Jumat, 21 Desember 2018

Kemlu Minta Dubes RI Cari Informasi Soal Situasi Uighur




Kemlu Minta Dubes RI Cari Informasi Soal Situasi Uighur
Kemlu RI mengaku telah menginstrusikan Dubes RI di Beijing untuk mencari informasi mengenai keadaan sebenarnya di wilayah komunitas Muslim Uighur tinggal. Foto/Istimewa


JAKARTA - Kementerian Luar Negeri Indonesia mengaku telah menginstrusikan Duta Besar Indonesia di Beijing untuk mencari informasi mengenai keadaan sebenarnya di wilayah komunitas Muslim Uighur tinggal, yakni di wilayah Xinjiang."Kita meminta Duta Besar kita yang ada di Beijing untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai keadaan yang sebenarnya seperti apa," kata juru bicara Kemlu RI, Arrmanantha Nassir pada Kamis (20/12).Sebelumnya, Arrmanantha mengatakan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan Duta Besar China di Jakara. Dalam pertemuan itu, papar Arrmanantha, Kemlu menyampaikan sikap pemerintah mengenai keberadaan kamp penanahan terhadap kaum minoritas di China, khususnya kaum Muslim Uighur.Arrmanantha mengatakan, pertemuan dengan Dubes China tersebut berlangsung pada tanggal 17 Desember lalu. Dalam pertemuan itu, Kemlu menegaskan berdasarkan hukum internasional setiap orang berhak untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama mereka."Pada kesempatan tersebut Kemlu menegaskan bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia dan dalam kaitan ini merupakan tanggung jawab setiap negara untuk menghormati ini," ucap Arrmanantha, Jakarta, Rabu (19/12/2018).Ia lalu mengatakan, dalam kesempatan tersebut juga Dubes China menyampaikan komitmen Beijing terhadap perlindungan HAM dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.  




Credit  sindonews.com




China Klaim Kamp Penahanan Uighur Hanya Sekolah Keterampilan


China Klaim Kamp Penahanan Uighur Hanya Sekolah Keterampilan
Ilustrasi Uighur di China. (Reuters/Thomas Peter)


Jakarta, CB -- Pemerintah China melalui kedutaan besarnya di Jakarta mengklaim "penampungan" etnis minoritas Uighur di Xinjiang bukan kamp penahanan atau kamp konsentrasi, tapi sekolah pendidikan vokasi.

Kedubes China menyatakan kamp-kamp tersebut dibentuk demi membantu memberdayakan etnis Uighur yang sebagian besar memiliki keterampilan dan bahasa terbatas.

"Di beberapa tempat, penduduk tertentu di sana memiliki keterampilan dan bahasa yang terbatas akan pengetahuan hukum. Mereka sering kesulitan mencari pekerjaan karena keterampilan yang terbatas," bunyi pernyataan Kedubes China pada Rabu (20/12).


"Mengingat situasi ini, otoritas Xinjiang telah mendirikan lembaga pelatihan kejuruan profesional sebagai platform yang menyediakan kursus bahasa China, pengetahuan hukum, keterampilan kejuruan, hingga pendidikan deradikalisasi bagi warga yang terpengaruh ide-ide ekstremis."



Institusi-institusi pelatihan itu disebut memberikan etnis Uighur dan Xinjiang berbagai macam kursus, seperti membuat baju, sepatu, makanan, produk-produk elektronik, hingga cara membangun e-commerce.

Kedubes China memaparkan para peserta pelatihan juga bisa belajar hingga dua keterampilan sesuai minat masing-masing. Para peserta juga diklaim dibayar atas hasil karya mereka selama berada di kamp pelatihan.

Selain membantu memberdayakan warga Xinjiang, Beijing menganggap pelatihan vokasi juga dianggap bisa membantu mencegah penyebaran paham ekstremis yang dapat mengancam keamanan.

"Fakta telah membuktikan bahwa pelatihan vokasi seperti itu sangat efektif mencegah penyebaran paham ekstremisme dan mencegah serangan terorisme di Xinjiang," demikian pernyataan kedubes China.



Dalam pernyataan itu, Kedubes China juga membantah tudingan bahwa pemerintahannya membatasi hak-hak beragama kaum minoritas, termasuk etnis Uighur yang mayoritas Muslim.

Kedubes China menyatakan sesuai dengan konstitusi, "pemerintah melindungi kebebasan beragama yang dinikmati oleh seluruh warga, termasuk etnis Muslim Uighur."

Pernyataan itu dirilis Kedubes China di Jakarta menyusul protes warga Indonesia, termasuk sejumlah tokoh hingga politikus, terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Negeri Tirai Bambu terhadap suku Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang secara massal dan sistematis.



Salah satu pelanggaran HAM paling dikhawatirkan adalah mengenai penahanan jutaan etnis Uighur dan minoritas lainnya yang dilakukan otoritas China.

Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, otoritas China terus melakukan penahanan massal sewenang-wenang terhadap Uighur dan minoritas muslim lain di Xinjiang sejak 2014 lalu.

Tak seperti kasus Rohingya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, dianggap tutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi pada etnis Uighur.

Sejumlah politikus oposisi pemerintah seperti Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, dan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, turut mengkritik sikap pemerintah yang dianggap diam melihat dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang.



Tak hanya kelompok pemerhati HAM dan tokoh politik, warganet Indonesia juga menaruh perhatian pada penindasan terhadap Muslim Uighur.

Seruan #UsirDubesChina menggema sebagai sikap geram lewat lini masa Twitter pada Rabu (19/12). Meski tidak menjadi trending topic, tapi tagar ini menyita perhatian warganet Indonesia.

Pengguna internet mempertanyakan empati warga di seluruh dunia atas kekejaman atas Muslim etnis Uighur di China.



Credit  cnnindonesia.com



Indonesia Bisa Sarankan Tiongkok Buka Informasi Xinjiang


Kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters

Indonesia dapat menggunakan forum multilateral maupun bilateral untuk menjembatani.



CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dapat menyarankan kepada Tiongkok untuk membuka akses informasi tentang Xinjiang. Dengan demikian, dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan jelas terhadap apa yang terjadi di Xinjiang.


"Keterbukaan informasi menjadi hal yang sangat penting. Hubungan yang sangat baik dengan China menjadi modal bagi Indonesia untuk mempunyai peran pada masalah keterbukaan informasi," ujar Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, di Jakarta, Kamis (20/12).

Pernyataan tersebut disampaikan Dosen HI Universitas Indonesia itu usai diskusi mengungkap fakta pelanggaran HAM terhadap Etnis Uighur di Jakarta. Agung mengatakan Indonesia dapat menggunakan forum multilateral maupun bilateral untuk menjembatani penyelesaian permasalahan etnis Uighur.


"Forum multilateral seperti Sidang PBB, KTT ASEAN, dan OKI mungkin bisa digunakan Indonesia," ucapnya.


Di samping itu, pemerintah Indonesia butuh kalkulasi yang tinggi dalam mengambil sikap terkait kasus etnis Uighur. "Karena saya lihat negara-negara dunia Islam pun belum banyak yang bersuara, dan Indonesia masih menunggu. Perlu diingat bahwa respon sekeras apapun itu akan memberikan dampak balik kepada Indonesia," ujarnya.


