KUALA LUMPUR - Malaysia resmi memiliki undang-undang yang melarang penyebaran "fake news"
(berita palsu) atau hoaks. Bagi yang melanggar akan dipenjara maksimal
enam tahun dan denda hingga 500.000 ringgit atau sekitar Rp1,7 miliar.
Hukum baru itu dimiliki Malaysia setelah pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak mendapat dukungan parlemen yang meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Fake News 2018. Dalam draf RUU, hukuman yang diusulkan adalah penjara 10 tahun, namun yang disetujui adalah hukuman penjara maksimal enam tahun.
RUU itu disahkan menjadi UU dengan mengabaikan kritik yang mengatakan bahwa hukum baru itu bertujuan untuk mengekang perbedaan pendapat dan kebebasan berbicara menjelang pemilihan umum (pemilu).
Pemerintah Malaysia mengatakan UU tersebut tidak akan memengaruhi kebebasan berbicara dan kasus-kasus di bawahnya akan ditangani melalui proses pengadilan independen.
"Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi publik dari penyebaran berita palsu, sementara itu memungkinkan kebebasan berbicara sebagaimana diatur di bawah konstitusi," kata Menteri Hukum Azalina Othman Said kepada parlemen, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (3/4/2018).
Undang-undang mendefinisikan berita palsu sebagai "berita, informasi, data, dan laporan yang seluruhnya atau sebagian salah". Materi itu mencakup fitur, visual, dan rekaman audio.
Hukum baru ini juga berlaku untuk publikasi digital dan publikasi media sosial berupa materi berita palsu. Sasaran dari hukum ini adalah para pelanggar atau penyebar berita palsu baik di dalam maupun di luar Malaysia, termasuk warga asing.
Pelapor Khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, David Kaye, pada hari Senin mendesak pemerintah Malaysia untuk tidak terburu-buru dengan mengesahkan RUU yang diloloskan parlemen tersebut.
"Saya mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali RUU itu dan membukanya untuk pengawasan publik yang reguler dan biasa sebelum mengambil langkah lebih lanjut," kata David Kaye melalui Twitter.
Negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Singapura dan Filipina, sedang mempertimbangkan cara menangani penyebaran berita palsu. Namun, para aktivis hak asasi manusia takut bahwa undang-undang pencegah hoaks dapat digunakan untuk mematikan kebebasan berbicara.
Hukum baru itu dimiliki Malaysia setelah pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak mendapat dukungan parlemen yang meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Fake News 2018. Dalam draf RUU, hukuman yang diusulkan adalah penjara 10 tahun, namun yang disetujui adalah hukuman penjara maksimal enam tahun.
RUU itu disahkan menjadi UU dengan mengabaikan kritik yang mengatakan bahwa hukum baru itu bertujuan untuk mengekang perbedaan pendapat dan kebebasan berbicara menjelang pemilihan umum (pemilu).
Pemerintah Malaysia mengatakan UU tersebut tidak akan memengaruhi kebebasan berbicara dan kasus-kasus di bawahnya akan ditangani melalui proses pengadilan independen.
"Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi publik dari penyebaran berita palsu, sementara itu memungkinkan kebebasan berbicara sebagaimana diatur di bawah konstitusi," kata Menteri Hukum Azalina Othman Said kepada parlemen, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (3/4/2018).
Undang-undang mendefinisikan berita palsu sebagai "berita, informasi, data, dan laporan yang seluruhnya atau sebagian salah". Materi itu mencakup fitur, visual, dan rekaman audio.
Hukum baru ini juga berlaku untuk publikasi digital dan publikasi media sosial berupa materi berita palsu. Sasaran dari hukum ini adalah para pelanggar atau penyebar berita palsu baik di dalam maupun di luar Malaysia, termasuk warga asing.
Pelapor Khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, David Kaye, pada hari Senin mendesak pemerintah Malaysia untuk tidak terburu-buru dengan mengesahkan RUU yang diloloskan parlemen tersebut.
"Saya mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali RUU itu dan membukanya untuk pengawasan publik yang reguler dan biasa sebelum mengambil langkah lebih lanjut," kata David Kaye melalui Twitter.
Negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Singapura dan Filipina, sedang mempertimbangkan cara menangani penyebaran berita palsu. Namun, para aktivis hak asasi manusia takut bahwa undang-undang pencegah hoaks dapat digunakan untuk mematikan kebebasan berbicara.
Credit sindonews.com