Jakarta (CB) - Perkembangan teknologi
antariksa dan penerbangan di dunia sangat pesat. Umumnya penguasaan dan
pengembangan teknologi didominasi oleh negara maju.
Ternyata
ilmuwan Indonesia bisa berkontribusi untuk pengembangan teknologi di
dunia antariksa dan penerbangan modern meskipun perjalanannya tidak
sekencang negara maju.
Melalui wadah Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN), para peneliti hingga insinyur mampu
melahirkan purwarupa atau prototype produk teknologi canggih.
Produk
riset yang ditemukan seperti roket pendorong satelit, pesawat komersial
dan tanpa awak, hingga satelit untuk telekomunikasi dan penginderaan
jarak jauh.
Berikut ini, konsep atau produk pengembangan
teknologi keantariksaan dan kedirgantaraan yang akan, sedang atau sudah
dikembangkan, seperti dirangkum
detikFinance, Kamis (11/12/2014).
Pesawat N219
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
bersama PT Dirgantara Indonesia (Persero) merancang pesawat berbadan
ringan dan lincah, N219. Pesawat yang akan disertifikasi pada tahun 2016
ini
Untuk mensukseskan program N219, pemerintah akan membantu
pembiayaan pengembangan purwarupa hingga sertifikasi pesawat. Alasannya
anggaran tersebut sangat tinggi jika ditanggung badan usaha. Pemerintah
saat ini mengucuri dana Rp 400 miliar untuk membuat prototype pesawat
penumpang N219.
Pengembangan N219 tidak berhenti pada pesawat
kecil atau light aircraft. Nantinya kemampuan N219 akan ditingkatkan
atau dikembangkan untuk menjadi pesawat amphibi. Artinya armada N219 ke
depan bisa mendarat tidak hanya di ladasan tanah melainkan di atas air,
seperti: sungai hingga laut. Pesawat tipe ini diklaim yang pertama kali
dirancang oleh insinyur RI.
“N219 saat sertifikasi, maka pesawat
N219 amphibi mulai dikembangkan. Kita pararel. Nantinya ini yang pertama
kali kita kembangkan pesawat tipe amphibi,” kata Kepala Program Pesawat
Terbang LAPAN Agus Ariwibowo.
Konsep ‘burung besi’ yang bisa
mendarat di atas air ini sangat membantu percepatan pergerakan barang
dan orang, di tengah keterbatasan infrastruktur bandara. Pesawat amphibi
ini bisa menjangkau pulau-pulau eksotis Indonesia yang masih minim
infrastuktur.
“Kita punya banyak pantai yang jadi wilayah wisata
tapi nggak tersentuh maka dengan pesawat amphibi kita bisa tingkatkan
konektifitas,” ujarnya.
Pesawat Baling-Baling Jumbo 140 Penumpang
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
mengusulkan pengembangan pesawat komersial atau penumpang baling-baling
(propeller) terbesar di dunia. Pesawat yang bernama N2140 ini, nantinya
mampu membawa 144 penumpang.
“Kita dapat ide dari pesawat A400 M
yang memiliki baling-baling gede. Ini nggak masuk ke pasar jet. Kita
kembangkan pesawat yang cocok dengan kondisi Indonesia,” kata Kepala
Program Pesawat Terbang LAPAN Agus Aribowo.
A400 M merupakan
pesawat angkut militer atau cargo berbadan lebar yang diciptakan oleh
Airbus Military. Pengembangan N2140 nantinya akan memakai mesin
EuroProp. Ini merupakan mesin terbaru, setelah turboprop, untuk kelas
propeller. Meski bukan mesin jet, EuroProp memiliki kemampuan layaknya
mesin pesawat jet. Daya jangkau pesawat ini menyerupai daya jelajah
pesawat sekelas Boeing 737 hingga Airbus A320.
“EuroProp bisa
masuk transonic. Kalau Boeing (Boeing 737) kecepatan 0,78 mach
(kecepatan suara), kalau EuroProp 0,7 mach. Ini nggak beda jauh,”
jelasnya.
