Jumat, 25 Januari 2019

Netanyahu Ancam Serangan Menghancurkan Jika Hamas Serang Israel


Netanyahu Ancam Serangan Menghancurkan Jika Hamas Serang Israel
Netanyahu memperingatkan reaksi mematikan jika kelompok-kelompok bersenjata Palestina melanjutkan tindakan bermusuhan ketika ketegangan meningkat di Gaza. Foto/Istimewa

TEL AVIV - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memperingatkan reaksi "mematikan" jika kelompok-kelompok bersenjata Palestina melanjutkan tindakan bermusuhan ketika ketegangan meningkat di Gaza.

Netanyahu membuat pernyataan itu setelah berminggu-minggu situasi tenang di Jalur Gaza berakhir pada hari Selasa, ketika tentara Israel diserang di sepanjang perbatasan dalam dua insiden terpisah.

"Mungkin ada seseorang di Gaza yang berpikir dia bisa mengangkat kepalanya. Saya menyarankan agar mereka mengerti bahwa responsnya akan mematikan dan sangat menyakitkan,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan.

"Kami siap untuk setiap skenario dan eskalasi," sambungnya setelah menghadiri latihan militer di sebuah pangkalan di Shizafon di Israel selatan, seperti dilansir Al Arabiya pada Kamis (24/1).

Pada hari Selasa, tank-tank Israel menyerang dua posisi Hamas di Gaza dan menewaskan seorang gerilyawan, setelah seorang tentara Israel mendapat luka ringan akibat tersempet peluru, saat sejumlah orang melakukan serangan di perbatasan.

Israel dan Hamas telah berperang sebanyak tiga kali sejak 2008 dan kekhawatiran perang keempat tetap ada meskipun kekerasan telah mereda sejak November, berkat adanya gencatan senjata informal antara kedua pihak. 



Credit  sindonews.com



Eropa Tegaskan Dukung Badan PBB untuk Pengungsi Palestina


UNRWA
UNRWA
Foto: www.prc.org.uk
Uni Eropa mendukung solusi dua negara Israel-Palestina.




CB, BRUSSELS -- Uni Eropa menegaskan dukungan bagi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Bantuan terhadap UNRWA akan terus diberikan hingga solusi pengungsi Palestina ditemukan.

"Kami sedang dan akan terus menjadi pendukung badan yang kuat, andal, dan dapat diprediksi serta kami akan berusaha guna memungkinkan UNRWA melanjutkan operasinya sampai solusi yang adil, realistis, dan disepekati untuk status akhir pengungsi Palestina tercapai," kata Uni Eropa dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Middle East Monitor, Kamis (24/1).

Uni Eropa juga mendorong komunitas internasional untuk melakukan hal yang sama. "Dukungan berkelanjutan oleh komunitas internasional untuk pekerjaan penting UNRWA tetap penting," katanya.

Uni Eropa menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara Israel-Palestina. Mereka menilai tidak ada alternatif yang kredibel untuk menyelesaikan konflik kedua negara tersebut.

"Inilah sebabnya mengapa Uni Eropa tetap berkomitmen pada parameter yang disepakati secara internasional untuk perdamaian yang adil dan permanen di Timur Tengah berdasarkan hukum internasional, resolusi PBB yang relevan, termasuk resolusi Dewan Keamanan 1860, 2334, dan perjanjian sebelumnya," kata Uni Eropa.

"Agar berhasil, rencana perdamaian apa pun harus mengakui parameter yang disepakati secara internasional ini," ujar Uni Eropa mengacu pada rencana perdamaian alternatif bagi Israel-Palestina yang sedang dipersiapkan Amerika Serikat (AS).

AS diketahui sedang menyiapkan kerangka perdamaian baru untuk Palestina dan Israel, dikenal dengan istilah "Deal of the Century". Rencananya AS akan memperkenalkan kerangka perdamaian itu pada awal 2019.

Namun, Palestina telah menyangsikan kerangka tersebut. Sebab, AS disebut tak lagi mencantumkan masalah Yerusalem dan status pengungsi Palestina di dalamnya.



Credit  republika.co.id





Putra Mahkota Saudi tawarkan dukungan penuh untuk keamanan Irak


Putra Mahkota Saudi tawarkan dukungan penuh untuk keamanan Irak
Saudi Arabia's Crown Prince Mohammed bin Salman (left) and King Salman bin Abdulaziz (right). (the Saudi Government)



Erbil (CB) - Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed Bin Salman pada Kamis, melalui percakapan telepon dengan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi, menawarkan bantuan dukungan secara penuh untuk keamanan berkelanjutan Irak.

Kedua negara berselisih sejak Irak melakukan invasi di Kuwait pada 1990. Percakapan tersebut merupakan indikasi terbaru dalam upaya memperbaiki hubungan tersebut, yang dimulai dengan membuka kembali kedutaan besar Arab Saudi di Baghdad pada 2016.

"Yang Mulia... menyatakan ... dukungan penuh Kerajaan Arab Saudi untuk Irak dan dukungannya untuk keamanan dam kemakmuran Irak secara permanen," menurut pernyataan kantor Perdana Menteri.

Rayuan Arab Saudi terhadap Baghdad merupakan bagian dari upaya gabungan dengan Amerika Serikat untuk menghentikan pengaruh Iran yang sedang berkembang di kawasan, sementara Irak mencari keuntungan ekonomi dari hubungan yang lebih erat dengan Riyadh.

Berdasarkan pernyataan tersebut, perdana menteri Irak menyambut perkembangan hubungan tersebut.

Pada Oktober 2017, dua bulan menjelang deklarasi kemenangan Irak atas ISIS, sejumlah negara membangun Dewan Koordinasi Bersama Irak-Saudi, guna membantu membangun kembali wilayah-wilayah yang hancur yang direbut kembali dari ISIS di Irak.



Credit  antaranews.com




Erdogan Shock Trump Dukung Pemimpin Oposisi Venezuela


Erdogan Shock Trump Dukung Pemimpin Oposisi Venezuela
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Foto/REUTERS

ANKARA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengaku shock dengan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido sebagai presiden interim.

"Saya shock dengan sikap Trump (terhadap situasi di Venezuela)," kata Erdogan pada konferensi pers di Ankara dengan Presiden Malta Marie-Louise Coleiro Preca."Harusnya menghormati orang yang memenangkan pemilu," lanjut Erdogan, seperti dikutip kantor berita TASS, Jumat (25/1/2019).

Pemimpin Turki itu menyatakan keyakinannya bahwa rakyat Venezuela akan mendukung pemimpin yang mereka pilih. Dia juga menegaskan bahwa Uni Eropa mengabaikan percobaan kudeta di Turki pada Juli 2016.