Sebelumnya, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan telah menerima berbagai laporan dari sumber-sumber kredibel bahwa terdapat 1 juta etnis Uighur ditahan di suatu kamp pengasingan yang terselubung. Mereka dipaksa mengikuti program "Kamp Indoktrinasi Politik" yang di dalamnya diduga terdapat upaya pelunturan keyakinan yang dianut warga Uighur.


Sementara itu, Amnesti Internasional mendesak Pemerintah China agar segera menghentikan represi tersistematis itu dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juta Muslim yang ditahan di Xinjiang.




Credit  republika.co.id



Amerika Buat UU Tibet, Cina Sebut Itu Masalah Serius



Warga Tibet berkumpul untuk merayakan Loshar, Tahun Baru Tibet, di Kathmandu, Nepal, 16 Februari 2018. Orang-orang Tibet di seluruh dunia menandai kedatangan Tahun Baru dengan doa dan perayaan. AP Photo/Niranjan Shrestha
Warga Tibet berkumpul untuk merayakan Loshar, Tahun Baru Tibet, di Kathmandu, Nepal, 16 Februari 2018. Orang-orang Tibet di seluruh dunia menandai kedatangan Tahun Baru dengan doa dan perayaan. AP Photo/Niranjan Shrestha

CBBeijing – Pemerintah Cina mengecam keputusan pemerintah Amerika Serikat untuk mengesahkan undang-undang baru terkait daerah bermasalah Tibet.


Cina mengatakan menolak keras UU AS mengenai Tibet, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap urusan internal negara itu dan menimbulkan masalah serius bagi hubungan kedua negara.
Presiden AS, Donald Trump, mengesahkan UU Akses Resiprokal ke Tibet pada Rabu, 19 Desember 2018 waktu setempat.
“Jika AS mengimplementasikan UU ini, ini akan menciptakan masalah serius bagi hubungan Cina dan AS dan kerja sama dalam area penting antara kedua negara,’ kata Hua Chunying, juru bicara kementerian Luar Negeri Cina, seperti dilansir Reuters pada Kamis, 20 Desember 2018.


Chua, dalam jumpa pers, mengatakan UU Tibet dari AS itu mengirim sinyal keliru kepada elemen separatis Tibet. Seperti diketahui, Cina mengirim pasukan ke kawasan Tibet di pegunungan pada 1950 dan menyebutnya sebagai pembebasan damai. Cina memerintah Tibet dengan tangan besi sejak saat itu.
UU Tibet dari AS ini membuka akses bagi para pejabat diplomat, jurnalis dan warga negara dengan menolak akses masuk bagi pejabat Cina, yang dianggap bertanggung jawab membatasi akses ke Tibet.
Chua menambahkan AS harus menyadari penuh sensitivitas penuh isu Tibet dan harus menghentikan gangguannya. Jika tidak, AS harus bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang muncul.


Kelompok HAM mengatakan kondisi etnis Tibet di Wilayah Otonomi Tibet terus bermasalah. Komisi Tinggi HAM PBB menyebut kondisi Tibet terus memburuk pada pernyataan Juni 2018.
Setiap orang asing membutuhkan akses izin khusus untuk bisa memasuki Tibet, yang biasanya diberikan kepada Turis. Mereka diizinkan melakukan tur yang dikontrol ketat. Akses ini kerap tidak diberikan kepada diplomat asing dan jurnalis.
Menurut Chua, Tibet terbuka untuk pengunjung seperti ditunjukkan data 40 ribu pengunjung dari AS sejak 2015.
Namun, Chua mengatakan pemerintah setempat mengontrol kedatangan para orang asing ke Tibet karena letak geografis dan alasan cuaca.


Jika Cina menolak UU Tibet ini, kelompok HAM Tibet justru mendukungnya. Kelompok Kampanye Internasional untuk Tibet mengatakan UU itu menandai era baru dukungan AS dan merupakan tantangan bagi kebijakan Cina di Tibet.
“AS memberi tahu Beijing konsekuensi yang dihadapi pejabatnya karena bersikap diskriminasi terhadap warga Tibet dan AS. Ini membuka jalan bagi negara lain untuk mengikuti,” kata presiden Kampanye Internasional untuk Tibet, Matteo Mecacci, dalam pernyataannya.
Tibet bakal merayakan 60 tahun pengasingan Dalai Lama pada 2019. Dalai Lama merupakan pemimpin tertinggi Tibet, yang sempat memimpin perlawanan terhadap Cina namun gagal.
Selama ini, Cina rutin mengecam Dalai Lama sebagai seorang separatis berbahaya. Dalai Lama menanggapi dia hanya menginginkan otonomi murni bagi tanah kelahirannya.




Credit  tempo.co




Mengundurkan Diri, Bos Pentagon: Trump Tak Keras pada Rusia dan China



Mengundurkan Diri, Bos Pentagon: Trump Tak Keras pada Rusia dan China
Presiden Donald Trump (kanan) dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Norman Mattis. Mattis mengundurkan diri dan resmi hengkang dari pemerintah Trump Februari 2019. Foto/REUTERS/Leah Millis


WASHINGTON - Bos Pentagon atau Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James Norman Mattis mengundurkan diri dan resmi meninggalkan kantornya akhir Februari 2019 nanti. Dalam surat pengunduran dirinya, dia mengkritik Presiden Donald Trump yang tidak bertindak keras pada Rusia dan China sebagai musuh.

Surat Mattis menyatakan dia mengundurkan diri sehingga Trump dapat menyewa seorang Menteri Pertahanan dengan pandangan yang lebih sejalan dengannya.

Meski demikian, dia mengaku setuju dengan sikap Trump bahwa AS tidak boleh menjadi polisi dunia. Hanya saja, dia menekankan pentingnya pemerintah Trump untuk membela sekutunya.

"Penting memberikan kepemimpinan yang efektif untuk aliansi kita dan mendorong sebuah tatanan internasional yang paling kondusif bagi keamanan, kemakmuran dan nilai-nilai kita," bunyi surat Mattis, yang dikutip CNBC, Jumat (21/12/2018).

Lebih lanjut, mantan janderal Marinir AS ini mengatakan bahwa Trump tidak cukup keras pada Rusia dan China yang merupakan rival utama. "Kita harus tegas dan tidak ambigu dalam pendekatan kita kepada mereka," lanjut surat Mattis.

Sementara itu, Trump mengonfirmasi pengunduran diri Mattis dalam rangkaian tweet.

"Jenderal Jim Mattis akan pensiun, dengan perbedaan, pada akhir Februari, setelah melayani administrasi saya sebagai Menteri Pertahanan selama dua tahun terakhir. Selama masa jabatan Jim, kemajuan luar biasa telah dibuat, terutama berkenaan dengan pembelian peralatan tempur baru," tulis Trump.

"Jenderal Mattis sangat membantu saya mendapatkan sekutu dan negara-negara lain untuk membayar kewajiban militer mereka. Nama Menteri Pertahanan baru akan muncul segera. Saya sangat berterima kasih kepada Jim atas layanannya!," lanjut Trump.


Pada hari-hari sebelum pengunduran dirinya, Mattis dilaporkan berpendapat bahwa misi kontraterorisme Washington di Suriah tidak lengkap. Menurut para pejabat AS yang berbicara dalam kondisi anonim, Mattis tidak setuju dengan keputusan Trump menarik seluruh pasukan AS dari Suriah karena akan meninggalkan wilayah itu dalam kekacauan.

