Tampilkan postingan dengan label YORDANIA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label YORDANIA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 April 2018

Yordania Akan Cabut Status Kewarganegaraan Mahmoud Abbas



https: img-k.okeinfo.net content 2018 04 25 18 1891437 yordania-akan-cabut-status-kewarganegaraan-mahmoud-abbas-vPxhddKtVM.JPG
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas (Foto: Mohamad Torokman/Reuters)


AMMAN – Kerajaan Yordania dilaporkan memulai proses pencabutan kewarganegaraan terhadap sekira 30 orang pejabat Otoritas Palestina (PA) dan pejabat faksi Fatah beserta anggota keluarganya. Salah satu yang akan terkena dampaknya adalah Presiden PA, Mahmoud Abbas.
Selain Abbas, Yordania juga akan mencabut kewarganegaraan kepala negosiator Palestina, Saeb Erekat, dan Ahmed Qurei (Abu Ala). Otoritas Yordania akan megubah pemberian visa kepada para pejabat Palestina sehingga hanya akan mendapat izin masuk kunjungan sementara.

Melansir dari Jerusalem Post, Kamis (26/4/2018), banyak dari pejabat senior PA dan pejabat faksi Fatah, termasuk Abbas dan kedua putranya, yang diberikan kewarganegaraan Yordania lebih dari 10 tahun lalu. Mereka menerima paspor Yordania meski di saat bersamaan Amman mencabut kewarganegaraan ribuan warga sipil Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas
Yordania saat itu beralasan bahwa pencabutan dilakukan demi ‘konsolidasi’ identitas Palestina ribuan orang tersebut. Dengan populasi mencapai 9,5 juta orang, di mana 2 juta di antaranya adalah pengungsi Palestina, Yordania sendiri menganggap kehadiran mereka sebagai ancaman demografi.
Pencabutan itu pertama kali diungkapkan oleh harian berbahasa Arab yang berbasis di London, Inggris, Railyoum. Menurut artikel dari Al Quds al Arabi pada 2011, para pemimpin Palestina itu mengajukan sendiri status kewarganegaraan Palestina satu dekade lalu.
“Mereka mengajukan sendiri status kewarganegaraan, bukan ditawarkan oleh Yordania, dan seharusnya malu kepada para pejabat senior Yordania atas permintaan tersebut. Yordania tidak bisa menolak permintaan saat itu atas dasar kemurahan hati,” tulis Al Quds al Arabi.

Namun, belum diketahui alasan pencabutan status kewarganegaraan tersebut. Pemerintah Yordania juga enggan berkomentar mengenai laporan dari Railyoum.        






Credit  okezone.com




Rabu, 03 Januari 2018

Raja Abdullah Copot 3 Saudaranya Perwira Top Militer Yordania



Raja Abdullah Copot 3 Saudaranya Perwira Top Militer Yordania
Raja Yordania, Raja Abdullah. (dailymail)

CB, Jakarta -Raja Abdullah, memberhentikan dua saudara laki-lakinya dan sepupunya dari posisi top militer Yordania. Kedua saudara laki-laki raja Abdullah adalah Pangeran Faisal dan Pangeran Ali. Faisal selama ini menjabat kepala angkatan udara kerajaan dan wakil kepala staf. Ali selama bertahun-tahun sebagai penanggung jawab pasukan elit kerajaan khusus melindungi raja.
Sedangkan sepupu Raja Abdullah, Talal bin Mohammad, perwira di pasukan elit kerajaan Yordania dan alumni Akademi Militer Sandhurst, mengutip Reuters, 1 Januari 2018.

Ketiga saudara dekat Raja Abdullah akan dipensiunkan dan mendapat penghargaan atas jasa mereka.
Pencopotan ketiganya, menurut Raja Abdullah adalah bagian dari reorganisasi hirarki dan struktur pasukan angkatan bersenjata Yordania.
Seorang sumber di angkatan bersenjata Yordania mengatakan, langkah raja Abdullah memberhentikan tiga saudaranya dari posisi top militer dipicu oleh keinginan memberi contoh bahwa keluarga kerajaan Yordania atau Hashemite, tidak berada di atas hukum. Alasan lainnya, raja Abdullah bertujuan mengantisipasi gerakan lusinan jenderal senior yang sudah pensiun.