Pada 23 Januari, Juan Guaido mendeklarasikan dirinya sebagai presiden interim Venezuela saat demonstrasi pro-oposisi pecah di Caracas.

Presiden petahana Venezuela Nicolas Maduro menggambarkan perkembangan ini sebagai upaya kudeta yang diatur oleh AS. Maduro akhirnya memutuskan hubungan diplomatik Venezuela dengan AS.

Negara-negara anggota Grup Lima, kecuali Meksiko, serta Albania, Georgia, AS, dan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) telah mengakui Guaido sebagai presiden interim Venezuela.

Beberapa negara Uni Eropa memilih mendukung parlemen Venezuela dan menyatakan harapan bahwa pemilu baru akan diadakan untuk menyelesaikan krisis politik di negara kaya minyak tersebut.

Rusia, Bolivia, Iran, Kuba, Nikaragua, dan Turki menyatakan dukungan mereka untuk Maduro. Belarus dan China menyerukan untuk menyelesaikan semua perselisihan secara damai dan menentang campur tangan asing dalam urusan internal negara tersebut.

Sementara itu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendukung dialog untuk menemukan solusi atas krisis politik Venezuela. 




Credit  sindonews.com




Turki: AS Terlalu Sering Campuri Urusan Dalam Negeri Venezuela


Turki: AS Terlalu Sering Campuri Urusan Dalam Negeri Venezuela
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mengatakan, Amerika Serikat (AS) telah berulang kali mengganggu politik dalam negeri Venezuela. Foto/Reuters

ANKARA - Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mengatakan, Amerika Serikat (AS) telah berulang kali mengganggu politik dalam negeri Venezuela. Turki, bersama dengan Rusia adalah negara-negara yang mendukung pemerintahan Nicolas Maduro.

"AS dan beberapa negara Amerika Latin telah berulang kali campur tangan dalam urusan internal Venezuela," kata Cavusoglu dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Andolu Agency pada Kamis (24/1).

Cavusoglu kemudian mengatakan, "sangat aneh" bahwa pemimpin Majelis Nasional Venezuela, Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai presiden sementara, meskipun negara tersebut memiliki presiden terpilih.

Sementara itu, sebelumnya diwartakan Maduro mengatakan Venezuela memutuskan semua hubungan diplomatik dengan AS, mengusir para diplomat Washington dan memberi mereka waktu 72 jam bagi mereka untuk keluar dari Venezuela.

Langkah itu diambil Maduro setelah pemerintahan Presiden AS, Donald Trump mengakui Guaido sebagai presiden interim negara itu. Pengakuan Trump itu membuat ketegangan kedua negara memanas. Maduro mengatakan bahwa AS membuat "kesalahan besar" dengan mengakui Guaido sebagai presiden interim.


Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan Washington tidak percaya Nicolas Maduro memiliki wewenang hukum untuk memutuskan hubungan diplomatik antara Venezuela dengan AS.

"AS tidak mengakui rezim Maduro sebagai pemerintah Venezuela. Karenanya AS tidak menganggap mantan presiden Nicolas Maduro memiliki wewenang hukum untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan ASt atau untuk menyatakan diplomat kami persona non grata," kata Pompeo.





Credit  sindonews.com




Erdogan Suarakan Dukungan untuk Maduro


Erdogan Suarakan Dukungan untuk Maduro
Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan menyuarakan dukungannya kepada Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Foto/Istimewa

ANKARA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyuarakan solidaritas dengan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Dukungan ini diberikan setelah Washington mengakui pemimpin parlemen Venezuela, Majelis Nasional, yang dikendalikan oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara.

"Saudara Maduro, berdirilah tegap, Turki mendukung Anda, Erdogan memberi tahu Presiden Nicolas Maduro melalui telepon," menurut juru bicara kepresidenan Turki Ibrahim Kalin di Twitter.

Kalin pun membagikan tagar #WeAreMADURO untuk menunjukkan solidaritas di Twitter seperti dikutip dari Anadolu, Kamis (24/1/2019).

Sebelumnya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan dukungannya untuk Guaido. Sebaliknya, Trump menyatakan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro tidak sah.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro pun mengecam keputusan itu dan mengatakan negaranya memutuskan hubungan diplomatik dengan AS. Ia memberikan waktu bagi para diplomat AS 72 jam untuk meninggalkan negara itu.

Maduro membuat pengumuman sambil berbicara kepada para pendukungnya yang berkumpul di Istana Presiden di Ibu Kota Caracas. 




Credit  sindonews.com




Nicolas Maduro vs Juan Guaido, Siapa Mendukung Siapa?




CB, Jakarta - Pemimpin oposisi Juan Guaido pada Rabu kemarin mengklaim diri sebagai presiden Venezuela, pemegang hak penuh angkatan bersenjata, untuk menentang rezim Nicolas Maduro selama kudeta Venezuela dalam demonstrasi di Caracas.
Masyarakat internasional dan oposisi Venezuela mengklaim pemilu Mei 2018 yang memenangkan Maduro untuk masa jabatan kedua dianggap tidak sah dan diwarnai banyak kecurangan. Guaido mendesak pemilu ulang yang ditentang Maduro.

Selama sepuluh tahun terakhir, Juan Guaido, telah memprotes kepemimpinan Venezuela sejak masa akhir Hugo Chavez yang menjanjikan pemerintahan demokrasi dan pemilu adil. Guaido juga menuntut amnesti bagi perwira militer yang menentang Maduro. Baik Nicolas Maduro dan Juan Guaido memiliki bendukungnya masing-masing, seperti dikutip dari Reuters, 24 Januari 2019.
NICOLAS MADURO
Jajaran tinggi militer Venezuela tampaknya masih mendukung Maduro. Menteri Pertahanan Vladimir Padrino telah menegaskan dukungan kepada Maduro dalam twitnya Rabu kemarin dan mengatakan angkatan bersenjata Venezuela tidak akan mengikuti pihak yang mengklaim diri sebagai presiden.

Selain itu, Mahkamah Agung, yang diisi oleh loyalis Maduro juga berdiri di belakangnya. Ini ditandai semua langkah yang diambil oleh kongres yang dipimpin Guaido dianulir Mahkamah Agung.
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, dan Menteri Pertahanan, Vladimir Padrino Lopez. Reuters
Sementara perusahaan terbesar dan penting Venezuela, perusahaan minyak negara PDVSA, yang merupakan sumber pendapatan utama negara, juga masih mendukung Maduro.
"Kita tidak punya presiden lain selain Maduro," ujar Direktur Utama PDVSA dan Menteri Perminyakan Manuel Quevedo, pada Rabu kemarin.
Yang terakhir dukungan kepada Maduro berasal dari negara-negara tetangga sepaham seperti Kuba dan Bolivia. Sementara pemimpin dari sayap kiri Andres Manuel Lopez Labrador yang baru menjabat setahun ini, membatalkan sikap oposisi terhadap Maduro, namun tidak ingin ikut campur dalam kebijakan dalam negeri Venezuela dan mengambil sikap tengah.

