Presiden Filipina tak segan mengebom
Marawi guna membunuh teroris di sana yang telah menyebabkan ratusan
warga dan militernya yang tewas dalam bentrokan. (Foto: AFP Photo/Ted
Aljibe)
Jakarta, CB --
Presiden Filipina Rodrigo Duterte menginginkan
seluruh teroris di Marawi, Mindanao, mati dan menolak damai dengan
kelompok militan Maute yang tengah berseteru dengan pasukannya di bagian
selatan negara itu dan telah memakan ratusan korban jiwa termasuk warga
sipil dan tentara.
Duterte mengatakan, dirinya bahkan telah memerintahkan para pasukan militer untuk menembak mati musuh-musuhnya itu.
"Saya tidak akan berbicara pada kalian. Apa pun yang pemimpin kelompok militan itu katakan, saya tak peduli. Saya telah memerintahkan [militer] untuk membawa [potongan] kepala para militan brengsek itu," kata Duterte dalam sebuah pidato di markas angkatan udara Machtan-benito, Cebu, Senin (5/6).
Bentrokan di Marawi pecah setelah ratusan pemberontak Maute mengamuk sejak akhir Mei lalu, menyusul gagalnya operasi penangkapan pemimpin Abu Sayyaf Isnilon Hapilon.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun menetapkan darurat militer di sekitar wilayah Pulau Mindanao. Pertempuran selama hampir dua pekan ini setidaknya telah menewaskan 178 orang termasuk 38 warga sipil.
Per tanggal 2 Juni, tim darurat Pulau Mindanao melaporkan telah ada sekitar 221 ribu warga sipil yang mengungsi keluar dari Marawi. Sekitar 51 ribu orang berada di pusat evakuasi sementara 163 ribu lainnya tinggal dengan sanak keluarga di luar wilayah bermayoritaskan umat Muslim itu.
Duterte berjanji bahwa bentrokan ini akan berakhir dalam beberapa hari ke depan. Dia bahkan mengklaim bisa mengakhiri pertikaian di Marawi hanya dalam beberapa jam menggunakan bom.
Namun, dia tak melakukan itu karena khawatir pengeboman hanya akan menambah jumlah warga sipil yang menjadi korban.
"Saya bisa mengakhiri perang ini dalam 24 jam. Yang harus saya lakukan hanya tinggal mengebom seluruh tempat itu," kata Duterte seperti dilansir The Inquirer.
Serangan udara terhadap teroris terus digempurkan pemerintah pada Minggu (4/6) di Marawi, meskipun gencatan senjata sempat diberlakukan selama empat jam untuk mengevakuasi warga sipil yang terjebak di tengah konflik.
Evakuasi yang dilakukan pemerintah dengan bantuan lima anggota pemberontak Moro Islamic Liberation Front (MILF) itu akhirnya hanya berhasil mengeluarkan sedikitnya 100 orang dari sekitar 2.000 warga sipil yang masih terjebak di Marawi.
"Kami hanya dapat mengevakuasi 134 anak, pria, wanita, orang tua, dan warga yang sakit," ucap Asisten Penasihat Presiden untuk urusan Proses Perdamaian Dickson Hermoso.
Juru bicara komite manajemen krisis provinsi Zia Alonto Adiong, mengatakan pada AFP bahwa tim penyelamat hanya memiliki akses pada dearah tertentu yang dikuasai militan dan melarang mereka masuk ke pusat kota.
“Kami merasa kecewa dan dikhianati. Kita berbicara soal nyawa orang di sini!” kata Adiong. “Masih ada 2000 orang yang butuh pertolongan segera setelah 13 hari tanpa makanan.”
Seorang lansia bahkan dilaporkan tewas saat tim penyelamat tengah berupaya mengevakuasi sekelompok warga sipil keluar zona konflik. Lansia itu tewas di tangan penembak jitu di Baranggay Banggolo, wilayah yang dikuasai militan Maute.
Tidak berapa lama, bentrokan kembali pecah. Tim evakuasi dilaporkan mendengar baku tembak dan ledakan yang membuat para penyelamat harus mundur ke zona aman dan menghambat proses evakuasi.
Duterte mengatakan, dirinya bahkan telah memerintahkan para pasukan militer untuk menembak mati musuh-musuhnya itu.
"Saya tidak akan berbicara pada kalian. Apa pun yang pemimpin kelompok militan itu katakan, saya tak peduli. Saya telah memerintahkan [militer] untuk membawa [potongan] kepala para militan brengsek itu," kata Duterte dalam sebuah pidato di markas angkatan udara Machtan-benito, Cebu, Senin (5/6).
Bentrokan di Marawi pecah setelah ratusan pemberontak Maute mengamuk sejak akhir Mei lalu, menyusul gagalnya operasi penangkapan pemimpin Abu Sayyaf Isnilon Hapilon.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun menetapkan darurat militer di sekitar wilayah Pulau Mindanao. Pertempuran selama hampir dua pekan ini setidaknya telah menewaskan 178 orang termasuk 38 warga sipil.
Per tanggal 2 Juni, tim darurat Pulau Mindanao melaporkan telah ada sekitar 221 ribu warga sipil yang mengungsi keluar dari Marawi. Sekitar 51 ribu orang berada di pusat evakuasi sementara 163 ribu lainnya tinggal dengan sanak keluarga di luar wilayah bermayoritaskan umat Muslim itu.
Duterte berjanji bahwa bentrokan ini akan berakhir dalam beberapa hari ke depan. Dia bahkan mengklaim bisa mengakhiri pertikaian di Marawi hanya dalam beberapa jam menggunakan bom.
Namun, dia tak melakukan itu karena khawatir pengeboman hanya akan menambah jumlah warga sipil yang menjadi korban.
"Saya bisa mengakhiri perang ini dalam 24 jam. Yang harus saya lakukan hanya tinggal mengebom seluruh tempat itu," kata Duterte seperti dilansir The Inquirer.
Serangan udara terhadap teroris terus digempurkan pemerintah pada Minggu (4/6) di Marawi, meskipun gencatan senjata sempat diberlakukan selama empat jam untuk mengevakuasi warga sipil yang terjebak di tengah konflik.
Evakuasi yang dilakukan pemerintah dengan bantuan lima anggota pemberontak Moro Islamic Liberation Front (MILF) itu akhirnya hanya berhasil mengeluarkan sedikitnya 100 orang dari sekitar 2.000 warga sipil yang masih terjebak di Marawi.
"Kami hanya dapat mengevakuasi 134 anak, pria, wanita, orang tua, dan warga yang sakit," ucap Asisten Penasihat Presiden untuk urusan Proses Perdamaian Dickson Hermoso.
Juru bicara komite manajemen krisis provinsi Zia Alonto Adiong, mengatakan pada AFP bahwa tim penyelamat hanya memiliki akses pada dearah tertentu yang dikuasai militan dan melarang mereka masuk ke pusat kota.
“Kami merasa kecewa dan dikhianati. Kita berbicara soal nyawa orang di sini!” kata Adiong. “Masih ada 2000 orang yang butuh pertolongan segera setelah 13 hari tanpa makanan.”
Seorang lansia bahkan dilaporkan tewas saat tim penyelamat tengah berupaya mengevakuasi sekelompok warga sipil keluar zona konflik. Lansia itu tewas di tangan penembak jitu di Baranggay Banggolo, wilayah yang dikuasai militan Maute.
Tidak berapa lama, bentrokan kembali pecah. Tim evakuasi dilaporkan mendengar baku tembak dan ledakan yang membuat para penyelamat harus mundur ke zona aman dan menghambat proses evakuasi.
Credit CNN Indonesia