Map of Indonesian etnics. (en.wikipedia.org)
Jakarta (CB) - Istilah bahasa asing kerap ditemui dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam percakapan lisan mau pun tulis. Saat
membeli barang di toko online, kerap ditemui istilah seperti "order
form", "shipping" atau "pre-order" yang sebenarnya memiliki padanan kata
dalam bahasa Indonesia, yakni "formulir pemesanan", "pengapalan" dan
"pemesanan lebih awal".
Mengapa memilih istilah asing yang memiliki padanan kata dalam
bahasa kita sendiri? Apakah penggunaan bahasa Indonesia meluntur?
Pengajar Studi Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Tommy Christomy mengatakan Indonesia adalah salah satu keajaiban karena
dipakai semua kalangan, baik minoritas maupun mayoritas sebagai
pemersatu di antara keberagaman. Bahasa Indonesia terus hidup dan tumbuh
serta dipakai di berbagai level, baik itu formal dan informal.
"Saya tidak khawatir dengan bahasa yang tumbuh di masyarakat karena itu bagian dari dinamika," ujar dia.
Perubahan seperti itu membuat masyarakat tidak bisa menolak
hadirnya bahasa baru, misalnya bahasa alay. Istilah baru pun kerap
muncul di berbagai generasi, mulai dari "kepo" (ingin tahu mengenai
sesuatu),"woles" (kata "selow" dari bahasa Inggris "slow" yang dibalik)
berarti santai, hingga "baper" yang merupakan singkatan dari "bawa
perasaan".
Dibandingkan dengan bahasa Melayu, pertumbuhan bahasa Indonesia
lebih pesat karena disusupi bahasa daerah, bahasa kontemporer, bahasa
kelompok atau bahasa asing yang memperkaya komunikasi sehari-hari.
Apalagi, Indonesia memiliki lebih dari 800 etnis dengan beragam bahasa.
Salah satu contoh kata serapan dari bahasa daerah adalah "nyeri"
yang diambil dari bahasa sunda. Alumnus Fakultas Sastra UI Jurusan
Indonesia yang lulus pada 1986 itu mengatakan kata "nyeri" menambah
gradasi lain dari mengekspresikan kategori berbeda dari rasa sakit.
"Dalam bahasa melayu hanya ada kata "sakit", sakit dicubit, atau
dipukul hanya bisa diekspresikan dalam kata "sakit", tidak ada istilah
lain," kata peraih gelar Master of Art dari Program Pasca Sarjana UI
Program Studi Susastra pada 1992.
Contoh lain adalah kata "ember" berkembang dari tempat air
berbentuk silinder menjadi kata lain dari persetujuan atas suatu
pernyataan.
"Nasi gorengnya enak ya!"
"Ember!"
"Di Indonesia serapan bahasa daerah banyak sekali, ada juga pengaruh
bahasa asing masuk. Karena di Malaysia tidak berkembang dengan bahasa
daerah, maka lebih banyak serapan Inggris."
Tommy menuturkan, kawannya dari Malaysia mengaku sulit menyampaikan
konsep mendasar tentang ilmu pengetahuan hanya dalam bahasa melayu.
Namun, hal yang sama tidak berlaku di Tanah Air.
"Di sini sangat memungkinkan memakai bahasa Indonesia untuk
membicarakan hal ilmiah yang rumit, misalnya penyakit. Mengapa? Karena
banyak kata serapan," ujar peraih gelar Doktor dari The Australian
National University, Program Southeast Asian Studies pada 2002.
Dia enggan menghakimi apakah banyaknya serapan kata asing
merupakan tanda bahasa Indonesia mulai meluntur di tengah masyarakat.
Ketika bahasa Indonesia digantikan dengan padanan dalam bahasa lain,
bisa jadi karena masyarakat merasa tidak ada kata dalam bahasa Indonesia
yang bisa mengekspresikan apa yang dimaksud.
"Yang tidak bagus itu kalau ada padanan kata dalam bahasa
Indonesia dan masih terekspresikan tapi tetap pakai padanan bahasa
asing," kata pria yang menjadi pengajar di UI sejak 1988 itu.