JUAN GUAIDO
Pendukung terbesar Juan Guaido tentu berasal dari Amerika Serikat yang pertama kali mengakui klaim diri presiden Venezuela. Pada Rabu kemarin, pemerintahan AS akan menggunakan "kekuasaan diplomatik dan ekonomi" untuk mengembalikan demokrasi di Venezuela.




Juan Guaido.[REUTERS/Carlos Garcia Rawlins]
Sementara negara-negara tetangga Amerika Latin yang berhaluan sayap kanan, seperti Brasil, Kolombia dan Argentina, mendukung Guaido.

Sejauh ini belum ada dukungan dari kelas menengah dan elit Venezuela karena protes menentang Maduro masih dilakukan oleh kelas pekerja dan warga menengah ke bawah.
Meskipun pejabat tinggi militer mendukung Maduro, sejumlah perwira rendah telah kecewa dengan pemerintahan Maduro. Pada Senin kemarin, pemerintah Venezuela melakukan "bersih-bersih" di jajaran militer setelah sejumlah perwira mencuri senjata, menculik perwira pro pemerintah dan meminta penggulingan Nicolas Maduro.






Credit  tempo.co



Ada Dua Presiden Venezuela, Menhan Dukung Maduro


Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, dan Menteri Pertahanan, Vladimir Padrino Lopez. Reuters
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, dan Menteri Pertahanan, Vladimir Padrino Lopez. Reuters

CBCaracas – Menteri Pertahanan Venezuela, Vladimir Padrino Lopez mengatakan angkatan bersenjata menolak orang yang mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai Presiden atau didukung oleh “kepentingan gelap”.


“Rasa putus asa dan sikap intoleran mengancam perdamaian bangsa. Tentara pembela Tanah Air tidak menerima seorang Presiden yang dipaksakan oleh bayangan kepentingan tidak jelas atau yang menyatakan dirinya sendiri di luar hukum. Angkatan Bersenjata Venezuela membela konstitusi kita dan merupakan penjamin kedaulatan nasional,” kata Padrino Lopez lewat akun Twitter @VladimirPadrino pada Kamis, 24 Januari 2019.

Pernyataan Padrino ini keluar beberapa jam setelah pemimpin oposisi Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai Presiden interim Venezuela dan mengambil semua kekuasaan kepresidenan dari Presiden Nicolas Maduro.


Guaido mengatakan ini dihadapan ratusan ribu pendukung yang berunjuk rasa di Caracas, Venezuela, pada Rabu, 23 Januari 2019.
Padrino Lopez juga mencuit ulang cuitan dari akun Maduro yaitu @NicolasMaduro, yang berisi pesan kepada masyarakat untuk bersiaga dan memobilisasi untuk menjaga stabilitas Tanah Air. “Menolak kudeta dan intervensi. Venezuela menginginkan perdamaian,” cuit Maduro.


Akun Padrino Lopez juga mencuit ulang pernyataan dukungan kesetiaan dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara kepada Presiden Maduro.

Maduro juga menyerukan agar militer bersatu mendukungnya. “Mencoba memaksakan pemerintahan lewat jalur ekstra konstitusional, kami tidak bisa menerimanya,” kata Maduro yang baru saja dilantik pada 10 Januari 2019 untuk masa kepresidenan kedua selama enam tahun. "Kita akan mampu mengatasi ini. Kita akan menang."
Dalam orasinya di hadapan pendukung di Caracas, Guaido mengatakan Venezuela sekarang berada di dalam kekuasaan diktator. Dia mengucapkan terima kasih atas dukungan berbagai negara kepadanya.

Saat ini, Venezuela mengalami krisis ekonomi dengan sekitar 2.3 juta orang melarikan diri ke negara lain sejak 2015 menurut data PBB. IMF melansir inflasi bakal mencapai 10 juta persen pada 2019.





Credit  tempo.co




Jerman Sebut Terpilihnya Presiden Venezuela Maduro tidak Sah


Nicolas Maduro
Nicolas Maduro
Foto: EPA-EFE/Miguel Gutierrez
Jerman dukung oposisi.




CB, BERLIN -- Pemerintah Jerman menyerukan pemilihan demokratis baru di Venezuela, mereka memiliki pandangan yang sama dengan Amerika Serikat. Jerman mengatakan mereka di pihak Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi, bukan Presiden Venezuela Nicolas Maduro.

"Mengenai Venezuela, kami tidak netral. Kami mendukung Majelis Nasional, yang dipilih oleh rakyat. Maduro tidak memiliki legitimasi demokratis sebagai Presiden," kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas di Twitter, Jumat (25/1).

Sebelumnya, pada Kamis (24/1), Amerika Serikat meminta pertemuan publik Dewan Keamanan AS di Venezuela, sehari setelah mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela dan mendesak negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama.

Pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai presiden sementara pada Rabu (23/1), ia mendapatkan dukungan dari Presiden AS Donald Trump dan beberapa negara Amerika Latin. Maduro telah menanggapi dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan memerintahkan para diplomat negara itu untuk pergi.

Sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan, Jerman mengatakan Majelis Nasional memiliki peran khusus dalam mengamankan masa depan yang bebas untuk Venezuela.

"Rakyat Venezuela dengan berani berkomitmen untuk masa depan yang bebas bagi negara ini. Ini membutuhkan proses politik yang mengarah pada pemilihan yang bebas dan kredibel. Majelis Nasional yang terpilih secara demokratis memiliki peran khusus untuk dimainkan di sini," kata juru bicara pemerintah Steffen Seibert melalui Twitter.





Credit  republika.co.id




Ikuti Jejak AS, Inggris Akui Guaido Pemimpin Venezuela


Pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido (tengah depan)
Pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido (tengah depan)
Foto: AP Photo/Fernando Llano
Inggris menilai pemilu Venezuela berlangsung cacat.




CB, LONODN -- Inggris mengikuti jejak AS mendukung pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido sebagai ketua Majelis Nasional yang terpilih secara demokratis. Hal itu diungkapkan juru bicara Perdana Menteri Theresa May pada Kamis (25/1).