Raja Abdullah yang berperan sebagai komandan pasukan elit Yordania, membuat rencana restrukturisasi di tubuh militernya yang berkekuatan 120 ribu pasukan. Ia memangkas sejumlah biaya dan membuat pasukan yang efektif dengan peralatan perang yang modern untuk dapat melawan kelompok-kelompok teroris.
Raja Abdullah kemudian mengingatkan akan mengambil langkah hukum bagi siapa saja yang menyebar informasi bohong mengenai pemberhentian tiga anggota keluarga kerajaan dari lembaga militer.
"Berita karangan disebar baru-baru ini ditujukan untuk merendahkan Yordania dan lembaga-lembaganya," ujar pernyataan pihak kerajaan yang dikeluarkan hari Minggu, 21 Desember 2017.

Sebelumnya beredar informasi di media sosial dan situs online terkait pencopotan tiga perwira top militer Yordania yang diklaim pihak istana sebagai kebohongan dan salah. Tidak dijelaskan rincian informasi tersebut.
Pihak istana hanya mengatakan, informasi yang beredar itu bermaksud memperuncing hubungan antara kerajaan dan rakyat Yordania.



Credit  TEMPO.CO




Kamis, 21 Desember 2017

Ribut soal Yerusalem, antara Saudi dan 'Nyanyian' dari Yordania....


Ribut soal Yerusalem, antara Saudi dan Nyanyian dari Yordania....
Massa pro-Palestina di Amman, Yordania, berdemo menentang keputusan Presiden AS Donald Trump yang akui Yerusalem Ibu Kota Israel. Foto/REUTERS/Muhammad Hamed


AMMAN - Arab Saudi jadi sorotan setelah anggota parlemen Yordania, Wafa Bani Mustafa, “bernyanyi” tentang tindakan Riyadh yang menekan Amman agar menerima pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Saudi sejak awal tegaskan sikapnya yang membela Palestina dan mengutuk keputusan AS. Lalu siapa yang benar di antara klaim kedua pihak?

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengutuk keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Menurutnya, rakyat Palestina memiliki hak mendirikan negara merdeka dengan ibu kota di Yerusalem Timur.

Pernyataan Raja Salman ini disampaikan dalam pidato di hadapan Dewan Syura Kerajaan Saudi di Riyadh pada hari Rabu yang disiarkan stasiun televisi pemerintah. Sikap resmi Raja Salman ini muncul di saat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar KTT Luar Biasa di Istanbul, Turki.

Arab Saudi, yang menjadi tuan rumah sekretariat OKI, saat itu memang hanya mengirim seorang pejabat senior kementerian luar negeri dalam KTT tersebut.

”Kerajaan telah menyerukan sebuah solusi politik untuk menyelesaikan krisis regional, yang terpenting adalah masalah Palestina dan pemulihan hak-hak sah rakyat Palestina, termasuk hak untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata Raja Salman.

Keputusan Presiden AS Donald Trump, lanjut Raja Salman, mewakili bias ekstrem terhadap hak-hak rakyat Palestina di Yerusalem yang telah dijamin oleh resolusi internasional.

“Saya mengulangi penghukuman Kerajaan dan penyesalan yang kuat atas keputusan AS mengenai Yerusalem, karena menghapus hak-hak bersejarah rakyat Palestina di Yerusalem,” lanjut Raja Salman, yang dikutip Al Jazeera.

Pidato pemimpin Saudi ini muncul sehari setelah menyambut Raja Yordania Abdullah II ke istananya. Kunjungan Raja Abdullah untuk membahas perkembangan regional terakhir, terutama yang berkaitan dengan Yerusalem dan dampak bahaya dari rencana pemindahan Kedutaan AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Sikap Riyadh ini juga disuarakan duta besarnya di Washington yang telah memberikan nota peringatan ke AS mengenai rencana Trump yang akan memindahkan Ibu Kota di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Arab Saudi menegaskan bahwa keinginan Trump itu akan meningkatkan ketegangan konflik di wilayah tersebut.

“Setiap keputusan Amerika Serikat yang ingin mengubah status Kota Yerusalem akan membahayakan proses perdamaian dan akan meningkatkan ketegangan baru di antara Israel-Palestina,” kata Pangeran Khalid bin Salman bin Abdulaziz, Duta Besar Arab Saudi untuk AS.