Mattis bergabung dengan kabinet Trump pada awal masa kepresidenannya pada Januari 2017 setelah lebih dari 40 tahun berkarier di militer. Dia pernah memimpin Komando Pusat AS yang mengawasi seluruh operasi AS di Timur Tengah. 





Credit  sindonews.com



Menhan AS Mundur Usai Trump Tarik Pasukan dari Suriah


Menhan AS Mundur Usai Trump Tarik Pasukan dari Suriah
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, James 'Jim' Norman Mattis memilih mundur usai Presiden Donald Trump memutuskan menarik seluruh pasukan AS dari Suriah. (Reuters/Jonathan Ernst)


Jakarta, CB -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat, James 'Jim' Norman Mattis menyatakan mengundurkan diri dari kabinet pada Kamis (20/12) kemarin. Dia tidak secara terbuka menyatakan alasan mundur, tetapi nampaknya tidak sepakat dengan keputusan Presiden Donald Trump yang menarik seluruh pasukan mereka dari Suriah.

Seperti dilansir Reuters, Jumat (21/12), Mattis menyampaikan pengunduran diri kepada Trump melalui sebuah surat. Dia menyatakan bersilang pendapat dengan Trump yang dianggap tidak setia terhadap negara-negara sekutu dan malah terlihat semakin merapat kepada Rusia.

"Pandangan saya adalah seharusnya memperlakukan negara-negara sekutu dengan hormat, dan juga saya memahami pelaku dan taktik pesaing karena sudah berkecimpung selama empat dasawarsa dalam hal ini," kata Mattis.


"Karena Anda (Trump) berhak untuk mempunyai menteri pertahanan yang sejalan dengan pandangan Anda dan juga hal-hal lainnya, rasanya ini saat yang tepat untuk saya mengundurkan diri," ujar mantan komandan korps Marinir AS itu.


Kabar pengunduran diri Mattis terlebih dulu disampaikan oleh Trump melalui cuitan di Twitter. Beberapa saat kemudian giliran Kementerian Pertahanan AS (Pentagon) merilis surat pengunduran diri Mattis. Dia menyatakan Mattis baru benar-benar meninggalkan jabatannya pada Februari 2019.

"Jenderal Mattis sangat membantu saya untuk mendapatkan sekutu dan sejumlah negara supaya mendapat bantuan militer. Menteri Pertahanan baru akan segera saya umumkan. Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk Jim atas dedikasinya," tulis Trump.

Sejumlah kalangan di Amerika Serikat mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Donald Trump yang bakal menarik 2000 pasukan di Suriah. Pasukan AS selama ini disebut hanya ditugaskan memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Suriah, SDF. Mayoritas pasukan AS itu ditempatkan di Suriah bagian utara. Ada juga sebagian kecil yang diplot di garnisun yang berada di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.



Kalangan politikus juga menyatakan bingung dengan jalan pikir Trump. Apalagi selama ini Mattis dikenal sebagai sosok yang mampu mengimbangi Trump, karena memegang kendali bidang pertahanan.

"Mattis selama ini adalah menteri yang menjadi jangkar saat pemerintahan Trump terlihat sangat kacau," kata Senator dari Partai Demokrat, Mark Warner.

Sedangkan Senator Marco Rubio menganggap pengunduran diri Mattis memperlihatkan kebijakan yang dibuat Trump seolah seperti menggali kubur sendiri bagi AS. Sebab hal itu membahayakan mereka dan merusak persahabatan dengan para sekutu.

Ada sejumlah kandidat yang digadang-gadang mengisi posisi yang ditinggalkan Mattis. Mereka adalah mantan jenderal Angkatan Darat AS, Senator Tom Cotton, dan bekas Wakil Kepala Staf Angkatan Darat AS, Jack Keane.

Kemungkinan besar keputusan penarikan pasukan di Suriah menjadi titik puncak silang pendapat antara Mattis dan Trump. Keduanya sempat berbeda sikap ketika Trump memutuskan membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran.



Trump juga memaksa supaya Angkatan Bersenjata AS membentuk satuan Pasukan Antariksa, yang mana ditentang Mattis.




Credit  cnnindonesia.com



Penarikan Pasukan dari Suriah, Menhan AS Tidak Setuju dengan Trump



Penarikan Pasukan dari Suriah, Menhan AS Tidak Setuju dengan Trump
Foto/Ilustrasi/Istimewa


WASHINGTON - Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS), James Mattis, tidak setuju dengan keputusan Presiden Donald Trump untuk segera menarik semua pasukan dari Suriah. Hal itu diungkapkan Senator Lindsey Graham saat konferensi pers di Capitol Hill.

"Dia (Mattis) berpikir bahwa waktunya tidak tepat untuk pergi," kata Graham.

"Dia mengatakan kepada saya tanpa ragu-ragu bahwa (ISIS) telah terluka parah, bahwa perubahan dalam strategi untuk menjadi lebih agresif telah membuahkan hasil. Tetapi mereka tidak kalah, dan bahwa apa yang terjadi di Iraq sangat mungkin terulang," imbuhnya seperti dikutip dari Sputnik, Jumat (21/12/2018).

Graham mengatakan dia juga berbicara dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang dia katakan memahami bahwa kondisi di wilayah Suriah tidak tepat bagi Amerika Serikat untuk menarik pasukannya.

Senator dari Partai Republik itu berpendapat bahwa meninggalkan Suriah dapat menyebabkan munculnya kembali ISIS, menempatkan para pejuang Kurdi di sana dalam bahaya dan menguntungkan kepentingan nasional Rusia, Iran serta pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Pada hari Rabu, Trump mengumumkan keputusannya untuk menarik semua pasukan militer AS dari Suriah. Ia mengatakan langkah itu dimotivasi oleh fakta bahwa ISIS di negara itu telah dikalahkan.


Koalisi pimpinan AS yang terdiri lebih dari 70 negara melakukan operasi militer terhadap ISIS di Suriah dan Irak. Operasi koalisi di Irak dilakukan bekerja sama dengan pemerintah Irak, tetapi mereka di Suriah tidak diizinkan oleh pemerintah Suriah atau pun Dewan Keamanan PBB. 





Credit  sindonews.com



Tarik Pasukan AS dari Suriah, Donald Trump Panen Kritik


Tarik Pasukan AS dari Suriah, Donald Trump Panen Kritik
Keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik 2000 pasukan di Suriah dianggap bentuk 'kekalahan' dan memuluskan Rusia dan Iran menancapkan pengaruh di Timur Tengah. (REUTERS/Carlos Barria)


Jakarta, CB -- Sejumlah kalangan di Amerika Serikat mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Donald Trump yang bakal menarik 2000 pasukan di Suriah. Hal itu dianggap sebagai bentuk 'kekalahan' dan memuluskan jalan Rusia serta Iran untuk menancapkan pengaruh di Timur Tengah.

Seperti dilansir Reuters, Kamis (20/12), kritik disampaikan oleh sejumlah kalangan di Kementerian Pertahanan AS. Mereka merasa keputusan Trump justru menguntungkan Rusia dan Iran.