Pemerintah Inggris menilai, pemilu presiden 2018 berlangsung tidak secara bebas dan adil. Guaido pada Rabu menyatakan dirinya sebagai presiden sementara. Ia mengantongi dukungan dari Washington dan sejumlah negara Amerika Latin.


"Pemilu Presiden 2018 di Venezuela tidak berlangsung secara bebas dan adil, sehingga dasar kekuatan rezim tersebut cacat. Kami mendukung penuh Majelis Nasional yang terpilih secara demokratis dengan Juan Guaido sebagai presidennya," kata juru bicara May.

Ia juga menilai keputusan Nicolas Maduro untuk memutus hubungan diplomatik dengan Venezuela tak dapat diterima.



Tekanan terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro menguat. Sejumlah negara Amerika Latin seperti  Argentina, Brasil, Cile, Kolombia, Kosta Rika, Ekuador, Guatemala, Honduras, Panama, Paraguay, dan Peru menolak terpilihnya Maduro.


Mereka lebih memilih mengaku pemimpin oposisi di Majelis Nasional Venezuela, Juan Guaido (35 tahun) sebagai presiden.  Tak hanya di kawasan Latin, Amerika Serikat, sebagai pemain besar di perpolitikan dunia juga ngotot untuk menyingkirkan Maduro. Presiden AS Donald Trump juga lebih memilih mengakui Guaido.




Credit  republika.co.id



Lobi Negara Kawasan, Pompeo Dorong Kudeta Venezuela?


Nicolas Maduro
Nicolas Maduro
Foto: EPA-EFE/Miguel Gutierrez

Venezuela menilai langkah AS sama saja kudeta dan melanggar hukum internasional.



CB, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mendesak pemerintah Amerika Latin untuk mengakui Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela. Ia juga menyatakan, pemerintahan Nicolas Maduro yang saat ini menjabat sebagai presiden, tidak sah.


Hal tersebut disampaikan Pompeo di hadapan sejumlah Organisasi Negara Amerika (Organization of Americans States/OAS) yang berbasis di Washington, Kamis (24/1).

Dalam sambutannya, Pompeo juga mengatakan, komunitas internasional telah menyaksikan penederitaan Venezuela terlalu lama. "Tirani rezim Maduro sudah terlalu lama mencekik warga dan negaranya. Semua negara anggota yang telah berkomitmen untuk menegakkan piagam demokrasi antar-Amerika sekarang harus mengakui (Guadio) sebagai presiden sementara," ucapnya seperti dilansir di Reuters, Kamis (24/1).

Anggota OAS sendiri masih terbagi menjadi dua kubu. Ada yang ingin mempertahankan Maduro dan ingin mengakui Guadio sebagai presiden. Namun mayoritas negara sudah memilih opsi kedua, termasuk Kanada, Brasil, Peru, Cile, Kolombia dan Argentina. Tapi, negara lain seperti Meksiko, El Salvador dan Nikaragua menyatakan akan tetap netral atau terus mendukung Maduro.



Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Meksiko menyatakan keprihatinan terhadap rencana pengakuan Guaido sebagai presiden. Sebab, langkah tersebut akan mengarah lebih banyak pada kekerasan seiring dengan tingginya dukungan angkatan bersenjata Venezuela kepada Maduro.
Tapi, Pompeo terus mendesak perubahan. Menurutnya, waktu perdebatan antar anggota OAS kini sudah seharusnya selesai dan menghasilkan keputusan. "Rezim manta presiden Nicolas Maduro tidak sah. Rezimnya bangkrut secara moral, secara ekonomi tidak kompeten dan sangat korup. Itu tidak demokratis," ujarnya.

Dalam sambutannya, Pompeo berjanji memberikan 20 juta dolar AS untuk bantuan kemanusiaan bagi Venezuela. Khususnya, untuk mengatasi penurunan ekonomi, hiperinflasi dan kekurangan makanan maupun obat-obatan yang sudah memicu eksodus jutaan orang.

Sebelumnya, pada Rabu (23/1), pemerintahan Presiden AS Donald Trump meningkatkan tekanan pada Maduro untuk segera mundur dan mengakui Guaido, kepala kongres Majelis Nasional yang dikontrol oposisi.


"Kami terus menganggap, pemerintahan Maduro tidak sah dan bertanggung jawab atas segala ancaman yang mungkin ditimbulkan untuk keselamatan warga Venezuela," ujar Trump.

Atas keputusan trump, Maduro sudah membuat langkah. Ia memerintahkan seluruh diplomat AS yang berada di Venezuela untuk keluar dalam waktu 72 jam. Maduro juga menyatakan Venezuela memutuskan hubungan diplomatik dengan AS. 

Sementara itu, perwakilan Venezuela untuk OAS  mengatakan, dorongan AS itu sama saja dengan kudeta dan melanggar hukum internasional. "Ini adalah kekejaman terhadap demokrasi, kedaulatan dan hak atas perdamaian yang dinikmati bangsa kami. Ini merupakan pelanggaran terhadap seluruh hukum internasional," katanya.




Credit  republika.co.id


Mengenal Sultan Pahang, Sosok Raja Baru Malaysia


Mengenal Sultan Pahang, Sosok Raja Baru Malaysia
Sultan Abdullah Ibni Sultan Ahmad Shah, sosok raja baru Malaysia. Foto/themalaysianreserve.com

KUALA LUMPUR - Anggota keluarga Kerajaan Malaysia memilih Sultan Abdullah Ibni Sultan Ahmad Shah sebagai raja baru. Sultan dari Pahang ini menggantikan Sultan Muhammad V yang turun takhta secara mengejutkan.

Sultan Abdullah, 59, penguasa negara bagian Pahang tengah, secara resmi akan mengambil alih takhta pada 31 Januari untuk masa jabatan lima tahun. Demikian pernyataan penjaga stempel penguasa kerajaan dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis (24/1/2019) yang dikutip Reuters.

Malaysia adalah monarki konstitusional dengan raja mengambil peran seremonial, termasuk bertindak sebagai penjaga Islam di negara mayoritas Muslim. Persetujuan raja diperlukan untuk penunjukan perdana menteri dan berbagai pejabat senior.

Sembilan rumah tangga kerajaan Malaysia bergiliran untuk memberikan seorang raja, yang dipilih di Dewan Penguasa. Raja terpilih akan berkuasa hingga lima tahun ke depan.

Sultan Muhammad V yang mengundurkan diri meski baru memerintah dua tahun adalah penguasa negara bagian Kelantan.

Pengunduran diri Sultan Muhammad V menjadi sejarah baru di Kerajaan Malaysia karena belum pernah ada raja yang turun takhta sebelum menyelesaikan masa jabatannya.

