Presiden
Amerika Donald Trump saat turun dari pesawat di Indianapolis, Indiana,
Amerika Serikat, Kamis (1/12/2016). (REUTERS/Mike Segar)
Washington (CB) - Kelompok-kelompok hak sipil Amerika
Serikat pada Senin (6/3) mengecam revisi kebijakan imigrasi Presiden
Donald Trump, menyebutnya sebagai "larangan Muslim", dan berikrar untuk
terus menentangnya di pengadilan.
"Pemerintahan Trump mengakui
bahwa larangan awal kunjungan Muslim dia tidak bisa dipertahankan.
Sayangnya, kebijakan itu diganti dengan versi yang lebih buruk, yang
memiliki cacat fatal yang sama," kata Omar Jadwat, direktur
American Civil Liberties Union's Immigrant Rights Project.
"Satu-satunya
cara untuk benar-benar memperbaiki larangan Muslim adalah tidak
memiliki larangan Muslim," kata Jadwat dalam sebuah pernyataan.
"Sebaliknya,
Presiden Trump kembali mendiskriminasi agama, dan dia tahu hal itu akan
mendapatkan penolakan lebih lanjut dari pengadilan dan masyarakat."
New York Immigration Coalition
(NYIC) menyebut revisi pelarangan tersebut, yang menangguhkan visa baru
bagi warga dari enam negara mayoritas Muslim, "topeng untuk kebencian,
ketakutan dan ketidakmampuan yang sama."
"Ini satu lagi contoh
dari upaya presiden untuk memecah negara ini dan menanamkan rasa panik
dan ketakutan bagi para imigran, pengungsi dan masyarakat Muslim," kata
direktur NYIC, Steven Choi.
Human Rights Watch menyatakan
perubahan terhadap perintah awal 27 Januari, yang berbenturan dengan
konstitusi Amerika Serikat karena terlihat terang-terangan menyasar
Muslim, "hanya kosmetik."
"Presiden Trump kelihatannya masih
yakin kau bisa menentukan siapa teroris hanya dengan mengetahui dari
negara mana seorang pria, perempuan atau anak-anak berasal," kata
peneliti kelompok imigrasi AS, Grace Meng.
Rabbi Jack Moline, presiden
Interfaith Alliance, mengatakan mereka juga berharap ikut berjuang menentang perintah baru itu di pengadilan.
"Bahkan
dalam bentuk revisi minim, larangan Muslim Presiden Trump melanggar
prinsip-prinsip konstitusi dan merongrong posisi Amerika di dunia," kata
Moline sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
"Kita harus jelas
bahwa mendiskriminasi jutaan orang berbasis agama mereka tidak ada
hubungannya dengan Amerika yang lebih aman."
United Farm Workers of America,
perserikatan yang secara terpisah berjuang menentang upaya Trump
mengusir jutaan orang, utamanya imigran Latin tak berdokumen, menyebut
larangan perjalanan baru itu sebagai "penghinaan besar terhadap
nilai-nilai fundamental yang menjadikan Amerika sebagai bangsa luar
biasa."
Credit
antaranews.com
Direvisi, Kebijakan Imigrasi Trump Masih Hambat Pariwisata AS
Meski direvisi dengan tidak memasukkan
Irak dalam daftar pelarangan, dunia pariwisata AS masih akan kena
dampaknya. (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
Jakarta, CB
--
Langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump
memperbarui larangan memasuki AS -bagi warga negara sejumlah negara
berpenduduk mayoritas Muslim- tidak akan mengurangi dampak terhadap
sektor pariwisata negara tersebut.
Ungkapan itu disampaikan Kepala Badan Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa, pada Selasa (7/3), seperti dilansir Reuters.
"Orang-orang
tidak akan mau datang ke tempat yang tidak membuat mereka nyaman," ujar
Taleb Rifai, sekretaris jenderal badan PBB tersebut sebelum pembukaan
pameran perdagangan pariwisata terbesar di dunia, ITB Berlin, yang
dimulai Rabu.
Sebelumnya, Trump pada Senin menandatangani sebuah perintah eksekutif
yang telah diperbarui menyangkut keimigrasian setelah perintah
sebelumnya diblok pengadilan.
Berdasarkan perintah itu, para
warga dari enam negara berpenduduk mayoritas Muslim dilarang masuk ke
Amerika Serikat, dengan tidak lagi memasukkan Irak ke dalam daftar
seperti keputusan sebelumnya. Keenam negara yang masih dilarang itu
yakni
Suriah, Iran, Libya, Somali, Yaman dan Sudan. "Ini bukan masalah negara-negara mana yang termasuk (dalam daftar), ini lebih kepada soal perilaku," kata Rifai menambahkan.
Pekan
lalu, Rifai mengatakan kepada Reuters bahwa Amerika Serikat telah
kehilangan potensi pendapatan sebesar US$185 juta (sekitar Rp2,4
triliun) setiap bulannya setelah larangan pertama diterapkan.
AS juga akan kehilangan puluhan juta dolar lagi setiap bulan jika kebijakan serupa terus diterapkan.
Menurut
data bulan ini dari perusahaan analisa pariwisata, ForwardKeys,
kekuatan minat kunjungan ke AS dalam beberapa bulan mendatang sudah
melemah. Namun, penurunan minat berkunjung ke AS diperkirakan tidak akan
berdampak pada minat kunjungan wisata secara umum.
Jumlah
wisatawan asing diperkirakan akan tumbuh tiga atau empat persen tahun
ini dibandingkan tahun lalu, yang saat itu berjumlah 1,24 miliar orang,
kata Rifai.
"Dunia telah membuka diri sedemikian hebatnya.
Sekarang begitu banyak pilihan. Kalau kita ingin bermain judi, kita
tidak harus pergi ke Las Vegas, sebagai penggantinya kita bisa pergi ke
Makau," ujarnya.
Lembaga pengamat pasar Euromonitor telah
memangkas perkiraan jumlah wisatawan yang datang di AS hingga tahun 2020
menjadi 84,2 juta dari 85,2 juta di tengah ketidakpastian soal larangan
masuk ke AS.
Caroline Bremner, kepala bidang penelitian
Euromonitor mengatakan tujuh negara yang sebelumnya dilarang masuk AS
memang tidak signifikan jika dilihat dari jumlah wisatawan yang datang
ke AS.
Namun, dampak lebih besarnya ada pada pesan yang
disampaikan Trump akan keterbukaan dan sambutan di bawah pemerintahan AS
yang baru.
Credit
cnnindonesia.com/