Jakarta, CUPUMA - Presiden Prancis, Emmanuel Macron, pada Kamis (17/2/22) mengumumkan penarikan pasukannya dan Eropa dari Mali. Pasukan Prancis telah berada di Mali selama sembilan tahun untuk memerangi kelompok militan sempalan ISIS dan Al Qaeda.
Hubungan Prancis dengan Mali telah memburuk dan mencapai titik terendah. Prancis dan Sekutu Eropa serta Afrika mengatakan, pemerintahan Mali yang kini dipimpin oleh militer telah menciptakan 'berbagai penghalang', sehingga melanjutkan operasi militer di Mali tidak lagi memungkinkan.
Para analis melihat, keluarnya pasukan Prancis dari Mali akan menciptakan kekosongan. Kelompok militan yang aktif di perbatasan Mali-Niger dapat memberikan ancaman krusial dalam jangka pendek, sebelum pasukan perdamaian PBB dan pasukan keamanan lain beradaptasi.
1. Kondisi politik, operasional, dan hukum di Mali tidak mendukung
Prancis mulai melakukan operasi militer di Mali sejak 2013. Mali saat itu meminta bantuan karena kelompok militan sempalan Al Qaeda dan ISIS telah menimbulkan ancaman bagi negara.
Kelompok militan yang berhasil dipukul mundur berkumpul kembali di padang pasir Sahel, dan melancarkan serangan kembali ke negara-negara sekitar. Prancis membentuk aliansi G-5 yang terdiri dari negara-negara di gurun Sahel yaitu Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger untuk memerangi kelompok militan.
Operasi Barkhane kemudian diluncurkan di negara-negara tersebut. Beberapa negara Eropa ikut membantu Prancis guna memerangi kelompok militan.
Kini, ketika hubungan Prancis-Mali memburuk dan bahkan mencapai titik terendah, Macron memutuskan pasukannya dari negara itu.
Dilansir Al Jazeera, Macron mengatakan "kondisi politik, operasional, dan hukum tidak lagi terpenuhi untuk mendukung militer mereka dalam melawan terorisme di Mali."
Secara bertahap, sekitar 2.400 tentara Prancis dan ratusan tentara Eropa lain di satgas Takuba akan keluar dari Mali dalam empat hingga enam bulan ke depan.
2. Pasukan Prancis yang keluar dari Mali akan dipindahkan ke Niger
Volume Sampah di Sungai Jakarta Melebihi Luas Monas
Dalam menjalankan operasi Barkhane di Sahel, Prancis mengerahkan sekitar 5.400 tentara. Negara-negara G-5 juga mengirimkan tentaranya bergabung dengan operasi tersebut. Tapi sebagian besar pasukan Prancis terkonsentrasi di Mali, karena kelompok militan paling mengancam di negara itu.
Mulai tahun lalu, Macron telah menyampaikan rencana pengurangan pasukan Barkhane Prancis. Diperkirakan hanya sekitar 2.500 tentara yang akan bertugas di Sahel.
Kini, Macron bersama sekitar 900 tentara sekutu Eropa memutuskan untuk hengkang.
Selama proses keluar dari Mali, hanya akan ada sedikit operasi melawan militan. Karena fokus utama adalah pemindahan pasukan. Ada tudingan mundurnya Prancis dari Mali adalah operasi yang menemui kegagalan seperti operasi AS di Afghanistan.
Tapi, Macron membantah tuduhan tersebut.
"Jantung operasi militer ini tidak lagi di Mali tetapi di Niger, dan mungkin dengan cara yang lebih seimbang di semua negara di kawasan yang menginginkan (bantuan) ini," katanya dilansir Reuters.
3. Ancaman teror telah meluas di Mali
Ketegangan antara Paris dan Bamako semakin memuncak ketika pejabat AS memberitahukan bahwa Mali menyewa tentara bayaran swasta dari Rusia, Wagner Group. Selain itu, sentimen antiPrancis juga meningkat.
Juru bicara tentara Mali, Souleymane Dembele, mengatakan bahwa kehadiran pasukan Prancis di negaranya tidak membuat ancaman teror mereda. Ancaman itu justru meluas ke banyak wilayah negaranya.
Dilansir Associated Press, dia mengatakan, "apa yang telah mereka berikan kepada kami? Mali tidak sendiri dan tidak akan tetap sendiri. Prancis dan negara-negara Eropa dapat pergi. Mari kita beri waktu dan Anda akan melihat apa yang akan terjadi."
Ada kekhawatiran seiring keluarnya pasukan Prancis dan Eropa dari Mali. Kekosongan kekuatan penunjang dikhawatirkan menjadi pemicu untuk kebangkitan kelompok teror.
Kolonel Pascal Ianni dari Prancis mengatakan, tentaranya tidak meninggalkan Sahel. Hanya saja di masa depan, mereka akan membantu pasukan lokal untuk memimpin pertempuran.
"Solusinya ada di tangan pasukan lokal, bukan pasukan asing. Semakin lama kekuatan asing tinggal di suatu negara, semakin dilihat sebagai kekuatan pendudukan, tak berdaya dan dikritik oleh penduduk," jelasnya.