Tidak ada alasan yang diberikan atas keputusan pengunduran diri Sultan Muhammad V. Dia mengundurkan diri setelah foto-foto pernikahannya dengan Miss Moscow 2015; Oksana Voevodina, bermunculan di media sosial. Kerajaan Malaysia tak pernah bersedia mengonfirmasi pernikahan yang dilaporkan berlangsung di Rusia tersebut.

Sultan Abdullah, sang raja baru Malaysia, juga tercatat menjadi penguasa baru Pahang pada pekan lalu setelah menggantikan ayahnya yang sakit.

Mengutip Reuters, Sultan Abdullah adalah anggota dewan pengawas non-eksekutif FIFA. Dia juga presiden Federasi Hoki Asia. 







Credit  sindonews.com








Sultan Abdullah dari Kerajaan Pahang Ditunjuk Jadi Raja Malaysia



Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah saat pelantikan sebagai penguasa Pahang di Istana Abu bakar, di Pekan, Malaysia, 15 Januari 2019.[Malay Mail]
Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah saat pelantikan sebagai penguasa Pahang di Istana Abu bakar, di Pekan, Malaysia, 15 Januari 2019.[Malay Mail]

CB, Jakarta - Anggota keluarga kerajaan Malaysia menunjuk Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah sebagai raja Malaysia yang baru pada Kamis.
Sultan Abdullah, 59 tahun, penguasa Pahang, akan mengambil alih tahta pada 31 Januari untuk waktu lima tahun, seperti dilaporkan Reuters, 24 Januari 2019.

Malaysia sebagai negara monarki konstitusional memiliki raja yang beperan sebagai pemimpin upacara, termasuk berperan sebagai penjaga agama Islam di Malaysia. Raja berperan melantik perdana menteri dan pejabat pemerintahan senior.

Malaysia memiliki sembilan keluarga kerajaan yang berperan memilih raja, yang dipilih melalui semacam Dewan Sura yang terdiri dari sembilan keluarga kerajaan yang dipimpin oleh masing-masing sultan. Raja dipilih untuk masa jabatan lima tahun.

Penunjukan Sultan Pahang yang bernama lengkap Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah, membuat penduduk Pahang berbangga.
Sultan Muhammad V, merupakan raja di Kerajaan Kelantan, dan baru saja mengundurkan diri sebagai Raja Malaysia pada 6 Januari 2019. Shutterstock
Mereka yang diwawancarai oleh New Straits Times mengatakan bahwa mereka bangga Yang Di-Pertuan Agong baru (sebutan bagi raja Malaysia) berasal dari Pahang, dan bahwa dia adalah seorang penguasa yang dekat dengan rakyat.
Kepala Keluarga Kerajaan Pahang adalah garis penerus yang akan menjadi raja menggantikan Sultan Muhammad V, kepala negara Kelantan, yang mengundurkan diri pada awal bulan ini, dua tahun masa jabatannya. Pengunduran diri Muhammad V mencatat sejarah pertama kalinya raja Malaysia mengundurkan diri sebelum habis masa jabatan.

Sultan Muhammad V tidak memberikan alasan pengunduran dirinya, setelah ia menikah dengan ratu kecantikan Rusia Miss Moscow 2015, Oksana Voevodina, yang viral di media sosial pada Desember kemarin.Sultan Abdullah, menjadi penguasa Pahang menggantikan ayahnya minggu lalu. Raja Malaysia baru ini juga menjabat pengawas non-eksekutif FIFA dan ketua federasi hoki Asia, Asian Hockey Federation.





Credit  tempo.co




China pertanyakan konsep Indo-Pasifik ASEAN


China pertanyakan konsep Indo-Pasifik ASEAN
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menjelaskan mengenai hasil kunjungan China Policy Group (CPG) ke China pada Desember 2018 dalam diskusi FPCI di Jakarta, Kamis (24/1/2019). (ANTARA News/Yashinta Difa)




Jakarta (CB) - Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengatakan bahwa China mempertanyakan konsep Indo-Pasifik yang diajukan Indonesia untuk diadopsi oleh ASEAN.

"Tanggapan mereka tidak positif, tetapi juga tidak mendukung," kata Dino dalam diskusi yang diselenggarakan FPCI di Jakarta, Kamis (24/1).

Dalam diskusi bertajuk "China after 40 Years of Reforms: Impressions from China Policy Group (CPG) Visit to China" tersebut, Dino memaparkan beberapa poin hasil kunjungannya ke China pada Desember 2018.

China, menurut Dino, tidak menolak konsep Indo-Pasifik yang menekankan pada prinsip keterbukaan, inklusivitas, transparansi, menghormati hukum internasional, dan sentralitas ASEAN, tetapi juga tidak merasa nyaman dengan konsep tersebut.

Konsep Indo-Pasifik pertama dipopulerkan oleh Amerika Serikat untuk menyaingi pengaruh China yang gencar menjalankan proyek-proyek infrastruktur bernilai triliunan dolar AS melalui Belt and Road Initiative (BRI).

Setelah AS, beberapa negara termasuk Indonesia berupaya mengembangkan konsepnya masing-masing mengenai Indo-Pasifik, untuk memastikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di Asia Tenggara di tengah tarik-menarik konstelasi kekuatan dunia.

"China belum mencerna konsep Indo-Pasifik dengan baik, tetapi mereka mengakui bahwa ini adalah konsep yang penting," ujar Dino.

Tantangan untuk pengembangan konsep Indo-Pasifik saat ini, menurut dia, adalah membentuk fondasi konsep yang inklusif.

Konsep Indo-Pasifik ASEAN tidak boleh mencangkok konsep negara atau blok lain.

"Selain itu, kesetaraan harus menjadi bagian dalam dokumen konsep karena prinsip yang dipegang di kawasan. Kita memperlakukan siapapun sama, tidak pernah memandang rendah siapapun," kata mantan wakil menteri luar negeri RI itu.

Dalam kunjungan ke China bersama dengan CPG, Dino melakukan pertemuan dengan Wakil Menteri Luar Negeri China Kong Xuanyou, Deputi Penelitian Kebijakan pada Departemen Internasional Partai Komunis China (CPC) Huang Yihua, serta sejumlah think-tank, seperti  China Institute of International Studies (CIIS), China Institute of Contemporary International Relations (CICIR), Guangdong University, dan Guangdong Institute for International Strategies (GIIS).

CPG adalah kelompok yang terdiri dari pejabat pemerintah, pakar, dan akademisi, yang terlibat dalam diskusi rutin untuk melacak perkembangan di China dan juga Indonesia.





