Tampilkan postingan dengan label NUKLIR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NUKLIR. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Februari 2019

PBB: Israel 'Buang' Limbah Nuklir di Wilayah Suriah



PBB: Israel \Buang\ Limbah Nuklir di Wilayah Suriah
Sekjen PBB, Antonio Guterres mengungkap sebuah laporan yang menuduh Israel mengubur limbah nuklir radioaktif di Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah Israel. Foto/Istimewa


NEW YORK - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengungkap sebuah laporan yang menuduh Israel mengubur limbah nuklir radioaktif di Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki selama lebih dari lima dekade.

Guterres dilaporkan akan menyerahkan laporan, yang didasarkan pada dakwaan Suriah terhadap Israel, kepada di sesi ke-40 panel Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), yang akan berlangsung di Jenewa, Swiss.

"Suriah mencatat bahwa Israel terus mengubur limbah nuklir dengan konten radioaktif di 20 wilayah berbeda yang dihuni oleh warga Suriah Golan Suriah yang diduduki, khususnya di sekitar Gunung al-Sheikh," bunyi laporan itu.

"Praktek ini telah membahayakan jiwa dan kesehatan warga Suriah di Golan Suriah yang diduduki, dan merupakan pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa Keempat," sambungnya, seperti dilansir PressTV pada Senin (25/2).

Israel adalah satu-satunya pemilik senjata nuklir di Timur Tengah, tetapi kebijakannya adalah untuk tidak mengkonfirmasi atau menyangkal memiliki bom atom. Rezim tersebut diperkirakan memiliki 200 hingga 400 hulu ledak nuklir di gudang senjatanya.

Tel Aviv juga bukan anggota Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) nuklir, yang tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata.

Israel sendiri merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah saat Perang Enam Hari pada 1967 dan terus menduduki dua pertiga wilayah penting yang strategis sejak itu.

Selama beberapa dekade terakhir, Israel telah membangun puluhan permukiman di Dataran Tinggi Golan yang bertentangan dengan seruan internasional pada rezim untuk menghentikan kegiatan konstruksi ilegal. 




Credit  sindonews.com



Rumitnya Denuklirisasi, Bagaimana Melucuti Senjata Nuklir?




Bom hidrogen Uni Soviet, RDS-220 atau
Bom hidrogen Uni Soviet, RDS-220 atau "Tsar Bomba", adalah bom termonuklir terkuat yang pernah dibuat.[Scott Martin/Army Technology]

CB, Jakarta - Ada cukup banyak senjata nuklir di dunia untuk menyebabkan bencana global yang menghancurkan dunia dalam sekejap. Menurut para ilmuwan, tidak ada negara yang dapat menembakkan lebih dari 100 hulu ledak nuklir tanpa menimbulkan kehancuran sedemikian rupa sehingga warga negara mereka sendiri yang pulang akan terbunuh.
Sebagian besar negara nuklir yang diakui oleh Perjanjian tentang Non-Proliferasi Senjata Nuklir, yakni Prancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat, telah mulai mengurangi persenjataan mereka.

Cina merupakan pengecualian. Jumlah pasti hulu ledak negara ini tidak diketahui, tetapi banyak analis mengatakan persediaannya secara perlahan semakin meningkat.

Sebaliknya, Korea Utara, walaupun terkenal sulit diprediksi, pada akhirnya dapat mengurangi program nuklirnya jika pemulihan hubungan diplomatiknya dengan Barat terus berlanjut.
Negosiasi mengenai perlucutan senjata nuklir secara politis sulit. Tetapi ketika kesepakatan tercapai, para ilmuwan dan insinyur dapat menyediakan berbagai alat untuk membongkar beberapa senjata buatan manusia yang paling mematikan dan menyimpan atau menggunakan kembali bahan nuklir berbahaya.
Pelucutan senjata nuklir adalah proses yang terkoordinasi, yang melibatkan politisi, ilmuwan dan insinyur, seperti dalam laporan Inside Science, insidescience.org, dikutip pada 25 Februari 2019.
Semuanya dimulai dengan cetak biru yang digunakan para desainer untuk membuat senjata di tempat pertama, menurut para ahli.
"Ini seperti jenis mesin lainnya," jelas Robert Rosner, ketua Buletin Badan Ilmuwan dan Keamanan Atom. "Ini adalah proses membongkar sepotong demi sepotong."
Bom "Priscilla" meledak dengan energi 37 kiloton TNT di Situs Uji Nevada pada 24 Juni 1957. [Situs Keamanan Nasional Nevada/Wikipedia/Business Insider]
Untuk membongkar senjata nuklir, para insinyur perlu mengetahui urutan yang tepat di mana potongan-potongan itu awalnya disatukan.
"Desain bom atom adalah apa yang saya sebut rahasia terbuka. Tidak banyak cara mendesainnya, jadi jika orang Amerika harus berurusan dengan bom Korea Utara misalnya, itu tidak akan menjadi misteri bagi mereka," kata Rosner.
Tetapi bom hidrogen yang lebih canggih dan destruktif yang dimiliki oleh Amerika Serikat, Inggris, Cina, Prancis, dan Rusia adalah cerita lain.
"Ada banyak desain yang berbeda sehingga pembongkarannya sangat sulit. Anda harus sangat berhati-hati," kata Rosner. "Dari sudut pandang insinyur mesin, mereka seperti arloji Swiss yang sangat diciptakan dengan rumit. Mereka adalah karya seni mekanis dengan desain yang sangat pintar."
Para ahli lain sepakat bahwa membongkar desain nuklir adalah bagian yang paling menantang dari proses denuklirisasi.

"Ini lebih sedikit tentang bahan nuklir dan lebih banyak tentang teknik," kata Tom Plant, direktur Proliferasi dan Kebijakan Nuklir di Royal United Services Institute for Defence and Security Studies, sebuah think tank independen di Inggris.
Ini akan jauh lebih sulit dan oleh karena itu lebih kecil kemungkinannya bahwa tim insinyur dapat membongkar bom hidrogen tanpa mengetahui urutan desain yang tepat, tetapi secara teknis masih tidak mungkin.
"Sangat tidak mungkin meledak jika ada kesalahan dalam proses pembongkaran, kecuali jika dirancang untuk meledak pada kemungkinan itu, yang mungkin saja terjadi meskipun mustahil," kata Rosner.
Plant setuju bahwa skenario terburuk adalah peledakan tidak disengaja, tetapi ada risiko lain yang mungkin terjadi jika pembongkaran salah. Orang-orang yang melakukannya dapat tersengat listrik atau terkena bahan nuklir atau bahan kimia beracun lainnya.
Tetapi suatu negara, yang mengetahui desainnya sendiri, harus dapat membongkar senjata nuklir modernnya sendiri.

Mengalihkan Sisa Plutoniun atau Uranium

Pada 2014, AS telah membongkar 85 persen dari cadangan senjata nuklirnya yang dipublikasi sejak 1967 ketika AS memiliki lebih dari 31.000 hulu ledak nuklir siap-perang, menurut Departemen Luar Negeri AS.
Bahkan sebelum pembongkaran nuklir dilakukan, suasana politik yang benar perlu diwujudkan, kata Plant. Dia masih tidak optimis bahwa dialog saat ini antara Korea Utara dan Amerika Serikat memiliki cukup kemauan politik untuk melihat semenanjung Korea yang bebas nuklir.
Setelah komponen senjata dibongkar, proses selanjutnya berurusan dengan sisa plutonium atau uranioan entah itu menggunakan teknologi bom yang lebih tua dan lebih canggih.
Satu solusi yang mungkin adalah menggunakan kembali bahan radioaktif, baik plutonium atau uranium, untuk menghasilkan listrik. Untuk membuat unsur ini cocok untuk pembangkit listrik, bahan perlu diencerkan dengan versi yang kurang diperkaya.

