Wartawan Arab Saudi Jamal Khashoggi (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CB -- Sosiolog Turki Yasin Aktay, mengemukakan sejumlah alasan yang mungkin menjadi penyebab wartawan Jamal Khashoggi jadi target pembunuhan di konsulat Arab Saudi.
Aktay yang
juga menjadi penasihat partai berkuasa Turki, Partai Keadilan dan
Pembangun (AK) itu menyebut bahwa pemerintah Riyadh menganggap wartawan
Washington Post itu berpotensi untuk mengorganisasikan oposisi. Meski
demikian, ia tak pernah menganggap dirinya akan melakukan hal itu.
"Dari mana kecurigaan ini berasal?" tanya Aktay yang juga dikenal sebagai teman Khashoggi ini, kepada Anadolu, Rabu (24/10).
"Saya kira kecurigaan ini dibangun dari keparanoidan, kekuasaan, ketakutan pemerintah, dan kepengecutan."
Khashoggi berasal dari keluarga yang terpandang. Kakeknya adalah seorang
Turki, Muhammed Halit Kasikci. Sehingga keluarga itu merupakan satu
dari ribuan warga Saudi keturunan Turki. Nama Khashoggi sendiri dalam
bahasa Turki berarti pembuat sendok dan dieja sebagai 'Kasikci'. Dalam
satu setengah tahun terakhir, Khashoggi tinggal di Washington D.C
sebagai kolumnis untuk Washington Post.
Ia pun kerap terbang ke
Istanbul untuk mengikuti pertemuan dengan para ahli dan akademisi untuk
mendiskusikan solusi terhadap ketidaknyamanan atas dunia Islam
belakangan ini.
"Istanbul adalah pusat komunitas Islam yang
penting. Kebanyakan pertemuan Islam dunia saat ini diadakan di
Istanbul," lanjut politisi itu.
"Ia diundang ke pertemuan ini
nyaris tiap bulan. Dalam pertemuan dengan peserta yang berbeda-beda, dia
adalah salah satu yang pertama diingat untuk diundang.
Jamal Khashoggi kerap
diajak menjadi pembicara dan diundang ke acara diskusi terkait dunia
Islam (Middle East Monitor/Handout via REUTERS)
|
Terinspirasi 'Arab Spring'Harapan Khashoggi
tumbuh seiring dengan bertiupnya angin demokrasi dan kebebasan di era
Arab Spring pada 2011. Ia menulis artikel dan memberikan pidato tentang
era baru di Mesir, Libia, dan Yaman. Menurutnya dunia Islam bisa
mengatasi segala persoalannya lewat demokrasi. Terobosan demokrasi dan
pembangunan ekonomi di Turki membuatnya tertarik. Ia menyebut bahwa
Truki bisa menjadi contoh bagi dunia muslim.
"Tentu ia sadar
bahwa tidak ada model yang bisa ditransfer mentah-mentah begitu saja,
tapi inspirasi dan pengaruh Turki akan menggema disana. Sebagai contoh,
saat terjadi Arab Spring, ia yakin melihat analogi itu tengah
berkembang."
Tapi harapan Khashoggi tersendat di negara-negara di mana pemerintah Saudi terlibat.
"Selama
periode Arab Spring, ia mengambil sikap menentang negaranya sendiri.
Ide-ide oposisi ini tidak mengubahnya menjadi seorang pria yang bisa
dibungkam," kata Aktay.
Lebih lanjut Aktay, Khashoggi kecewa
dengan sikap Saudi yang dianggap memberi kontribusi negatif untuk
gerakan Arab Spring. Pemerintah Saudi lantas melihat wartawan ini
sebagai oposisi.
"Tapi ini baru terjadi dalam satu setengah
tahun terakhir. Sebelum itu, dia memiliki hubungan yang cukup baik
[dengan otoritas Saudi]," paparnya.
Aktay pun menegaskan bahwa Khashoggi tidak hendak menggulingkan kekuasaan kerajaan Saudi saat ini.
"Ia tidak mencari alternatif. Maksudku, dia tidak mencari dinasti atau
raja baru. Namun ia ingin negaranya untuk menjadi kerajaan yang lebih
demokratis dan pengaturan yang lebih baik seperti Inggris," tandasnya.
Sebelumnya, rekan Khashoggi di Amerika Serikat, Ali Al-Ahmed, juga
sempat mengemukakan hal serupa. Bahwa wartawan itu hanya menginginkan
kerajaan Saudi agar menerima dan mengembangkan diskusi. Bukan menekan
mereka dengan penangkapan dan pengejaran.
Meski demikian,
Al-Ahmed, penentang Saudi yang menjalankan studi di Washington, DC,
sendiri mengaku dirinya berpihak pada mereka yang menginginkan
perombakan total kerajaan monarki itu menjadi negara demokratis.
Percaya pada Saudi
Kasus ini dianggap bisa menodai kepercayaan publik terhadap kantor konsulat (Yasin AKGUL / AFP)
|
Aktay juga menggarisbawahi bahwa Khashoggi memiliki kepercayaan besar
terhadap negaranya dan Turki. Ia yakin bahwa Saudi tidak akan melakukan
kekejaman terhadap warganya sendiri, apalagi di gedung konsulatnya
sendiri.
"Dia terlalu yakin bahwa insiden semacam (pembunuhan)
itu tidak akan terjadi di Turki. Dia tahu bahwa tidak akan ada
penculikan semacam itu di Turki, yang memiliki negara hukum dan di mana
kekuatan polisi dan kemampuan mereka benar-benar baik. Dan tentu saja,
itu adalah konsulat. Dia sangat percaya seperti seorang manusia biasa.
Kepercayaan diri ini merusak."
Aktay pun menambahkan bahwa
insiden ini sangat mengerikan. Sebab, menurutnya hal ini bisa mengurangi
kepercayaan seseorang terhadap konsulat. Apalagi setiap orang di luar
negeri pada titik tertentu harus tetap berkunjung ke konsulat negara
mereka.
"Jika konsulat ini berubah menjadi tempat di mana orang dengan mudah
melakukan pembunuhan dan menutupinya, maka orang akan kehilangan
kepercayaan mereka," tandasnya.
Aktay juga menyayangkan sikap
Saudi yang dianggapnya telah mengeksekusi Khashoggi tanpa sebuah
kejahatan. Sebab, yang dilakukannya hanyalah menentang kerajaan tanpa
ada menggerakan pemberontakan.
Jamal juga keberatan dengan cara
Saudi yang melakukan sejumlah penangkapan dalam campur tangannya soal
Yaman. Meski awalnya ia mendukung campur tangan itu, namun penangkapan
tersebut bagi Khashoggi malah akan memperburuk kekerasan hak azasi
manusia di negara itu dan memperdalam konflik, bukan menyelesaikannya.
Credit
cnnindonesia.com