Credit  antaranews.com







Indonesia dorong DK PBB dukung proses perdamaian Kolombia



Indonesia dorong DK PBB dukung proses perdamaian Kolombia
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam pertemuan DK PBB yang membahas perkembangan proses perdamaian antara Pemerintah Kolombia dengan Kelompok Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (23/1). (Kementerian Luar Negeri RI)



Jakarta, 24/1 (CB) - Pemerintah Indonesia mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mendukung proses perdamaian Kolombia, seperti disampaikan dalam keterangan tertulis dari Kementerian Luar Negeri RI yang diterima di Jakarta, Kamis.
   
"Indonesia senang dapat mendukung proses perdamaian di Kolombia," kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam pertemuan DK PBB yang membahas perkembangan proses perdamaian antara Pemerintah Kolombia dengan Kelompok Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (23/1).
   
Menlu RI menyampaikan bahwa atas permintaan Pemerintah Kolombia, Menlu RI dan delegasi Indonesia pada 2015 ke Kolombia untuk membagi pengalaman proses perdamaian antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
   
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sangat senang saat Pemerintah Kolombia dan FARC pada 2016 berhasil menyepakati "the Final Agreement to End the Armed Conflict and Build a Stable and Lasting Peace" mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun.
   
"Indonesia percaya Pemerintah Kolombia memiliki komitmen kuat untuk memajukan proses perdamaian di Kolombia," tutur Menlu Retno.
   
Lebih lanjut Menlu RI menekankan bahwa keberhasilan implementasi perjanjian damai antara Pemerintah Kolombia dan FARC sangat bergantung kepada komitmen seluruh pihak yang terlibat. Dalam upaya mendukung implementasi perjanjian damai Kolombia, Menlu RI menyampaikan kesiapan Indonesia untuk  bekerja sama dengan Kolombia mendukung  program program pascakonflik, khususnya demobilisasi, perlucutan senjata dan reintegrasi (DDR).
   
"Proses reintegrasi dan pembangunan perdamaian pasca-konflik yang efektif adalah kunci dari keberhasilan implementasi perjanjian damai," tegas Menlu Retno.

Dalam konteks itu, Menlu RI mencontohkan program kerja sama "Oil Palm for Peace" yang sedang dilakukan dengan Kolombia. Program tersebut bertujuan mengkonversi lahan koka menjadi komoditas yang produktif seperti minyak kelapa sawit dan karet. "Program Oil Palm for Peace, akan membantu integrasi sosio-ekonomi pasca konflik di Kolombia," ucap Menlu Retno.

Selain proses reintegrasi, Menlu RI juga menekankan pentingnya tantangan-tantangan terhadap keamanan di Kolombia terus dikelola secara tepat, guna mendorong keberhasilan proses perdamaian. "Penegakan hukum juga harus terus memperhatikan hak asasi manusia," ujar Menlu Retno.

Menlu RI juga menegskan perlunya kedua belah pihak menjalankan komitmen yang telah disepakati bersama. Hal itu mengigat kesuksesan proses perdamaian bergantung pada seberapa jauh masing-masing pihak menghormati komitmennya.

Dalam pertemuan itu, Menlu RI menekankan pentingnya  seluruh anggota DK PBB menyatukan pandangan dalam membantu Kolombia menuju perdamaian yang stabil dan abadi. Dukungan DK PBB dan masyarakat internasional diperlukan agar proses perdamaian berjalan mulus.

Penandatanganan kesepakatan damai antara Pemerintah Kolombia dan FARC pada 2016 merupakan sebuah peristiwa bersejarah yang berhasil mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 50 tahun dan salah satu konflik terlama di dunia.

Pemerintah Kolombia kemudian meminta bantuan PBB untuk menjadi pihak ketiga dari perjanjian damai Kolombia untuk mengawal implementasi kesepakatan perjanjian damai.

DK PBB menyambut positif permintaan itu dengan membentuk Tim Verifikasi PBB di Kolombia (UN Verification Mission in Colombia) telah bertugas sejak akhir 2016.





Credit  antaranews.com





Sekjen PBB Minta Venezuela Gelar Dialog Cegah Krisis Politik


Sekjen PBB Minta Venezuela Gelar Dialog Cegah Krisis Politik
Sekjen PBB, Antonio Guterres, meminta Venezuela mengadakan dialog menghindari krisis politik setelah Juan Guaido mendeklarasikan diri sebagai presiden menggantikan Nicolas Maduro. (Reuters/Linus Escandor Ii/Pool)



Jakarta, CB -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, meminta Venezuela segera mengadakan dialog untuk menghindari krisis politik setelah pemimpin oposisi, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara menggantikan Nicolas Maduro.

"Kami harap dialog dapat dilakukan untuk menghindari eskalasi konflik yang akan menimbulkan bencana bagi rakyat Venezuela dan bagi kawasan," katanya di Forum Ekonomi Dunia di Davos, sebagaimana dikutip AFP, Kamis (24/1).

Guaido mendeklarasikan diri sebagai presiden interim saat aksi besar-besaran yang menentang pemerintahan Maduro meluas di Venezuela.


Sebagai pemimpin Majelis Nasional, Guaido mengklaim ia memiliki kewenangan untuk mengambil alih pemerintahan Maduro, yang terpilih melalui pemilihan umum tidak sah.


Ia pun mendapat dukungan dari AS, Kanada, dan sejumlah negara Amerika Latin, seperti Brasil, Kolombia, Chile, dan Peru. Sementara itu, sekutu dekat Venezuela, seperti Turki dan Rusia tetap mendukung Maduro.

Di tengah kisruh ini, Guterres berkata, "Pemerintah berdaulat memiliki kemungkinan untuk memutuskan apa pun yang mereka inginkan. Yang kami khawatirkan tentang situasi di Venezuela adalah penderitaan rakyat Venezuela."


Ketidakpercayaan rakyat terhadap Maduro memuncak karena sang presiden tak dapat membawa Venezuela dari kemiskinan, bahkan membuat perekonomian kian terpuruk.

PBB melaporkan sekitar 2,3 juta orang meninggalkan Venezuela sejak 2015, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan inflasi akan mengalami peningkatan secara mengejutkan hingga mencapai 10 juta persen tahun ini.





Credit  cnnindonesia.com




'Kudeta' Venezuela, Kisruh Pemilu Berujung Perebutan Takhta


'Kudeta' Venezuela, Kisruh Pemilu Berujung Perebutan Takhta
Bermula dari tudingan kecurangan dalam pemilu, kepemimpinan Venezuela berakhir dengan perebutan kuasa antara Nicolas Maduro dan Juan Guaido. (Reuters/Carlos Garcia Rawlins)



Jakarta, CB -- Kisruh 'kudeta' kursi kepresidenan Venezuela kian panas setelah Presiden Majelis Nasional, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai pemimpin interim di tengah gelombang protes anti-Nicolas Maduro.

