Credit republika.co.id
Kamis, 24 Januari 2019
Warganya Dilaporkan Hilang, Australia Minta Penjelasan China
Kerabat melaporkan Yang hilang ketika kembali ke kampung halamannya di Guangzhou. Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan telah mengetahui kabar itu dan tengah mencari informasi keberadaan Yang.
"Karena kewajiban privasi kami, kami tidak bisa memberikan komentar lebih lanjut," ucap juru bicara Kemlu Australia kepada AFP pada Rabu (23/1).
Sementara itu, Sydney Morning Herald melaporkan Yang melawat ke China bersama sang istri dan anak laki-lakinya pada 18 Januari lalu dan pergi ke Shanghai. Namun, ketiganya dilaporkan tidak pernah sampai ke kota itu.
Berita hilangnya Yang memicu kekhawatiran ada kemungkinan dia ditahan otoritas China. Seorang kerabat yang juga merupakan jurnalis, John Garnaut menganggap Yang sebagai seorang yang brilian dan berani memperjuangkan demokrasi.
"Insiden ini akan bergema secara global jika pihak berwenang tidak cepat menemukan jalan keluar," kata Garnaut memperingatkan.
Yang pernah bekerja di Kementerian Luar Negeri China di Provinsi Hainan. Namun, dia hijrah ke Hong Kong pada 1992 dan lalu pergi ke AS lima tahun kemudian. Di Negeri Paman Sam, Yang bekerja di sebuah lembaga analisis bernama Atlantic Council.
Dia kemudian memutuskan beralih kewarganegaraan Australia. Sejak itu, ia menulis sejumlah buku novel bertemakan mata-mata dan sebuah blog berbahasa China yang cukup populer.
Yang pernah dinyatakan hilang pada 2011 lalu, tetapi ternyata cuma salah paham. Dia juga pernah dianggap sebagai salah satu blogger politik China paling berpengaruh.
Berita hilangnya Yang memicu kekhawatiran dia telah ditangkap otoritas China.
Sebab, insiden ini terjadi ketika China tengah bersitegang dengan Kanada akibat penangkapan Direktur Keuangan Huawei, Meng Wanzhou, beberapa waktu lalu di Kanada atas permintaan Amerika Serikat. China membalas penangkapan Meng dengan menahan dua warga Kanada.
Belakangan, Australia juga mengungkapkan keprihatinan terhadap penangkapan warga Kanada tersebut.
Credit cnnindonesia.com
Jumat, 28 Desember 2018
Australia Diterjang Gelombang Panas, Suhu Nyaris 50 Derajat
Seperti dilansir The Guardian, Kamis (27/12), menurut Biro Meteorologi dan Perkiraan Cuaca Australia suhu di wilayah sebelah barat mencapai 49 derajat celcius. Kondisi itu terjadi di daerah Marble Bar dan Pannawonica, Pilbara. Mereka lantas menerbitkan peringatan supaya masyarakat waspada dengan kebakaran hutan.
Penduduk juga diminta tidak berkegiatan di luar rumah lantaran gelombang panas itu bisa mempengaruhi kesehatan.
Suhu panas yang tercatat hari ini hanya selisih sedikit dari yang pernah direkam oleh Australia. Yaitu 50,7 derajat Celcius di Bandara Oodnadatta pada 1960.
Gelombang panas itu menerpa kawasan barat dan selatan Australia, serta Negara Bagian New South Wales dan Queensland. Rata-rata cuaca panas di sana tercatat menyentuh angka 41 sampai 46 derajat Celcius.
Saking panasnya suhu udara, Negara Bagian Victoria mengerahkan pemadam kebakaran ke pemukiman warga untuk menyemprotkan air untuk menurunkan suhu lingkungan.
Kepala Dinas Kesehatan New South Wales, Jeremy McAnulty memperingatkan gelombang panas bisa membuat paru-paru iritasi. Jadi masyarakat yang mengidap asma dan kondisi paru-paru yang ringkih diminta waspada.
Diperkirakan gelombang panas akan menyapu Australia hingga Selasa pekan depan. Terutama di wilayah sebelah barat laut hingga selatan.