Mematikan limbah radioaktif dan menjaganya tetap aman adalah ilmu tersendiri. Uranium atau plutonium yang diekstraksi akan mengandung isotop yang berbeda, varian dari keduanya memiliki massa atom yang berbeda, yang berarti radioaktivitas-nya meluruh pada tingkat yang berbeda.Isotop yang sangat radioaktif memiliki waktu paruh pendek, yang berarti mereka meluruh lebih cepat daripada yang kurang radioaktif, dan itu menghasilkan banyak panas.
"Bahan itu harus diletakkan di kolam air selama sekitar setengah dekade untuk mendinginkan batang saat mereka meluruh," kata Rosner. "Kemudian baru bisa menggunakan limbah tingkat rendah yang relatif lebih sedikit radioaktif-nya."
Isotop yang kurang radioaktif lebih lambat meluruh, yang menimbulkan masalah tersendiri.
"Mereka memiliki nukleus yang lebih berat, sehingga mereka memiliki paruh yang sangat panjang bisa sampai jutaan tahun dan Anda masih harus melakukan tindakan tambahan. Anda tidak bisa membiarkan mereka disimpan begitu saja," kata Rosner.
Batang radioaktif ini harus disimpan dalam wadah yang dirancang khusus, yang disebut "tong kering". Tanki ini biasanya terbuat dari baja dan ditutup rapat untuk mencegah kebocoran. Masing-masing tong kemudian dibungkus dalam cangkang baja lain dan kemudian di lapisan beton tebal untuk mencegah radiasi.
"Jika Anda berdiri di luar wadah maka Anda tidak akan dapat mendeteksi radiasi," jelas Rosner.
Tetapi bahkan opsi penyimpanan ini memiliki kekurangan seperti biaya pembangunan, pemeliharaan dan pemantauan fasilitas-fasilitas ini tidak akan pernah hilang selama batang di dalam menghasilkan radiasi.

Selain itu, ada keamanan nasional untuk dipertimbangkan, kata Plant. "Pemerintah akan menyimpannya di tempat yang aman jika mereka ingin menggunakannya kembali atau seandainya ada teroris yang berusaha mendapatkannya."Itulah mengapa opsi ketiga yang disebut "pelucutan sebagian" menjadi lebih populer dalam beberapa tahun terakhir.
Pelucutan sebagian akan menyimpan zat radioaktif sambil menghilangkan peluang untuk bom yang akan digunakan.
"Jika Anda menghilangkan pelatuknya, maka apa yang tersisa tidak dapat digunakan sebagai bom," kata Rosner.

Tetapi pelucutan sebagian bersifat reversibel, artinya pemicu dapat dipasang kembali dan karena itu hulu ledak dapat diaktifkan kembali."Anda tidak bisa mengembalikannya dalam hitungan jam sehingga mereka tidak bisa siaga. Anda berbicara tentang minggu untuk melakukannya," kata Rosner.
Jika Korea Utara setuju untuk melakukan denuklirisasi, Korut memiliki beberapa pilihan untuk dipertimbangkan dan jangka panjang, tetapi ketika negara-negara pemilik senjata nuklir bekerja sama untuk mengendalikan persenjataan mereka, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih aman, kata Plant.




Credit  tempo.co



Senin, 25 Februari 2019

Pengawas PBB Sebut Iran Patuhi Pokok Perjanjian Nuklir 2015


Fasilitas Nuklir Iran di Isfahan.[haaretz]
Fasilitas Nuklir Iran di Isfahan.[haaretz]

CB, Jakarta - Badan Pengawas Nuklir PBB mengatakan Iran telah mematuhi poin perjanjian nuklir 2015 dengan membatasi aktivitas nuklirnya.
Laporan yang dirilis oleh Badan Atom Internasional (IAEA), seperti dilaporkan Aljazeera, 23 Februari 2019, Republik Islam Iran membatasi pengayaan uranium pada tingkatan yang disepakati pada kesepakatan yang ditandatangani di Wina, Austria, pada 2015.
Inspektur IAEA juga bertanggungjawab atas akses yang diberikan ke seluruh situs nuklir di Iran, untuk memeriksa kepatuhan Iran terhadap perjanjian.
Menurut perjanjian yang digagas bersama AS, Iran, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina dan Uni Eropa, Iran telah menurunkan pengayaan uraniumnya dan berjanji tidak akan mengembangkan senjata nuklir untuk menghapus sanksi internasional.
IAIE yang bermarkas di Wina, berulangkali mengkonfirmasi Iran mematuhi kesepakatan yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Iran menyatakan penggunaan nuklirnya hanya untuk energi sipil semata.

Iran telah membuka kembali fasilitas UF6 di provinsi tengah Isfahan yang ditutup pada 2009 karena kurangnya "kue kuning", bahan baku yang digunakan untuk pengayaan nuklir.[Tehrantimes]
Laporan terbaru IAEA pada hari Jumat berpotensi mengurungkan tekanan AS terhadap Uni Eropa, yang mendesak blok tersebut membatalkan perjanjian.

Donald Trump mengatakan Iran masih mengembangkan senjata nuklir, meskipun dibantah oleh intelijennya.
Bulan lalu, Direktur CIA Gina Haspel mengatakan, Iran secara teknis mematuhi JCPOA.
Sejalan dengan Trump, Mike Pence juga meminta Prancis, Jerman dan Inggris untuk menekan Iran secara diplomatik dan ekonomi demi kebaikan rakyat Iran dan keamanan global.

Namun Inggris, Prancis dan Jerman tidak menunjukkan akan meninggalkan kesepakatan nuklir Iran. Ketiganya bahkan berjanji menyediakan insentif ekonomi untuk menyelamatkan Iran dengan platform khusus bernama INSTEX, yang bertujuan menghindari sanksi ekonomi AS terhadap Iran.




Credit  tempo.co




Bocah 12 Tahun Asal Amerika Bangun Reaktor Nuklir di Rumah


Bocah 12 Tahun Asal Amerika Bangun Reaktor Nuklir di Rumah
Jackson Oswalt, dari Memphis, Tennessee, menjadi manusia termuda yang berhasil menciptakan fusi nuklir ketika ia berusia 12 tahun pada Januari 2018 lalu. Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

WASHINGTON - Seorang bocah berusia 12 tahun asal Amerika Serikat (AS) dilaporkan menjadi manusia termuda di dunia yang berhasil menciptakan reaksi nuklir.

Konsorsium Penelitian Sumber Terbuka Fusor, sebuah kelompok sosial berdasarkan hobi, telah mengakui pencapaian Jackson Oswalt, dari Memphis, Tennessee, ketika  ia berusia 12 tahun pada Januari 2018 lalu.

"Bagi mereka yang belum melihat postingan saya baru-baru ini, akan mengejutkan bahwa saya bahkan akan menganggap percaya bahwa saya telah menciptakan fusi nuklir," tulis Oswalt di forum Fusor.net.

“Selama sebulan terakhir saya telah membuat banyak kemajuan. Saya sekarang memiliki hasil yang saya yakini sangat layak," imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (23/2/2019).

Oswalt menuturkan untuk menjalankan proyeknya, ia mengubah ruang bermain tua di rumah orangtuanya menjadi laboratorium nuklir. Ia kemudian membeli sejumlah peralatan senilai USD10.000 yang menggunakan 50.000 volt listrik untuk memanaskan gas deuterium dan menyatukan inti nuklir untuk melepaskan energi.

"Awal dari proses itu hanya belajar tentang apa yang telah dilakukan orang lain dengan reaktor fusi mereka," terang Jackson kepada Fox.

“Setelah itu, saya mengumpulkan daftar bagian yang saya butuhkan. Saya mendapatkan bagian-bagian itu dari eBay dan seringkali bagian-bagian yang berhasil saya dapatkan dari eBay tidak persis seperti yang saya butuhkan. Jadi saya harus memodifikasinya untuk dapat melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk proyek saya," tuturnya.

Ayahnya, Chris Oswalt, yang bekerja di sebuah perusahaan peralatan medis, mengatakan kepada USA Today: "Saya pikir ada rasa tidak percaya yang besar sampai mereka benar-benar melihatnya."

Namun, para ilmuwan cenderung tetap skeptis sampai pekerjaan Oswalt di verifikasi oleh organisasi resmi dan diterbitkan dalam jurnal akademik.

Namun, bocah itu sekarang mungkin telah merebut pemegang rekor sebelumnya, Taylor Wilson, sebagai manusia termuda yang menciptakan fusi di usia 14 tahun setelah melakukan penelitian energi nuklir. 



Credit  sindonews.com




Jumat, 22 Februari 2019

Transfer Nuklir AS ke Arab Saudi Untungkan Jared Kushner?