“Kebijakan Kerajaan Arab Saudi telah dan terus mendukung rakyat Palestina, dan ini kami peringatkan kepada pemerintah AS,” tegas Pangeran Khalid.

"Nyanyian" dari Yordania
Analis dan politisi terkemuka Yordania, Wafa Bani Mustafa, mengungkap bahwa negaranya ditekan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, untuk menerima pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Yordania yang selama ini membela Palestina, kata dia, diancam Saudi bahwa ekonominya akan dicekik. Wafa Bani Mustafa yang merupakan anggota parlemen Yordania itu mengungkap intimidasi tetangga-tetangga Arabnya kepada Al Jazeera.

Motif Riyadh ini belum jelas. Namun, dia menduga Yerusalem menjadi alat negosiasi Saudi dengan Israel untuk menghadapi Iran.

Mustafa mengatakan, selain Saudi, negara antagonis utama dalam kasus ini adalah Uni Emirat Arab. Dia menyebut, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman telah mengambil peran yang dominan dalam melancarkan tekanan tersebut.

Yordania komitmen berpihak pada Palestina dan menolak keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada 6 Desember lalu. Trump, dalam pengumumannya juga memerintahkan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem segera.

”Bin Salman dan Uni Emirat Arab berusaha untuk mencekik ekonomi Yordania sampai menyetujui persyaratan mereka, tunduk pada kepemimpinan mereka di wilayah tersebut, dan menyetujui apa yang disebut 'kesepakatan akhir' Trump,” kata Mustafa, merujuk pada rencana baru Presiden AS untuk wujudkan perdamaian Israel dan Palestina yang belum dapat dijelaskan.

Saudi sejak awal menjadi pusat kecurigaan terkait langkah nekat Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Pemerintah Saudi dalam pernyataan resmi memang mengutuk keputusan Trump yang menggambarkannya sebagai “langkah yang tidak dapat dibenarkan dan tidak bertanggung jawab".

Namun, sebuah laporan yang dilansir kantor berita Reuters, mengungkap bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman disebut telah bertindak atas nama penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dan telah mempresentasikan rencana perdamaian Timur Tengah kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Skema AS yang dipaparkan itu mencakup pembentukan sebuah negara Palestina yang terdiri dari Jalur Gaza dan bagian-bagian yang terputus dari Tepi Barat tanpa Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Skema ini juga menyelesaikan hak pengembalian pengungsi Palestina yang mengungsi ketika Israel didirikan pada tahun 1948.

Al Jazeera mengonfirmasi laporan itu kepada tiga pejabat yang dekat dengan pimpinan Otoritas Palestina. Mereka membenarkan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman menekan Abbas untuk menerima status negara versi yang dia paparkan tanpa Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Mustafa mengatakan AS dan mitra regionalnya tidak memasukkan Yordania dari kesepakatan mengenai sebuah negara Palestina versi baru itu. Dia juga mengungkap bahwa Yordania tidak diundang oleh Mesir untuk berpartisipasi dalam perundingan rekonsiliasi Palestina antara Fatah dan Hamas Oktober lalu.

Diplomasi Ekonomi


Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang terkena dampak langsung kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Namun, kata Mustafa, baik negara-negara Arab maupun AS tak mengundang negaranya ke meja perundingan.

Yordania sendiri menjadi rumah bagi beberapa juta pengungsi Palestina. Raja Yordania Abdullah II yang berpredikat sebagai penjaga tempat suci Yerusalem selama ini membayar gaji pegawai Palestina.

Mustafa melanjutkan, sekutu paling dekat Yordania di Gulf Cooperation Council (GCC/Dewan Kerja Sama Teluk), yakni Arab Saudi, UEA, dan Kuwait tidak memperpanjang program bantuan keuangan lima tahun dengan Amman senilai USD3,6 miliar yang berakhir pada 2017. 

Bantuan AS ke Yordania berjumlah sekitar USD1,6 miliar per tahun; sekitar USD800 juta untuk bantuan militer dan USD800 juta untuk bantuan ekonomi. Bagian dari bantuan ekonomi tiba sebagai transfer moneter langsung, sedangkan sisanya datang dalam bentuk proyek USAID di negara tersebut. Anggaran Yordania 2018 mencakup hibah langsung USD400 juta dari Amerika Serikat.

