Jakarta, CB -- Wacana Indonesia kembali
membeli alat utama sistem pertahanan dari Amerika Serikat kembali
mencuat belakangan ini. Hal itu disebut tidak terhindarkan karena RI
terancam bakal kembali dikenai embargo AS jika membeli jet tempur Sukhoi
dari Rusia.
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu telah menyatakan bahwa Indonesia aman dari embargo AS
meski membeli pesawat Negeri Beruang Merah. Namun, pengamat militer
Connie Rahakundini Bakrie mengatakan sanksi itu bisa jadi datang dalam
waktu dekat.
"Pertanyaannya kapan? Kalau menurut saya, Maret
besok. Itu makanya kemarin Mattis (James, menteri Pertahanan AS) ke
sini," kata Connie kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/1).
Connie mengatakan kemungkinan itu semakin kuat dengan kabar
kedatangan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Indonesia untuk
menandatangani kerja sama kemitraan strategis, di bulan yang sama.
Selain
itu, AS juga disebut syok karena pesawat pengebom Rusia Tupolev TU-95
mendarat di Pangkalan Udara Biak. Peristiwa ini merebut perhatian
Amerika karena pesawat tersebut sama kelasnya dengan B-52 milik Paman
Sam.
Pengebom Rusia, Tupolev TU-22 di atas langit Suriah. (REUTERS/Ministry of Defence of the Russian Federation/Handout via Reuters)
|
"Jadi ada masalah itu, Sukhoi dan
bomber Rusia di Biak yang katanya hanya bernavigasi. Dengan perlengkapannya jelas itu bukan untuk navigasi," kata Connie.
"Yang
jadi masalah adalah ketidakpekaan pemerintah dengan embargo AS yang
dijatuhkan kepada Rusia soal Crimea. Ada salah satu pasalnya yaitu
negara manapun yang kerja sama dengan Rusia, negara ketiga bisa kena
juga embargo."
"Artinya kita juga bisa kena."
AS sempat menjatuhkan embargo
militer untuk Indonesia pada pada 1995 sampai 2005. Paman Sam menyetop
penjualan senjata dan suku cadang untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI
yang dibeli dari mereka.
Embargo ketika itu dijatuhkan lantaran Indonesia dianggap melanggar hak
asasi manusia dengan menembaki demonstran di Dili, Timor Timur (kini
Timor Leste), pada 12 November 1991.
Jika embargo kembali
diberlakukan, dampaknya bisa menimpa setengah lusin F-16 Fighting
Falcon, sejumlah armada F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130
Hercules yang seluruhnya buatan AS. Lebih parah lagi, beberapa pesawat
Hawk 109/209 buatan Inggris–sekutu AS–yang dimiliki TNI juga ikut
terkena dampak embargo.
Embargo membuat banyak pesawat militer
RI tak bisa diterbangkan sekalipun kondisinya baik, bahkan tergolong
baru. Alhasil sia-sia saja memiliki armada tempur jika banyak yang tak
bisa digunakan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Connie
mengatakan hal itu bisa kembali terjadi dan membuat kerja sama
alutsista dengan Amerika Serikat tidak terhindarkan karena Indonesia
baru saja membeli pesawat F-16 dari AS. Jika terkena embargo, maka
armada Angkatan Udara Indonesia rugi besar karena puluhan pesawat itu
terancam mangkrak atau
grounded.
Masalahnya, Indonesia saat ini tidak mempunyai anggaran pertahanan yang
cukup untuk beralih begitu saja kepada negara lain, kata Connie. "Bisa
saja Indonesia beralih ke Rusia, China. Masalahnya, kita punya uang
berapa?"
"Begitu F-16 itu
grounded mati sudah. Kalau
kita punya 10 mobil di garasi, tiga mogok gak masalah. Tapi jangan
sampai cuma punya tiga, tiga-tiganya mati. Kondisi (perekonomian) kita
sedang tidak prima."
Indonesia berniat kembali membeli pesawat angkut Hercules dari AS. (ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf)
|
Menurut Connie, masalah ini semestinya dibahas dalam pertemuan Menhan Ryamizard Ryacudu dengan Mattis belum lama ini.