Penasihat senior Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Jared Kushner, kiri. (Jabin Botsford/The Washington Post)
Penasihat senior Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Jared Kushner, kiri. (Jabin Botsford/The Washington Post)

CB, Jakarta - Pejabat senior pemerintahan Donald Trump yang memaksakan penjualan teknologi nuklir ke Arab Saudi diyakini bisa menguntungkan keluarga Jared Kushner.
Mengutip whistleblower di dalam pemerintah AS, laporan oleh Dewan Pengawas dan komite reformasi yang dipimpin Demokrat menuduh "tindakan tidak normal" di Gedung Putih mengenai proposal untuk membangun lusinan reaktor nuklir di seluruh kerajaan Saudi.
Dikutip dari The Independent, 21 Februari 2019, Komite DPR pada hari Selasa membuka penyelidikan atas tuduhan, yang mencakup kekhawatiran apakah pejabat Gedung Putih pada bulan-bulan awal pemerintahan Trump berusaha untuk memperbaiki prosedur keamanan nasional, dan memaksakan kesepakatan dengan Arab Saudi yang dapat secara finansial menguntungkan pendukung dekat presiden Trump.
Menurut laporan itu, upaya nuklir didorong oleh mantan penasihat keamanan nasional Michael Flynn, yang dipecat pada awal 2017 dan sedang menunggu hukuman karena berbohong kepada FBI dalam penyelidikan Rusia.
Derek Harvey, seorang pejabat Dewan Keamanan Nasional yang dibawa oleh Flynn, terus mengerjakan proposal tersebut, yang masih dalam pertimbangan oleh pemerintahan Trump.
Mengandalkan keterangan whistleblower, komunikasi email dan dokumen lainnya, laporan komite merinci bagaimana Dewan Keamanan Nasional (NSC) dan pejabat etika berulang kali memperingatkan tindakan Flynn dan seorang pembantu senior bisa bertabrakan dengan konflik kepentingan federal dan undang-undang yang mengatur transfer teknologi nuklir untuk kekuatan asing.
Laporan itu juga mencatat salah satu produsen pembangkit listrik yang dapat mengambil manfaat dari kesepakatan seperti itu termasuk Westinghouse Electric, anak perusahaan dari Brookfield Asset Management, sebuah perusahaan yang membuat kesepakatan pada bulan Agustus untuk menyelamatkan menara 666 Fifth Avenue milik keluarga Kushner di Manhattan yang terlilit hutang besar.
Laporan juga mengungkap bahwa Kushner, menantu dan penasihat presiden, diduga tetap terlibat langsung dengan upaya-upaya itu, dan ia akan melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada akhir Februari untuk berbagi poin-poin rencana ekonomi AS dan proposal perdamaian di Timur Tengah.
Gedung Putih dan Kushner tidak segera menanggapi laporan ini.

Presiden Donald Trump bersama dengan Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman di Gedung Putih, Washington, 20 Maret 2018. REUTERS/Jonathan Ernst/File Photo
Laporan itu muncul pada saat anggota parlemen semakin gelisah dengan hubungan dekat antara pemerintahan Trump dan Arab Saudi, yang telah menimbulkan kekhawatiran bahkan di antara anggota partai Republik di Kongres.
Anggota parlemen dari kedua belah pihak telah menyatakan keprihatinan bahwa Arab Saudi dapat mengembangkan senjata nuklir jika teknologi AS ditransfer tanpa perlindungan yang tepat.
Trump telah menjadikan kerajaan Saudi sebagai pusat kebijakan luar negerinya di Timur Tengah untuk menekan Iran, meskipun Trump berulangkali mengecam pembunuhan kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi dan peran Saudi dalam perang di Yaman.
Para penyelidik kongres juga menyelidiki peran Tom Barrack, seorang pendukung proposal nuklir yang menjalankan komite pelantikan presiden Trump, yang berada di bawah penyelidikan terpisah oleh jaksa federal di New York. Rick Gates, mantan karyawan dan kooperator Barrack dalam investigasi Mueller, juga terlibat dalam advokasi untuk proposal nuklir.

Juru bicara Tom Barrack mengatakan ia akan bekerja sama dengan penyelidikan DPR. Sementara Harvey belum berkomentar terkait hal ini.Menurut laporan itu, pelapor datang ke komite karena mereka memiliki kekhawatiran tentang upaya di dalam Gedung Putih untuk mempercepat transfer teknologi nuklir AS yang sangat sensitif ke Arab Saudi, karena berpotensi melanggar Undang-Undang Energi Atom dan tanpa tinjauan oleh Kongres.




Credit  tempo.co




Kamis, 21 Februari 2019

Putin: Rudal AS di Eropa Bisa Hantam Rusia dalam Waktu 12 Menit


Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah) berbicara dengan Perwakilan Presiden Khusus untuk Perlindungan Lingkungan, Ekologi dan Transportasi Sergei Ivanov (dua dari kanan), Menteri Pertahanan Sergei Shoigu (kiri) dan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia Valery Gerasimov (dua dari kiri) ketika ia mengunjungi Pusat Kontrol Pertahanan Nasional (NDCC) untuk mengawasi uji coba sistem rudal hipersonik Rusia baru yang disebut Avangard di Moskow, Rusia 26 Desember 2018. [Sputnik / Mikhail Klimentyev / Kremlin via REUTERS]
Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah) berbicara dengan Perwakilan Presiden Khusus untuk Perlindungan Lingkungan, Ekologi dan Transportasi Sergei Ivanov (dua dari kanan), Menteri Pertahanan Sergei Shoigu (kiri) dan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia Valery Gerasimov (dua dari kiri) ketika ia mengunjungi Pusat Kontrol Pertahanan Nasional (NDCC) untuk mengawasi uji coba sistem rudal hipersonik Rusia baru yang disebut Avangard di Moskow, Rusia 26 Desember 2018. [Sputnik / Mikhail Klimentyev / Kremlin via REUTERS]

CB, Jakarta - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan setiap langkah AS menempatkan rudal baru di Eropa bisa mengancam Moskow dalam waktu 10-12 menit jika timbul skenario terburuk.
Skenario itu akan membuka kemungkinan Rusia terkena serangan nuklir sebelum rudalnya bisa mencapai wilayah AS.

Dikutip dari laporan Reuters, 21 Februari 2019, rudal darat Rusia yang saat ini menargetkan Amerika Serikat didasarkan pada wilayah Rusia dan oleh karena itu waktu penerbangan ke pusat-pusat populasi AS akan lebih lama daripada rudal AS yang dikerahkan di Eropa.
Putin tidak mengkonfirmasi bagaimana, secara teknis, Rusia akan mengerahkan rudal dengan waktu serangan yang lebih singkat. Opsi yang mungkin adalah menempatkan rudal di tanah sekutu dekat wilayah AS, menyebarkan rudal lebih cepat di kapal selam, atau menggunakan salah satu senjata hipersonik yang menurut Moskow sedang dikembangkan.

Presiden Rusia Vadlimir Putin menyampaikan pidato tahunannya kepada Majelis Federasi Rusia, 20 Februari 2019.[TASS]





Dalam pidatonya pada hari Rabu di depan Majelis Federasi Rusia, Putin mengatakan bahwa kapal selam yang mampu membawa drone bawah laut terbaru dengan kemampuan serangan nuklir, yang disebut Poseidon, akan diluncurkan pada musim semi ini, dan juga berbicara tentang keberhasilan pengembangan rudal hipersonik baru bernama Tsirkon.

Televisi pemerintah Rusia pada hari Rabu menyiarkan rekaman Poseidon sedang diuji untuk pertama kalinya, menurut laporan kantor berita RIA.Pernyataan Vladimir Putin ini menandai ketegangan baru kedua negara setelah Amerika Serikat keluar dari perjanjian INF, yang menuding Rusia melanggar pakta dengan membuat jangkauan rudal yang dilarang.




Credit  tempo.co




Vladimir Putin Siap Arahkan Rudal Nuklir Rusia ke Amerika Serikat


Presiden Rusia Vadlimir Putin menyampaikan pidato tahunannya kepada Majelis Federasi Rusia, 20 Februari 2019.[TASS]
Presiden Rusia Vadlimir Putin menyampaikan pidato tahunannya kepada Majelis Federasi Rusia, 20 Februari 2019.[TASS]

CB, Jakarta - Presiden Vladimir Putin mengatakan Rusia akan mengerahkan rudal berhulu ledak nuklirnya semakin dekat ke wilayah Amerika Serikat. Putin juga mengancam akan mengerahkan nuklir dalam waktu yang lebih singkat, langsung mengarah ke jantung Amerika.
Sementara di Washington, Departemen Luar Negeri AS Mike Pompeo menolak komentar Putin, dengan mengatakan  ancaman Putin "sebagai propaganda yang dirancang untuk mengalihkan perhatian dari pelanggaran Rusia terhadap Perjanjian Pengawasan Senjata Nuklir (INF)."

Dari laporan Reuters, 21 Februari 2019, Putin mengatakan Rusia tidak mencari konfrontas, dan tidak akan mengambil langkah pertama untuk mengerahkan rudal sebagai tanggapan atas keputusan Washington untuk mundur dari INF bulan ini.
Namun dalam sambutannya tentang kemungkinan perlombaan senjata baru, dia mengatakan reaksi Rusia terhadap kebijakan AS sangat tegas. Putin mengatakan pembuat kebijakan AS harus menghitung risiko apapun sebelum mengambil tindakan menyebar sistem rudalnya di Eropa.