Polemik ini sebenarnya bermula ketika Venezuela menggelar pemilihan umum pada 20 Mei 2018. Saat itu, popularitas Maduro terpuruk di tengah protes masyarakat yang menganggapnya gagal membawa Venezuela keluar dari krisis.

Di bawah pemerintahannya, Venezuela mengalami hiperinflasi hingga 10 juta persen, krisis produksi minyak, tingkat kelaparan dan kriminalitas yang tinggi, hingga berujung pada kemiskinan.


Ia pun disebut menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu, dimulai dengan pembentukan Majelis Konstituen pada Agustus 2017. Kewenangan majelis tersebut dapat menggantikan parlemen di bawah Majelis Nasional yang saat itu dikuasai oposisi.


Sejumlah kejanggalan pada pilpres itu kemudian mulai menuai kecurigaan berbagai pihak, termasuk tanggal penyelenggaraannya. Awalnya, pemilu dijadwalkan digelar pada Desember 2018, tapi kemudian dipercepat menjadi 22 April hingga 20 Mei 2018.

Sejak Februari 2018, pemimpin koalisi oposisi Venezuela menyatakan akan memboikot pilpres. Mereka percaya pilpres tersebut sudah diatur untuk memenangkan Maduro.

Maduro akhirnya memenangkan pilpres 2018 dengan perolehan 67,7 persen suara dan kembali memegang kekuasaan hingga 2025.


Namun, sejumlah analisis dan jajak pendapat menunjukkan bahwa pemilu tersebut merupakan pilpres dengan angka pemilih terendah di era demokrasi negara tersebut.

Dengan 92 persen suara terhitung, koalisi oposisi Broad Front mengklaim hanya sekitar 30 persen masyarakat Venezuela yang memberikan suaranya dalam pilpres 2018.

Dua kandidat lawan Maduro di pilpres, yakni Henri Falcon dan Javier Bertucci, menolak hasil pilpres tersebut dan menyatakan bahwa proses pemilu tidak sah.

Falcon mengecam pilpres tersebut sebagai pemilu sistematis. Ia menuding pemerintah memberikan imbalan agar masyarakat memilih Maduro, dan pengawas pemilu dilarang mengawasi di banyak tempat pemilihan.

'Kudeta' Venezuela, Kisruh Pemilu Berujung Perebutan Takhta
Nicolas Maduro disebut menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu. (Miraflores Palace/Handout via Reuters)
Dewan Pemilihan Nasional (CNE), yang bertugas mengawasi pemilihan di Venezuela, diklaim tak bertugas dengan semestinya lantaran dikendalikan oleh simpatisan Maduro.

Negara-negara seperti AS, Australia, hingga organisasi internasional mulai dari Perserikatan Bangsa Bangsa, Uni Eropa, hingga Organisasi Negara Amerika pun meragukan keabsahan pilpres itu.

Meskipun menuai banyak kritik, Maduro tetap disumpah kembali menjadi presiden Venezuela pada 10 Januari 2019.

Semenjak Maduro mengambil sumpah, berbagai aksi protes melawan pemerintahannya menyemut di berbagai penjuru negara.

Sehari setelah Maduro resmi menjadi presiden, Guaido mengadakan demonstrasi di Caracas. Saat itu, Majelis Nasional menyatakan Guaido sebagai sosok presiden interim Venezuela sesuai konstitusi.



Pernyataan tersebut dijawab dengan cibiran Maduro yang menyebut Guaido dengan sebutan 'bocah'. Menteri Kekuatan Populer untuk Layanan Penjara Venezuela, Iris Varela, bahkan mengaku telah menyiapkan sel penjara untuk oposisi tersebut.

Pada 13 Januari, Guaido ditahan oleh Layanan Intelijen Bolivarian (SEBIN) selama 45 menit. Beberapa hari setelah itu, sekelompok mantan tentara dan polisi di Peru mengumumkan dukungan mereka untuk Guaido, diikuti dengan demonstrasi dukungan ribuan warga di Carabobo, Valencia, dan kota-kota lain.

Rentetan protes terus bergulir hingga kini, dengan dukungan dari berbagai pejabat tinggi negara-negara lain, termasuk Presiden AS, Donald Trump, dan wakilnya, Mike Pence.

Setidaknya 13 orang dilaporkan tewas dalam dua hari demonstrasi besar-besaran melawan Maduro, Senin pekan ini. Di hari yang sama, 27 personel militer ditahan otoritas Venezuela karena menyatakan keinginan membelot.

Dalam sebuah video, puluhan tentara itu mengajak masyarakat untuk mendukung mereka dengan menggelar aksi pada Senin (21/1). Para warga pun turun ke jalan, menggelar aksi yang kemudian berujung ricuh.

Demonstrasi ini disebut-sebut sebagai bentrokan paling signifikan antara pemerintah dan oposisi setelah protes sebelumnya yang menewasan 125 orang antara April dan Juli 2017.

Di tengah kisruh ini, pemimpin Majelis Nasional, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden interim Venezuela dan langsung mendapatkan dukungan dari Trump dan sejumlah pemimpin negara Amerika Latin lainnya.

Menurut Trump, Majelis Nasional pimpinan Guiado adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang sah pilihan rakyat Venezuela.

Di tengah ketidakjelasan kepemimpinan ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Venezuela menggelar dialog untuk menghindari krisis politik.





Credit  cnnindonesia.com



AS Perintahkan Diplomatnya Tinggalkan Venezuela


AS Perintahkan Diplomatnya Tinggalkan Venezuela
AS memerintahkan diplomatnya untuk meninggalkan Venezuela dengan alasan keamanan. Foto/Istimewa

CB - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) memerintahkan staf di Kedutaan Besar di Venezuela untuk meniggalkan negara itu. Perintah ini keluar satu hari setelah Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan ia memberikan waktu 72 jam bagi diplomat AS untuk keluar dari negara itu.

Awalnya, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa karena Amerika tidak menganggap Maduro sebagai pemimpin Venezuela yang sah.

"Ia tidak memiliki otoritas hukum untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat atau menyatakan diplomat kami persona non grata," katanya.


Namun, Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa staf dan diplomat yang tidak menduduki jabatan penting untuk operasi akan meninggalkan negara itu dengan alasan keamanan. Kedutaan besar di Caracas akan tetap terbuka seperti dikutip dari Fox News, Jumat (25/1/2019).