Kendati demikian, menyelewengkan bahasa juga sah-sah saja bila ada tujuan tertentu, misalnya dalam industri kreatif.
Tommy mengatakan ada yang lebih merisaukan dan harus segera
dibenahi, yakni implementasi penggunaan bahasa Indonesia formal yang
diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009. Dia
menegaskan aturan soal bahasa Indonesia dalam Undang Undang itu harus
dilaksanakan.
"Dokumen pemerintah, pidato pejabat dan semua pihak terkait
institusi negara adalah mereka yang harus menggunakan bahasa Indonesia.
Namun kenyataannya tidak semua terlaksana," ujar dia.
Menurut Undang Undang, bahasa Indonesia juga wajib digunakan
untuk nama geografi di Indonesia, juga dalam penamaan bangunan, gedung,
jalan, lembaga usaha, permukiman, perkantoran, atau organisasi milik
warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Tempat-tempat tersebut dapat dinamai dengan bahasa daerah atau
asing bila memang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat atau
keagamaan yang terkait.
"Sekarang, banyak tempat publik dan ruang umum yang dinamai tidak sesuai ketentuan Undang Undang," komentarnya.
Dia menyebut nama pemakaman elit San Diego Hills Memorial Park di Karawang.
"Mengapa pilihan utamanya bahasa Inggris? Memang tidak ada
bahasa lebih halus dari kuburan? Kenapa tidak pakai nama taman makam
seperti Taman Makam Pahlawan?"
Penamaan tempat publik dalam bahasa Indonesia dinilai lebih gencar dilakukan oleh pemerintah masa lampau.
"Sukarno dulu bikin mal namanya gedung Sarinah itu perlu
keberanian, dia seorang yang paham ideologis kebangsaan," kata dia.
Tommy membandingkan dengan negara lain seperti Korea dan Jepang
yang tetap mempertahankan bahasa mereka di berbagai tempat, termasuk
menu restoran.
"Kita tidak paham apa yang mereka tulis tapi mereka tetap
percaya diri. Menu juga mau mengerti atau tidak ya ini menu kita, kalau
kamu tidak mengerti ya salah kamu," kata dosen yang pernah mendapat
penghargaan tenaga akademik UI berprestasi dalam riset dari DRPM-UI pada
2006.
Tommy bercerita tentang Cia-cia, bahasa di pulau Buton,
Sulawesi yang mengadaptasi alfabet Korea (hangul) untuk menuliskan
bahasa daerah mereka karena mereka tidak memiliki huruf sendiri.
"Entah dengan inisiatif siapa masyarakat dan elit setempat
minta diajari bahasa Korea dan karena mereka ga punya huruf lokal mereka
mengambil huruf korea dan diterapkan di nama jalan," kata Tommy yang
pernah mendatangi tempat tersebut bersama profesor asal Korea.
Dia mengatakan UU sudah jelas menyatakan bahwa urusan resmi
berkaitan martabat bangsa harus menggunakan bahasa resmi. Sementara di
Buton, justru huruf Korea yang dipakai untuk membahasakan bahasa lokal.
"Kan jauh banget loncatannya, kenapa tidak ke yang di
sekitarnya, kan banyak huruf-huruf yang dekat, Makassar punya huruf,
Melayu juga, Jawa juga, kenapa harus Korea?" kata pria yang pernah tiga
tahun mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Selatan.
"Ini bukan persoalan suka tidak suka, tapi politik bahasa.
Kalau menyangkut politik, yang sudah ditetapkan harus diikuti."
Begitu pula dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar
dalam pendidikan nasional. Sebuah mata pelajaran yang tujuannya bukan
untuk menambah kemampuan bahasa asing harus disampaikan dengan bahasa
Indonesia.
"Kecuali sekolah swasta yang merupakan franchise pihak lain di
luar negeri, belajar pakai bahasa Inggris ya masuk akal," pungkas dia.
Credit
ANTARA News