DOK. AUSTRALIA TOURISM Suku Aborigin merekam jejak cerita selama ribuan tahun lewat lukisan dinding.
CB – Arnhem Land menyimpan segudang cerita
mesra dari masa lalu antara suku Yolngu, penduduk Aborigin yang berdiam
di timur laut Australia, dan para pelaut asal Makassar.
Memori tentang hubungan dagang dan interaksi budaya diceritakan
turun-temurun secara lisan hingga kemudian dicatat sebagai sejarah yang
kerap dibahas di berbagai forum akademik.
Kisahnya lalu menyisakan rindu yang terus meraung di sanubari keturunan penduduk asli Australia ini.
Embusan angin, debur ombak di sepanjang pantai di Arnhem Land, dan
binar mata anak cucu suku Yolngu setia menyanyikan nostalgia tentang
para pria pemberani dari Nusantara yang suka berdagang.
***
Bagi suku Yolngu yang tinggal di Arnhem Land, orang Indonesia bukanlah kawan baru.
Jauh sebelum Australia terbentuk, bahkan sebelum Matthew Flinders
tiba di daratan negeri Kangguru itu, para pelaut dari Nusantara sudah
tiba di Arnhem Land dengan kapal pinisi.
Sejarah mencatat, para pelaut asal Makassar itu bertemu dan memulai
kontak dengan suku Yolngu menjelang akhir abad ke-17. Masyarakat Yolngu
menyebut para pelaut dari Makassar ini sebagai
Mangathara, sedangkan pelaut dari Makassar menyebut Arnhem Land sebagai
Marege.
Mereka menaklukkan laut Arafuru selama 2-3 minggu demi mencari
teripang di tanah Aborigin. Ada sekitar 40-50 pinisi sekali datang.
Masing-masing pinisi berisi sekitar 20 awak.
Teripang atau
trepang menjadi komoditas berharga bagi para
pelaut dari Makassar untuk dijual ke pedagang China. Sementara itu,
pesisir pantai utara Australia merupakan salah satu tempat terbaik
penghasil teripang.
KOMPAS.com/Caroline Damanik
Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource
Development Services (ARDS), memberdayakan suku Yolngu, penduduk
Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, melalui siaran
radio yang diudarakan secara swadaya dari rumahnya di Nhulunbuy,
Semenanjung Gove. Richard juga menulis buku tentang penduduk asli
Australia ini yang diberi judul "Why Warriors Lie Down and Die".
“Perdagangan
yang dilakukan orang-orang Makassar adalah teripang. Kawasan pesisir
pantai masyarakat Yolngu merupakan perairan dangkal di mana teripang
bisa berkembang biak dalam jumlah besar,” kata Richard Ian Trudgen,
pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS),
tentang lingkungan tempat tinggal suku Yolngu.
Para pelaut Makassar pun semakin rutin datang.
Barra atau
angin yang berhembus dari arah barat laut menjadi penanda bahwa pinisi
atau perahu tradisional milik para pelaut Makassar segera kembali datang
ke Arnhem Land.
“Ketika
barra berhembus, suku Yolngu sudah yakin bahwa para pedagang dari Makassar di Sulawesi Selatan akan segera datang,” ungkap Richard.
Penduduk asli Australia ini lalu akan segera bersiap memanen
teripang, juga mutiara dari tiram dan kerang serta penyu sisik dan penyu
hijau.
Hingga pada suatu waktu, tak hanya singgah untuk membeli,
lama-kelamaan sebagian dari pelaut asal Makassar ini juga ikut tinggal
sementara di Arnhem Land untuk membantu penduduk suku Yolngu
membudidayakan dan memanen teripang, mengolah, mengeringkannya lalu
mengirimkannya kembali ke Makassar dengan kapal untuk dijual.
Langgeng
Hubungan dagang terus berlanjut dan para pelaut dari Makassar selalu datang setiap
barra
berembus, tanda musim penghujan datang. Richard mencatat bahwa riwayat
kedatangan dan jual beli antara suku Yolngu dan pelaut Makassar,
termasuk pengaruh yang diberikan oleh
Mangathara, dicatat oleh suku Yolngu dalam serangkaian lagu yang disebut
manikay.
