KIEV
- Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengatakan pihaknya akan
mengumumkan darurat militer setelah kapal-kapal militernya bentrok
dengan militer Rusia di Laut Hitam hari Minggu. Dalam bentrok di pantai
Crimea, pasukan Moskow menembaki dan menangkap tiga kapal Angkatan Laut
Kiev.
Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina (NSDC) Ukraina telah mendukung deklarasi darurat militer selama 60 hari. Usulan Presiden Poroshenko ini sedang diajukan ke parlemen Ukraina, Verkhovna Rada, untuk mendapat persetujuan akhir.
Pemimpin Ukraina mengatakan Kiev tidak berencana untuk melakukan operasi penyerangan jika darurat militer diberlakukan.
Berbicara pada konferensi pers setelah pertemuan, Poroshenko mengatakan bahwa Kiev telah meminta NATO dan Uni Eropa untuk mengkoordinasikan tindakan militer Kiev untuk memastikan perlindungan Ukraina.
"Kami menyerukan kepada seluruh koalisi internasional pro-Ukraina; kita harus menyatukan upaya," kata Poroshenko.
Dia akan membahas langkah-langkah lebih lanjut dengan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pada hari Senin (26/11/2018). Menurutnya, pembicaraan dengan para pemimpin negara-negara sekutu Ukraina juga telah direncanakan digelar hari Senin.
Poroshenko berusaha meyakinkan publik bahwa keputusan Kiev untuk memberlakukan darurat militer tidak akan melanggar hak dan kebebasan warganya. Menurutnya, militer Kiev hanya akan melakukan tindakan defensif untuk melindungi wilayah dan rakyatnya.
Dia mengklaim bahwa penerapan darurat militer tidak akan memengaruhi kebuntuan di Lugansk dan Republik Donetsk yang memisahkan diri dari Ukraina.
Darurat militer memungkinkan pemerintah Ukraina untuk membatasi berbagai kebebasan sipil yang dilindungi oleh konstitusi, seperti kebebasan pers, kebebasan bergerak dan kebebasan berkumpul.
Di bawah undang-undang darurat militer, Kiev dapat, misalnya, memperkenalkan pembatasan perjalanan untuk melarang warga meninggalkan negara itu sama sekali.
Undang-undang darurat militer juga mempertimbangkan kendali ketat di pos pemeriksaan perbatasan, yang memungkinkan pencarian menyeluruh atas kendaraan, kargo dan barang-barang lainnya.
Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina (NSDC) Ukraina telah mendukung deklarasi darurat militer selama 60 hari. Usulan Presiden Poroshenko ini sedang diajukan ke parlemen Ukraina, Verkhovna Rada, untuk mendapat persetujuan akhir.
Pemimpin Ukraina mengatakan Kiev tidak berencana untuk melakukan operasi penyerangan jika darurat militer diberlakukan.
Berbicara pada konferensi pers setelah pertemuan, Poroshenko mengatakan bahwa Kiev telah meminta NATO dan Uni Eropa untuk mengkoordinasikan tindakan militer Kiev untuk memastikan perlindungan Ukraina.
"Kami menyerukan kepada seluruh koalisi internasional pro-Ukraina; kita harus menyatukan upaya," kata Poroshenko.
Dia akan membahas langkah-langkah lebih lanjut dengan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pada hari Senin (26/11/2018). Menurutnya, pembicaraan dengan para pemimpin negara-negara sekutu Ukraina juga telah direncanakan digelar hari Senin.
Poroshenko berusaha meyakinkan publik bahwa keputusan Kiev untuk memberlakukan darurat militer tidak akan melanggar hak dan kebebasan warganya. Menurutnya, militer Kiev hanya akan melakukan tindakan defensif untuk melindungi wilayah dan rakyatnya.
Dia mengklaim bahwa penerapan darurat militer tidak akan memengaruhi kebuntuan di Lugansk dan Republik Donetsk yang memisahkan diri dari Ukraina.
Darurat militer memungkinkan pemerintah Ukraina untuk membatasi berbagai kebebasan sipil yang dilindungi oleh konstitusi, seperti kebebasan pers, kebebasan bergerak dan kebebasan berkumpul.
Di bawah undang-undang darurat militer, Kiev dapat, misalnya, memperkenalkan pembatasan perjalanan untuk melarang warga meninggalkan negara itu sama sekali.
Undang-undang darurat militer juga mempertimbangkan kendali ketat di pos pemeriksaan perbatasan, yang memungkinkan pencarian menyeluruh atas kendaraan, kargo dan barang-barang lainnya.
Langkah
ini juga memungkinkan untuk meningkatkan kontrol atas media. Publikasi,
televisi, dan saluran radio dapat ditutup jika dianggap menjadi ancaman
bagi keamanan nasional Ukraina.
Seperti diberitakan sebelumnya, pasukan Rusia menembaki kapal-kapal Ukraina setelah dianggap menerobos wilayah Crimea yang dinyatakan sebagai wilayah kedaulatannya. Selama ketegangan berlangsung, tiga kapal Ukraina ditangkap.
Angkatan Laut Ukraina mengatakan tiga pelautnya terluka dan dua kapal artileri mereka terkena tembakan Rusia di pantai Crimea, Laut Hitam. Angkatan Laut Ukraina bersikeras Rusia telah diberitahu sebelumnya tentang perjalanan kapal-kapalnya yang direncanakan.
"Kapal penjaga pantai Rusia melakukan tindakan agresif secara terbuka terhadap kapal angkatan laut Ukraina," kata Angkatan Laut Ukraina.
Dinas Keamanan Federal (FSB) Rusia mengatakan, pihaknya menggunakan senjata setelah kapal-kapal Ukraina mengabaikan desakan untuk menghentikan operasinya. FSB membenarkan bahwa tiga kapal Kiev disita karena menerobos perbatasan secara ilegal.
Menurut FSB, tiga pelaut yang terluka menerima perawatan medis dan hidup mereka tidak dalam bahaya.
"Peristiwa berbahaya hari ini di Laut Azov menunjukkan bahwa sebuah front baru agresi Rusia secara terbuka," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Mariana Betsa, seperti dikutip Sky News.
"Ukraina kini menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)," ujar Betsa.
Sebaliknya, FSB mengklaim apa yang terjadi di pantai Crimea itu adalah hasil provokasi Kiev. "FSB memiliki bukti tak terbantahkan bahwa Kiev mempersiapkan dan mengatur provokasi di Laut Hitam," kata FSB dalam sebuah pernyataan.
"Bahan-bahan (bukti) ini akan segera dipublikasikan," imbuh FSB.
Uni Eropa menyerukan Rusia dan Ukraina untuk menahan diri untuk mengurangi ketegangan di Laut Hitam.
"Mendesak Rusia untuk mengembalikan kebebasan navigasi melalui Selat Kerch setelah Moskow memblokadenya," kata pihak Uni Eropa.
Sekedar diketahui, Crimea melalui referendum melepaskan diri dari Ukraina tahun 2014 saat negara itu dilanda krisis ekonomi dan politik. Setelah melepaskan diri, Crimea menyatakan bergabung dengan Rusia.
Namun, Ukraina dan negara-negara Barat tak mengakui referendum dan menuduh Moskow menganeksasi wilayah tersebut. Setelah Crimea bergabung dengan Rusia, Presiden Vladimir Putin menerbitkan peta yang menyatakan Crimea bagian dari wilayah Rusia.
Credit sindonews.com