... bisa dilihat dari sejumlah pernyataan Trump di akun Tweeter-nya...
Jakarta, 5/4 (CB) - Pakar Ilmu Hubungan Internasional UGM
Yogyakarta, Nur Yuliantoro, menilai opsi militer masih menjadi
pertimbangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kepada Korea Utara
jika pertemuan puncak kedua pemimpin negara pada akhir Mei tidak
berakhir positif.
"Pandangan ini bisa dilihat dari sejumlah pernyataan Trump di akun Tweeter-nya, dari situ tampak bahwa dia masih melihat opsi militer sebagai kebijakan yang mungkin dilakukan," ujar Yuliantoro, saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Trump, yang dilantik pada Januari 2018, merupakan presiden yang kerap menjelaskan berbagai kebijakan pemerintahannya melalui akun Tweeter yang dia miliki, termasuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Lebih lanjut dia menjelaskan, meski opsi militer bukan "solusi terbaik" bagi Korea Utara, namun pilihan itu bisa dipertimbangkan oleh Presiden Trump apabila rezim di Korea Utara tetap menjalankan program peluru kendali dan senjata nuklirnya.
"Jadi sekali pun Trump menyambut baik ajakan Kim Jong-un untuk bertemu di bulan Mei mendatang, tapi itu tidak akan menghilangkan kemungkinan AS untuk tetap menggunakan opsi militer jika pembicaraan tidak menghasilkan sesuatu yang positif," kata dia.
Namun dia menekankan, opsi militer juga bukan sebuah kecenderungan pilihan yang akan dipilih Amerika Serikat, melainkan masih sebatas pertimbangan-pertimbangan dari para penasehatnya.
Trump, kata dia, mungkin akan lebih mendengarkan masukan-masukan dari mereka yang ingin opsi tersebut.
Contohnya adalah pada saat pemecatan Rex Tillerson dari jabatannya sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat, yang kemudian diajukan penggantinya ialah Mike Pompeo yang merupakan Direktur Badan Intelijen AS atau CIA.
"Tillerson ini tipe orang yang suka dialog dan negosiasi, tapi Trump tidak mendengarkan masukan dari Tillerson. Dia mungkin lebih mendengarkan masukan dari para jenderal militer, menantunya Jared Kushner, atau Pompeo, yang menegaskan Korea Utara harus diancam dengan kekuatan militer," kata dia.
Secara umum, situasi di Semenanjung Korea berkembang signifikan usai ada rencana untuk pertemuan tingkat tinggi antar kepala negara kedua Korea dan Korea Utara dengan Amerika Serikat, yang masing-masing akan berlangsung pada akhir bulan April dan akhir bulan Mei.
Situasi ini berkembang pasca dilaksanakannya Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang Korea Selatan bulan Maret, dengan dikirimkannya sejumlah atlet dan delegasi dari Korea Utara ke Selatan, yang dibalas dengan kunjungan pejabat tinggi serta perwakilan budaya dari Selatan ke Utara.
Meski sempat terlibat saling adu ancaman dan melontarkan kalimat permusuhan pada tahun lalu, namun Trump menyambut baik rencana pertemuan dengan Kim.
"Pandangan ini bisa dilihat dari sejumlah pernyataan Trump di akun Tweeter-nya, dari situ tampak bahwa dia masih melihat opsi militer sebagai kebijakan yang mungkin dilakukan," ujar Yuliantoro, saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Trump, yang dilantik pada Januari 2018, merupakan presiden yang kerap menjelaskan berbagai kebijakan pemerintahannya melalui akun Tweeter yang dia miliki, termasuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Lebih lanjut dia menjelaskan, meski opsi militer bukan "solusi terbaik" bagi Korea Utara, namun pilihan itu bisa dipertimbangkan oleh Presiden Trump apabila rezim di Korea Utara tetap menjalankan program peluru kendali dan senjata nuklirnya.
"Jadi sekali pun Trump menyambut baik ajakan Kim Jong-un untuk bertemu di bulan Mei mendatang, tapi itu tidak akan menghilangkan kemungkinan AS untuk tetap menggunakan opsi militer jika pembicaraan tidak menghasilkan sesuatu yang positif," kata dia.
Namun dia menekankan, opsi militer juga bukan sebuah kecenderungan pilihan yang akan dipilih Amerika Serikat, melainkan masih sebatas pertimbangan-pertimbangan dari para penasehatnya.
Trump, kata dia, mungkin akan lebih mendengarkan masukan-masukan dari mereka yang ingin opsi tersebut.
Contohnya adalah pada saat pemecatan Rex Tillerson dari jabatannya sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat, yang kemudian diajukan penggantinya ialah Mike Pompeo yang merupakan Direktur Badan Intelijen AS atau CIA.
"Tillerson ini tipe orang yang suka dialog dan negosiasi, tapi Trump tidak mendengarkan masukan dari Tillerson. Dia mungkin lebih mendengarkan masukan dari para jenderal militer, menantunya Jared Kushner, atau Pompeo, yang menegaskan Korea Utara harus diancam dengan kekuatan militer," kata dia.
Secara umum, situasi di Semenanjung Korea berkembang signifikan usai ada rencana untuk pertemuan tingkat tinggi antar kepala negara kedua Korea dan Korea Utara dengan Amerika Serikat, yang masing-masing akan berlangsung pada akhir bulan April dan akhir bulan Mei.
Situasi ini berkembang pasca dilaksanakannya Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang Korea Selatan bulan Maret, dengan dikirimkannya sejumlah atlet dan delegasi dari Korea Utara ke Selatan, yang dibalas dengan kunjungan pejabat tinggi serta perwakilan budaya dari Selatan ke Utara.
Meski sempat terlibat saling adu ancaman dan melontarkan kalimat permusuhan pada tahun lalu, namun Trump menyambut baik rencana pertemuan dengan Kim.
Credit antaranews.com