Indonesia kini hendak menggunakan pola
China: tangkap ikan di Laut Natuna, maka terbukti perairan tersebut
berada di bawah kuasa dan kendali Indonesia. (REUTERS/Tim Wimborne)
Jakarta, CB
--
Nelayan-nelayan China berperan penting sebagai
perpanjangan tangan pemerintah Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan.
Berlayar menyebar cukup jauh dari negaranya, mereka menebar jala di
perairan-perairan yang disebut China sebagai zona perikanan
tradisionalnya.
Zona perikanan tradisional yang diklaim China itu
kerap lebih dekat dengan negara-negara Asia Tenggara ketimbang China
sendiri, termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna yang
amat jauh dari China. Perairan di barat daya Kalimantan tersebut jadi
titik panas hubungan kedua negara beberapa bulan belakangan.
Staf
Ahli Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,
Laksda Surya Wiranto, meyakini kehadiran kapal-kapal China di Natuna
bukan sekadar soal menangkap ikan. Pun penangkapan ikan tanpa izin di
ZEE Indonesia melanggar hukum laut internasional, yakni
United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982.
“Itu bagian dari upaya
state practice untuk menunjukkan kepada dunia
positive occupation
China terhadap wilayah maritim di Laut China Selatan. Tiongkok berupaya
melakukan ekspansi ke wilayah berdaulat Indonesia. Jadi jika dibiarkan,
status quo, dan Indonesia diam, China akan mengokupasi (menguasai) perairan Natuna,” kata Surya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).
Kecurigaan Surya itu persis dengan yang pernah dikemukakan Zhang
Hongzhou, pakar di S. Rajaratnam School of International Studies,
Nanyang Technological University, Singapura. Menurutnya, seperti dikutip
dari
The Washington Post, Selasa (12/4), nelayan-nelayan digunakan pemerintah China untuk misi politik.
“Nelayan-nelayan
dan kapal mereka menjadi alat penting otoritas China untuk memperluas
kehadiran mereka, serta memperkuat klaim China atas perairan yang
dipersengketakan. Nelayan berperan kian penting, berada di garis depan
sengketa Laut China Selatan, dan karenanya insiden perikanan bisa memicu
ketegangan diplomatik lebih besar di antara China dan negara-negara
kawasan itu,” kata Zhang.
Armada nelayan China yang
bergentayangan hingga mendekati pantai negara-negara tetangganya,
membuat Negeri Tirai Bambu lebih sering terlibat konflik. Insiden di
Natuna yang membuat berang Indonesia misalnya, terjadi hanya beberapa
mil laut dari garis pantai Natuna, namun berjarak 900 mil laut dari
Hainan –wilayah paling selatan China.
Nine-dashed line,
peta yang dibuat China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan.
Perairan Natuna di Indonesia yang bahkan berjarak 900 mil laut dari
China, ikut dimasukkan dalam peta itu, memicu ketegangan antara kedua
negara. (CNN Indonesia/Fajrian)
|
Krisis meletup rutin di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya yang dimasukkan China ke dalam peta
nine-dashed line
buatannya, serta disebut sebagai zona perairan tradisionalnya. Tak
tanggung-tanggung, China mengklaim 90 persen wilayah Laut China Selatan
sebagai miliknya.
Selain dengan Indonesia, ketegangan juga
berkobar antara China dengan Malaysia dan Vietnam. Nelayan-nelayan China
yang mengembara jauh kerap dikawal oleh kapal penjaga pantai negaranya.
Ini termasuk salah satu hal yang dikeluhkan Indonesia pasca-insiden
terakhirnya dengan China di Natuna pada 17 Juni, saat kapal Han Tan Cou
ditangkap TNI Angkatan Laut karena menurunkan jaring di ZEE Indonesia.
“Kapal ikan China berbeda dengan negara lain karena di-
back up sama
coast guard-nya.
Kapal Vietnam misal tidak ada yang dikawal, dan kalau diperiksa tidak
melawan karena sadar salah (telah mengambil ikan di ZEE Indonesia).
Kapal China tidak begitu,” kata Asisten Operasi Panglima Komando Armada
Republik Indonesia Kawasan Barat, Kolonel Laut I Gusti Kompiang Aribawa.
Tak
pelak, China dituding sedang bersiasat untuk mengukuhkan dominasinya di
Laut China Selatan, termasuk dengan berekspansi atau memperluas wilayah
maritimnya.