Langkah ini dilakukan beberapa hari setelah pemerintahan Trump mengumumkan pihaknya mengakui pemimpin oposisi Venezuela, Juan Gaido, sebagai presiden sementara.


Sebelumnya, Maduro memerintahkan semua diplomat Venezuela pulang dari AS dan mengatakan akan menutup kedutaannya. Dia mengatakan jika pejabat AS memiliki akal, mereka akan menarik keluar diplomat mereka sendiri, daripada menentang perintahnya.

AS dan Venezuela belum pernah bertukar duta besar dalam hampir satu dekade, tetapi mereka telah mempertahankan staf diplomatik.

Wakil Presiden Mike Pence pada hari Selasa, dalam rekaman video yang dikirim ke Venezuela, menyebut Maduro sebagai "seorang diktator tanpa klaim sah atas kekuasaan."


"Dia tidak pernah memenangkan kursi kepresidenan dalam pemilihan yang bebas dan adil, dan telah mempertahankan cengkeramannya dengan memenjarakan siapa pun yang berani menentangnya," kata Pence dalam video itu.

Maduro, yang memulai masa jabatan keduanya sebagai presiden pada 10 Januari setelah pemilihan yang disengketakan, menghadapi meningkatnya permusuhan dari masyarakat internasional. Dia telah berusaha untuk mendapatkan dukungan dari angkatan bersenjata dengan membagikan pos-pos penting kepada para jenderal penting, termasuk satu sebagai kepala monopoli minyak yang merupakan sumber dari hampir semua pendapatan ekspor Venezuela.





Credit  sindonews.com



Maduro Tutup Kedubes dan Seluruh Konsulat Venezuela di AS


Maduro Tutup Kedubes dan Seluruh Konsulat Venezuela di AS
Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Foto/REUTERS/Miraflores Palace

CARACAS - Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengumumkan bahwa dia telah memutuskan untuk menutup kedutaan besar dan seluruh konsulat negaranya di Amerika Serikat (AS). Keputusan itu diambil setelah dia memutuskan hubungan diplomatik kedua negara.

Maduro, seperti dikutip Reuters, Jumat (25/1/2019), juga setuju dengan seruan dialog yang disampaikan oleh Meksiko dan Uruguay terkait krisis politik di Caracas.

Kedutaan Besar Venezuela di Amerika Serikat telah menghentikan layanan konsuler setelah hubungan diplomatik kedua negara terputus.

Nicolas Maduro memutuskan hubungan diplomatik setelah menuduh Washington berusaha melakukan kudeta di Caracas. Sebaliknya, Wasington mendesaknya untuk mengundurkan diri dan mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai presiden interim Venezuela.

Beberapa negara seperti Kanada, Argentina, Brasil, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Ekuador, Georgia, Guatemala, Honduras, Panama, Paraguay, dan Peru juga mengikuti langkah Amerika Serikat.

Sementara itu, seorang pejabat tinggi loyalis Maduro mengancam akan memadamkan listrik di kantor-kantor diplomatik AS di Venezuela. Ancaman muncul setelah Washington yang tak mengakui kepemimpinan Maduro menolak pemutusan hubungan diplomatik.

"Mereka mengatakan mereka tidak mengenali Nicolas. Baik. Mungkin listrik akan padam di lingkungan itu, atau gas tidak akan tiba," kata Diosdado Cabello, kepala Majelis Konstituante Venezuela, seperti dikutip Bloomberg.

Cabello merujuk pada lingkungan Valle Arriba di Caracas, di mana Kedutaan Besar AS berada. "Jika tidak ada hubungan diplomatik, tidak ada masalah," katanya.

Presiden Maduro telah mengultimatum semua diplomat AS agar hengkang dari negara Amerika Latin itu. Batas waktu yang diberikan hanya sampai Sabtu sore.

Tetapi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Pompeo mengatakan Maduro tidak lagi memiliki wewenang dan para diplomat Amerika akan tetap tinggal di Caracas.

"Kami menyerukan pasukan militer dan keamanan Venezuela untuk terus melindungi kesejahteraan dan keselamatan semua warga negara Venezuela, serta AS dan warga negara asing lainnya di Venezuela. Amerika Serikat akan mengambil tindakan yang tepat untuk meminta pertanggungjawaban siapa pun yang membahayakan keselamatan dan keamanan misi kami serta personelnya," kata Pompeo.





Credit  sindonews.com






Bela Maduro, Putin Kecam Campur Tangan Asing soal Venezuela


Bela Maduro, Putin Kecam Campur Tangan Asing soal Venezuela
Presiden Rusia Vladimir Vladimorvich Putin. Foto/REUTERS

MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin menelepon Presiden Venezuela Nicolas Maduro untuk memberikan dukungannya terkait krisis politik di negara tersebut. Pemimpin Kremlin itu mengatakan campur tangan asing terhadap urusan internal Venezuela merupakan pelanggaran hukum internasional.

"Presiden Putin menyatakan dukungannya kepada Nicolas Maduro," kata Kremlin dalam sebuah pernyataan."Putin mengatakan dia mendukung dialog damai di Venezuela," lanjut Kremlin, yang dilansir Reuters, Jumat (25/1/2019).

Putin dan Maduro juga sepakat untuk melanjutkan kerja sama kedua negara di berbagai bidang.

Krisis politik di negara Amerika Latin itu memanas setelah Amerika Serikat (AS) tidak mengakui hasil pemilu terakhir yang menyebabkan Maduro menjabat lagi sebagai presiden untuk enam tahun ke depan.

Pada hari Rabu pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido mendeklarasikan diri sebagai presiden interim. Presiden AS Donald Trump mengakui Guaido sebagai presiden interim.

Argentina, Brasil, Kosta Rika, Ekuador, Guatemala, Chili, Kolombia, Paraguay, dan Peru mengikuti langkah AS. Prancis dan Inggris juga ikut memberikan pengakuan serupa.

London mengklaim bahwa Maduro bukan pemimpin yang sah dari Venezuela. Sedangkan Paris mengatakan bahwa pemilu yang dimenangkan Maduro ilegal. Sementara itu Eropa mendukung pemulihan demokrasi di negara tersebut.

Venezuela telah mengalami periode ketidakstabilan ekonomi dan hiperinflasi berkepanjangan, yang diperburuk oleh tekanan eksternal yang meningkat secara bertahap. Para lawan Maduro menyalahkan krisis ekonomi yang parah itu pada pemerintah sosialis.

AS sendiri telah memperluas sanksi ekonomi terhadap negara kaya minyak tersebut, namun di saat yang bersamaan menyatakan dukungan terhadap rakyat Venezuela. 




Credit  sindonews.com