"Adalah hak mereka untuk memikirkan apa yang mereka inginkan. Tetapi bisakah mereka memperhitungkannya? Saya yakin mereka bisa. Biarkan mereka menghitung kecepatan dan jangkauan sistem senjata yang kami kembangkan," kata Putin di hadapan Majelis Federasi Rusia, 20 Februari 2019.
Vladimir Putin melihat uji coba rudal hipersonik Avangard dari Kementerian Pertahanan Rusia di Moskow.[Sky News]
"Rusia akan dipaksa untuk membuat dan menggunakan jenis-jenis senjata yang dapat digunakan tidak hanya pada wilayah dari mana ancaman langsung terhadap kita berasal, tetapi juga wilayah-wilayah di mana pusat-pusat pengambilan keputusan berada," kata Putin.

"Senjata-senjata ini, dengan spesifikasi taktis dan teknis, termasuk waktu penerbangan mereka ke pusat komando yang saya bicarakan, akan sepenuhnya sesuai dengan ancaman yang akan diarahkan terhadap Rusia."
Departemen Luar Negeri AS mengatakan Washington tidak mengembangkan sistem pengiriman senjata nuklir baru yang mutakhir, dan mengulangi klaimnya bahwa Rusia melanggar perjanjian INF sementara Amerika Serikat tidak.
"Pernyataan Presiden Putin adalah kelanjutan dari upaya propaganda Rusia untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan Rusia yang melanggar Perjanjian INF," tambah seorang juru bicara Departemen Luar Negeri, yang enggan disebut identitasnya.
Rudal nuklir Rusia sudah menargetkan Amerika Serikat dan sebaliknya.

Pernyataan Putin kemungkinan akan membangkitkan ingatan akan Krisis Misil Kuba pada tahun 1962 ketika Uni Soviet menanggapi penyebaran rudal AS di Turki dengan mengirim rudal balistik ke Kuba, memicu kebuntuan yang membawa dunia nyaris menuju perang nuklir.Amerika Serikat mengatakan bulan ini mereka tidak akan mematuhi kewajiban perjanjian INF 1987, dan akan mengembangkan rudal tandingan, setelah menuding Rusia melanggar poin perjanjian INF.






Credit  tempo.co




Pengadilan Minta Jepang Ganti Rugi Insiden Reaktor Fukushima


Pengadilan Minta Jepang Ganti Rugi Insiden Reaktor Fukushima
Ilustrasi Kota Namie, Jepang, yang terdampak kebocoran reaktor nuklir Fukushima. (REUTERS/Toru Hanai)




Jakarta, CB -- Pengadilan Distrik Yokohama memerintahkan pemerintah Jepang dan perusahaan Tokyo Electronic Power Corporation (TEPCO) membayar ganti rugi sebesar US$4 juta (sekitar Rp56,1 miliar) kepada para warga Fukushima yang baru-baru ini mengungsi. Mereka pergi karena wilayahnya ikut terdampak radiasi akibat kerusakan reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir akibat gempa bumi pada 2011 silam.

Seperti dilansir AFP, Rabu (20/2), pengadilan memerintahkan pemerintah Jepang dan TEPCO membayarkan ganti rugi itu kepada 152 penduduk yang terdampak kebocoran reaktor nuklir PLTN Fukushima. Ini adalah perintah pengadilan kelima terhadap pemerintah Jepang terkait bencana itu.


Dalam amar putusannya, Hakim Ken Nakadaira menyatakan pemerintah dan TEPCO sebenarnya bisa menghindari bencana kebocoran reaktor nuklir jika memperhitungkan ancaman gempa dan tsunami yang memicu kejadian itu.

Pada Maret lalu, Pengadilan Kyoto menyatakan pemerintah Jepang dan TEPCO bertanggung jawab atas kebocoran nuklir, dan meminta mereka membayar ganti rugi sebesar JPY110 juta (hampir Rp14 miliar) kepada 110 penduduk.

Meski demikian, pada pada September 2017 Pengadilan Chiba memutuskan hanya TEPCO yang harus bertanggung jawab penuh dan membayar seluruh ganti rugi.

Sekitar 12 ribu orang penduduk Fukushima yang mengungsi setelah kebocoran reaktor nuklir mengajukan gugatan kepada pemerintah Jepan dan TEPCO. Bentuknya melalui perorangan ataupun class-action.

Gempa dengan magnitudo 9,1 pada 11 Maret 2011 lalu memicu tsunami besar di Jepang. Lindu juga merusak sistem pendinginan reaktor dan membuat seluruhnya meleleh sehingga radiasi menyebar. Bencana ini dianggap sebagai peringkat kedua yang terbesar, selain kebocoran reaktor nuklir Chernobyl pada 1986 di Pripyat, Ukraina ketika masih menjadi bagian Uni Soviet.




Credit cnnindonesia.com





Iran Sebut AS Munafik karena Jual Teknologi Nuklir ke Arab Saudi




Presiden Amerika Serikat Donald Trump memegang grafik penjualan perangkat keras militer saat berbincang dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, 20 Maret 2018. (AP Photo/Evan Vucci)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump memegang grafik penjualan perangkat keras militer saat berbincang dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, 20 Maret 2018. (AP Photo/Evan Vucci)

CB, Jakarta - Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menuduh AS munafik karena diduga berusaha menjual teknologi nuklir ke Arab Saudi secara terburu-buru, ketika Washington mencoba merusak program nuklir Iran.
Komentar Zarif di Twitter pada hari Rabu muncul setelah laporan pemerintahan Presiden Donald Trump berusaha memajukan penjualan pembangkit listrik tenaga nuklir ke Arab Saudi tanpa izin Kongres.

"Hari demi hari menjadi lebih jelas bagi dunia apa yang selalu jelas bagi kami: baik hak asasi manusia maupun program nuklir tidak menjadi perhatian nyata AS," tulis Zarif, dikutip dari laporan Aljazeera, 21 Februari 2019.

"Mula-mula seorang jurnalis yang dimutilasi; penjualan ilegal teknologi nuklir ke Arab Saudi sekarang sepenuhnya mengekspos #Hypocrisy," tambah Zarif, merujuk pada pembunuhan penulis Saudi Jamal Khashoggi di tangan agen-agen Saudi, dan laporan baru oleh komite kongres AS tentang penjualan teknologi nuklir ke Saudi.

Upaya untuk menjual teknologi nuklir ke Arab Saudi melanggar undang-undang AS yang menjaga transfer teknologi, kata laporan kongres itu.
Berita tentang penjualan yang direncanakan itu diterima dengan kekhawatiran oleh para analis keamanan yang mengatakan transfer teknologi nuklir AS yang sangat sensitif dapat membuka jalan bagi produksi senjata nuklir di kerajaan Saudi.

Komite DPR AS yang dipimpin Demokrat sekarang sedang menyelidiki upaya perusahaan-perusahaan tenaga nuklir AS untuk memenangkan persetujuan pemerintahan Trump untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya.
Sasaran utama penyelidikan komite adalah upaya IP3 International, konsorsium produsen tenaga nuklir yang mulai melobi selama transisi Trump pada akhir 2016 dan awal 2017 untuk memenangkan persetujuan presiden Trump untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir di Arab Saudi.



Credit  tempo.co




Demokrat Curigai Ekspor Teknologi Nuklir AS ke Arab Saudi



Presiden Donald Trump menyambut kedatangan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, 20 Maret 2018. Lawatan Mohammed bin Salman diperkirakan akan berbicara soal ancaman Iran, termasuk pengaruh dan pengembangan program nuklir Negeri Mullah itu. (AP Photo/Evan Vucci)
Presiden Donald Trump menyambut kedatangan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, 20 Maret 2018. Lawatan Mohammed bin Salman diperkirakan akan berbicara soal ancaman Iran, termasuk pengaruh dan pengembangan program nuklir Negeri Mullah itu. (AP Photo/Evan Vucci)

CB, Jakarta - Para pejabat Gedung Putih terus mendorong upaya mengekspor teknologi nuklir ke Arab Saudi, meskipun ada puluhan peringatan dari pejabat Dewan Keamanan Nasional (NSC) tentang etika dan legalitas proposal yang membuat Demokrat curiga.
Kecurigaan ini terungkap dari dokumen kongres Demokrat terkait proposal mantan Penasihat Keamanan Nasional Michael Flynn.

