Eksekusi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan jadi titik tolak. 
Kendaraan lapis baja yang membawa dua 
terpidana mati Bali Nine tiba di pelabuhan feri untuk menuju lapas 
Nusakambangan, Cilacap, Rabu (04/03/2015). (REUTERS / Darren Whiteside)
 
  
     CB - Eksekusi mati terhadap duo gembong 
narkoba Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran menjadi momentum 
bagi Australia untuk menghapus hukuman mati. Namun, perjuangan itu 
ditafsirkan tidak konsisten, karena justru Australia pernah mendorong 
adanya eksekusi mati terhadap tiga orang yang menjadi otak di balik 
pengeboman Bali I tahun 2002 lalu. 
BBC edisi Selasa, 5 
Mei 2015 melansir, kampanye untuk mendorong penghapusan hukuman mati 
dimulai dari mantan Jaksa Agung, Philip Ruddock. Dia mengaku telah 
menulis surat kepada para diplomat lokal yang warganya terancam hukuman 
mati atau telah dieksekusi oleh Kejaksaan Agung RI pada tahun ini. 
"(Saya
 menulis) untuk mengundang mereka agar bekerja bersama kami dalam 
kaitannya mengatasi isu ini," ujar Ruddock seperti dikutip stasiun 
berita ABC News. 
Bahkan, dia menjelaskan secara terbuka, jika 
Negeri Kanguru berniat untuk memulai diskusi penghapusan hukuman mati, 
maka Australia harus memulainya dengan berbicara bersama Amerika 
Serikat. 
"Jika negara maju di dunia tempat kita hidup masih 
mempertahankan hukuman mati, maka sangat sulit untuk berhadapan dengan 
negara lain seperti Iran, Tiongkok, Arab Saudi dan negara lain yang 
mengeksekusi dalam beberapa kasus ribuan orang," papar Ruddock. 
Dia
 beralasan cara pencegahan terbesar kejahatan bukan dengan hukuman mati 
tetapi menahan pelaku. Bahkan, dalam penelitian yang dilakukan oleh para
 kriminolog, telah terbukti hukuman mati tak memiliki efek pencegahan. 
Menurut Ruddock, bagian penting dari advokasi penghapusan hukuman mati yaitu memberi informasi kepada publik. 
"Jika
 Anda ingin melakukan sesuatu mengenai tindak kriminal, maka Anda 
benar-benar membutuhkan agar publik tahu efektivitas penegakan hukum di 
negara Anda," kata Ruddock. 
Oleh sebab itu, Ruddock mendorong 
agar Australia menjadikan isu ini sebagai isu utama dan bersiap berada 
di garda terdepan untuk melobi mengenai isu ini. 
Selama ini, 
Australia diketahui memiliki sikap penolakan terhadap hukuman mati dan 
tak mengeksekusi siapa pun sejak tahun 1967 lalu. Namun, sikap itu 
terlihat tak konsisten ketika mantan Perdana Menteri John Howard pada 
2007 lalu justru mengirimkan pesan dukungan agar eksekusi terhadap 
pelaku bom Bali Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas dipercepat. 
"Gagasan
 bahwa kita akan memohon penangguhan eksekusi terhadap orang yang telah 
membunuh 88 warga Australia, adalah sesuatu yang tak menyenangkan bagi 
publik," kata Howard kala itu. 
Respons publik pun sempat 
mendukung penuh jika ada warganya yang dieksekusi mati di negara lain. 
Berdasarkan sebuah survei di tahun 1986 lalu yang dilakukan oleh Lowy 
Institute for International Policy, mengungkapkan lebih dari 70 persen 
warga Australia meyakini hukuman mati terhadap warga Negeri Kanguru di 
luar negeri tetap harus dijalankan. 
Tetapi, seiring dengan 
gencarnya pemberitaan media mengenai isu Chan dan Sukumaran, angka itu 
berubah. Direktur Survei Lowy Institute, Alex Oliver mengatakan sebanyak
 62 persen publik tak ingin Chan dan Sukumaran dieksekusi. Bahkan, 70 
persen warga Negeri Kanguru berpendapat hukuman mati tidak diberlakukan 
bagi pelaku tindak kejahatan narkoba. 
Dalam survei di tahun 2010
 lalu, Oliver menyebut hampir 60 persen warga Australia menginginkan 
adanya penghapusan hukuman mati di negara-negara di kawasan Asia 
Tenggara. 
"Dalam 35 tahun terakhir kami melihat adanya penguatan penolakan terhadap hukuman mati secara umum," ujar Oliver. 
Namun,
 Oliver mengingatkan pendapat tersebut bisa saja berubah, tergantung 
siapa yang tengah menghadapi ancaman hukuman mati dan apa tindak 
kejahatan mereka. 
Tuduhan kemunafikanSementara,
 pandangan yang tak konsisten mengenai hukuman mati justru memunculkan 
tuduhan hipokrit di kalangan publik. Setidaknya itu yang diungkap oleh 
pengajar senior di Fakultas Filsafat, Universitas Melbourne, Patrick 
Stokes. 
"Sebagian besar orang tak menyukai hukuman mati dan 
sebagian lainnya mungkin berpikir ada orang yang seharusnya dijatuhi 
hukuman mati atau sebenarnya mereka tak terlalu peduli terhadap 
pemberlakukan hukuman mati di luar negeri atau mereka hanya tidak suka 
warga Australia dieksekusi di beberapa negara seperti Tiongkok, Malaysia
 atau Indonesia," papar Stokes. 
Dia melanjutkan, bisa saja 
sebagian publik yang peduli terhadap warga Australia yang dieksekusi di 
beberapa negara tertentu tak peduli jika hukuman mati masih diberlakukan
 di tempat lain seperti AS, Jepang, Iran atau Arab Saudi. Stokes 
mengatakan sebagian besar orang masih belum memiliki posisi yang jelas 
kecuali reaksi yang terpencar mengenai beberapa kasus tertentu. 
Direktur
 Eksekutif Lowy, Michael Fullilove, mengatakan, Negeri Kanguru sebaiknya
 berupaya lebih keras jika ingin membatalkan hukuman mati, ketimbang 
mengupayakan penangguhan vonis tersebut sementara waktu. Paling tidak 
dengan begitu, bisa melindungi Australia dari tuduhan kemunafikan hanya 
karena memohon untuk kasus tertentu. 
Fullilove menyarankan jika 
mereka ingin menghapus hukuman mati maka Australia bisa memulainya dari 
kawasan Asia. Caranya, dengan  mengajak bekerja sama beberapa negara di 
kawasan tersebut yang telah menghapuskan hukuman itu seperti Kamboja, 
Nepal, Timor Timur, Bhutan dan Filipina. 
Isu ini, ujar 
Fullilove, harus dijadikan prioritas. "Kita harus menjadi seorang 
pemimpin dalam gerakan internasional melawan hukuman mati," kata dia. 
Credit  
 VIVA.co.id