Credit cnnindonesia.com
Kamis, 27 Desember 2018
KALEIDOSKOP 2018 : Dari AS, Kisruh Status Yerusalem Merembet ke RI-Australia
Semua berawal dari keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 7 Desember 2017 untuk memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Tak hanya dari negara Arab dan negara Muslim, sekutu-sekutu AS turut mengecam langkah kontroversial Trump tersebut, yang dianggap mengancam prospek perdamaian Israel-Palestina bahkan memicu gerakan "intifada" ketiga.
Yerusalem selama ini merupakan salah satu sumber konflik Israel-Palestina, di mana kedua belah pihak sama-sama mengklaim kota suci bagi tiga agama itu sebagai ibu kota mereka.
Selain itu, keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel ini juga dianggap bertentangan dengan hukum dan resolusi internasional yang ada.
Meski begitu, Trump berkeras memindahkan kantro perwakilan AS untuk Israel ke Yerusalem dengan membuka kantor kedutaan sementara pada 14 Mei lalu.
Donald
Trump berkeras memindahkan kantro perwakilan AS untuk Israel ke
Yerusalem dengan membuka kantor kedutaan sementara pada 14 Mei lalu.
(Reuters/Ronen Zvulun)
|
Selain itu, langkah kontroversial itu dilakukan Trump semata-mata demi mengimplementasikan Undang-Undang tentang relokasi kedutaan AS untuk Israel ke Yerusalem yang disahkan Kongres AS pada 1995 lalu.
Namun, para pendahulu Trump selalu menggunakan hak perogatifnya untuk membuat surat penangguhan terkait relokasi kedutaan tersebut dengan alasan menghindari agar konflik Timur Tengah tidak memburuk.
Langkah kontroversial AS ini menjadi "inspirasi" bagi sejumlah negara lain. Sejak AS merelokasi kedutaannya untuk Israel ke Yerusalem, beberapa negara mengikuti langkah serupa.
Guatemala mengumumkan akan merelokasi kedutaannya untuk Israel ke Yerusalem pada 16 Mei 2018, dua hari setelah AS membuka misi diplomatiknya di kota tersebut.
Paraguay juga sempat mengumumkan keputusan serupa pada 22 Mei lalu, namun membatalkannya empat bulan kemudian.
Presiden Brasil yang baru terpilih, Jair Bolsonaro, juga menyatakan keinginan untuk merelokasi kedutaan besar negaranya untuk Israel ke Yerusalem sesuai janji kampanyenya. Meski begitu, sejumlah pihak menganggap rencana tersebut tak akan benar-benar terjadi.
Pada Oktober lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga mengumumkan bahwa kabinetnya tengah mempertimbangkan rencana merelokasi kedutaan Negeri Kanguru untuk Israel ke Yerusalem.
Pengumuman ini sempat membuat relasi RI dan Australia panas Selain menyalahi resolusi internasional terkait status quo Yerusalem, Indonesia menilai pemindahan kedutaan untuk Israel ke kota tersebut bisa memperburuk peluang proses damai Palestina-Israel melalui solusi dua negara.
Credit cnnindonesia.com
Australia Dukung Palestina Merdeka Usai Klaim Soal Yerusalem
Quinlan juga menuturkan Australia tetap berkomitmen mendukung solusi dua negara menjadi satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
"Sesuai dengan komitmen kami untuk solusi dua negara, Pemerintah Australia mengakui aspirasi rakyat Palestina untuk sebuah negara masa depan dengan Ibu Kota di Yerusalem Timur," ucap Quinlan melalui pernyataan yang ia unggah di akun Twitternya pada Senin (17/12).
Pernyataan itu diutarakan Quinlan menyusul sikap Perdana Menteri Scott Morrison soal Yerusalem Barat pada Sabtu (15/12) lalu.
Keputusan itu diambil Morrison lantaran Yerusalem Barat selama ini telah menjadi tempat di mana parlemen Israel, Knesset, dan lembaga pemerintah Israel lainnya beroperasi. Namun, Morrison menuturkan Australia belum berniat memindahkan kantor kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem Barat.
Quinlan menuturkan relokasi kedutaan itu tidak akan dilakukan "sampai status final Yerusalem telah diputuskan melalui negosiasi antara Palestina dan Israel."
Australia telah mempertimbangkan merelokasi kedutaan besarnya untuk Israel ke Yerusalem sejak Oktober lalu.
