Kamis, 18 Oktober 2018

Intelijen Peringatkan Australia Isu Yerusalem Bisa Picu Ricuh


Intelijen Peringatkan Australia Isu Yerusalem Bisa Picu Ricuh
Ilustrasi bentrok di Jalur Gaza. (Reuters/Ibraheem Abu Mustafa)


Jakarta, CB -- Badan intelijen Australia memperingatkan pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison bahwa isu pertimbangan pemindahan kedutaan besar untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem dapat memicu protes hingga kericuhan dan kekerasan.

Peringatan itu terangkum dalam buletin rahasia Asio yang diedarkan pada 15 Oktober, sehari sebelum Morrison mengumumkan kepada publik mengenai pertimbangan pemerintahannya tersebut.

"Kami memperkirakan pengumuman kemungkinan relokasi Kedutaan Besar Australia ke Yerusalem atau pertimbangan keputusan melawan Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memicu protes, kerusuhan, dan mungkin beberapa kekerasan di Gaza dan Tepi Barat," demikian kutipan buletin tersebut.


Dalam buletin yang berhasil didapat oleh Guardian Australia itu, intelijen juga memperingatkan bahwa kepentingan Australia bisa menjadi target protes mengingat sejumlah "serangan dan protes keras" yang sudah terjadi sebelumnya.


Asio juga menggarisbawahi kemungkinan aksi protes di dalam negeri, meski tak berpotensi memicu kekerasan. Namun, intelijen tak mendeteksi potensi kekerasan terhadap orang Yahudi di Australia.

"Sementara sekelompok kecil orang di Australia memegang ideologi Islam ekstrem yang mengandung elemen anti-Semit yang kuat, kami tak mendeteksi ancaman teroris kredibel dan spesifik terhadap kepentingan Israel atau Yahudi di Australia," demikian tulisan dalam buletin itu.


Pernyataan Morrison ini memang memicu perdebatan luas karena selama ini Yerusalem berada di tengah pusaran konflik antara Israel dan Palestina. Kedua kubu memperebutkan Yerusalem sebagai ibu kota mereka kelak.

Secara politis, jika Australia memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv, mereka berarti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Morrison mengatakan bahwa Australia mulai mempertimbangkan keputusan ini karena proses perdamaian antara Israel dan Palestina tak kunjung usai.

"Kami mendukung solusi dua negara, tapi sayangnya itu tak berjalan dengan baik, tak begitu banyak perkembangan, dan kalian tidak bisa melakukan hal yang sama terus menerus tapi mengharapkan hasil berbeda," ujar Morrison, dikutip AFP.


PM dari Partai Liberal itu mengatakan bahwa usul pemindahan kedubes ini sebenarnya adalah gagasan mantan Duta Besar Australia untuk Israel, Dave Sharma.

Sharma sendiri akan bertarung dalam pemilihan umum parlemen di Sydney, daerah konstituen berpopoulasi mayoritas Yahudi, pada akhir pekan ini.

Pernyataan ini pun dianggap sebagai cara Morrison mendulang suara bagi partainya yang terancam kehilangan satu kursi di parlemen.


Jika benar, sejumlah pengamat menganggap Morrison salah langkah karena pertimbangan ini justru membuat nama Australia tercoreng di mata internasional.

Indonesia sendiri menentang keras sikap Australia ini. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno LP Marsudi, bahkan sudah dua kali memanggil Duta Besar Australia, Gary Quinlan, ke kantornya untuk meminta penjelasan mengenai sikap ini.

Tak lama setelah itu, salah satu stasiun televisi Australia, 7NewsSydney, melaporkan bahwa Retno mengirimkan pesan bernada marah kepada Menlu Marise Payne.

Beberapa pengamat khawatir ketegangan Indonesia dan Australia ini dapat memicu pembatalan pakta dagang IA-CEPA yang sudah digodok kedua negara selama lebih dari satu dekade.




Credit  cnnindonesia.com