Jakarta (CB) - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengaku
telah meyakinkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk
mempertahankan tentaranya di Suriah dalam jangka panjang dan membatasi
serangan rudal ke Suriah Sabtu pekan lalu hanya menyasar
fasilitas-fasilitas senjata kimia.
Dalam wawancara dengan The Guardian kemarin, Macron menyatakan membatasi serangan peluru kendali ke target-target khusus tadinya tidak dipikirkan Trump.
"Kami juga membujuk dia bahwa kami perlu membatasi serangan ke (situs-situs) senjata kimia, setelah segala sesuatu disampaikan lewat cuitan," kata dia.
Presiden Prancis itu melanjutkan, "Sepuluh hari lalu, Presiden Trump telah berkata bahwa 'Amerika Serikat meski menarik diri dari Suriah'. Kami berhasil meyakinkan dia bahwa penting tetap (ada di Suriah). Kami berhasil meyakinkan dia adalah penting tetap ada (di Suriah) untuk jangka panjang."
Kendati kerap berseberangan di Timur Tengah, Macron dan Trump menjalin hubungan yang bersahabat setahun terakhir ini. Macron mengundang Trump menghadiri Hari Bastille tahun lalu dan sebaliknya dia akan mengunjungi Gedung Putih bulan ini.
Keputusan Macron memerintahkan peluncuran rudal-rudal Prancis ke Suriah bersama AS dan Inggris telah menandai fase baru dalam masa pemerintahannya. Ini kali pertama presiden paling muda dalam sejarah modern Prancis itu menggunakan mandat konstitusi sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata untuk memerintahkan serangan militer.
Menanggapi klaim Macron, Sekretaris Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan, "Misi AS tidak berubah, presiden sudah jelas bahwa dia ingin pasukan kami pulang secepat mungkin. Kami telah menuntaskan tugas menghancurkan ISIS dan menciptakan kondisi yang mencegah ISIS kembali. Sebagai tambahan kami mengharapkan sekutu dan mitra kawasan kami untuk mengambil tanggung jawab lebih besar lagi baik secara militer maupun finansial dalam mengamankan kawasan."
Serangan rudal sekutu ke Suriah Sabtu pekan lalu itu telah memuntahkan 105 peluru kendali AS, Inggris dan Prancis yang menyasar tiga fasilitas senjata kimia sebagai balasan atas serangan gas di Douma pada 7 April. Serangan ini juga menjadi operasi militer besar Prancis pertama sejak Macron terpilih Mei tahun lalu, demikian The Guardian.
Dalam wawancara dengan The Guardian kemarin, Macron menyatakan membatasi serangan peluru kendali ke target-target khusus tadinya tidak dipikirkan Trump.
"Kami juga membujuk dia bahwa kami perlu membatasi serangan ke (situs-situs) senjata kimia, setelah segala sesuatu disampaikan lewat cuitan," kata dia.
Presiden Prancis itu melanjutkan, "Sepuluh hari lalu, Presiden Trump telah berkata bahwa 'Amerika Serikat meski menarik diri dari Suriah'. Kami berhasil meyakinkan dia bahwa penting tetap (ada di Suriah). Kami berhasil meyakinkan dia adalah penting tetap ada (di Suriah) untuk jangka panjang."
Kendati kerap berseberangan di Timur Tengah, Macron dan Trump menjalin hubungan yang bersahabat setahun terakhir ini. Macron mengundang Trump menghadiri Hari Bastille tahun lalu dan sebaliknya dia akan mengunjungi Gedung Putih bulan ini.
Keputusan Macron memerintahkan peluncuran rudal-rudal Prancis ke Suriah bersama AS dan Inggris telah menandai fase baru dalam masa pemerintahannya. Ini kali pertama presiden paling muda dalam sejarah modern Prancis itu menggunakan mandat konstitusi sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata untuk memerintahkan serangan militer.
Menanggapi klaim Macron, Sekretaris Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan, "Misi AS tidak berubah, presiden sudah jelas bahwa dia ingin pasukan kami pulang secepat mungkin. Kami telah menuntaskan tugas menghancurkan ISIS dan menciptakan kondisi yang mencegah ISIS kembali. Sebagai tambahan kami mengharapkan sekutu dan mitra kawasan kami untuk mengambil tanggung jawab lebih besar lagi baik secara militer maupun finansial dalam mengamankan kawasan."
Serangan rudal sekutu ke Suriah Sabtu pekan lalu itu telah memuntahkan 105 peluru kendali AS, Inggris dan Prancis yang menyasar tiga fasilitas senjata kimia sebagai balasan atas serangan gas di Douma pada 7 April. Serangan ini juga menjadi operasi militer besar Prancis pertama sejak Macron terpilih Mei tahun lalu, demikian The Guardian.
Credit antaranews.com