Raja Abdullah II telah bertemu dengan Raja Salman di Arab Saudi pada hari Selasa pekan lalu dan diskusi terfokus pada implikasi bahaya dari keputusan AS soal Yerusalem.

Pada hari Rabu, Raja Abdullah II berada di Istanbul untuk pertemuan darurat 57 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menentang keputusan Trump.

Raja Abdullah II bergabung dengan pemimpin lain, termasuk Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Iran Hassan Rouhani, dan Presiden Lebanon Michel Aoun. Sedangkan kepala negara Arab Saudi dan UEA tidak hadir dan hanya mewakilkan utusan.




Credit  sindonews.com


Selasa, 05 Desember 2017

Yordania Kirim Nota Diplomatik ke Israel Terkait Al-Aqsa


Yordania Kirim Nota Diplomatik ke Israel Terkait Al-Aqsa
Yordania dilaporkan telah mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah Israel terkait dengan situasi di al-Aqsa. Foto/Istimewa


AMMAN -  Yordania dilaporkan telah mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah Israel terkait dengan situasi di al-Aqsa. Pengiriman nota diplomatik adalah salah bentuk protes keras yang disampaikan satu negara ke negara lain.

Nota diplomatik tersebut diketahui dikirim ke Kementerian Luar Negeri Israel oleh Menteri Urusan Media, sekaligus juru bicara pemerintah Yordania, Muhammad al-Momani.

Dalam nota diplomatik itu, seperti dilansir Anadolu Agency pada Senin (4/12), Yordania menuduh Israel mengizinkan ekstremis memasuki halaman Masjid Al-Aqsa setiap hari di bawah perlindungan polisi Israel.

"Tindakan provokatif dan tidak bertanggung jawab semacam itu dikutuk dan ditolak dan melanggar kewajiban Israel sebagai penguasa pendudukan di Yerusalem Timur di bawah hukum internasional dan hukum humaniter internasional," kata Al-Momani dalam nota diplomatik yang dikirim ke Tel Aviv.

Menteri tersebut mengatakan bahwa tindakan ini melanggar semua norma dan piagam internasional yang menekankan perlunya menghormati tempat-tempat pemujaan bagi semua agama, dan dapat menimbulkan amarah umat Islam.

"Pemerintah Israel telah mengizinkan para ekstrimis untuk naik ke atap Masjid Qubbat al-Sakhrah (Dome of the Rock) pada hari Minggu, dalam upaya untuk mengubah situasi historis dan hukum di Masjid al-Aqsa," ungkapnya.

Dia menambahkan langkah provokatif semacam itu perlu segera dihentikan, dan status sejarah masjid dipertahankan. Menteri tersebut juga menekankan perlunya menghormati peran Yordania sebagai penanggung jawab tempat-tempat suci di Yerusalem Timur, sesuai dengan sebuah perjanjian damai antara kedua negara. 



Credit  sindonews.com


Yordania Kutuk Tindakan Israel di Masjid Al-Aqsha


Kompleks Masjid Al Aqsha.
Kompleks Masjid Al Aqsha.


CB, AMMAN -- Pemerintah Yordania mengutuk keras aksi kekerasan yang dilakukan Israel di kompleks Masjid al-Aqsha. Kantor berita Petra, Ahad (3/12), melaporkan sejumlah perusuh dibiarkan aparat Israel memasuki lapangan Masjid al-Aqsha sehingga memicu keributan.

Juru bicara menteri komunikasi Muhammad al-Momani mengatakan telah mengirimkan surat protes kepada kementerian luar negeri Israel. Menurutnya, tindakan aparat kepolisian Israel di sekitar Masjid al-Aqsha begitu provokatif dan gegabah serta tidak mengindahkan norma-norma hubungan internasional.
Hasutan Israel itu dapat menyulut kebencian besar dari kaum Muslim di mana pun berada. Al-Momani menegaskan, para ekstremis Yahudi berupaya mencapai Masjid Qubbat al-Sakhrah (Dome of the Rock). Upaya ini, lanjut dia, tidak lepas dari propaganda Israel menghapus jejak sejarah umat Islam atas Masjid al-Aqsha.