Rinciannya, dalam laporan staf sementara yang dikeluarkan oleh anggota DPR Elijah Cummings, kepala Komite Pengawas DPR, menyebut bahwa pemerintahan terburu-buru dengan proposal ini dan peran Derek Harvey, seorang direktur senior di Dewan Keamanan Nasional dan ajudan Flynn.
Dikutip dari CNN, 21 Februari 2019, laporan itu mengatakan Harvey mengabaikan peringatan staf NSC dan mempromosikan proyek nuklir yang diajukan oleh IP3 International, sebuah perusahaan swasta yang didirikan oleh mantan jenderal AS.
Flynn sebelumnya menyarankan anak perusahaan IP3, IronBridge Group. Laporan Demokrat juga mengklaim bahwa wakil Flynn, KT McFarland, terus menaikkan proposal bahkan setelah peringatan ini.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan bekas penasehat keamanan nasional, Michael Flynn. USA Today
Seorang juru bicara untuk Partai Republik di Komite Intelijen DPR, di mana Harvey sekarang adalah seorang staf, menanggapi surat itu dengan mengatakan laporan berisi "teori konspirasi konyol yang digerakkan oleh media partisan."

Keterlibatan Flynn dalam upaya untuk menengahi kesepakatan pembangunan reaktor nuklir yang didukung AS dengan Arab Saudi sebelumnya telah terungkap.
Namun, laporan Demokrat memberikan informasi dari pelapor yang menggambarkan bagaimana salah satu dari proposal ini beredar di antara pejabat keamanan nasional Trump yang baru ditunjuk di Gedung Putih, dan sejauh mana penanganan internal oleh staf NSC dan petugas hukum yang mencoba untuk menutup proyek.
ProPublica sebelumnya melaporkan bahwa staf NSC khawatir rencana itu melewati proses tetapi kemajuannya terus berlanjut meskipun ada keberatan.

Staf NSC berkonsultasi dengan pegawai dan anggota politik yang lebih senior dari Harvey dan mengungkapkan kekhawatiran mereka.
Seorang pejabat senior, yang disebut dalam laporan mengatakan bahwa proposal tersebut bukan rencana bisnis tetapi skema untuk para jenderal ini untuk menghasilkan uang.
Laporan, yang mengandalkan kutipan dari pelapor anonim, tidak menyebut apakah kutipan yang dirujuk berasal dari dokumen atau transkrip wawancara. Laporan ini tidak dapat diverifikasi secara independen oleh CNN.
Demokrat yang curiga mulai membuka investigasi. Namun dokumen 24 halaman yang mencakup periode empat bulan di Gedung Putih yang berakhir pada April 2017, tidak lengkap.
"Whistleblower yang muncul telah memperingatkan tentang konflik kepentingan di antara penasihat utama Gedung Putih yang dapat berimplikasi pada undang-undang pidana federal," kata anggota DPR Elijah Cummings, ketua komite Demokrat, dikutip dari Aljazeera.

Komite Pengawasan DPR meluncurkan penyelidikan, untuk menentukan apakah tindakan pemerintahan Trump mengajukan proyek ini untuk kepentingan keamanan nasional AS atau digunakan pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan finansial, sebagai akibat dari perubahan potensial dalam kebijakan luar negeri AS akhir-akhir ini.

Hubungan pemerintahan Trump dengan Arab Saudi telah mendapat sorotan karena transaksi bisnis pribadi Presiden Donald Trump di Arab Saudi, dan penolakan Trump untuk menerima temuan badan intelijennya terkait pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi.
Flynn adalah orang yang paling mendukung rencana IP3 untuk menjual pembangkit listrik tenaga nuklir ke Arab Saudi pada periode transisi setelah Trump memenangkan pemilihan AS dan ketika ia bergabung dengan Gedung Putih sebagai penasihat keamanan nasional, menurut pelapor anonim yang dikutip dalam laporan tersebut, seperti dilaporkan Aljazeera.

Ketika Trump menjabat pada awal 2017, Bud McFarlane, mantan penasihat keamanan nasional Presiden Ronald Reagan dan sekarang menjadi penasihat IP3, mengirim email ke Flynn draf dokumen untuk tanda tangan presiden yang menguraikan "Rencana Marshall untuk Timur Tengah" yang baru, yang berpusat pada pengembangan puluhan pembangkit listrik tenaga nuklir sipil oleh perusahaan-perusahaan AS.Di bawah hukum AS, kesepakatan apa pun untuk menjual teknologi energi nuklir Arab Saudi memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Kongres, antara AS dan Arab Saudi untuk menempatkan bahan fisi di bawah pengawasan dan kontrol Badan Energi Atom Internasional PBB.




Credit  tempo.co





Putin Konfirmasi Pengembangan Rudal Jelajah Hipersonik Tsirkon


Putin Konfirmasi Pengembangan Rudal Jelajah Hipersonik Tsirkon
Presiden Rusia Vladimir Putin saat sampaikan pidato kenegaraan tahunan, Rabu (20/2/2019). Foto/REUTERS

MOSKOW - Presiden Vladimir Putin telah mengonfirmasi bahwa Rusia sedang mengembangkan rudal hipersonik baru yang dapat diluncurkan dari kapal perang atau kapal selam. Misil yang diberi nama Tsirkon ini diklaim bisa melakukan perjalanan dengan kecepatan hampir 2 mil per detik.

Hal itu disampaikan Putin dalam pidato kenegaraan tahunan di Moskow, Rabu (20/2/2019).

"Ini adalah rudal hipersonik yang disebut Tsirkon. Ia akan memiliki kecepatan mach 9, ia memiliki jangkauan 1.000 kilometer (620 mil) dan dapat mengenai target angkatan laut atau darat," katanya, dikutip CNBC, Kamis (21/2/2019).

Pemimpin Rusia itu menambahkan rudal tersebut akan memakan biaya rendah karena kecocokannya dengan sistem rudal Kalibr yang ada.

Pada bulan Desember, CNBC mengetahui bahwa laporan Intelijen AS telah menyoroti pengujian sistem hipersonik Tsirkon. Menurut catatan intelijen AS, sudah lima tes dilakukan oleh militer Rusia sejak 2015.

Putin sebelumnya menggambarkan kecanggihan senjata hipersonik Rusia sebagai "yang tak terkalahkan"."Mereka yang telah memicu perlombaan senjata selama 15 tahun terakhir akan gagal mengendalikan Rusia," ujarnya.

Dalam pidato untuk publik itu, ia sekali lagi melakukan "pukulan keras" terhadap Barat dan khususnya Amerika Serikat.

"AS pernah mencari dominasi global melalui program misilnya. Mereka harus meninggalkan ilusi, kami akan selalu merespons dengan respons timbal balik," kata Putin.

Pada bulan Februari tahun ini, AS dan Rusia mengkonfirmasi bahwa mereka akan menangguhkan partisipasi dalam Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) 1987. Perjanjian berumur puluhan tahun itu melarang rudal jarak menengah yang diluncurkan dari darat dengan jangkauan 310-3.400 mil.

Pemerintah AS, yang mundur lebih dulu, mengatakan telah mengambil langkah menyusul penolakan Rusia untuk menerima bahwa rudal SSC-8-nya secara langsung bertentangan dengan perjanjian era Perang Dingin tersebut. NATO menyerukan Rusia untuk mematuhi perjanjian itu.

Putin dalam pidatonnya, mengatakan Rusia tidak mengancam siapa pun dan peningkatan militernya adalah langkah defensif.

"Kami tidak ingin konfrontasi dengan kekuatan global, terutama seperti AS, tetapi tampaknya AS tidak melihat bagaimana dunia berubah," katanya, yang menambahkan bahwa ia siap untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai perjanjian kontrol senjata."Tetapi, kita tidak akan terus mengetuk pintu yang terkunci," sindir Putin pada AS.

Sekarang kedua negara telah resmi menangguhkan perjanjian INF. Perjanjian itu akan berakhir pada Agustus jika Washington dan Kremlin tidak menemukan kesepakatan.

Gedung Putih dan Departemen Pertahanan AS tidak segera menanggapi permintaan CNBC untuk berkomentar terkait pidato Putin. 




Credit  sindonews.com



Pertama Kali, Rusia Rilis Video Uji Poseidon Selam Nuklir



Pertama Kali, Rusia Rilis Video Uji Poseidon Selam Nuklir
Poseidon selama nuklir Rusia atau sebelumnya dikenal dengan Statuss-6. Foto/Kementerian Pertahanan Rusia


MOSKOW - Kementerian Pertahanan Rusia untuk pertama kalinya merilis video uji lapangan Poseidon selam berkemampuan nuklir, Rabu (20/2/2019). Senjata ini sebelumnya dikenal dengan kode nama Status-6.