Kala itu, Morrison mengatakan pertimbangan ini muncul lantaran proses perdamaian antara Israel dan Palestina tak kunjung usai. Penyebabnya adalah kedua negara memperebutkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka kelak.
Pernyataan Morrison ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Indonesia. Sebagai pendukung Palestina, Indonesia menentang keras rencana Australia tersebut karena dianggap semakin mengancam prospek perdamaian Israel-Palestina.
Palestina juga menyatakan kecewa dengan sikap Australia dengan pengakuan atas Yerusalem Barat.
Selain itu, Indonesia menilai langkah kontroversial Australia yang terinspirasi dari Amerika Serikat itu melanggar hukum internasional.
Tak lama setelah rencana kontroversial itu diumumkan Morrison, Indonesia langsung menerbitkan pernyataan kecaman hingga memanggil duta besar Australia di Jakarta.
Indonesia bahkan mengancam rencana Negeri Kangguru itu bisa mempengaruhi proses penyelesaian perjanjian perdagangan bernilai US$11,4 miliar (sekitar Rp17,3 triliun) dengan Australia.
Credit cnnindonesia.com
Selasa, 25 Desember 2018
RI Kecam Media Australia: Jika Dibom Posfor, Seluruh Nduga Musnah
https://international.sindonews.com/read/1365410/40/ri-kecam-media-australia-jika-dibom-posfor-seluruh-nduga-musnah-1545638698
Minggu, 23 Desember 2018
Tuduhan Media Australia soal Bom Kimia di Papua dan Bantahan Wiranto
https://international.sindonews.com/read/1364955/40/tuduhan-media-australia-soal-bom-kimia-di-papua-dan-bantahan-wiranto-1545453754
TNI Bantah Gunakan Bom Fosfor di Papua
Aidi mengatakan bahwa TNI tidak pernah memiliki senjata seperti bom fosfor tersebut di Papua. Bahkan, ucap dia, TNI tidak mempunyai senjata artileri maupun pesawat tempur. "Alutsista TNI yang ada di Papua hanya pesawat helly angkut jenis Bell, Bolco, dan MI-17. Tidak ada pesawat serbu apalagi pengebom," katanya.
Menurut Aidi, isu TNI menggunakan bom fosfordi Papua ini hanyalah propaganda yang dilakukan kelompok bersenjata. Isu ini, kata dia, sengaja digulirkan kelompok bersenjata demi menutupi kasus penembakan pekerja jembatan di Nduga oleh mereka.
https://nasional.tempo.co/read/1157996/tni-bantah-gunakan-bom-fosfor-di-papua?utm_source=dable
Sabtu, 22 Desember 2018
Australia Minta Cina Berhenti Meretas
Ilustrasi hacker. foxnews.com
CB, Canberra – Pemerintah Federal Australia meminta pemerintah Cina untuk menghentikan plot global oleh kelompok peretas yang didukung lembaga intelijen negara itu dari kegiatan mencuri hak kekayaan intelektual negara Barat.
Kementerian Kehakiman Amerika Serikat telah mendakwa dua peretas asal Cina terkait kegiatan peretasan ini, yang disebut telah menyasar setidaknya 45 perusahaan dan lembaga pemerintahan AS.
“Ini adalah kampanye peretasan global oleh sekelompok peretas yang bekerja untuk kepentingan kementerian Keamanan Negara Cina. Ini mencakup global dan sangat signifikan,” kata Alastair MacGibbon, kepala Pusat Keamanan Siber Australia, kepada radio ABC seperti dikutip News pada Jumat, 21 Desember 2018.
Menurut Alastair, kegiatan ini bisa mengenai ribuan perusahaan secara global. “Kami tahu ada sejumlah korbannya di Australia,” kata Alastair. Dia menuduh divisi peretasan pemerintah Cina telah mengambil makanan dari meja orang Australia.
Sejumlah perusahaan Australia yang terkena peretasan ini telah diberitahu oleh otoritas pada 2016 dan 2017.
Menteri Luar Negeri Marise Payne dan Menteri Dalam Negeri, Peter Dutton, mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa APT10 ini merupakan serangan siber berkelanjutan.
