Bermula dari tudingan kecurangan dalam pemilu,
kepemimpinan Venezuela berakhir dengan perebutan kuasa antara Nicolas
Maduro dan Juan Guaido. (Reuters/Carlos Garcia Rawlins)
Jakarta, CB -- Kisruh 'kudeta' kursi kepresidenan Venezuela kian panas setelah Presiden Majelis Nasional, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai pemimpin interim di tengah gelombang protes anti-Nicolas Maduro.
Polemik
ini sebenarnya bermula ketika Venezuela menggelar pemilihan umum pada
20 Mei 2018. Saat itu, popularitas Maduro terpuruk di tengah protes
masyarakat yang menganggapnya gagal membawa Venezuela keluar dari
krisis.
Di bawah pemerintahannya, Venezuela mengalami
hiperinflasi hingga 10 juta persen, krisis produksi minyak, tingkat
kelaparan dan kriminalitas yang tinggi, hingga berujung pada kemiskinan.
Ia pun disebut menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu,
dimulai dengan pembentukan Majelis Konstituen pada Agustus 2017.
Kewenangan majelis tersebut dapat menggantikan parlemen di bawah Majelis
Nasional yang saat itu dikuasai oposisi.
Sejumlah
kejanggalan pada pilpres itu kemudian mulai menuai kecurigaan berbagai
pihak, termasuk tanggal penyelenggaraannya. Awalnya, pemilu dijadwalkan
digelar pada Desember 2018, tapi kemudian dipercepat menjadi 22 April
hingga 20 Mei 2018.
Sejak Februari 2018, pemimpin koalisi oposisi
Venezuela menyatakan akan memboikot pilpres. Mereka percaya pilpres
tersebut sudah diatur untuk memenangkan Maduro.
Maduro akhirnya memenangkan pilpres 2018 dengan perolehan 67,7 persen suara dan kembali memegang kekuasaan hingga 2025.
Namun, sejumlah analisis dan jajak pendapat menunjukkan bahwa pemilu
tersebut merupakan pilpres dengan angka pemilih terendah di era
demokrasi negara tersebut.
Dengan 92 persen suara terhitung,
koalisi oposisi Broad Front mengklaim hanya sekitar 30 persen masyarakat
Venezuela yang memberikan suaranya dalam pilpres 2018.
Dua
kandidat lawan Maduro di pilpres, yakni Henri Falcon dan Javier
Bertucci, menolak hasil pilpres tersebut dan menyatakan bahwa proses
pemilu tidak sah.
Falcon mengecam pilpres tersebut sebagai
pemilu sistematis. Ia menuding pemerintah memberikan imbalan agar
masyarakat memilih Maduro, dan pengawas pemilu dilarang mengawasi di
banyak tempat pemilihan.
Nicolas Maduro disebut menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu. (Miraflores Palace/Handout via Reuters)
|
Dewan Pemilihan Nasional (CNE), yang bertugas mengawasi pemilihan di
Venezuela, diklaim tak bertugas dengan semestinya lantaran dikendalikan
oleh simpatisan Maduro.
Negara-negara seperti AS, Australia,
hingga organisasi internasional mulai dari Perserikatan Bangsa Bangsa,
Uni Eropa, hingga Organisasi Negara Amerika pun meragukan keabsahan
pilpres itu.
Meskipun menuai banyak kritik, Maduro tetap disumpah kembali menjadi presiden Venezuela pada 10 Januari 2019.
Semenjak Maduro mengambil sumpah, berbagai aksi protes melawan pemerintahannya menyemut di berbagai penjuru negara.
Sehari
setelah Maduro resmi menjadi presiden, Guaido mengadakan demonstrasi di
Caracas. Saat itu, Majelis Nasional menyatakan Guaido sebagai sosok
presiden interim Venezuela sesuai konstitusi.
Pernyataan tersebut dijawab dengan cibiran Maduro yang menyebut Guaido
dengan sebutan 'bocah'. Menteri Kekuatan Populer untuk Layanan Penjara
Venezuela, Iris Varela, bahkan mengaku telah menyiapkan sel penjara
untuk oposisi tersebut.
Pada 13 Januari, Guaido ditahan oleh
Layanan Intelijen Bolivarian (SEBIN) selama 45 menit. Beberapa hari
setelah itu, sekelompok mantan tentara dan polisi di Peru mengumumkan
dukungan mereka untuk Guaido, diikuti dengan demonstrasi dukungan ribuan
warga di Carabobo, Valencia, dan kota-kota lain.
Rentetan protes
terus bergulir hingga kini, dengan dukungan dari berbagai pejabat
tinggi negara-negara lain, termasuk Presiden AS, Donald Trump, dan
wakilnya, Mike Pence.
Setidaknya 13 orang dilaporkan tewas dalam dua hari
demonstrasi besar-besaran melawan Maduro, Senin pekan ini. Di hari yang
sama, 27 personel militer ditahan otoritas Venezuela karena menyatakan
keinginan membelot.
Dalam sebuah video, puluhan tentara itu
mengajak masyarakat untuk mendukung mereka dengan menggelar aksi pada
Senin (21/1). Para warga pun turun ke jalan, menggelar aksi yang
kemudian berujung ricuh.
Demonstrasi ini disebut-sebut sebagai
bentrokan paling signifikan antara pemerintah dan oposisi setelah protes
sebelumnya yang menewasan 125 orang antara April dan Juli 2017.
Di
tengah kisruh ini, pemimpin Majelis Nasional, Juan Guaido,
mendeklarasikan diri sebagai presiden interim Venezuela dan langsung
mendapatkan dukungan dari Trump dan sejumlah pemimpin negara Amerika
Latin lainnya.
Menurut Trump, Majelis Nasional pimpinan Guiado adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang sah pilihan rakyat Venezuela.
Di
tengah ketidakjelasan kepemimpinan ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa
meminta Venezuela menggelar dialog untuk menghindari krisis politik.
Credit
cnnindonesia.com