"Mereka harus segera menghentikan cara-cara provokatif demikian. Mereka harus menjaga status historis dan menghormati peran Yordania terhadap kompleks suci itu di Yerusalem Timur, yang mana telah diakui melalui perjanjian damai di antara kedua negara," demikian pernyataan Al-Momani.





Credit  REPUBLIKA.CO.ID











Rencana Trump Akui Yerusalem Dinilai Bisa Picu Perang


Yerusalem
Yerusalem



CB, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN Hanafi Rais menanggapi kabar niatan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Tentu menurutnya ini akan membahayakan dan merusak segala proses perdamaian antara Israel dan Palestina.

"Sebaiknya Trump membatalkan niat ini, kalau mau membawa perdamaian antara Palestina dan Israel," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (4/12).

Dia mengatakan, dalam setiap proses perdamaian dari berbagi macam putaran, isu Yerussalem yang paling dihindari karena memang sangat sensitif. Maka kalau tiba-tiba Trump hendak mengumumkan pengakuan ini, jelas akan menyulut konflik baru. Bahkan tidal hanya konflik, tetapi juga perang dengan dunia Arab dan Islam.

Menurutnya, pengakuan itu bisa membahayakan dan makin memperparah ketidakstabilan politik global, karena ini meyangkut tempat suci umat Islam. "Saya kira kita tunggu saja, telah muncul protes dari berbagai pihak, bahkan yang ada di Amerika," ujarnya.

Sebelumnya Trump dikabarkan akan mengumumkan pengakuan tersebut pada Rabu (6/12) mendatang. Dalam pidato di sebuah lembaga pada Ahad kemarin, Jared Kushner, penasihat utama sekaligus menantu Trump menyatakan keleluasaan presiden untuk mengumumkan niatannya pada waktu yang tepat.


Credit  REPUBLIKA.CO.ID


Turki: Pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Akan Sebabkan Bencana

Turki: Pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Akan Sebabkan Bencana
Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdag menyatakan, status Yerusalem telah ditentukan oleh kesepakatan internasional, dan bahwa pelestarian akan hal itu penting untuk perdamaian di wilayah tersebut. Foto/Istimewa


ANKARA - Turki menuturkan, jika Amerika Serikat (AS) akhirnya mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, maka hal ini akan menimbulkan bencana di kawasan. Menurut Ankara, konflik baru akan muncul di kawasan yang sudah subur akan konflik tersebut.

Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdag menyatakan, status Yerusalem telah ditentukan oleh kesepakatan internasional, dan bahwa pelestarian akan hal itu penting untuk perdamaian di wilayah tersebut.

"Status Yerusalem dan Bukit Bait Suci telah ditentukan oleh kesepakatan internasional. Penting untuk mempertahankan status Yerusalem demi melindungi perdamaian di wilayah ini," kata Bozdag.

"Jika langkah lain diambil, dan kesepakatan ini dicabut, maka hal tersebut akan menjadi malapetaka besar," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin (4/12).

Sebelumnya, Yordania telah menyatakan hal serupa. Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.

Safadi kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim.

Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan kekerasan. 


Credit  sindonews.com


Palestina peringatkan AS agar tak pindahkan kedutaan besar ke Jerusalem



Palestina peringatkan AS agar tak pindahkan kedutaan besar ke Jerusalem

Mesjid Al Aqsa dilihat dari udara. Dia terletak di kota tua Jerusalem. (wikipedia.org)




Ramallah, Palestina (CB) - Seorang pejabat senior Palestina pada Senin (4/12) menyeru Amerika Serikat (AS) agar menghindari setiap tindakan yang akan mempengaruhi status quo atas Jerusalem.

Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem dan pengakuan AS atas Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel takkan diterima dan akan membawa resiko, kata Wakil Perdana Menteri Palestina Ziad Bu Amr selama pertemuannya dengan Konsul Jenderal AS di Jerusalem.

Tindakan itu akan "menjadi pelanggaran dan bertolak-belakang dengan peran Pemerintah AS sebagai penengah dan penjaga proses perdamaian", kata pejabat Palestina tersebut.

"Itu akan membatalkan Amerika Serikat dari memainkan peran dalam proses perdamaian dan akan menutup semua pintu bagi perundingan serius, serta akan mendorong seluruh wilayah ini ke dalam ketidak-stabilan dan ketegangan lebih besar," ia menambahkan.

