Guruh Soekarno Putra di depan poster Bung Karno, Jakarta. (MI/M Irfan).
CB, Jakarta: Terdengar gelak
tawa kecil di bawah teras Istana. Dua orang anak, seorang laki-laki dan
seorang lagi perempuan berdiri di tepi kolam yang tak begitu dalam.
Bocah laki-laki yang baru genap berusia delapan tahun itu rupanya
menggendong seekor kucing. Tak lama, diceburkannya binatang lucu itu
hingga kuyup dan lari tunggang langgang.
Keduanya terbahak. Mereka tak sadar, dari arah belakang di atas teras,
sang ayah sudah pasang muka cemberut. “Guruh!, Sukma!, kemarilah!”
setengah teriak sosok yang oleh banyak orang masyhur disapa Bung Karno
itu memanggil keduanya.
Inilah kejadian yang paling diingat Guruh Soekarnoputra, anak bungsu
dari Sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno. Ia
mengaku, dari sinilah keyakinannya muncul tentang seorang bapak dengan
rasa cinta yang sempurna. Tidak hanya kepada rakyat, keluarga, manusia,
bahkan kepada hewan sekalipun.
“Apa alasanmu menceburkan kucing itu ke kolam?” tanya Soekarno.
“Tidak, Bapak, kami tidak bermaksud menyiksa. Kami hanya penasaran dan
ingin tahu saja, apakah kucing bisa berenang?” jawab Guruh, sebagaimana
ia ceritakan ulang kepada
Telusur Metrotvnews.com di Jalan Sriwijaya Raya No. 26, Jakarta, Senin (15/8/2016) kemarin.
Guruh dan kakaknya, Soekmawati Soekarnoputri tertunduk diam. Setelahnya,
Presiden Soekarno berpesan: “Kamu jangan menyakiti siapapun, apapun,
segala makhluk ciptaan Tuhan. Apalagi manusia.”
Ajaran cinta dari Istana
Di atas podium, Bung Karno kerap dipandang garang. Di saat menyampaikan
pesan dan gagasannya melalui orasi, orang-orang akan berdecak kagum
dengan intonasinya yang teratur, juga suara tegas nan lantang yang
menambah kewibawaan. Namun di sisi lain, di mata anak-anak dan
keluarganya, Soekarno adalah orang yang lemah lembut. Dikasihinya
keluarga dengan penuh kehangatan, tanpa amarah.
“Seumur hidup, saya belum pernah dimarahi bapak,” kata Guruh.
Cinta kasih Soekarno, kata Guruh, seiring sejalan dengan sosoknya yang
memiliki tingkat spiritual yang tinggi. Jika sedang berhadapan dengan
suatu persoalan yang dianggap berat, Soekarno tak turut memasang muka
masam di depan anak-anaknya.
“Paling jika memang butuh ketenangan untuk membangun konsentrasi tinggi, Bung Karno menyendiri, semacam bertafakkur,” ujar dia.
Bung Karno dibilang jarang memberikan wejangan kepada keluarga dan
anak-anaknya secara verbal. Lebih sering, pemimpin berjuluk Putra Sang
Fajar itu memberikan teladan yang baik melalui tindakan.
Sebut contoh, ketika Guruh memasuki usia lima tahun, Bung Karno merombak
sebuah gazibu tinggalan Belanda yang terletak di kebun antara Istana
Negara dan Istana Merdeka menjadi tempat belajar anak-anak.
Penyelenggaraan taman kanak-kanak (TK) di tempat yang pada masa kolonial
menjadi lokasi favorit berpesta ini baru dipahami maksud dan tujuannya
ketika Guruh mulai beranjak dewasa.
“Siapa yang sekolah? Itu dari berbagai golongan. Ada anak sopir, tukang
kebun, pegawai Istana, sampai anak pejabat Setneg (sekretariat negara),
juga beberapa dari anak petinggi jenderal dan menteri. Semuanya
bercampur, termasuk saya. Bapak menanamkan sikap kesetaraan tanpa
membeda-bedakan antar sesama manusia,” kata Guruh.