Manikay pada dasarnya berisi pengetahuan dari para leluhur
mengenai bagaimana cara suku Yolngu hidup, biasanya dinyanyikan pada
saat upacara adat.
Dari
manikay diketahui bahwa teripang dibeli dengan cara
barter dengan sejumlah benda seperti alkohol, tembakau, beras dan
senapan dari para pelaut Makassar.
Cerita turun-temurun juga mencatat benda-benda berbahan logam,
misalnya kapak, kait pancing, alkohol, selimut, pedang dan senapan,
sebagai hasil barter.
“Sementara itu, catatan sejarah pemerintah South Australia dan
parlemen menunjukkan barang-barang yang diterima dari orang Makassar
hanyalah tembakau dan beras,” tutur penulis buku “
Why Warriors Lie Down and Die” ini.
Paul Thomas, dosen yang menjabat sebagai koordinator dari Indonesian
Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari
Monash University, mengatakan bahwa pada saat itu, beras menjadi
komoditas yang penting bagi suku Yolngu.
Bahkan, Paul menyebutkan bahwa para pelaut dari Makassar-lah yang
memperkenalkan logam untuk pertama kalinya kepada penduduk asli
Australia. Sebelumnya, segala alat kerja suku Yolngu terbuat dari batu.
KOMPAS.com/Caroline Damanik
Gambar pinisi yang berisi pelaut dari Makassar yang datang berlayar ke
tanah suku Yolngu, penduduk Aborigin yang tinggal di Arnhem Land di
timur laut Australia, sekitar akhir abad 17 hingga awal abad 19
ditunjukkan oleh Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of
Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University.
“Awalnya
memang teripang, tetapi bagi suku asli, kunjungannya (pelaut dari
Makassar) tentu lebih penting dari perdagangan biasa. Beras (di
nusantara) tidak terlalu mahal waktu itu, tidak dianggap penting, tetapi
bagi suku asli, beras sangat penting sekali. Jadi untuk mereka,
perdagangan dengan orang dari Indonesia jauh lebih penting karena
(mereka butuh) beras, pisau, logam, tembakau,” ucapnya saat ditemui di
Monash University.
Tak hanya saling memberikan keuntungan dari segi ekonomi, pertukaran
budaya juga terjadi. Sejumlah anggota klan Yolngu ikut menempuh
perjalanan laut ke Nusantara. Sejumlah pelaut dari Makassar pun ada yang
tinggal sementara untuk memanen teripang.
Salah satu pengaruh kuat dari hubungan ini adalah dari segi bahasa.
Bahasa Aborigin-Yolngu mengenal sejumlah kosa kata yang mirip dengan
kata dalam bahasa Indonesia, misalnya
rrothi yang berarti roti,
Balanda dari kata Belanda merujuk kepada orang kulit putih,
prau yang berasal dari kata perahu dan
rupiah dari kata rupiah untuk merujuk pada uang di kehidupan suku Yolngu.
Paul mengatakan bahwa bahasa yang memengaruhi kosa kata suku Yolngu
adalah Bahasa Melayu. Ini menjadi salah satu bukti bahwa tidak semua
anak buah kapal pinisi dari Makassar itu adalah orang Makassar, Bugis
atau Bone.
Tak hanya itu, penduduk Yolngu juga mengenal bendera yang
diperkenalkan oleh pelaut dari Makassar. Penduduk asli memakai bendera
untuk menunjukkan teritori kelompok tertentu dan sebagai simbol yang
sangat penting dalam upacara adat. Mereka lalu mulai berinovasi dengan
teknologi sederhana, misalnya membuat perahu kecil atau sampan yang
disebut
lipa-lipa.
“Itu semacam sampan yang digunakan penduduk asli, tapi dulu tidak ada
teknologi semacam itu. Mereka belajar dari orang Indonesia. Jadi ini
buktinya bahwa pengaruhnya cukup dalam karena biasanya agak sulit untuk
belajar teknologi baru dengan mengunakan alat,” tutur Paul.
