut China Mata-Matai Ekonomi AS


FBI Sebut China Mata-Matai Ekonomi AS
Ilustrasi lambang Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI). (Reuters)



Jakarta, CB -- Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) tengah menyelidiki dugaan tindakan spionase yang dilakukan China terhadap sedikitnya 56 instansi dan lembaga ekonomi Amerika Serikat. Di hadapan Senat, Direktur FBI Christopher Wray mengatakan Negeri Tirai Bambu merupakan ancaman intelijen paling signifikan untuk AS.

"Kami memiliki sejumlah investigasi ekonomi, misalnya, di hampir setiap 56 lembaga kami. Ini hanya pengungkapan di satu sektor saja," ucap Wray pada Selasa (29/1).

"Jumlah mata-mata mereka mungkin meningkat dua kali lipat dalam tiga atau empat tahun terakhir, dan tidak semuanya, tetapi hampir semuanya mengarah lagi ke China," ujar Wray.



Wray menyatakan hal itu sehari setelah Kementerian Kehakiman mendakwa raksasa telekomunikasi China, Huawei, atas sangkaan mencuri rahasia perusahaan pesaingnya, T-Mobile USA.


Isi dakwaan menyatakan Huawei menawarkan bonus kepada setiap karyawan yang jumlahnya berdasarkan nilai informasi yang bisa mereka curi dari perusahaan lain di seluruh dunia.

Informasi-informasi curian tersebut disebut dikirim para karyawan melalui alamat surat elektronik dengan sandi ke kantor pusat Huawei.

Dalam rapat, sejumlah petinggi intelijen menilai China merupakan ancaman paling kuat secara politik, militer, dan ekonomi bagi AS. Mereka menganggap ancaman tersebut terus tumbuh.



Menurut laporan intelijen AS berjudul 'Penilaian Ancaman Sedunia' yang dirilis pada Selasa (29/1) kemarin, China disebut juga menargetkan sektor teknologi AS yang penting terkait spionase. Laporan itu memperkirakan China akan mencuri setiap teknologi yang tidak bisa mereka buat sendiri tetapi penting bagi kepentingan negaranya.

"Kami juga prihatin tentang potensi intelijen China dan layanan keamanan mereka memanfaatkan perusahaan teknologi informasi China sebagai platform spionase rutin dan sistematik terhadap AS dan sekutu kami," bunyi laporan itu seperti dikutip AFP.

Sementara itu, Direktur Badan Intelijen Kementerian Pertahanan AS, Letnan Jenderal Robert Ashley, mengatakan pemerintah China telah mempersulit perusahaan Negeri Tirai Bambu untuk menjadi penguasa murni dan menghindari kecurigaan.

"Huawei perlu membuat keputusan tentang arah yang ingin mereka ambil terkait bagaimana mereka mendukung pemerintah China atau sebagai bisnis independen," ucap Ashley.



"Tantangannya adalah Huawei tidak berwenang memutuskan itu, tapi Partai Komunis China dan Presiden Xi Jinping," ujar Ashley.




Credit  cnnindonesia.com