Foto: Shohib Masykur
Washington DC (CB) - Marsekal (Purn) Chappy Hakim masih tampak gagah
di usia 68 tahun. Bersama sang istri, mantan Kepala Staf TNI Angkatan
Udara (KSAU) periode 2002-2005 itu berbincang santai dengan detikcom di
sebuah restoran di belakang kantor KBRI Washington DC.
Di ibu
kota Amerika Serikat itu, Chappy baru saja menjalankan sebuah misi
sederhana tapi sarat makna: menyerahkan sebuah buku ke US Library of
Congress (LOS).
"Saya menyerahkan buku itu ke Library of
Congress karena dua alasan. Pertama, LOS tidak sembarangan menerima
buku, dan hanya buku yang mereka nilai layak saja yang mereka terima.
Kedua, buku yang disimpan oleh LOS akan terawat baik dan bisa menjadi
rujukan bagi generasi yang akan datang, bahkan seandainya di tempat lain
buku tersebut sudah tidak bisa ditemukan," kata Chappy, Jumat
(9/10/2015) .
"Kepak Sayap the 60 Taloans: Sebuah Kilas Balik,"
demikian judul buku tersebut. Sebagaimana judulnya, buku itu berisi
kilas balik perjalanan 60 pilot Indonesia semasa menjalani pelatihan di
AS tahun 1950-1952. Sebagian besar isinya berupa foto-foto, dengan
selipan narasi di sana-sini.
Cukup
mengesankan bahwa dokumentasi berupa foto-foto peristiwa yang sudah 65
tahun berselang itu masih tersimpan rapi dan lumayan lengkap. Di buku
itu dikisahkan bahwa pada bulan November 1950, sebanyak 60 pemuda
Indonesia dikirim oleh Angkatan Udara ke AS untuk menjalani pelatihan
sebagai pilot. Sekolah tempat mereka berlatih adalah TALOA Acedemy of
Aeronautics yang berlokasi di Bakersfield, California. TALOA sendiri
merupakan singkatan dari Transocean Air Lines Oakland Airport.
Meski
dikirim oleh militer, banyak dari mereka yang berlatar belakang sipil.
Waktu itu baru setahun Indonesia diakui kemerdekaannya oleh Belanda
lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) bulan Desember 1949. Republik yang
masih muda mewarisi kurang lebih 100 pesawat dari Belanda bekas Perang
Dunia II, namun minim sumber daya manusia yang bisa mengoperasikan.
Sebelumnya sudah pernah dilakukan pendidikan angkatan ke-2 Angkatan
Udara Repulik Indonesia (AURI) yang menghasilkan 20 penerbang, namun
mayoritas mereka hanya tersebar di Jawa dan Sumatera. Sementara angkatan
sebelumnya disibukkan dengan upaya membuka pangkalan udara dan jaringan
penerbangan baru.
Guna
mengatasi kekurangan personel tersebut, Kementerian Pertahanan RI
membuka pendaftaran untuk calon pilot lewat pengumuman tertanggal 25
Juli 1950. Antusiasme publik ternyata amat tinggi, dan ratusan pemuda
mendaftar. Setelah diseleksi lewat ujian tertulis ilmu pasti, ilmu alam,
bahasa Inggris, tes kesehatan, dan wawancara, terpilihlah 60 orang
kadet (calon penerbang) yang selanjutnya dikirim ke AS untuk menjalani
pelatihan.
Sebagai sebuah catatan tentang memori, buku itu tidak
lepas dari kesan personal dan nostalgis. Misalnya, beberapa paragraf di
hal. 16 dan 17 merekam reaksi para kadet yang membandingkan kondisi
mereka di Amerika dengan di Indonesia.
"Di sini to tempat tinggal
kita? Beda ya dari asrama AURI di Kalijati, Andir atau Cililitan yang
bekas tangsi tentara Belanda. Waduh...WC-nya banyak lho. Tapi, pintunya
Cuma separo! Ya, itu untuk men-cek...kalau kamu nongkrong pasti akan
ketahuan!"
"Dan tempat mandinya pakai douche (shower)! Lha, pintunya mana? Alaaa, semua laki-laki kan, masak diributkan."
"Wah,
landasannya luas sekali ya, dan seluruhnya dibeton. Tetapi runaway-nya
tiga, tidak seperti di Kalijati, Andir atau Cililitan yang hanya satu
jalur. Malahan yang di Kalijati permukaannya rumput!"
"Aneh ya, sini kan Amerika, kok kita tidak pernah lihat snow? Ini California...the land of sunshine, monyong!"