Namun demikian, menurut Paul, riwayat perjalanan
Mangathara selama
ini hanya berdasarkan catatan Belanda di Sulawesi yang tengah menjajah
Nusantara dan lukisan orang Aborigin di dinding gua.
KOMPAS.com/Caroline Damanik
Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages,
Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, menuturkan
kisah kedatangan pelaut dari Makassar ke pantai utara Australia.
Belum
ditemukan catatan para pelaut dari Makassar yang mengonfirmasi waktu
kedatangan mereka di Arnhem Land sehingga belum bisa ada klaim bahwa
pelaut pertama yang tiba di benua Australia adalah pelaut dari
Nusantara.
Berubah
Dari antara tahun 1760-1770, hubungan akrab suku Yolngu dan pelaut Makassar berlanjut hingga sekitar 1,5 abad kemudian.
Richard menuturkan bahwa hubungan ini bisa berlangsung langgeng dalam
jangka waktu yang lama karena sikap para pelaut dari Makassar yang
bersahabat dan memberi manfaat yang signifikan dalam kehidupan
masyarakat Yolngu di pesisir pantai Arnhem Land. Sikap seperti ini,
lanjutnya, yang tidak ditemukan pada para pelaut Eropa ketika tiba di
benua Australia.
“Ketika Makassar datang dan pergi selama beberapa abad, mereka
menghormati kekuasaan suku Yolngu. Para pelaut Makassar hanya berada di
sekitar pantai setelah berlabuh. Di tempat ini mereka menunggu para
juragan Yolngu untuk bernegosiasi dalam hubungan dagang mereka. Hanya
ada beberapa saja ketidaksepakatan yang kemudian menjadi perkelahian
dalam hubungan dagang selama berabad-abad,” ucap Richard.
Namun, pada suatu musim hujan, saat mereka sudah menyiapkan teripang
dan segala hasil laut yang menjadi komoditas perdagangan tanah Arnhem,
para penduduk asli ini harus menerima kenyataan bahwa para pelaut
Makassar tak akan pernah datang lagi.
Kisah mesra mereka harus berakhir setelah pemerintah Australia pada
awal abad ke-19 mewajibkan setiap pelaut untuk memiliki izin dan
membayar semacam pajak jika hendak memancing atau memanen teripang di
kawasan Australia.
“Ada kabar bahwa sejumlah nakhoda dari Makassar sudah diberi tahu
bahwa mereka tidak bisa lagi datang karena Balanda (sebutan penduduk
asli untuk bangsa Eropa) yang ada di Pelabuhan Darwin tidak mengizinkan
mereka berlabuh. Sejumlah tetua Yolngu ingat betul bagaimana ayah atau
kakek mereka berurai air mata ketika para nakhoda dari Makassar itu
menyampaikan kabar ini,” tutur Richard.
“Banyak penduduk Yolngu yang mengecam cerita itu. Mereka mengatakan
‘siapa Balanda-balanda itu? Mereka tak ada urusan dengan perjanjian
kerja sama yang resmi antara klan kita dan pelaut dari Makassar’,”
tambahnya kemudian.
Sejak saat itu, mulai tahun 1906, tak ada lagi pinisi yang datang ke
Arnhem Land. Kehidupan menjadi sulit bagi penduduk Yolngu ketika
perdagangan dengan pelaut Makassar berhenti.
Memang ada kapal-kapal baru yang datang dan pergi di perairan Arnhem
Land yang kini termasuk dalam negara bagian Northern Territory,
Australia. Namun, bukannya untuk berdagang seperti pelaut Makassar,
mereka malah mencuri.
Segalanya telah berubah….
dok.Richard Trudgen
Peta rute perjalanan pinisi yang berisi para pelaut dari Makassar
menuju perairan Arnhem Land di timur laut Australia seperti yang
tercantum dalam buku "Why Warriors Lie Down and Die" karya Richard Ian
Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services
(ARDS).
Credit
KOMPAS.com