Cara kerja Status-6 adalah torpedo uber strategis diseret ke dalam wadah transportasi, yang meniru kompartemen penyimpanan kapal selam yang sebenarnya. Senjata itu kemudian dikerahkan keluar dari wadah di bawah air laut.

Poseidon selam tersebut merupakan bagian dari kemampuan pencegahan nuklir strategis Rusia di masa depan. Senjata yang juga kerap disebut sebagai drone selam ini dimaksudkan untuk dibawa oleh kapal selam berawak biasa dan digunakan jika perlu.

Senjata itu menggunakan reaktor nuklir mini on-board untuk secara perlahan mendekati wilayah musuh dengan kecepatan rendah di dalam air. Jika mendeteksi target musuh, senjata itu dapat sangat meningkatkan kecepatannya dengan mengorbankan kebisingan dan hanya berlari lebih cepat dari pengejarnya sebelum kembali ke mode siluman.

Begitu mencapai sasaran, ia dapat meledakkan muatan nuklir, menghancurkan aset musuh yang berharga seperti pangkalan angkatan laut atau kelompok kapal induk.

Rusia secara terbuka mengakui pengembangan sistem senjata seperti itu pada tahun lalu ketika Presiden Vladimir Putin mengumumkan proyek beberapa sistem senjata strategis yang dimaksudkan untuk melawan upaya Amerika Serikat guna melemahkan kemampuan pencegahan nuklir Rusia.

Kementerian Pertahanan, seperti dikutip Russia Today, Rabu (20/2/2019) juga mengumumkan bahwa fase yang disebut uji lapangan dari sistem senjata itu berhasil diselesaikan. Kapal induk pura-pura untuk target Poseidon adalah kapal selam 09851/09853.











Rusia Bidik AS Jika Taruh Rudal Nuklir Jarak Sedang di Eropa


Rusia Bidik AS Jika Taruh Rudal Nuklir Jarak Sedang di Eropa
Presiden Rusia, vladimir Putin. (REUTERS/Jorge Silva)



Jakarta, CB -- Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan tak segan balas membidik Amerika Serikat menggunakan peluru kendalinya jika negara seterunya itu berani menyiagakan Peluru Kendali Nuklir Jarak Menengah (INF) di negara Eropa.

Di hadapan pejabat Rusia, Putin mengatakan tidak ingin berkonfrontasi dan tidak akan mengerahkan rudalnya, meski AS memutuskan keluar dari perjanjian mengenai pengendalian peluru kendali jarak menengah Perang Dingin pada bulan ini. Dia mengatakan Rusia tak ragu merespons setiap penyebaran senjata yang dilakukan AS.

Dia mengatakan para pembuat kebijakan Negeri Paman Sam harus memperhitungkan risiko sebelum mengambil langkah apa pun.


"Itu adalah hak mereka (AS) untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tetapi, apakah mereka menghitung (risikonya)? Saya yakin mereka juga bisa memperhitungkan kecepatan dan jarak tempuh senjata yang kami (Rusia) kembangkan," kata Putin pada Rabu (20/2) seperti dikutip Reuters.


"Rusia akan terus didorong mengembangkan dan menggunakan jenis-jenis senjata yang dapat digunakan mencapai wilayah ancaman berasal dan juga wilayah asal para pemegang keputusan yang memerintahkan ancaman tersebut," ujar Putin.

Putin menuduh AS kerap menuding negaranya membangun senjata berbahaya sebagai alasan agar bisa mundur dari Perjanjian Rudal Nuklir Jarak Menengah (Intermediate-Range Nuclear Force).

Baru-baru ini, Putin juga menuturkan Rusia akan keluar dari traktat tersebut dan kembali memulai pengembangan sistem senjata baru yang tidak diatur perjanjian tersebut.

Sejumlah pihak menganggap keluarnya AS dan Rusia dari INF menandakan era perlombaan senjata baru.


INF disepakati pada 1987 lalu oleh Presiden AS Ronald Reagan dan Pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, demi membendung Perang Dingin.




Credit  cnnindonesia.com




Senin, 18 Februari 2019

Burevestnik 9M730, Rudal Jelajah Nuklir Rusia yang Tak Bisa Dicegat


Burevestnik 9M730, Rudal Jelajah Nuklir Rusia yang Tak Bisa Dicegat
Tim pengembangan rudal Rusia memeriksa prototipe rudal jelajah nuklir Burevestnik 9M730. Foto/Russia Today

MOSKOW - Rudal jelajah nuklir baru Rusia, Burevestnik 9M730, telah memasuki tahap akhir pengembangan menyusul laporan uji coba yang berhasil. Para pejabat Moskow mengatakan Burevestnik (Storm Petrel) akan memiliki jangkauan yang tidak terbatas dan tidak bisa dicegat oleh sistem pertahanan musuh.

Media setempat, Russia Today, pada hari Minggu (17/2/2019), mengutip sumber militer melaporkan unit tenaga nuklir rudal itu berhasil diuji kembali pada Januari lalu.

"Tahap penting pengujian ini menegaskan bahwa reaktor memungkinkan rudal untuk melakukan perjalanan ke jangkauan yang tidak terbatas," kata sumber militer tersebut. Media tersebut menjuluki Burevestnik 9M730 sebagai "Tomahawk-nya Rusia".

Militer Rusia tidak secara resmi mengonfirmasi laporan tersebut. Belum jelas di mana dan kapan tes terakhir misil Burevestnik 9M730 dilakukan. 

Namun, video yang dirilis oleh tim pengembangan rudal Rusia sebelumnya menunjukkan bagaimana para insinyur, berpakaian serba putih dan mengenakan topeng keselamatan, dengan hati-hati memeriksa prototipe di lokasi yang tidak diungkapkan. Senjata itu sendiri sebagian tertutup.

Konsep senjata yang ambisius ini diresmikan oleh Presiden Vladimir Putin selama pidato kenegaraannya Maret tahun lalu. Burevestnik 9M730—oleh NATO dinamai SSC-X-9 Skyfall—dirancang sebagai rudal jelajah antarbenua bertenaga nuklir dan berhulu ledak nuklir yang mampu melakukan jangkauan tak terbatas. Misil itu bahkan diklaim dapat mengelilingi dunia selama berhari-hari, jika diperlukan.

Militer mengatakan bahwa kemampuannya untuk melintasi hampir semua jarak akan digabungkan dengan kemampuan manuver tanpa batas yang sama mengejutkannya. Ini akan membuat rudal sangat sulit untuk dicegat saat menembus sistem pertahanan musuh.

"Jika senjata itu berstatus operasional penuh, Moskow akan dapat meluncurkan rudal Burevestnik 9M730 dari daratan Asia, memprogramnya untuk melintasi Pasifik, mengelilingi Amerika Selatan, dan menembus wilayah udara AS dari Teluk Meksiko," tulis Popular Mechanics, dalam ulasannya.

Pekan lalu, media yang berbasis di Washington DC, The Diplomat, melaporkan bahwa rudal itu melewati tes yang sebagian besar berhasil pada 29 Januari di sebuah situs di Rusia selatan. Laporan itu, yang mengutip sumber-sumber pemerintah AS, mencatat bahwa tidak ada negara hingga saat ini yang telah menggunakan rudal jelajah bertenaga nuklir karena tantangan teknik dan masalah keamanan.

Dari segi tujuan, misil Burevestnik 9M730 memang mirip dengan rudal jelajah jarak jauh Tomahawk Angkatan Laut AS, kecuali bahwa jangkauan maksimumnya terbatas hingga 2.500 km (1.550 mil).

Proyek "saudara" dari rudal Rusia, drone selam Poseidon bertenaga nuklir juga akan menjalani uji coba di laut pada musim panas ini. Proyek ini dilaporkan mengalami pengujian unit tenaga nuklir yang juga berhasil. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa drone, yang digambarkan sebagai torpedo berkemampuan nuklir besar, akan dapat melakukan perjalanan dengan kecepatan hingga 200km/jam (125 mph) dan menyelam sejauh 1 km. 





Credit  sindonews.com




Lavrov: AS Mobilisasi Masa untuk Salahkan Rusia atas Berakhirnya INF


Lavrov: AS Mobilisasi Masa untuk Salahkan Rusia atas Berakhirnya INF
Lavrov menuturkan, AS mengambil langkah-langkah tidak bermoral untuk mengerahkan sekutu-sekutunya untuk mempersalahkan berakhirnya Perjanjian INF pada Moskow. Foto/Istimewa

MUNICH - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menuturkan, Washington mengambil langkah-langkah tidak bermoral untuk mengerahkan sekutu-sekutunya untuk mempersalahkan berakhirnya Perjanjian Pasukan Nuklir Jangka Menengah (INF) pada Moskow.