Keunggulan pesawat N2140 daripada pesawat bermesin jet,
sekelas Airbus 320 dan Boeing 737, ialah konsumsi bahan bakar. Pesawat
baling-baling ini hemat dalam pemakaian BBM sekitar 20% sampai 25%
daripada pesawat jet. Keunggulan sangat bermanfaat bagi maskapai
komersial karena selama ini menerima hantaman tingginya biaya avtur.
Pesawat Tanpa Awak atau UAV
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Republik Indonesia mengembangkan pesawat tanpa awak canggih atau
Unmanned Aerial Vihicle (UAV).
Program bernama LAPAN
Surveillance UAV sudah menghasilkan 5 jenis pesawat tanpa awak, yakni:
LSU 01, 02, 03,04, hingga 05. Pesawat tanpa awak ini bisa dipakai untuk
pemantauan daerah perbatasan, daerah bencana, daerah berbahaya, serta
misi terbang jarak jauh.
“Fungsi bisa dipakai pemantauan atau
surveillace seperti lahan pertanian, mitigasi bencana, maritim, tepi
pantai,” kata Kepala Bidang Teknologi Prokusi Puslitbang LAPAN, Bayu
Utama.
Varian terbaru pesawat tanpa awak drone ialah LSU 05.
Pesawat ini memiliki daya jelajah hingga 240 kilo meter dengan lama
terbang selama 8 jam dan mampu membawa beban 30 kilo gram. Pesawat ini
memakai bahan bakar tipe Pertamax.
Tidak hanya pesawat tanpa
awak, LAPAN juga mengembangkan pesawat mata-mata berawak. Program ini
bernama LAPAN Surveillance Aircraft (LSA). Program ini memanfaatkan
pesawat kecil berkpasitas 2 orang dan bermesin tunggal. Pesawat yang
memiliki bentang sayap 18 meter ini, didatangkan langsung dari Jerman
namun LAPAN memiliki kesempatan mempelajari pengembangan LSA untuk tahap
berikutnya. LAPAN mengirim 6 insinyurnya untuk belajar ke TU Berlin
Jerman sesuai perjanjian transfer of technology.
Pemanfaatan
pesawat UAV, kata Bayu, bisa dipakai untuk keperluan damai hingga
militer. Pesawat UAV bisa dilengkapi persenjataan. Tipe pesawat UAV
dinilai sangat aman untuk melakukan misi berbahaya karena tidak khawatir
ada korban luka karena tertembak. Sebab pesawat UAV dikendalikan dari
jarak jauh.
Satelit dan Roket
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Republik Indonesia memiliki program kerja jangka panjang pengembangan
satelit telekomunikasi hingga roket pembawa satelit. Program ini
terangkum dalam master plan selama 25 tahun ke depan. Untuk satelit,
LAPAN berencana meluncurkan satelit LAPAN A2 untuk pengideraan jarak
jauh. Ke depan, LAPAN ingin mengembangkan dan meluncurkan satelit
telekomunikasi secara mandiri.
“Sekarang kita realitis bikin
satelit satelit telekomunikasi dan satelit pengideraan jarak jauh,” kata
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin.
Thomas menyebut tentang
tantangan pendanaan untuk pengembangan satelit komunikasi. Setidaknya
secara hitungan kasar, sebuah satelit baru seharga Rp 3 triliun maka
biaya pengembangannya bisa mencapai Rp 6 triliun. Artinya Rp 3 triliun
untuk pembuatan satelit dan Rp 3 triliun untuk pembuatan fasilitasnya.
Namun dengan dibuat sendiri, ke depan kemandirian dan sisi ekonomis bisa
tercapai. Potensi kebutuhan satelit komunikasi sangat besar, apalagi
perusahaan Indonesia selalu membeli satelit dari luar negeri.
“Kita kembangkan satelit sendiri plus biaya kembangkan 2 kali dari harga. Tentu anggaran itu harga harus disiapkan,” jelasnya.
Tidak hanya satelit. LAPAN secara bertahap mengembangkan roket untuk pendorong satelit.
Credit
detikFinance