Sumber di Kementerian Pertahanan AS menyatakan khawatir Suriah bakal menjadi ancaman sekutu mereka di Timur Tengah, Israel. Sebab, Iran yang menjadi musuh mereka bisa menggunakan Suriah sebagai basis untuk menyerang Negara Zionis.


"Secara geopolitik itu menguntungkan Rusia, sedangkan di kawasan menguntungkan Iran," kata sumber itu.


Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat AS, Jack Keane juga mengkritik keputusan Trump. Menurut dia hal itu juga bisa membuat kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bangkit lagi.

Menurut Keane, yang merupakan kandidat pengganti Menteri Pertahanan James Mattis, hal itu akan membuat AS tidak punya daya tawar dalam perundingan damai di Suriah, jika terjadi kelak.

"Meski markas ISIS di Suriah sudah hancur, tetapi kami akan kalah dalam hal perdamaian karena penarikan pasukan ini. ISIS akan bangkit lagi, Iran menjadi ancaman yang terus berkembang dan menguasai Suriah, lalu Israel akan terancam bahaya," kata Keane dalam cuitan melalui akun Twitternya.

Analis Institut Timur Tengah, Charles Lister menyatakan juga setuju dengan pemikiran Keane. Menurut dia keputusan Trump membuat posisi mereka semakin sulit di Suriah.


"Tapi yang terutama akan berpengaruh terhadap kebijakan dalam menghadapi Iran. Sebab Suriah adalah kunci dari strategi kawasan Iran," kata Keane.

Meski demikian, seluruh pendapat itu disangkal oleh pemerintah Trump. Menurut sumber di kalangan pejabat keamanan AS, tugas pasukan mereka di Suriah hanya untuk menghadapi ISIS, bukan Iran.

"Menurut saya presiden (Trump) sudah tepat saat menyatakan misi itu sudah sampai pada tahap akhir," kata sumber itu.

Pasukan AS selama ini disebut hanya ditugaskan memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Suriah, SDF. Mayoritas pasukan AS itu ditempatkan di Suriah bagian utara. Ada juga sebagian kecil yang diplot di garnisun yang berada di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.

Bahkan keputusan Trump ini membuat partainya, Partai Republik bingung. Mereka menumpahkan kekecewaan soal Trump langsung kepada Wakil Presiden Mike Pence.


Perang sipil di Suriah yang berlangsung sejak 2011 sudah menelan korban jiwa ratusan ribu orang. Sekitar 11 juta penduduk juga terpaksa mengungsi ke sejumlah negara di dunia.



Credit  cnnindonesia.com



Sebelum Tarik Pasukan dari Suriah, Trump Mengontak Erdogan



Warga Suriah melihat pasukan AS berpatroli di dekat perbatasan Turki di Hasakah, 4 November 2018. [REUTERS / Rodi Said]
Warga Suriah melihat pasukan AS berpatroli di dekat perbatasan Turki di Hasakah, 4 November 2018. [REUTERS / Rodi Said]

CBWashington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menginformasikan keputusannya untuk menarik pasukan dari Suriah kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.  Namun, Trump tidak mendiskusikan keputusannya itu dengan Erdogan.

“Presiden membuat keputusannya sendiri. Itu bukan keputusan yang didiskusikan dengan Presiden Erdogan. Dia telah menginformasikan keputusannya ini kepada Presiden Erdogan,” kata seorang pejabat Gedung Putih secara anonim kepada media pada Kamis, 20 Desember 2018, seperti dilansir Reuters.
Pejabat ini menambahkan AS meyakini sisa kantong milisi ISIS di Suriah bakal dihancurkan oleh pasukan AS dan mitra yang ada di sana.
Seperti dilansir sebelumnya, Trump mengumumkan penarikan pasukan AS secepatnya dari Suriah. Menurut sejumlah pejabat sipil dan militer AS, Trump menilai ISIS telah dikalahkan sehingga dia mempertanyakan tujuan keberadaan pasukan AS di Suriah.

Secara terpisah, Senator Jeff Flake dari Partai Republik mengeluhkan keputusan Trump ini karena tidak diberitahu sebelumnya. Senator dari partai pendukung Trump itu menyampaikan keluhannya kepada Wakil Presiden Mike Pence saat mereka bertemu kemarin.
Sedangkan mitra dari Prancis mengaku terkejut saat mendengar keputusan Trump untuk menarik pasukan daru Suriah.
“Jika ini terdengar seburuk seperti apa adanya, maka ini menjadi masalah serius bagi kami dan Inggris karena koalisi itu tidak berjalan tanpa AS,” kata seorang diplomat Prancis.


Menurut dua pejabat, Trump kerap bertanya apa yang dilakukan pasukan AS di Suriah. “Apa yang kita lakukan di sana? Saya tahu kita di sana untuk melawan ISIS, tapi kita telah melakukannya. Sekarang apa?” kata bekas pejabat seperti dilansir Reuters.

Trump memahami tapi menolak penjelasan dari penasehat senior AS bahwa pasukan berada di sana bukan di garis terdepan dan jumlahnya hanya 2000 orang. Pasukan ada disana, kata penasehat, untuk memperkuat pasukan lokal anti-ISIS.
Namun, Trump mengatakan dia menginginkan pasukan keluar dari Kota Raqqa dan basis ISIS lainnya begitu wilayah itu berhasil dikuasai.


Pejabat ini mengatakan keputusan Trump itu dianggap di Pentagon sebagai menguntungkan Rusia dan Iran, yang menggunakan dukungan kepada Suriah untuk memperkuat pengaruh di kawasan itu. Iran juga meningkatkan kemampuannya mengirim senjata ke Hizbullah di Lebanon untuk melawan Israel.




Credit  tempo.co



Amerika Bakal Jual Sistem Rudal Patriot ke Turki?


Swedia Beli Rudal Pertahanan Udara, Patriot dari AS Senilai US$ 1 Miliar
Swedia Beli Rudal Pertahanan Udara, Patriot dari AS Senilai US$ 1 Miliar

CBWashington – Kementerian Luar Negeri Amerika mengatakan telah menginformasikan rencana penjualan paket rudal Patriot ke Turkit kepada Kongres.


 
Penjualan ini termasuk 80 rudal Patriot, 60 rudal PAC-3 untuk pencegatan rudal, dan sejumlah peralatan terkait.
“Rencana penjualan ini bakal meningkatkan kemampuan pertahanan militer Turki untuk menjaga negara dari serangan dan melindungi sekutu NATO,” begitu pernyataan dari kementerian seperti dilansir Aljazeera, Rabu, 19 Desember 2018, waktu setempat.
Rencana pembelian rudal AS ini menambah rencana pembelian rudal untuk meningkatkan pertahanan Turki. Pada 2017, pemerintah Turki mengumumkan rencana membeli sistem rudal S-400 dari Rusia, yang memunculkan reaksi dan kritik dari sekutu di NATO, yang dulu dibentuk untuk menghadang kekuatan Uni Sovyet.


Seorang pejabat AS mengatakan Turki membahayakan partisipasinya dalam program senjata yaitu pembuatan pesawat tempur F-35 jika negara itu melanjutkan pembelian S-400.
Pejabat itu mengatakan Turki juga bisa terkena sanksi atas pembelian peralatan militer terkait undang-undang AS jika melanjutkan pembelian S-400.
“Penting bagi negara anggota NATO untuk membeli peralatan militer yang bisa dioperasikan dengan sistem NATO. Peralatan dari Rusia tidak akan memenuhi standar itu,” kata pejabat tadi secara anonim.
Pengumuman rencana penjualan rudal Patriot ke Turki ini dilakukan berdekatan dengan pengumuman penarikan pasukan AS dari Suriah oleh Presiden Donald Trump.