Berbicara jelang Konferensi Keamanan di Munich, Jerman, Lavrov menuturkan Amerika Serikat (AS) adalah pihak yang ingin membatalkan perjanjian itu. Namun, Washington bermain sebagai korban dan kemudian memobiliasasi sekutunya untuk menyalahkan Rusia akan pembatalan ini.

"Kembali pada bulan Oktober, para pejabat AS mengatakan kepada kami bahwa Presiden AS, Donald Trump mengumumkan penarikan dari perjanjian itu. Ini bukan undangan untuk dialog tetapi keputusan akhir," kata Lavrov.

"Setelah itu, mereka tidak terlalu tertutup untuk memobilisasi sekutu untuk menyalahkan kami karena membatalkan perjanjian penting ini," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Tass pada Minggu (17/2).

Lavrov kemudian mengatakan bahwa Moskow tidak ragu bahwa Washington memperingatkan para pejabat NATO agar tidak menghadiri briefing yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan Rusia tentang rudal jelajah 9M729. Rudal ini menjadi alasan AS meninggalkan kesepakatan yang diteken pada era Perang Dingin tersebut.

"Kami telah memprakarsai presentasi rudal yang diyakini Amerika sebagai pelanggaran perjanjian itu. Ada pesanan. Kami tidak ragu bahwa AS memberi tahu anggota NATO untuk tidak menghadiri pertemuan yang kami selenggarakan," tukasnya. 




Credit  sindonews.com





Jumat, 15 Februari 2019

Wapres AS Desak Eropa Turut Tinggalkan Kesepakatan Nuklir Iran


Wapres AS Desak Eropa Turut Tinggalkan Kesepakatan Nuklir Iran
Wakil Presiden AS, Mike Pence menyerukan agar negara Eropa turut menarik diri dari perjanjian nuklir Iran dan mendukung sanksi AS terhadap Teheran. Foto/Reuters

 

WARSAWA - Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Mike Pence menyerukan agar negara-negara Eropa turut menarik diri dari perjanjian nuklir Iran. Dia juga mendesak sekutu untuk mendukung sanksi AS terhadap Teheran.

AS, seperti diketahui telah mundur dari kesepakatan itu dari tahun lalu dan menghidupkan kembali seluruh sanksi terhadap Iran. Namun, sayangnya langkah AS ini tidak mendapat sokongan dari sekutu-sekutu mereka di Eropa.

Berbicara dalam konferensi internasional di Warsawa, Polandia, untuk membahas situasi di Timur Tengah, Pence menyebut Iran sebagai ancaman terhadap dunia dan juga umat manusia saat ini.

"Iran adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dan keamanan di Timur Tengah dan rezim Teheran sedang merencanakan "Holocaust baru" dengan ambisi regionalnya," kata Pence dalam pertemuan tersebut, seperti dilansir Al Arabiya pada Jumat (15/2).

Wakil Donald Trump itu menyesalkan bahwa Inggris, Prancis dan Jerman bukannya mengikuti langkah AS untuk memberikan tekana melalui sanksi, namun ketiga negara itu justru menciptakan mekanisme keuangan khusus untuk membantu bisnis Iran di tanah Eropa.

Pence menilai apa yang dilakukan tiga negara itu adalah pelanggaran terhadap sanksi yang dijatuhkan AS terhadap Iran. Di mana Washington akan menghukum siapapun yang melakukan hubungan dagang dan juga melakukan transaksi keuangan dengan Teheran




Credit  sindonews.com




Kamis, 14 Februari 2019

Iran Tegaskan Tidak Akan Membuat Bom Atom


Iran Tegaskan Tidak Akan Membuat Bom Atom
Salah satu rudal milik Iran dipamerkan dalam pameran senjata dan peralatan militer pada awal bulan ini di Teheran. Foto/Istimewa

TEHERAN - Seorang pejabat terkemuka Iran menegaskan bahwa Negeri Mullah itu tidak akan pernah "tergerak" untuk mengembangkan bom atom.

Ayatollah Ahmad Khatami sebelumnya mengatakan Iran memiliki kemampuan untuk membuat untuk membangun senjata nuklir. Namun ia kemudian mengklarifikasi komentarnya dalam sebuah wawancara dengan kantor berita nasional negara itu, IRNA.

"Pernyataan saya dalam upacara keagamaan adalah hal yang sama yang telah berulang kali dikatakan oleh otoritas Iran," jelas Khatami seperti disitir dari Newsweek, Rabu (13/2/2019).

"Iran memiliki formula untuk membuat bom atom, tetapi apa yang kami setujui adalah fatwa (fatwa agama) yang dikeluarkan oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Sayyid Ali Khamenei," katanya, menunjukkan bahwa bom nuklir jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Mengutip sebuah hadis, Khatami mengatakan bahwa dilarang menggunakan senjata pemusnah massal dalam bentuk apa pun.

Anggota senior Majelis Pakar Iran itu kembali mengklarifikasi bahwa negaranya tidak berniat membuat senjata seperti itu karena akan membahayakan warga sipil, bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu hal tersebut juga akan bertentangan dengan dekrit agama pemimpin tertinggi negara Teluk Persia itu.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sangat menentang Iran sejak duduk di Gedung Putih. Dia menarik AS dari perjanjian nuklir Iran yang ditandatangani 2015. Perjanjian itu sepakat untuk mengurangi sanksi dan memungkinkan investasi asing di negara Teluk Persia dengan imbalan membatasi program nuklirnya. 







Credit  sindonews.com






Selasa, 12 Februari 2019

Ada Agen Mossad Israel di Program Nuklir Iran


Ada Agen Mossad Israel di Program Nuklir Iran
Pakar atom Iran saat menginspeksi fasilitas di situs Natanz, Iran. Foto/REUTERS/File Photo

 

LONDON - Seorang ilmuwan nuklir Iran diam-diam bekerja untuk dinas intelijen Israel, Mossad. Ilmuwan itu telah diselundupkan ke Inggris karena khawatir ketahuan dan ditangkap aparat rezim Teheran.

Penyelundupan sang ilmuwan merupakan operasi bersama yang melibatkan Mossad, CIA Amerika Serikat dan MI6 Inggris. The Sunday Express melaporkan, operasi penyelundupan itu memanfaatkan krisis migran yang berlangsung sekitar Desember 2018 hingga Tahun Baru 2019 lalu.

MI6 dan CIA telah mengorek informasi tentang program nuklir Iran dan rencana masa depannya dari ilmuwan tersebut. Setelah itu, sang ilmuwan diterbangkan ke Amerika Serikat demi keselamatannya.

Nama ilmuwan itu dirahasiakan, namun The Sunday Express menyebut usianya sekitar 47 tahun. Dia adalah aset Mossad selama bertahun-tahun dan telah membantu merencanakan pembunuhan terhadap Mostafa Ahmadi Roshan tahun 2012. Roshan adalah seorang ilmuwan dan direktur nuklir di fasilitas pengayaan uranium Natanz, Iran.

Mossad tentu saja telah mengorek banyak informasi darinya sebelum dia diselundupkan ke Inggris.

"Ini bukan tanpa tantangan. Ketidakhadirannya dicatat dengan cepat, dan kami diberi tahu bahwa unit khusus Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) telah dikirim," kata seoran sumber Inggris yang mengetahui operasi penyelundupan tersebut kepada The Sunday Express, 10 Februari.

Inggris, kata sumber itu, tidak ingin terlihat membantu ilmuwan nuklir Iran yang berkhianat itu, karena masih menandatangani kesepakatan nuklir Iran 2015. Sebelum masuk Inggris, ilmuwan itu masuk ke Prancis.

"Kami tidak bisa sekadar menerbangkannya. Meskipun tidak biasa, itu ditentukan melalui penyusupan ke dalam sekelompok rekan migran yang bersiap untuk menyeberangi Selat dengan kapal," kata sumber tersebut.

Dia bergabung dengan 11 migran lain naik kapal yang mendarat di sebuah pantai sekitar 30 mil dari Dover pada 31 Desember 2018.

“Untuk bagian kami, kami diyakinkan selama wawancara bahwa Iran tampaknya berpegang teguh pada persyaratan JCPOA. Ini kabar baik," imbuh sumber itu. JCPOA adalah singkatan dari Joint Comprehensive Plan of Action, nama resmi perjanjian nuklir 2015 antara Iran dengan enam kekuatan dunia (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China). 