“Australia meminta semua negara termasuk Cina untuk menegakkan komitmen untuk menahand iri dari pencurian siber terhadap kekayaan intelektual, rahasia dagang, dan informasi bisnis rahasia, yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan kompetitif dalam bisnis,” begitu pernyataan bersama keduanya.
Sebelumnya, Deputi Jaksa Agung AS, Rod Rosenstein, mengatakan ada dua orang dari kelompok APT10 yang terkena dakwaan. Kedua peretas ini, yang bernama Zhua Hua dan Zhang Shilong, bekerja atas perlindungan dari kementerian Keamanan Negara Cina.
Soal ini, Hua Chunying, juru bicara kementerian Luar Negeri Cina, menolak tudingan itu dan menyebutnya mengada-ada. Pemerintah Cina menyebut tudingan itu bersifat jahat.
“Cina secara tegas menjaga keamanan siber, selalu menolak dan menangani semua bentuk pencurian siber,” kata Hua Chunying, juru bicara kementerian Luar Negeri Cina seperti dilansir CNN. “Pemerintah Cina tidak pernah berpartisipasi atau mendukung pencurian rahasia dagang.”
Credit Tempo.co
https://dunia.tempo.co/read/1157754/australia-minta-cina-berhenti-meretas
Kamis, 20 Desember 2018
Rabu, 19 Desember 2018
Selasa, 18 Desember 2018
Kenapa Israel Kecewa Pengakuan Australia Atas Yerusalem Barat?
"Kami mengharapkan lebih dari negara sahabat kami Australia," kata Edelstein kepada Army Radio, dikutip Times of Israel, 18 Desember 2018.
Kekecewaan Edelstein sehari pasca-pengumuman PM Australia Scott Morrison yang mengakui Yerusalem Barat, wilayah Yerusalem yang dikuasai Israel sebelum Juni 1967, sebagai ibu kota Israel. Namun Australia juga menyampaikan dukungan kepada klaim Palestina atas Yerusalem Timur.
PM Australia, Scott Morrison, menuding Partai Buruh berperilaku anti-semit terkait isu pemindahan kedubes ke Yerusalem. Flipboard
"Saya pikir itu bukan hanya tidak bermanfaat untuk stabilitas di kawasan itu (Yerusalem) tapi juga secara tidak langsung membuat memicu kekerasan dari rakyat Palestina dan mimpi mereka yang tidak realistis," kata Edelstein.
Edelstein juga mengatakan tidak dapat memahami keputusan Australia.
"Sangat sulit dimengerti...Seluruh Yerusalem adalah ibu kota abadi kami, bukan hanya separuh," kata Edelstein.
Israel menganeksasi Yerusalem Timur dalam Perang Enam Hari pada 1967 dan mengklaim seluruh kota adalah ibu kotanya. Namun Palestina mengklaim Yerusalem Timur seharusnya menjadi ibu kota Palestina."(Keputusan Australia) telah memundurkan kemajuan kami sejak tahun-tahun sebelumya, tahun-tahun di mana dunia berupaya memberikan solusi kepada pihak yang tidak bertanggungjawab seperti Otoritas Palestina dan PLO dan tidak ada yang terealisasi," tegas Edelstein, dikutip dari Haaretz. Edelstain merujuk pada perjanjian damai Olso tahun 1993 yang setuju pendirian Otoritas Palestina.
Situasi di Yerusalem Barat. [REUTERS]
Pengakuan Australia atas Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel tampaknya menjadi blunder bagi Israel, sebab Australia juga menyatakan dukungan atas solusi dua negara.
Dilansir dari The Independent, solusi dua negara adalah pembagian teritori yang disengketakan pada 1947, ketika PBB mengusulkan pembentukan negara Palestina di sebelah barat sungai Yordan. Ini berarti Israel akan kehilangan Yerusalem Timur yang dicaploknya pada perang 1967.
Sejak Yasser Arafat, Palestina sendiri ingin sengketa dengan Israel diselesaikan berdasarkan solusi dua negara, yang ditolak oleh Israel. Pengakuan Australia atas Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel bersamaan dengan dukungan Australia atas solusi dua negara berarti Australia mengakui klaim Palestina atas Yerusalem Timur.