 
Trump mengatakan penarikan pasukan dilakukan dari Rusia karena telah mengalahkan kelompok ISIS.
Menurut seorang pejabat Gedung Putih, Trump sempat menginformasikan rencana penarikan pasukan AS dari Suriah kepada Presiden Tukri Recep Tayyip Erdogan.

Saat ini, pasukan AS, yang berjumlah sekitar 2000 orang, mendukung pasukan Kurdi, yang bergerak di sebelah timur sungai Eufrat. Di sisi ini, pasukan Unit Perlindungan Rakyat atau YPG dari Kurdi telah bertempur melawan pasukan ISIS.
Namun, Ankara telah mengungkapkan rasa frustrasinya mengenai penundaan implementasi kesepakatan dengan AS untuk mengosongkan wilayah sebelah barat dari sungai Eufrat dari pasukan YPG.

 
Pada Senin pekan ini, Presiden Erdogan mengatakan pasukan Turki akan membersihkan wilayah utara Suriah dari pasukan Kurdi jika diperlukan. Dia mengatakan telah berbicara dengan Trump lewat telepon dan bersepakat untuk bekerja sama mengenai Suriah.



Credit  tempo.co



AU Jepang Cegat Jet Tempur Rusia di Perairan Internasional


AU Jepang Cegat Jet Tempur Rusia di Perairan Internasional
Angkatan Udara Jepang mencegat pesawat tempur Su-24 Rusia di atas Laut Jepang. Foto/Istimewa

TOKYO - Angkatan Udara (AU) Jepang mengirim pesawat tempurnya untuk mencegat sebuah jet Su-24 Fencer Rusia di Laut Jepang pada Rabu lalu. Ini adalah kedua kalinya dalam seminggu Jepang mencegat pesawat asing, di saat negara itu tengah bergerak mengembangkan armada udaranya secara besar-besaran.

Pesawat tempr Rusia, Su-24, tengah melakukan patroli udara di perairan internasional ketika insiden itu terjadi.

"Jet Rusia tidak melanggar wilayah udara Jepang," kata Kementerian Pertahanan Jepang seperti dikutip Sputnik dari The Diplomat, Jumat (21/12/2018).

AU Jepang dilarang bersifat ofensif oleh konstitusi negara itu. Sebagai gantinya, mereka berkonsentrasi pada operasi pertahanan dan pendeteksian udara.

Diproduksi oleh Sukhoi, Su-24 pertama kali diperkenalkan oleh Uni Soviet pada tahun 1974. Ini adalah jet geometri yang cepat dan bervariasi yang dapat mencapai kecepatan hingga Mach 1,6 pada kecepatan penuh dan mampu membawa senjata nuklir, meskipun jet digunakan untuk menyesuaikan berbagai peran tempur dan pengintaian.

Meskipun ini adalah pertama kalinya dalam lima minggu, AU Jepang bereaksi sangat cepat untuk menghadapi sebuah pesawat Rusia. Insiden ini hanya berselang lima hari setelah sebelumnya sistem pertahanan mereka mendeteksi pesawat mata-mata China di sekitar Okinawa, jauh di selatan, di Laut Cina Timur.

Pada 14 Desember, AU Jepang mencegat pesawat Shaanxi Y-9JB dan pesawat pengintai China. Saat itu, pesawat China juga berada di wilayah udara internasional.

Namun, meskipun Jepang mandat secara konstitusional bersikap netralit, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe baru-baru ini memperluas pengeluaran pertahanan negaranya secara besar-besaran selama lima tahun ke depan, termasuk mengambil biaya konversi kapal perusak kelas Izumo menjadi kapal induk yang mampu memproyeksikan kekuatan udara jauh dari kepulauan Jepang.

Selain itu, Kementerian Pertahanan Jepang juga berencana memiliki lebih dari 100 jet siluman F-35 Lightning II baru dari Amerika Serikat sebagai bagian penting dari rencana itu.

Kementerian Pertahanan Jepang pada hari Selasa meminta tambahan USD244 miliar untuk belanja pertahanan mulai tahun depan, yang mencatat rekor peningkatan sebesar USD46 miliar yang ditetapkan oleh anggaran 2018.

Pada akhir Oktober, Abe dan Perdana Menteri India Narendra Modi menandatangani kesepakatan yang akan memungkinkan kapal-kapal India memiliki kemampuan untuk menggunakan pangkalan angkatan laut Jepang dan memberikan akses AU Jepang ke fasilitas angkatan laut India di Kepulauan Andaman dan Nikobar.



Credit  sindonews.com




China segera operasikan kapal pemburu


China segera operasikan kapal pemburu
Fregat siluman Angkatan Laut China (beegeagle.wordpress.com)



Beijing (CB) - Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) segera memiliki kapal pemburu generasi terbaru berbobot mati 10.000 ton buatan dalam negeri setelah kapal itu berhasil menjalani uji laju berkecepatan tinggi.

Stasiun televisi resmi China CCTV melaporkan foto uji kecepatan tinggi kapal perang tipe 055 tersebut, namun tidak disebutkan lokasi perairannya.

Wang Yunfei, seorang pengamat dan mantan pejabat AL PLA, mengatakan bahwa tujuan dari uji coba di perairan tersebut untuk mengetahui kemampuan kapal tersebut melaju dalam kecepatan tinggi dan dalam melakukan koordinasi antarsistem.

"Sebelumnya kapal tipe 055 itu telah menjalani uji laju berkecepatan rendah, namun dengan kecepatan tinggi maka uji coba ini bisa dipercaya," ujarnya sebagaimana dikutip Global Times, Kamis.



Setelah menjalani uji laju pada bulan Agustus lalu, kapal 055 telah beberapa kali melakukan pelayaran. Angkatan Laut PLA segera mendinaskan kapal perusak bersenjatakan rudal tersebut, seperti laporan CCTV.

Setelah selesai menjalani serangkaian uji layar, lanjut Wang, kapal itu masih harus melakukan serangkaian uji coba sistem komando persenjataan.

Menurut dia, proses itu membutuhkan waktu sekitar setengah tahun.

Selanjutnya China akan memiliki empat unit kapal 055. Dua unit disiagakan di Pelabuhan Dalian, Provinsi Liaoning (wilayah timur laut China yang berbatasan dengan Korut dan Korsel), sedangkan dua lainnya di Shanghai, pesisir Laut China Timur.

Dengan mempertimbangkan kebutuhan enam unit kapal induk dan kapal multiserang amfibi, maka China sedang berupaya memiliki sedikitnya 10 unit kapal 055 agar bisa membentuk gugus perang sekaligus pengawalan, demikian pendapat Wang.

Kapal tipe 055 yang panjangnya 180 meter dan lebar 20 meter itu dilengkapi dengan 112 baterai peluncur rudal vertikal yang mampu melontarkan rudal ke udara dalam segala situasi dan bentuk, seperti rudal udara, rudal antikapal penjelajah, rudal serangan darat, dan rudal antikapal selam.




