
Foto: Dadan Kuswaraharja
Jakarta - 70 Tahun sudah militer Jepang 'menyepi di pegunungan',
hanya melihat dari sisi damai tanpa terusik hiruk pikuk perang di
berbagai belahan dunia. Namun hal itu segera berubah, militer Jepang
akan 'turun gunung'.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II pada
1945, Jepang memperketat aturan soal penggunaan kekuatan militer. Aturan
ketat itu mengisolasi kekuatan militer Jepang dari dunia luar. Selama
tak diserang, Negeri Matahari Terbit tak boleh menggunakan kekuatan
militernya yang terkenal memiliki determinasi tinggi dan dilengkapi
alutsista canggih di luar negeri.
9 September 2015 aturan itu
resmi diubah. Diwarnai penolakan keras dari oposisi dan demonstrasi,
Parlemen Jepang yang dikuasai Partai Demokratik Liberal -- parpol
pendukung pemerintah -- mengesahkan revisi Undang-Undang Keamanan
Nasional. Revisi itu memberi perubahan besar terkait kebijakan
penggunaan kekuatan militer Jepang.
Dalam Undang-Undang baru,
Jepang bisa menggunakan kekuatan militernya di luar negeri. Jepang bisa
mengirim pasukan, alutsista, dan semua potensi militer yang dimiliki
untuk membantu negara sahabat yang meminta pertolongan, utamanya untuk
Amerika Serikat dan sekutunya.
Undang-Undang baru ini menjadi
kontroversi di dalam negeri. Media mengkritik, pengamat menganggap ada
pelanggaran konstitusi, rakyat turun ke jalan berdemonstrasi. Tak hanya
memicu reaksi di dalam negeri, negara-negara tetangga Jepang pun
bereaksi. Reaksi keras datang dari China, yang mengkritik habis
Undang-Undang baru itu. Media Pemerintah China bahkan memberi istilah
"Dark Stain for Japan" untuk pengesahan Undang-Undang tersebut.
Namun
segala reaksi dari dalam dan luar negeri itu dianggap berlebihan oleh
Profesor dari University of Tokyo, Shin Kawamura. Kawamura mengatakan
banyak yang melebih-lebihkan soal materi yang termaktub dalam
Undang-Undang tersebut.
"Di dalam negeri rakyat protes karena
kekhawatiran yang berlebihan. Sebagaian masyarakat khawatir mereka akan
kena wajib militer. Padahal kalau lihat isi Undang-Undangnya tidak ada
wajib militer. Banyak yang menghembuskan isu yang tak sesuai fakta dan
melebih-lebihkan," kata Kawamura saat berbincang dengan detikcom dan dua
jurnalis Indonesia lainnya di Tokyo, Rabu (16/12/2015).
Kawamura
menjelaskan Undang-Undang ini belum berlaku tahun ini, dan baru efektif
diberlakukan musim semi 2016, di bulan Maret atau April.
Menurutnya
tak ada perubahan sikap dasar dan orientasi Jepang dalam Undang-Undang
baru tersebut. Kawamura mengatakan Undang-Undang ini memang meningkatkan
daya pencegahan konflik militer melalui aliansi Jepang-AS, namun dia
menegaskan Negeri Sakura tetap cinta damai.
"Jepang dapat
berpartisipasi pada misi Peace Keeping Operation PBB dan kegiatan serupa
yang lain secara lebih luas. Dan Undang-Undang ini membuat Jepang dapat
menyalurkan dukungan yang diperlukan dalam kondisi yang berpengaruh
besar pada perdamaian dan keamanan Jepang atau mengancam perdamaian
dunia internasional," ulas Kawamura dengan bahasa Inggris yang fasih.
Soal
hak bela diri kolektif atau keleluasaan menggunakan kekuatan militer
untuk membantu negara sahabat yang diberikan Undang-Undang ini, Kawamura
mengatakan ada syarat yang ketat. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi
sebelum Pemerintah diperbolehkan mengirim pasukan ke luar negeri, yaitu:
1.
Jika terjadi serangan terhadap Jepang atau jika terjadi serangan
terhadap negara sahabat sehingga kelangsungan Jepang terancam dan
menimbulkan bahaya nyata yang mengganggu hak untuk hidup, kebebasan
serta pengejaran kebahagiaan bagi rakyat Jepang.
2. Jika tidak
ada cara lain yang tepat untuk menangkal serangan serta memastikan
kelangsungan Jepang dan melindungi rakyat Jepang.
3. Penggunaan kekuatan harus dibatasi seminimum mungkin yang diperlukan.
Kawamura
tak menepis anggapan salah satu faktor yang mendorong munculnya
Undang-Undang ini adalah untuk merespons agresivitas China di kawasan
Asia. Terlebih China sedang berkonflik di Laut China Selatan dengan
beberapa negara Asia Tenggara, dan berpotensi konflik di Laut China
Timur. Dengan Undang-Undang Keamanan Nasional baru, Jepang bisa
berkontribusi di konflik Laut China Selatan dan bereaksi lebih tanggap
untuk mencegah konflik di Laut China Timur yang melibatkan salah satu
pulau negeri para Samurai itu.
Lebih jauh soal Laut China
Selatan, Kawamura mengatakan Jepang bisa membantu Vietnam dan Filiphina
yang sedang berkonflik dengan China. Bukan dengan mengirim pasukan
militer, tapi Jepang bisa menempatkan pasukan penjaga pantai untuk
membantu menjaga wilayah laut kedua negara. Jepang juga bisa
berkontribusi dengan mengirim kapal, transfer teknologi militer atau
memberi pelatihan militer
"Jepang juga bisa membantu Indonesia
untuk mengamankan Pulau Natuna. Tak hanya dari kekuatan militer China,
tapi juga dari illegal fishing. Bisa dengan menempatkan penjaga pantai
atau mengirim kapal yang lebih cepat atau yang teknologinya lebih
canggih. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia yang kami
pandang sebagai kekuatan penting di Asia Tenggara," ujar penulis buku
The Formation of Chinese Modern Diplomacy tersebut.
Selain soal
China, Kawamura buka-bukaan soal adanya dorongan Amerika Serikat yang
juga menjadi salah satu faktor terbitnya Undang-Undang Keamanan Nasional
baru. Namun, dia menegaskan, dorongan itu hanya berupa permintaan agar
Jepang membuat aliansi yang kuat di Asia demi menjaga perdamaian.
"Jepang
merespons dorongan aliansi. Ke luar negeri, Jepang butuh memberi sinyal
bahwa sudah ada perubahan secara kebijakan militer. Namun di dalam
negeri kami perlu menegaskan bahwa sebenarnya tak ada yang berubah,"
tuturnya.
Kawamura kembali menegaskan kekhawatiran di dalam
negeri berlebihan. Dia sangat yakin, Perdana Menteri Shinzo Abe dan
parlemen Jepang tak akan membuat manuver yang bisa membahayakan rakyat
Jepang.
"Banyak rakyat Jepang khawatir anak-anak mereka akan
dikirim ke medan perang untuk mendukung Amerika. Tapi itu tak pernah
terjadi. Undang-Undang ini tidak dimaksudkan untuk tujuan seperti itu,"
pungkasnya.
Credit
DetikNews