Nama-nama
orang Indonesia cukup menyulitkan bagi lidah Amerika. Maka para kadet
itu dituntut mempunyai nama panggilan yang mudah diucapkan oleh para
pelatih mereka. Sebagian menggunakan nama pendeknya untuk panggilan,
seperti Alam untuk A.R. Alamsjah dan Baldy untuk Baldy Bachran. Sebagian
lagi menggunakan nama panggilan yang berbau-bau Barat untuk nama asli
mereka yang khas Indonesia. Misalnya, Andoko dipanggil Andy, Soeroso
dipanggil Bob, J.E. Najoan dipanggil John, Slamet dipanggil Slammy,
Iskandar dipanggil Sandy, dan sebagainya.
Saleh Basarah, salah
seorang kadet, menulis dalam memoirnya yang dikutip di buku tersebut.
"Nama panggilan itu begitu melekat pada diri kami dan menjadikan kami
akrab seperti saudara. Sampai usia lanjut pun, setelah pensiun, dalam
bersilaturahmi kami selalu memanggil dengan nama panggilan itu. Saling
menghormati dan tanpa jarak," tulisnya.
Selama pelatihan, suasana
hangat terbangun bukan saja di antara para kadet, tetapi juga antara
kadet dengan "induk semang" mereka, yaitu Bill Rea dan istrinya, Lillian
Rea. Saat itu Bill dan Lillian adalah pasangan yang baru menikah.
Secara suka rela Bill menawarkan diri menjadi Social Director dari
program tersebut. Di mata para kadet, Bill dan Lillian ibarat orang tua
asuh.
Merekalah
yang mengorganisir kegiatan sosial anak-anak muda Indonesia itu,
seperti misalnya mempertemukan mereka dengan keluarga-keluarga Amerika
supaya mereka bergaul sekaligus mengasah kemampuan bahasa Inggris.
"Karena
peran Bill dan Illian inilah, ke-60 kadet itu betah dan senang selama
hidup di sana. Di sekolah mereka terjamin semua kebutuhannya, bahkan
menerima uang saku setiap bulan, dan di luar sekolah kehidupan sosial
mereka betul-betul menyenangkan dan penuh dinamika positif yang pada
gilirannya sangat berguna bagi hidup mereka selanjutnya" (hal. 19).
Setelah
menyelesaikan pendidikan selama kurang lebih setahun, 40 kadet akhirnya
dipulangkan ke Indonesia, sementara 20 yang lain melanjutkan selama 6
bulan untuk dilatih menjadi instruktur penerbangan. Kepulangan mereka
dibagi ke dalam beberapa rombongan secara bertahap. Hal ini untuk
mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
kecelakaan pesawat, sehingga kecil kemungkinan ke-60 kadet itu meninggal
di saat yang bersamaan.
Bulan Juli 1952, semua kadet telah
kembali ke Indonesia. Selanjutnya mereka menjalani profesi yang
berbeda-beda; ada yang berkarir di militer dan ada pula yang memilih
jalur penerbangan sipil dan bekejra di sektor swasta. Tiga di antara
mereka berhasil menduduki jabatan Kepala Staf di militer, dan beberapa
menjadi duta besar. Apapun jalur karir yang mereka ambil sesudahnya,
ke-60 orang itu merupakan cikal bakal pilot yang berjasa mengembangkan
dunia kedirgantaraan Indonesia.
Karena persahabatan erat yang
terjalin di sana, para kadet itu terus menjaga keakraban hingga tua.
Saat ini tinggal dua orang dari 60 kadet itu yang masih hidup, yaitu
Steve Kristedja yang bermukim di California dan hapid Prawira Adiningrat
yang tinggal di Tangerang. Tali silaturahmi itu diteruskan oleh anak
cucu mereka, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menyusun buku
tentang kilas balik perjalanan "the Taloans" atau para alumni TALOA.
Buku itu diterbitkan bulan Agusuts 2015, dengan pengantar menyentuh dari
Lilian yang telah berusia 94 tahun.
"Ketika saya menulis ini,
saya sadar bahwa hanya segelintir dari 60 orang itu yang masih hidup.
Sekarang generasi baru yang merupakan anak-anak mereka mencatat sejarah
Angkatan Udara untuk cucu-cucu mereka yang tak pernah mereka jumpai.
Saya berdoa untuk anak-anak mereka, dan saya mengingat mereka dengan
cinta abadi," tulis Lillian.
Credit
Detiknews