Credit  antaranews.com




Saudi Rombak Lembaga Intelijen Setelah Pembunuhan Khashoggi


Jamal Khashoggi
Jamal Khashoggi
Foto: Metafora Production via AP
Saudi bentuk tiga lembaga pemerintah baru untuk meningkatkan operasi intelijen.



CB, RIYADH -- Arab Saudi membentuk tiga lembaga pemerintah baru untuk meningkatkan operasi intelijen terkait kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Raja Salman meminta restrukturisasi lembaga intelijen pada Oktober setelah pemerintah Saudi akhirnya mengakui Khashoggi dibunuh di Istanbul, Turki.

Pejabat Saudi mengatakan tim pembunuh Khashoggi yang berjumlah 15 orang tersebut disatukan oleh Wakil Kepala Intelijen Ahmed Al-Asiri. Al-Asiri kemudian dipecat oleh Raja bersama dengan penasihat kerajaan Saud Al-Qahtani.

Dikutip dari Reuters pada Kamis (22/12), lembaga pemerintah baru tersebut bertujuan untuk memastikan operasi intelijen sejalan dengan kebijakan keamanan nasional, hukum internasional, dan hak asasi manusia.


photo
Para penyidik Turki mencari petunjuk yang mungkin ada terkait pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di parkir basement, di konsulat Istanbul, Selasa (23/10).


Lembaga tersebut dibentuk oleh komite yang dipimpin Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Negara-negara sekutu barat telah meminta Riyadh untuk menahan pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan Khashoggi. Jaksa Saudi kini sedang menyiapkan hukuman mati kepada lima tersangka.

Senat AS pekan lalu menyalahkan Pangeran Muhammad atas pembunuhan itu. Hal itu merupakan sebuah teguran kepada Presiden AS Donald Trump, yang meminta Washington untuk berdiri mendukung Pangeran MBS. Padahal, lembaga intelijen AS CIA menilai Pangeran MBS yang memberikan perintah pembunuhan Khashoggi.



Credit  republika.co.id




OKI Bahas Pembentukan Dana Abadi bagi Pengungsi Palestina



OKI Bahas Pembentukan Dana Abadi bagi Pengungsi Palestina
Badan Bantuan dan Pekerja PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengalami krisis keuangan setelah AS menarik bantuannya. Foto/Istimewa

JEDDAH - Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) kemarin bertemu untuk membahas pembentukan dana sumbangan khusus untuk penyediaan dukungan bagi para pengungsi Palestina.

Selama pertemuan di Jeddah, Komite Ahli dari Negara Anggota OKI - yang dipanggil untuk membahas rancangan undang-undang dana tersebut - Asisten Sekretaris Jenderal untuk Palestina dan Al-Quds, Samir Bakr Diab mengumumkan dalam sebuah pidato bahwa rencana itu datang mengingat kekurangan bantuan yang dihadapi pengungsi Palestina seperti dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (21/12/2018).

Dalam beberapa bulan terakhir, Badan Bantuan dan Pekerja PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) telah mengalami krisis keuangan karena keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memotong dukungan dan pendanaan bagi organisasi pada bulan Agustus lalu. Hal ini berdampak pada kemanusiaan, sosial dan situasi ekonomi sekitar lima juta pengungsi Palestina.

Banyak dari para pengungsi yang terpengaruh atas keputusan itu adalah 1,5 juta yang tinggal di kamp-kamp yang terdaftar di wilayah tersebut, terutama di Libanon, Yordania dan Suriah, dan menghadapi kekurangan pasokan bahan-bahan penting, tenda, dan sanitasi karena luka-luka.

Organisasi itu awalnya mengajukan anggaran sebesar USD1,2 miliar untuk tahun 2018. Namun setelah keputusan AS itu menghadapi kekurangan dana sebesar US446 juta yang mendorongnya mencari bantuan darurat yang menghasilkan tambahan USD382 juta. Masih ada kekurangan sekitar USD64 juta. Meskipun mempunyai kemampuan untuk meningkatkan anggaran dalam jumlah besar, namun UNRWA mendapatkan kejutan dengan AS menarik dukungannya dan sebagai hasilnya harus terus berjuang.

Menurut Sekretaris Jenderal OKI Dr. Yousef Bin Ahmad al-Othaimeen, keputusan AS baru-baru ini untuk memotong pendanaan untuk UNRWA mengancam mengurangi - atau sepenuhnya menghentikan - pendidikan dan layanan kesehatan yang diberikan kepada lebih dari lima juta pengungsi Palestina.

Pembicaraan untuk membentuk dana abadi - atau dikenal sebagai Dana Wakaf - dimulai berbulan-bulan sebelum keputusan AS dan diumumkan pada bulan Maret. Saat itu, al-Othaimeen mengadakan pembicaraan dengan Islamic Development Bank (IDB) dan Liga Arab untuk tujuan membentuk dana abadi permanen. 




Credit  sindonews.com



Tak Peduli Sanksi AS, Turki Lanjutkan Kerjasama dengan Iran


Tak Peduli Sanksi AS, Turki Lanjutkan Kerjasama dengan Iran
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa Ankara akan terus bekerja sama dengan Teheran, meski adanya sanksi dari Amerika Serikat terhadap Iran. Foto/Istimewa

ANKARA - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa Ankara akan terus bekerja sama dengan Teheran, meski adanya sanksi dari Amerika Serikat (AS) terhadap Iran. Dia juga menyebut bahwa Turki tidak mendukung keputusan AS tentang sanksi.

"Penarikan AS dari kesepakatan nuklir tidak dianggap sebagai keputusan yang tepat. Keputusan ini meningkatkan risiko situasi di wilayah tersebut, kami tidak mendukungnya. Kami akan terus dekat dengan Iran pada saat keputusan yang tidak adil sedang terjadi, menentangnya," kata Erdogan, seperti dilansir Sputnik pada Kamis (20/12).

Dia lalu mengatakan bahwa tujuan Turki dan Iran adalah untuk meningkatkan perputaran perdagangan dari USD 11 miliar menjadi USD 30 miliar. "Kami memiliki kerja sama yang baik di bidang keamanan, dan kami tidak akan membiarkannya putus," ungkapnya.

Seperti diketahui, AS mengembalikan sanksi terhadap Iran menyusul penarikan negara itu dari Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) atau perjanjian nuklir Iran, pada bulan Mei.

Putaran pertama sanksi diberlakukan pada bulan Agustus, diikuti oleh putaran kedua pada 5 November. Sasaran sanksi tidak hanya ekonomi Iran tetapi juga orang-orang dan entitas yang terus melakukan bisnis dengan Iran.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo kemarin menyatakan bahwa administrasi Trump akan terus membangun koalisi negara-negara yang fokus pada melawan kegiatan ilegal Iran. 