Credit tempo.co
OKI Sebut Keputusan Australia Atas Yerusalem Langgar Resolusi PBB
Dalam pernyataan tertulis pada Minggu, yang dilaporkan dari Yeni Safak, 18 Desember 2018, OKI menolak seluruh upaya yang bisa merugikan status hukum kota dan menekankan bahwa Yerusalem adalah bagian dari wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel pada 1967.
OKI meminta Australia menghormati resolusi internasional dan meninjau ulang keputusannya.
Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, di Suntec Convention Centre, Singapura, Rabu, 14 November 2018. Foto: Biro Pers Setpres
Dewan Nasional Palestina (PNC) juga mengutuk keputusan Australia dan menyebutnya melanggar resolusi internasional.
"Keputusan Australia menyakiti rakyat Palestina yang tinggal di Yerusalem," kata PNC.
Sementara PM Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan tidak ada negara yang bisa memutuskan Yerusalem menjadi ibu kota Israel atau membaginya, menurut laporan New Straits Times.
Taman Nasional Kota David di Yerusalem [Sputniknews]
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, Sabtu kemarin mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, namun tidak akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv sampai situasi yang memungkinkan. Australia juga menyatakan dukungan klaim Palestina atas Yerusalem Timur.
Namun Ketua Parlemen Israel (Knesset) Yuli Edelstein tidak puas dengan keputusan Australia yang dinilai setengah-setengah.
"Saya tidak paham keputusan Australia...seluruh Yerusalem adalah ibu kota abadi Israel," kata Edelstein, yang dikutip dari The Jerusalem Post.
Yerusalem masih menjadi sengketa utama antara Palestina dan Israel selama konflik puluhan tahun. Palestina mengharapkan Yerusalem Timur, yang dicaplok oleh Israel pada 1967, sebagai ibu kota mereka. Sementara Israel mengklaim bahwa seluruh Yerusalem adalah milik Israel.
Credit tempo.co
OKI Desak Australia Tinjau Ulang Keputusan Soal Yerusalem
Credit sindonews.com
AS Sambut Pengakuan Australia Atas Yerusalem Barat
Donald Trump sendiri telah mengumumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Keputusan Australia atas Yerusalam adalah langkah awal yang tepat," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, dilaporkan dari Sidney Morning Herald, 18 Desember 2018.
Scott Morrison, Perdana Menteri Australia. Sumber: Reuters/asiaone.com
Namun Israel dan Palestina sama-sama kecewa atas keputusan Australia. Israel mengapresasi keputusan Morrison atas pengakuan, tapi kecewa karena kedutaan Australia tetap di Tel Aviv.
Sementara Palestina mengkritik keputusan Australia karena akan menjauhkan dari solusi dua negara.
Pejabat Komite Eksekutif PLO Saeb Erekat mendesak negara Arab dan Muslim agar membekukan hubungan dengan Australia, seperti dilaporkan dari Ynetnews.
Namun Morrison menyampaikan keputusan Australia terkait Yerusalem tetap tidak akan mengubah dukungan Australia atas solusi dua negara.
"Solusi dua negara tetap menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel," kata Morrison, dikutip dari News.com.au, dan menambahkan Australia juga mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan Palestina.
Credit tempo.co
Liga Arab Desak Australia Akui Yerusalem Timur Ibu Kota Palestina
"Deklarasi Australia, yang termasuk pengakuan Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, sangat mengganggu, karena bertentangan dengan hukum internasional dan hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut," kata Aboul-Gheit, seperti dilansir Anadolu Agency pada Senin (17/12).
"Saya meminta pemerintah Australia untuk memperbaiki posisinya dan mengakui negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya tanpa penundaan. Dengan cara ini kita akan mempertimbangkan posisi Australia telah seimbang," sambungnya.
Sebelumnya, Liga Arab menyebut keputusan Australia untuk mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel adalah bentuk dukungan tidak langsung terhadap kebijakan pendudukan Tel Aviv terhadap Palestina.
Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab untuk Palestina, Saeed Abu Ali menyatakan, keputusan Australia tersebut adalah pelanggaran keras terhadap hukum internasional. Abu Ali kemudian menyebut, keputusan ini juga sama dengan mendukung pendudukan Israel.
