Museum Victoria/LIPI Tikus Hidung Babi (Hyorhinomys stuempkei)
CB — Menemukan
tikus hidung babi di hutan perawan Sulawesi bukanlah hal mudah. Medan
berat harus ditaklukkan. Peneliti dan kurator koleksi mamalia Museum
Zoologi Bogor, Anang Setiawan Achmadi, berbagi kisah penemuan makhluk
unik itu.
Anang
menceritakan, awal penemuan tikus hidung babi itu bermula dari
ekspedisi penelitian hasil kerja sama dengan Lousiana State University
dan Museum Victoria.
Tahun 2012, Anang bersama Jake Esselstyn,
Kevin Rowe, dan Heru Handika melaksanakan ekspedisi ke hutan-hutan
wilayah Sulawesi Tengah.
"Awalnya, kita rencanakan ke Gunung
Sojol. Habitatnya lebih bagus. Tetapi, di sana tinggi dan akses
informasi minim. Akhirnya, kita putuskan lebih ke utara di Gunung Dako,"
kata Anang.
Gunung Sojol adalah gunung tertinggi di Sulawesi
Tengah, terletak di Donggala, dan punya ketinggian 3.226 meter.
Sementara itu, Gunung Dako di Toli-toli memiliki ketinggian 2.304 meter.
Setelah menentukan lokasi, tim peneliti mulai menentukan
site penelitian dan menganalisis lokasi. Mereka membagi menjadi dua
site penelitian, di bawah 500 meter di bawah permukaan laut dan di atasnya.
"Target
utama kita adalah ketinggian 1.500 meter. Kita sudah analisis dengan
Google Earth, ada tanah datar di ketinggian 1.500 meter di Gunung Dako,"
ujar Anang.
"Berdasarkan penuturan penduduk lokal, masih sedikit
yang sampai ke sana. Baru para pencari rotan. Katanya memang di sana
masih banyak anoa," ujarnya.
Peneliti lalu membagi diri menjadi
dua tim. Satu tim melakukan survei untuk memastikan kondisi di
ketinggian yang dituju, sementara yang lainnya tinggal di bawah.
Begitu
tim survei kembali ke bawah membawa informasi jalur dan kondisi tanah
datar di ketinggian, semua peneliti pun mulai mendaki gunung.
Museum Victoria/LIPI Tikus hidung babi (Hyorhinomys stuempkei)
Tim
peneliti mesti mengarungi medan berat untuk sampai ketinggian yang
dituju. Kegagalan dalam mengarungi medan ini akan otomatis menggagalkan
dan menghapus potensi menemukan satwa-satwa menarik.
"Kita harus susur sungai di Malangga Selatan. Butuh waktu tiga jam untuk sampai ke kamp pertama," tutur Anang ketika dihubungi
Kompas.com, Senin (7/10/2015).
"Dari kamp pertama lalu delapan jam
hike up. Jadi, kita berangkat pagi, istirahat semalam di kamp pertama baru teruskan esok paginya lagi," ujarnya.
Perjalanan
menuju dataran di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut
itu seperti menyusuri tebing. Tim harus melewati hutan yang didominasi
rotan. Cukup berbahaya.
Saat perjalanan pulang, salah satu
peneliti Australia yang terlibat sempat jatuh. "Luka-luka. Tetapi, itu
sudah biasa kami alami," kata Anang.
Hal menantang lain dalam
perjalanan itu adalah menghadapi cuaca yang sering hujan. Matahari hanya
bersinar sejam, kemudian tertutup lagi karena hujan. Belum lagi pacet
yang sering menempel.
Sampai di atas bukan berarti perjuangan
selesai. Sebab, proses koleksi tikus tak hanya memakan waktu semalam.
Memasang jebakan dan mengambil tikus-tikus yang terjebak dilakukan
berhari-hari.
Museum Victoria/LIPI Kevin Rowe dan spesimen tikus hidung babi (Hyorhinomys stuempkei)
Hingga suatu pagi ketika memeriksa jebakan, Kevin Rowe dari Australia menemukan spesimen menarik. Ia lantas berteriak kencang.
Rekan-rekan
peneliti lain yang masih ada di kamp mendengar dan sudah mulai curiga
temuan menarik didapatkan. Benar saja, ketika Kevin kembali, tikus unik
datang.
"Kami langsung konfirmasi saat itu," ungkap Anang.
Melihat karakteristik yang menonjol, para peneliti yakin tikus itu baru
bagi ilmu pengetahuan.
Ciri yang sangat menonjol dari tikus ini
adalah hidungnya yang seperti hidung babi. Ciri lainnya adalah adanya
rambut yang sangat panjang di bagian dekat saluran kencing.
Panjang
rambut urogenital sebenarnya hanya lima sentimeter. Namun, bagi tikus,
itu panjang. Belum ada tikus dengan rambut urogenital sepanjang itu.
Fungsi rambut itu pun belum jelas.
Tikus baru ini dinamai
Hyorhinomys stuempkei. Nama genus "
Hyorhinomys" diambil dari kata "
hyro" yang berarti "babi", "
rhino" yang berarti "hidung", dan "
mys" yang berarti "tikus".
Sementara itu, nama spesies "
Stuempkei" diambil dari nama samaran Gerolf Steiner, Harald Stuempke. Dia adalah penulis buku fiksi
The Snouter yang bercerita tentang adanya tikus yang terpapar radiasi sehingga hidungnya menjadi panjang.
"Di Australia,
Hyorhinomys lebih terlihat seperti tikus
bilby, dengan kaki belakang yang besar, telinga besar dan panjang, serta moncong yang panjang dan meruncing," ungkap Kevin.
Tikus
ini merupakan jenis ketiga yang ditemukan di Sulawesi dalam lima tahun
terakhir. Sebelumnya, Anang dan tim telah menemukan tikus ompong (
Paucidentomys vermidax) dan tikus air mamasa (
Waiomys mamasae).
Meski beragam kesulitan harus dilalui, Anang mengungkapkan bahwa temuan sejumlah spesies di Sulawesi menjadikannya
worth it, setimpal dengan hasil yang didapatkan.
Sejumlah
temuan diharapkan bisa menggugah publik dan pemerintah untuk
melestarikan alam Sulawesi yang unik. Lebih banyak kenanekaragaman yang
harus diungkap. Siapa tahu, ada yang bisa memberi manfaat besar bagi
manusia.
Credit
KOMPAS.com