Credit  sindonews.com




Pihak berperang di Yaman saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata


Pihak berperang di Yaman saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata
Seorang ibu menggendong anaknya yang menderita gizi buruk di sebuah pusat pemberian makanan di rumah sakit al-Sabyeen, Sanaa, Jumat (20/7). Satu juta anak-anak Yaman menderita gizi buruk akut dalam beberapa bulan sementara keluarga berjuang untuk membeli makanan di salah satu negeri Arab termiskin di dunia, menurut Program Pangan Dunia PBB. Kekacauan politik memaksa Yaman berada dalam krisis kemanusiaan dan lembaga bantuan memperkirakana setengah dari 24 juta penduduknya mengalami gizi buruk. (REUTERS/Bill Ingalls/NASA/Hand)



Aden (CB) - Pihak-pihak yang bertempur di Yaman menyalahkan satu sama lain atas pelanggaran terhadap gencatan senjata yang ditengahi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Hudaidah yang dimaksudkan untuk menghindari pertempuran habis-habisan merebut kota pelabuhan Hudaidah yang vital bagi pasokan bantuan.

Selain itu gencatan senjata tersebut bertujuan memuluskan jalan bagi perundingan-perundingan perdamaian.

Warga masyarakat melaporkan gempuran pada Selasa malam, hari pertama gencatan senjata, selama satu jam di pinggiran bagian selatan dan timur kota Laut Merah yang dikuasai Houthi itu, urat nadi bagi jutaan orang yang berrisiko terpapar kelaparan. Suasana kembali tenang pada Rabu, demikian Reuters melaporkan.

Tetapi satu sumber di koalisi pimpinan Saudi, yang berperang melawan Houthi sekutu dengan Iran, mengatakan kepada Reuters bahwa jika para pemantau internasional tidak ditempatkan di Hudaidah segera, perjanjian yang sudah dicapai dalam proses pembangunan kepercayaan dan ditengahi PBB itu dapat membuat bimbang.

PBB dijadwalkan mengadakan konferensi melalui tautan video pada Rabu dengan mengikutsertakan pihak Houthi dan pemerintah Yaman guna membahas penarikan tentara dari Hudaidah dan tiga pelabuhan berdasarkan perjanjian perdamaian yang disepakati dalam pembicaraan di Swedia pekan lalu, perundingan pertama dalam lebih dua tahun.


TV al-Masirah yang dikelola Houthi menuding pasukan koalisi melancarkan serangan atas beberapa tempat di Hudaidah, termasuk kawasan-kawasan di sebelah timur bandar udara. Kantor berita Uni Emirat Arab WAM yang mengutip sumber Yaman melaporkan, pihak Houthi melancarkan serangan bom mortir dan roket terhadap Rumah Sakit 22 Mei di bagian timur kota itu.

"Kami akan terus memberi mereka (pihak Houthi) manfaat dari keraguan dan menunjukkan tahan diri, tetapi inidikator-indikator awal tak menjanjikan," kata sumber koalisi itu yang tak bersedia disebut namanya.

"Kalau PBB ... terlalu lama untuk masuk ke arena itu, mereka akan kehilangan peluang dan perjanjian Stockholm akan berfungsi."

Tiga warga di Sanaa, ibu kota Yaman, mengatakan kepada Reuters bahwa koalisi melancarkan serangan-serangan udara atas pangkalan udara al-Dulaimi dekat bandar udara Sanaa pada Rabu.

Houthi menggulingkan pemerintah yang diakui internasional pada tahun 2014.

Berdasarkan perjanjian gencatan senjata, yang hanya mencakup Hudaidah, para pemantau internasional akan ditempatkan di kota itu dan pelabuhan dengan seluruh pasukan bersenjata ditarik dalam kurun waktu 21 hari gencatan senjata.



Credit  antaranews.com




Eks Tentara Bayaran AS Dibui Atas Pembantaian di Baghdad


Eks Tentara Bayaran AS Dibui Atas Pembantaian di Baghdad
Ilustrasi. (Pixabay/Succo)


Jakarta, CB -- Seorang mantan penjaga keamanan di kontraktor keamanan Amerika Serikat, Blackwater, dinyatakan dijatuhi hukuman bui seumur hidup atas perannya dalam pembantaian warga sipil tak bersenjata di kota Baghdad, Irak, 11 tahun lalu.

Tersangka, Nicholas Slatten, divonis atas pembunuhan tingkat pertama oleh juri federal di Washington pada Rabu (19/12), setelah lima hari musyawarah.

Slatten dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti membunuh Ahmed Haithem Ahmed Al Rubia'y, seorang calon dokter berusia 19 tahun.



Ia merupakan salah satu dari belasan warga sipil yang tewas dibunuh penjaga Blackwater di alun-alun Nisour, Baghdad, pada 16 September 2007.


Penjaga Blackwater meluncurkan tembakan dengan senapan ke arah massa ketika mereka sedang mengawal konvoi diplomatik.

Serangan yang diduga dilakukan tanpa provokasi itu menelan setidaknya 14 nyawa warga sipil dan 18 korban lainnya terluka.

Kantor pengacara AS menghadirkan 34 saksi dalam persidangan kasus tersebut, termasuk empat orang dari Irak.



Menurut bukti pemerintah, Slatten adalah pelaku yang pertama kali melepaskan tembakan ke arah massa.

Slatten hanya salah satu dari empat penjaga Blackwater dalam kasus tersebut yang divonis hukuman penjara. Tiga penjaga lainnya divonis hukuman penjara 30 tahun pada 2014 lalu.

Namun, pengadilan banding telah memerintahkan agar tiga penjaga Blackwater lainnya diberi ganjaran serupa. Saat ini, mereka masih dalam tahanan menunggu vonis kembali.

Penembakan ini dianggap memperdalam kebencian warga Irak terhadap AS setelah Washington menggulingkan diktator Saddam Hussein empat tahun sebelumnya.




Credit  cnnindonesia.com






Prancis dan Amerika Bahas Tahapan Penarikan Pasukan dari Suriah


Kendaraan militer AS melintas di utara Manbij di Provinsi Aleppo, Suriah, 9 Maret 2017. [REUTERS/Rodi Said]
Kendaraan militer AS melintas di utara Manbij di Provinsi Aleppo, Suriah, 9 Maret 2017. [REUTERS/Rodi Said]

CBParis – Prancis dan negara sekutu yang berperang melawan kelompok ISIS sedang mendiskusikan urutan waktu dan kondisi penarikan pasukan militer Amerika Serikat dari Suriah.

Washington dinilai perlu mempertimbangkan stabilitas di wilayah ini untuk menghindari krisis humanitarian baru.
“Kami dan negara mitra dari koalisi internasional sedang bicara dengan Washington mengenai waktu dan kondisi implementasi dari keputusan AS untuk menarik pasukan,” begitu pernyataan kementerian Luar Negeri Prancis, Kamis, 20 Desember 2018.


Prancis bakal secara berhati-hati mengamankan semua mitra AS termasuk pasukan Suriah Demokratis. “Perlindungan populasi dari wilayah timur laut Suriah dan stabilitas kawasan ini harus dipikirkan oleh AS untuk menghindari drama kemanusiaan dan munculnya kembali kelompok teroris,” begitu pernyataan dari kemenlu Prancis.
Menurut seorang pejabat AS, sejumlah pejabat memberikan masukan kepada Trump untuk tidak menarik pasukan dari Suriah. Namun, Trump membuat keputusan dramatis pada pekan ini untuk menarik pasukan AS untuk memenuhi janji kampanye Presiden. Pada kampanye Presiden 2016, Trump berjanji untuk membatasi keterlibatan militer AS di luar negeri.