Credit sindonews.com
Senin, 17 Desember 2018
Klaim Semua Wilayah Yerusalem, Israel Sesalkan Australia
Menteri untuk Kerja Sama Regional Israel, sekaligus orang kepercayaan Netanyahu di Partai Likud yang beraliran kanan, Tzachi Hanegbi menyebut ada kekecewaan pihaknya pada Australia, meski ia tetap menganggap Australia sebagai "teman dekat dan akrab selama bertahun-tahun."
"Kami menyesalkan [bahwa] dalam berita positif ini [soal pengakuan Yerusalem] mereka [Australia] membuat kesalahan," kata Hanegbi kepada wartawan di luar ruang kabinet, Minggu (16/12) dikutip dari Reuters.
"Tak ada pemisahan antara bagian timur kota itu [Yerusalem] dan bagian barat kota itu. Yerusalem seluruhnya, bersatu. Kendali Israel atasnya kekal dan abadi. Kedaulatan kami tidak akan dipisah-pisahkan ataupun dirusak. Dan kami berharap Australia segera akan menemukan jalan untuk memperbaiki kesalahan yang dibuatnya," ia menuturkan.
Pada Sabtu (15/12), Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan pihaknya secara resmi mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Namun, ia tetap menegaskan kembali dukungan negaranya bagi sebuah ibu kota Palestina di Yerusalem Timur leewat kesepakatan perdamaian dua negara itu.
Pengakuan itu datang sejak Oktober, di mana Morrison akan menghadapi pemilu di wilayah dengan representasi keturunan Yahudi yang kuat. Namun, ia kalah dalam pemilihan itu.
Foto: Diolah dari Laurence SAUBADU / AFP
|
Di pihak lain, kepala negosiasi Palestina Saeb Erekat menyebut langkah Australia itu sebagai bagian "kebijakan politik dalam negeri murahan".
"Semua tentang status Yerusalem adalah isu final dalam negosiasi. Sementara Yerusalem Timur adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Palestina di bawah hukum internasional," tuturnya.
Saat dikonfirmasi lebih jauh soal sikap Israel itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak untuk memberikan penjelasan.
"Kami sudah mengeluarkan pernyataan di Kementerian Luar Negeri. Tak ada lagi yang ingin saya tambahkan," kata dia kepada wartawan, sebelum sidang kabinet pada Minggu (16/12).
Diketahui, Israel menguasai Yerusalem Timur dalam Perang Arab pada 1967 dan mencaplok sebagai ibu kotanya. Langkah itu sendiri tidak mendapat pengakuan secara internasional.
Warga Palestina memprotes pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, di perbatasan Israel-Gaza, Mei. (REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa)
|
Isu Yerusalem itu sendiri kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan resmi memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke kota itu, beberapa waktu lalu.
Credit cnnindonesia.com
Pindahkan Kedutaan, Australia Tunggu Status Final Yerusalem
Dilansir dari laman resmi Kedutaan Besarnya untuk Indonesia, Australia menyatakan mereka tetap berkomitmen untuk solusi dua negara dan pembentukan negara Palestina.
Pembentukan negara Palestina disebut Australia sebagai satu-satunya jalur untuk menyelesaikan sengketa antara Israel dan Palestina.
"Australia tidak akan memindahkan Kedutaan Besar dari Tel Aviv. Kedutaan Besar Australia di Israel tidak akan dipindahkan ke Yerusalem Barat sampai status final Yerusalem telah diputuskan melalui negosiasi antara Palestina dan Israel," demikian pernyataan Kedutaan Besar Australia, Minggu (16/12).
Sejauh ini Australia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel karena di sana berdiri parlemen Israel dan banyak lembaga pemerintahan.
Namun Australia juga mengakui aspirasi rakyat Palestina sebagai sebuah negara masa depan dengan Yerusalem Timur adalah ibu kotanya.
Perdana Menteri Scott Morrison sudah mengutarakan pertimbangan negaranya untuk relokasi kedutaan besar ini sejak Oktober lalu.
Kala itu, Morrison mengatakan bahwa pertimbangan ini muncul lantaran proses perdamaian antara Israel dan Palestina tak kunjung usai karena kedua negara memperebutkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka kelak.
Pernyataan Morrison ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Indonesia. Sebagai pendukung Palestina, Indonesia menentang keras rencana Australia tersebut karena dianggap semakin mengancam prospek perdamaian Israel-Palestina.
Credit cnnindonesia.com