Jangan ada benci kala berbeda pandang
Indonesia telah resmi berdiri. Pengakuan kedaulatan dari negara-negara
sahabat berduyun berdatangan. Perlahan tapi pasti, fungsi pemerintahan
mulai dijalankan. Namun sebagaimana sebuah keyakinan bahwa Tuhan juga
menguji bangsa yang luhur, perbedaan pandangan mulai terasa di antara
para pendiri negeri, termasuk, ada sekelumit babak pertentangan antara
Soekarno dan Mohammad Hatta.
Puncaknya, pada 1 Desember 1956 dua sahabat karib itu harus bersimpang
jalan. Hatta memilih meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden.
“Dengan mengundurkan diri, sebenarnya Hatta ingin memberikan kesempatan
kepada Presiden Soekarno untuk membuktikan dirinya mampu membawa
Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur,” tulis Peter Kasenda dalam
Bung Karno Panglima Revolusi.
Ada beberapa sebab yang menjadikan dwitunggal itu berpisah. Di
antaranya, Hatta tak setuju dengan gaya kepemimpinan sentralistik yang
tengah dijalankan kawannya itu. Hatta menganggap, Soekarno tanpa sadar
dengan sendirinya menjadi feodal dan otoriter.
Lain lagi anggapan Bung Karno. Sudah lama ia tak sepakat dengan gagasan
Hatta yang ingin menghidupkan partai-partai politik. Sebenarnya
kerenggangan ini bisa dirasakan ketika Hatta menabuh gong sistem
multipartai dengan menandatangani Dekrit Wakil Presiden Nomor 10 Tahun
1945.
“Soekarno sebagai pemimpin bertipe
Solidarity Maker, yang lebih
mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk
mencapai hal yang dicita-citakan,” tulis Peter.
Sementara Hatta, kata Peter, sebagaimana mengutip
The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia karangan sarjana politik Australia Herbert Feith, adalah pemimpin bertipe
Administrator. Yakni pemimpin yang lebih merujuk pada cara-cara yang rasional dalam upaya membangun bangsa.
“Tapi itu hanya bersilang pendapat dalam hal politik. Dalam sehari-harinya keluarga kami tetap dekat,” kata Guruh.
Guruh pun mengaku masih mengingat dengan jelas masa-masa itu. Tradisi
bertukar penganan di pagi atau sore hari yang biasa dilakukan dua
keluarga sejak lama ini masih terus berlangsung, tanpa terganggu
sedikitpun. “Apalagi ibu (Fatmawati), tetap menjaga. Bertukar makanan,
Ibu (Siti Rahmiati) Hatta kirim makanan apa, kita hadiahi makanan apa,”
ujar Guruh.
Tak hanya dengan Hatta, Bung Karno pernah pula berseberangan dengan
Jenderal Nasution. Usai Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli
1959, hubungan keduanya berjarak, bahkan memanas lantaran Nasution
khawatir pembubaran Konstituante dan gagasan kembali kepada UUD 1945
akan mengembalikan pula sikap totaliter Soekarno.
Meski begitu, nyatanya, Guruh dan anak sulung Nasution, Hendrianti
Saharah, tetap diperkenankan saling kunjung ke rumah untuk berlatih
aneka tarian Nusantara, juga berangkat sekolah dan bermain bersama.
“Hal yang sama juga ketika Bapak berbeda pendapat dengan orang-orang
dari PSI (Partai Sosialis Indonesia, pimpinan Sutan Sjahrir). Ibu tetap
bersahabat dengan teman-temannya di sana, dan tentu Bapak tak
melarangnya,” kata Guruh.
Menirukan apa yang pernah dikatakan Bung Karno, Guruh berucap, “Jangan
benci seseorang secara pribadi hanya karena berbeda pandangan.”
Credit
Metrotvnews.com