Sebelum insiden ketiga dengan Indonesia pada 17 Juni, China juga punya
perkara nyaris serupa dengan Malaysia. Kantor berita Malaysia,
Bernama,
melaporkan 100 kapal China terdeteksi melanggar wilayah perairan
Malaysia di Laut China Selatan pada 25 Maret, di titik yang berjarak
kurang dari 100 mil laut dari Serawak di utara Kalimantan, dan 800 mil
laut dari Hainan.
Seperti di perairan Natuna, kapal-kapal ikan di
perairan Malaysia itu dikawal oleh kapal penjaga pantai China. Soal
kapal penjaga pantai China itu, Indonesia melalui Panglima Komando
Armada RI Kawasan Barat Laksamana Muda A Taufiq R, menyatakan curiga
kapal penjaga itu merupakan perpanjangan tangan resmi pemerintah China.
Enam
hari sebelumnya, 19 Maret, China baru terlibat insiden –yang kedua–
dengan Indonesia. Kala itu Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI yang hendak menangkap kapal Kway Fey yang
diduga mencuri ikan, diintervensi kapal penjaga pantai China dengan
menabrak Kway Fey.
Kecurigaan terhadap China memuncak karena awal
Maret itu, Vietnam menangkap kapal China yang disebut memasok bahan
bakar untuk kapal-kapal nelayan China di perairan Vietnam.
Tangkap ikan, kuasai lautThe Washington Post
yang menemui seorang nelayan China di pelabuhan perikanan Tanmen,
selatan Hainan, melaporkan betapa sisi ekonomi dan politik dari misi
Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan saling berkelindan.
“Itu
air kami. Tapi jika kami tidak menangkap ikan di sana, bagaimana kami
bisa mengklaim itu wilayah kami?” kata Chen Yuguo, kapten kapal nelayan
berusia 50 tahun yang baru kembali dari pelayarannya ke Kepulauan
Spratly, salah satu wilayah sengketa di Laut China Selatan.
Hasil
tangkapan ikan di Spratly, kata Chen, jauh lebih baik ketimbang di
perairan lepas pantai China. Kapal Chen dilengkapi sistem navigasi
satelit canggih yang menurutnya disediakan oleh pemerintah China.
Sistem
navigasi satelit yang diberikan cuma-cuma untuk sekitar 50 ribu kapal
itu membuat nelayan-nelayan China yang mengalami kesulitan di laut,
dapat dengan segera mengirim sinyal darurat ke kapal penjaga pantai
China. Sinyal itu menunjukkan lokasi persis keberadaan mereka.
Pemerintah
China memang murah hati kepada melayan-nelayan mereka. Selain
menyediakan sistem navigasi satelit, subsidi bahan bakar minyak
diberikan. Pun subsidi untuk membuat kapal pukat baja dengan ukuran
lebih besar.
Nelayan-nelayan di Hainan bahkan berkata, kala
ketegangan di Laut China Selatan sedang meningkat, pemerintah sering
mengirim mereka berlayar ke Spratly dengan pengawasan kapal penjaga
pantai China.
“Ketika negara membutuhkan kami, kami akan pergi tanpa berpikir dua kali untuk membela hak-hak kami,” ujar Chen.
Alan
Dupont, profesor keamanan internasional di University of New South
Wales, Sydney, Australia, menyebut strategi China di Laut China Selatan
itu terbagi dalam empat tahap: menangkap (ikan), melindungi (kapal
nelayan), menguasai (wilayah), dan mengendalikan (wilayah yang telah
dikuasai).
Strategi tersebut belakangan membuat Indonesia, yang
sesungguhnya netral dan tak memiliki klaim sengketa di Laut China
Selatan, gerah karena ZEE-nya di Natuna ikut diklaim China. Indonesia
dan China pun berbalas melayangkan nota protes.
Untuk mencegah upaya ekspansi China lebih dalam ke perairan Natuna,
Indonesia segera membangun “benteng.” Pangkalan militer akan dibangun di
Natuna sebagai salah satu basis pertahanan terluar negeri itu.
Industri
minyak-gas dan perikanan di Natuna pun bakal dibangun besar-besaran.
Pemerintah RI bahkan berencana mengirim nelayan-nelayan di pantai utara
Jawa ke Natuna untuk memancing di perairan kaya ikan itu.
Guna
mematahkan klaim China atas perairan Natuna, Indonesia kini menggunakan
pola China: menangkap ikan di Laut Natuna akan jadi bukti bahwa perairan
itu berada di bawah kuasa dan kendali Indonesia.
Credit
CNN Indonesia