"Kemarin
kan hanya dibahas soal Kopassus. Mestinya bilang bahwa pelanggaran HAM
itu absurd ketika orang sedang berperang," ujarnya, menggarisbawahi apa
yang dilakukan Amerika Serikat di Timur Tengah.
Banyak AlternatifSebaliknya, Ketua Pusat
Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Muradi Clark,
mengatakan Indonesia mempunyai banyak alternatif pemasok alutsista di
luar Amerika Serikat.
Dia menyoroti sejumlah masalah yang ada
seputar pembelian persenjataan dari AS. Di antaranya adalah minimnya
penyaluran teknologi atau transfer of technology (ToT) dan pembatasan
penggunaan peralatan yang dibeli.
"AS itu pelit ToT. Kalau dulu
kan masalahnya sedang perang dingin kita beli dari tempat lain jadi
masalah. Sekarang sudah tidak ada masalah," kata Muradi. "Kita dapat
hibah F-16, ya walaupun hibah, mana ada ToT?"
Sementara soal
pembatasan penggunaan masih terkait dengan masalah HAM. Karena dugaan
pelanggaran hak asasi, Indonesia tidak boleh menggunakan alutsista yang
didapatkan dari AS di Papua dan Aceh.
Jika masalah-masalah itu dapat diselesaikan, menurut Muradi, maka tidak
ada masalah jika pemerintah jadi membeli peralatan Amerika. Hanya saja,
dia menegaskan bahwa Indonesia punya banyak alternatif.
Wacana
yang belakangan mencuat adalah pembelian armada tambahan F-16 dan
pesawat angkut Hercules. Muradi mengatakan kedua pesawat itu bisa saja
digantikan, meski TNI AU berharap masih bisa terus menggunakannya karena
sudah familiar.
Pesawat F-16 milik Indonesia. (ANTARA FOTO/Siswowidodo)
|
"Amerika sudah mengimpor F-35. Selain Sukhoi, tidak ada yang bisa
mengejar manuvernya F-35," kata dia. "Kalau pesawat angkut ada Airbus,
Antonov, Boeing."
"Semua negara sudah menawarkan. Ya meski kalau
dari teman-teman TNI AU berharap Hercules karena sudah familiar dan
tidak perlu tambahan SDM. Tapi masih banyak pilihan lain."
Posisi Tawar IndonesiaDi balik isu ini,
Connie menyoroti ada masalah di jajaran pemerintahan Indonesia.
Menurutnya, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan tidak
terintegrasi dengan baik sehingga RI kembali terancam embargo.
"Mestinya Kemlu kasi tahu Kemhan (soal keadaan politik internasional). Di saat yang sama, Kemlu juga akan menandatangani
strategic partnership dengan Rusia," ujarnya.
Jet tempur Sukhoi SU-30 Indonesia. (CNN Indonesia/Abraham Utama)
|
"Saya tidak akan bilang Kemlu lalai. Tapi ini tidak terintegrasi antara
Kemlu dan Kemhan. Mana mungkin pesawat bomber masuk Kemlu tidak tahu."
Dia
mengatakan kebijakan pertahanan semestinya sejalan dengan politik luar
negeri. Di negara-negara lain, menurutnya, hal tersebut sudah dapat
dipastikan.
Selain integrasi lebih baik antar-kementerian terkait, Connie berharap
Indonesia menjelaskan posisinya dengan Rusia kepada Amerika Serikat agar
tidak terkena embargo.
Menurutnya, jika punya argumentasi kuat,
pemerintah bisa menjelaskan bahwa RI tidak berniat menentang Amerika
meski bekerja sama dengan Rusia.
"Integrasikan dan sampaikan. Jangan sampai didikte, tapi kita harus hormati karena ada kebijakan kita juga yang mereka hormati."
"Indonesia mesti punya
bargaining position
(posisi tawar): misalnya soal Kopassus, embargo, kalau mau berhenti
dari Rusia, AS punya apa untuk mewujudkan angkatan udara dan laut kita
yang kuat," kata Connie.
Credit
cnnindonesia.com