CB,
Jakarta - Kekaisaran Jepang menuju
era baru setelah Kaisar Akihito yang berkuasa hampir 30 tahun
memutuskan mengundurkan diri sebagai Kaisar pada 30 April 2019. Akihito
naik takhta pada 8 Januari 1989 menggantikan ayahnya Hirohito yang
meninggal. Tradisi pemberian nama kekaisaran menjadi hal menarik
bersamaan dengan pergantian kekuasaan di Jepang.
Nama Reiwa diambi sebagai nama kekaisaran baru yang dipimpin oleh anak sulung Akihito, pangeran Naruhito mulai 1 Mei 2019.
Dalam
penamaan kekaisaran, Jepang ternyata keluar dari tradisi terdahulu
dengan meninggalkan penamaan dari puisi klasik Cina dan kembali ke puisi
klasik Jepang yang sudah diwariskan 1200 tahun lalu. Kata Reiwa diambil
dari kumpulan puisi klasik Jepang pada era Manyoshou (600-759 Masehi).
Rei-wa terdiri dari 2 karakter kanji yaitu” (Rei)” yang berarti
keindahan dan “ (Wa)” yang berarti keharmonisan.
Berdasarkan dua kata itu, Reiwa atau “ mengandung arti budaya akan
lahir dan dipelihara ketika orang-orang menyelaraskan hati mereka secara
harmoni.
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe mengatakan, dengan
menjadikan Manyoshou sebagai pedoman alam dan musim, dia berharap ke
depannya bisa mewariskan nilai budaya yang dikandung dari kata Reiwa
kepada generasi muda. Penamaan dinasti juga dimaksudkan sebagai bentuk
apresiasi generasi muda dan seluruh rakyat Jepang termasuk petani, dan
kalangan masyarakat lainnya untuk terus membangun Jepang.
Namun,
pilihan kata Reiwa untuk menamai kekaisaran Jepang setelah
Akihito telah menuai protes dari warga Cina. Mereka menyindir bahwa
pemilihan nama Reiwa adalah sebuah langkah mundur bagi Jepang karena
tidak terinspirasi dari puisi klasik Tiongkok pada umumnya.
Saat
Jepang mengumumkan pengunduran diri Kaisar Akihito, warga Cina dengan
antusias meneBAK nama dinasti berikutnya karena terinspirasi dari
Manyoshou. Bagi masyarakat Cina, Rei dilafalkan “ling” dalam bahasa Cina
yang berarti orde, dan Wa dilafalkan “he” berarti perdamaian.
Sebelum
diresmikan parlemen, kritik sudah dilayangkan oleh warga Cina. “Aku
tidak tahu apa makna dari Era Reiwa sendiri," ujar seorang wanita Cina
berusia 36 tahun. “Namanya mudah dituliskan, tapi terdengar aneh bagi
warga Cina.”
Opini mengenai Reiwa terus berdatangan. Salah satunya
dari pria Cina berusia 24 tahun yang tidak disebutkan namanya. Ia
bertanya: “Apakah itu bermakna ‘seseorang yang memesan perdamaian? Itu
sukar dimengerti."
Meskipun kritik terus berdatangan, Juru Bicara
Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang. mengapresiasi keputusan
Jepang soal penamaan kekaisaran di bawah kepemimpinan anak sulung
Akihito, pangeran Naruhito.
" Karena itu adalah keinginan dari Jepang sendiri” ujar Shuang.
Di
Jepang, antusiasme tinggi masyarakat atas penamaan kekaisaran tersebut.
“Era Heisei adalah era yang damai, meskipun kriminalitas ada,
setidaknya perang tidak terjadi” ujar Hisako Tanura, warga Kobe berusia
70 tahun.
Begitu pula Atsuhiro Ono, 21 tahun, mahasiswa prefektur
Hyogo: “Kita sebagai masyarakat harus bekerja sama untuk menyelesaikan
masalah dengan pikiran positif.”
Jepang masih menjaga tradisi
penamaan dinasti mereka dan tetap menggunakan kalender Masehi untuk
dokumen resmi. Seperti dalam surat kabar, SIM, koran, dan lain-lain,
yang menggunakan nama khusus.
Contohnya, Dinasti pertama, Dinasti
Taishou (1912-1926) menggambarkan kebesaran Jepang, kemudian dilanjutkan
Dinasti Showa (1926-1989), yang menggambarkan pembangunan dan
keterbukaan Jepang yang disertai Restorasi Meiji, membuka Jepang pada
dunia pada tahun 1816-1912, era kebangkitan Jepang. Era Heisei,
(1989-2019) menandakan modernisasi Jepang dan era perdamaian di masa
kekaisaran Akihito. Pada masa ini, perekonomian Jepang sedang tumbuh
dengan pesat.
Era kekaisaran Reiwa bergulir pada 1 Mei mendatang. Sekali pun perekonomian sedang baik, namun Jepang menghadapi
sejumlah tantangan seperti populasi rakyat berusia di atas 85 tahun
terus bertambah yang mengancam ketersediaan tenaga kerja, dan
pertumbuhan ekonomi.