Credit  sindonews.com




Senin, 11 Februari 2019

INF Berakhir, Menteri Jerman Khawatirkan Perlombaan Senjata Baru


INF Berakhir, Menteri Jerman Khawatirkan Perlombaan Senjata Baru
Menteri Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier belum mengesampingkan akan adanya perlombaan senjata baru sebagai dampak dari berakhirnya Perjanjian INF. Foto/Istimewa

BERLIN - Menteri Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier menuturkan, dia belum mengesampingkan akan adanya perlombaan senjata baru sebagai dampak dari berakhirnya Perjanjian INF antara Rusia dan Amerika Serikat (AS).

Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Jerman, Welt am Sonntag, Altmaier menyatakan harapannya bahwa pada akhirnya, Rusia dan AS akan mencapai konsensus mengenai perjanjian tersebut.

"Tetapi, akan salah untuk mengesampingkan gagasan akan adanya perlombaan senjata baru, sesuatu yang akan melemahkan posisi negosiasi kita," ucapnya, seperti dilansir Sputnik pada Minggu (10/2).

Menurut Altmaier, jika orang Eropa dan AS menunjukkan tekad dan kemampuan mereka untuk bertindak, baru Moskow akan siap untuk mempertimbangkan kekhawatiran Barat. Dia berpendapat bahwa jika pihaknya akhirnya menginginkan perlucutan senjata nyata, mereka seharusnya tidak secara kategoris mengesampingkan semua opsi yang ada.

Sementara itu, sebelumnya Duta Besar Rusia untuk AS, Anatoly Antonov mengatakan, AS ingin merusak arsitektur kontrol senjata internasional, dengan menarik diri dari Perjanjian INF.

"AS bertujuan untuk menghancurkan arsitektur kontrol senjata yang telah dibangun selama bertahun-tahun antara kedua negara. Kami melihat dalam upaya ini untuk menciptakan ruang bagi diri mereka sendiri untuk mengejar ilusi untuk mencapai dominasi militer global. Perlu dikatakan secara langsung, upaya seperti itu bukan tidak mungkin untuk dilaksanakan," ucap Antonov. 




Credit  sindonews.com






Prancis Berambisi Buat Senjata Hipersonik Ikuti Rusia dan Cina


Rudal hipersonik Kinzhal yang dilepaskan pesawat tempur saat melakukan uji coba di selatan Rusia, 1 Maret 2018. Kinzhal disebutkan memiliki kemampuan 10 kali kecepatan suara dengan jangkauan 2.000 kilometer. AP/Russian Defense Ministry Press Service, File
Rudal hipersonik Kinzhal yang dilepaskan pesawat tempur saat melakukan uji coba di selatan Rusia, 1 Maret 2018. Kinzhal disebutkan memiliki kemampuan 10 kali kecepatan suara dengan jangkauan 2.000 kilometer. AP/Russian Defense Ministry Press Service, File

CB, Jakarta - Kementerian Pertahanan Prancis mengatakan akan memulai riset peluncur hipersoniknya sendiri dan menguji coba prototipe perangkat senjata hipersonik pada tahun 2021, setelah Rusia dan Cina sukses menguji peluncur mereka dan AS mulai mengembangkannya.
Paris rupanya juga berambisi menggelar proyek militer yang ambisius dan berpotensi sangat mahal di mana hipersonik diklaim sebagai rudal yang tidak mampu dicegat oleh sistem pertahanan manapun karena saking cepatnya.

"Kami telah memutuskan untuk mengeluarkan kontrak untuk demonstran peluncur hipersonik," kata Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengatakan pada akhir Januari, seperti dikutip dari Russia Today, 10 Februari 2019. Parly mengungkapkan proyek ini bernama V-Max (Experimental Manuvering Vehicle).

Vladimir Putin melihat uji coba rudal hipersonik Avangard dari Kementerian Pertahanan Rusia di Moskow.[Sky News]
Sistem persenjataan hipersonik telah benar-benar menjadi hal panas di antara kekuatan utama negara-negara dunia baru-baru ini, dengan beberapa dari mereka berhasil menguji perangkat tersebut atau setidaknya, memulai program penelitian dan pengembangan.
Maret 2018 lalu, Rusia meluncurkan seluruh jajaran senjata yang sama sekali baru, termasuk dua perangkat hipersonik, rudal yang diluncurkan dari udara bernama Kinzhal dan peluncur hipersonik Avangard.

Kinzhal, diklaim mampu terbang setidaknya 10 kali lebih cepat dari suara, telah dikerahkan ke Angkatan Udara Rusia. Sementara The Avangard, yang mampu mencapai kecepatan Mach 27, berhasil diuji akhir tahun lalu. Sistem ini diluncurkan di atas rudal balistik antarbenua (ICBM) dan berfungsi sebagai kendaraan pengiriman untuk hulu ledak nuklir.
Cina juga telah melakukan serangkaian tes yang sukses pada kendaraan peluncur hipersonik sejak 2014. Perangkat ini dikatakan mampu mencapai kecepatan hingga Mach 10.

Rudal hipersonik Boeing X 51 .[Business Insider]
Amerika Serikat mengakui bahwa mereka tengah mengembangkan teknologi serupa. AS buru-buru meluncurkan program untuk merancang persenjataan seperti itu. Pada saat yang sama, AS memulai mempelajari kelayakan sistem pencegat berbasis ruang dalam upaya untuk melawan sistem senjata asing, yang secara luas diyakini tidak terkalahkan terhadap sistem pertahanan rudal konvensional.
Batas waktu tiga tahun yang dijanjikan untuk menguji terbang peluncur hipersonik Prancis, pada kenyataannya, adalah jangka yang sangat pendek yang dihadapi para pengembang. Rincian dari perangkat yang akan datang masih tetap menjadi misteri.

Mengingat fakta bahwa Prancis menghentikan pasukan nuklirnya di darat pada 1990-an, dapat diasumsikan bahwa uji coba kemungkinan akan menjadi perangkat yang diluncurkan melalui udara. Prancis tentu memiliki beberapa pengalaman dalam membangun rudal cepat seperti rudal jelajah berujung nuklir utama, ASMP, mampu terbang hingga Mach 3. Untuk dianggap hipersonik, perangkat baru harus mampu terbang setidaknya lima kali kecepatan suara.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Persenjataan Perancis (DGA) mengakui bahwa negara itu memiliki "pengalaman yang relatif sedikit" di bidang hipersonik.

Avangard menghancurkan target dengan jarak 5.954 kilometer di Timur Jauh Rusia.[Sky News]
Sekretariat Pertahanan dan Keamanan Nasional (SGDSN) mengingatkan pada 2017 bahwa perangkat buatan lokal yang pertama kemungkinan akan kurang “dalam hal muatan, waktu penerbangan, dan ketepatan” - dalam semua aspek utama.
Tetapi jika perangkat baru itu memang sebuah rudal yang diluncurkan melalui udara, itu tetap menjadi pertanyaan terbuka pesawat mana yang akan dapat membawanya. Jet Prancis utama, Dassault Rafale dan Mirage 2000, tidak mungkin mampu membawa sesuatu yang besar seperti Kinzhal Rusia. Ini berarti para desainer harus datang dengan sesuatu yang lebih ramping atau Perancis harus mengembangkan pesawat baru serta glider.
"Mengenai kemampuan republik kelima untuk membuat persenjataan hipersonik, Prancis memiliki semua teknologi," Mikhail Khodarenok, seorang ahli militer Rusia, mengatakan kepada Russia Today, menambahkan bahwa seluruh pertanyaannya adalah tentang berapa banyak waktu yang akan dihabiskan negara untuk merancangnya.
Upaya Prancis, di samping Jerman dan Spanyol, untuk mengembangkan jet tempur generasi keenam jelas menunjukkan kemampuan mereka, kata Khodarenok. Itu sama rumitnya dengan proyek hipersonik.

Pesawat yang akan datang, bagaimanapun, diharapkan siap pada pertengahan tahun 2020 dan dioperasikan tidak lebih cepat dari tahun 2040.Terlepas dari keinginan Prancis untuk mendapatkan teknologi itu, karena persenjataan nuklir yang menua. Karena hulu ledak nuklir Prancis dipasang baik untuk rudal jelajah yang diluncurkan udara atau yang berbasis balistik bawah laut, Paris kemungkinan berusaha untuk menopang komponen pertama.
Menurut Khodarenok, Prancis berupaya memanfaatkan senjata hipersonik sebagai pembawa persenjataan nuklirnya untuk memberikan daya gertak yang lebih baik daripada peluncur nuklir konvensional yang sudah usang.






Credit  tempo.co