 
Keputusan Trump untuk menarik pasukan dari Suriah ini mengingatkan publik pada keputusannya yang lain untuk menarik diri dari kesepakatan perubahan iklim Paris, dan perjanjian nuklir Iran.
Menurut dua pejabat, Trump kerap bertanya apa yang dilakukan pasukan AS di Suriah. “Apa yang kita lakukan di sana? Saya tahu kita di sana untuk melawan ISIS, tapi kita telah melakukannya. Sekarang apa?” kata bekas pejabat seperti dilansir Reuters.
Trump memahami tapi menolak penjelasan dari penasehat senior AS bahwa pasukan berada di sana bukan di garis terdepan dan jumlahnya hanya 2000 orang. Pasukan ada disana, kata penasehat, untuk memperkuat pasukan lokal anti-ISIS.


 
Namun, Trump mengatakan dia menginginkan pasukan keluar dari Kota Raqqa dan basis ISIS lainnya begitu wilayah itu berhasil dikuasai.
Pejabat ini mengatakan keputusan Trump itu dianggap di Pentagon sebagai menguntungkan Rusia dan Iran, yang menggunakan dukungan kepada Suriah untuk memperkuat pengaruh di kawasan itu. Iran juga meningkatkan kemampuannya mengirim senjata ke Hizbullah di Lebanon untuk melawan Israel.
Saat ditanya siapa yang diuntungkan dari keputusan Trump ini, pejabat ini menjawab,”Rusia diuntungkan secara geopolitik, dan Iran secara regional.”
Seorang sumber lainnya dari militer AS mengatakan secara anonim bahwa perintah Trump untuk menarik pasukan dari Suriah mengejutkan para komandan di lapangan.




Credit  tempo.co




Lindungi Kurdi, Prancis Pertahankan Militernya di Suriah


Lindungi Kurdi, Prancis Pertahankan Militernya di Suriah
Prancis akan mempertahankan keberadaan militernya di Suriah pasca AS menarik diri dari negara yang dilanda perang saudara itu. Foto/Istimewa

PARIS - Prancis akan mencoba untuk memastikan keamanan Kurdi Suriah yang menjadi sekutu Amerika Serikat (AS) guna menghancurkan Negara Islam (ISIS). Demikian janji yang dilontarkan seorang diplomat Prancis setelah AS menarik diri dari Suriah.

"Dalam beberapa minggu mendatang, Prancis akan berusaha untuk memastikan keamanan semua mitra AS, termasuk Pasukan Demokrat Suriah (SDF)," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Agnes Von der Muhll, seperti dikutip dari Washington Examiner, Jumat (21/12/2018).

SDF didominasi oleh Kurdi Suriah di bagian timur laut negara itu, yang memberikan kekuatan darat lokal yang paling efektif untuk kampanye merebut kembali wilayah yang dimiliki oleh ISIS. Kerja sama itu membuat marah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang khawatir bahwa kelompok itu akan bergabung dengan Turki Kurdi dan mencoba untuk membentuk negara baru. Keputusan Presiden Trump untuk keluar dari negara itu membuka jalan bagi Turki untuk menyerang mantan mitra AS itu.

"Amerika Serikat harus mengambil perlindungan populasi Suriah timur laut dan stabilitas daerah ini menjadi pertimbangan untuk menghindari tragedi kemanusiaan lebih lanjut dan kembalinya para teroris," kata diplomat Prancis itu.

Erdogan telah mengancam untuk memperbarui serangan terhadap Kurdi Suriah, menarik peringatan dari Amerika Serikat pekan lalu.

"Tindakan militer sepihak ke Suriah timur laut oleh pihak manapun, terutama karena personel AS mungkin ada atau di sekitarnya, adalah keprihatinan serius," kata Departemen Luar Negeri AS dan Pentagon kepada Kurdistan 24.

"Kami akan menganggap tindakan seperti itu tidak dapat diterima," imbuhnya.

Keputusan tak terduga untuk mengakhiri operasi Amerika di Suriah akan menghilangkan penghalang militer AS. Dan Kurdi Suriah menuju ke Paris pada hari Jumat untuk mendapat dukungan.

"Dua wakil ketua Dewan Demokrasi Suriah (MSD) Riad Darar dan Ilham Ahmed diharapkan tiba di Paris," kata Khaled Issa, juru bicara kelompok itu, sebagaimana dikutip oleh Harian Turki Daily Sabah. 


Credit  sindonews.com



Oposisi Suriah: Penarikan Mundur Pasukan Kekalahan AS atas Rusia


Oposisi Suriah: Penarikan Mundur Pasukan Kekalahan AS atas Rusia
Riad Darar, salah satu ketua Dewan Demokrat Suriah, mengatakan, penarikan pasukan AS) dari Suriah akan mengorbankan kehadiran masa depan mereka di Timur Tengah. Foto/Istimewa

DAMASKUS - Riad Darar, salah satu ketua Dewan Demokrat Suriah, mengatakan, penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Suriah akan mengorbankan kehadiran masa depan mereka di Timur Tengah. Pemimpin badan politik oposisi Suriah itu menyebut, penarikan ini juga menunjukan bahwa AS telah kalah dari Rusia, Iran dan Turki di Suriah. 

"Penarikan mereka akan mengorbankan kehadiran masa depan mereka di Timur Tengah, dan mereka akan menyatakan kerugian mereka di hadapan pakta yang terdiri dari Turki, Rusia dan Iran," kata Darar, merujuk pada kesepakatan antara tiga negara itu mengenai proses politik di Suriah.

“Amerika awalnya datang untuk menghadapi ISIS di wilayah tersebut, kemudian mereka mulai meningkatkan sikap terkait dengan Iran dan solusi politik di Suriah. Bagaimanapun, solusi politik di negara itu tidak akan terjadi segera, karena proses damai belum dimulai menurut saya," sambungnya, seperti dilansir Al Arabiya pada Kamis (20/12).

Dia lalu mengatakan bahwa konflik tidak lagi di antara warga Suriah, tetapi telah menjadi konflik internasional, dimulai dengan intervensi Turki di beberapa wilayah Suriah, kemudian Rusia dan juga Iran.

Darar juga melihat bahwa pernyataan Washington baru-baru ini tidak memiliki perhitungan strategis yang jelas, menyatakan keyakinannya bahwa Rusia adalah satu-satunya yang tahu apa yang diinginkannya.

Mengenai operasi Turki di sebelah timur Sungai Efrat, Darar menyatakan ketakutannya akan kemungkinan intervensi Turki dengan meluncurkan serangan darat di sebelah timur Sungai Efrat, yang merupakan basis dari Pasukan Demokrat Suriah, yang didominasi pasukan Kurdi.

“Ketakutan itu wajar karena menghadapi tentara yang kuat seperti Turki tidak mudah, tetapi membela tanah air kita adalah tanggung jawab. Inilah mengapa kami telah berbicara kepada rezim Suriah untuk memikul tanggung jawabnya jika masih menganggap dirinya sebagai wakil dari Suriah. Kami terlalu sibuk di tahap sebelumnya dengan menghadapi ISIS bahwa kami tidak berpikir untuk membela atau melindungi perbatasan karena kami tidak berpikir untuk memerangi Turki, tetapi sekarang menyerang kami dan kami sedang mempersiapkan diri untuk mempertahankan wilayah kami," tambahnya. 



Credit  sindonews.com