Pemimpin Palestina akan terpaksa menghancurkan setiap kesepahaman yang telah dicapainya dengan Amerika Serikat, kalau Pemerintah AS memutuskan untuk mengubah pendiriannya mengenai Jerusalem, demikian peringatan Amr, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.

Pemerintah AS juga akan dianggap bertanggung-jawab bagi setiap konsekuensi yang muncul akibat tindakannya mengenai Jerusalem, katanya.

Ia juga mendesak Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali posisinya dan memelihara "sisa peluang" untuk mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel.

Media AS menyatakan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Isrel dan mungkin mengumumkannya pada Rabu.

Penasehat Trump, Jared Kushner, pada Ahad mengatakan presiden AS tersebut belum membuat keputusan mengenai pengakuan itu.

Trump pada Juni mengeluarkan keputusan untuk mempertahankan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv, tapi tidak jelas apakah ia akan mengulangi keputusannya atau tidak.

Memindahkan Kedutaan Besar ke Jerusalem dipandang oleh Palestina sebagai provokasi dan penghancuran proses perdamaian.

Pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel telah macet sejak April 2014. Pembicaraan yang ditaja AS tersebut yang berlangsung selama sembilan bulan saat itu tak memberi hasil nyata.



Credit  antaranews.com


Yordania Wanti-wanti AS Soal Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel


Yordania Wanti-wanti AS Soal Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel
Yordania mewanti-wanti Amerika Serikat (AS) mengenai rencana pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Foto/Istimewa


AMMAN - Yordania mewanti-wanti Amerika Serikat (AS) mengenai rencana pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Menurut Amman, pengakuan tersebut akan menimbulkan konsekuensi yang amat serius.

Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.

"Perlu untuk menjaga status historis dan legal Yerusalem dan menahan diri dari keputusan apapun yang bertujuan untuk mengubah status tersebut," kata Safadi kepada Tillerson, seperti dilansir Channel News Asia pada Senin (4/12).

Safadi kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim.

Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan kekerasan.

Sementara itu, Liga Arab dikabarkan akan menggelar pertemuan luar biasa untuk membahas rencana AS tersebut. Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hossam Zaki, mengatakan bahwa perwakilan Liga Arab akan segera mengadakan pertemuan mengenai Yerusalem pada hari Selasa. Pertemuan ini digelar berdasarkan permintaan Palestina. 



Credit  sindonews.com


Akui Yerusalem Milik Israel, AS akan Picu Kemarahan Besar


Yerusalem
Yerusalem


CB, WASHINGTON -- Menteri luar negeri Yordania Ayman Safadi memperingatkan Amerika Serikat (AS)mengenai konsekuensi berbahaya jika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Safadi mengaku telah memberi tahu Menlu AS Rex Tillerson bahwa deklarasi besar itu dapat memicu kemarahan besar dari dunia Arab dan Muslim.

"Keputusan semacam itu akan memicu kemarahan di dunia Arab, menjadi bahan bakar ketegangan dan membahayakan usahaperdamaian," kata Safadi di Twitter seperti dikutip BBC, Senin (4/12).
Tidak ada tanggapan langsung dari Departemen Luar Negeri AS. Spekulasi Presiden AS Donald Trump akan memenuhi janji kampanyenya untuk mengakui Yerusalem milik Israel itu semakin menguat. Namun menantu Trump, Jared Kushner,mengatakan tidak ada keputusan yang dibuat.
Selama kampanye pemilihannya, Trump berjanji akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sementara Presiden Palestina Mahmoud Abbas sedang menggalang dukungan internasional untuk meyakinkan Trump agar tidak membuat pengumumanseperti itu.
Otoritas Palestina mengungkapkan bahwa Abbas menelepon para pemimpin dunia pada Ahad (3/12), termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

"Dia ingin menjelaskan bahaya dari keputusan apapun untuk memindahkan kedutaan AS ke Yerusalematau menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata penasihat Abbas, Majdial-Khalidi.

Sebelumnya para pemimpin Palestina telah memperingatkan langkah tersebut akan mengancam solusi dua negara. Israel telah menduduki Yerusalem Timur sejak perang TimurTengah pada 1967.
Israel mencaplok area tersebut pada 1980. Di bawah hukum internasional, daerah ni dianggap sebagai wilayah yang diduduki. Israel juga menetapkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tak dapat dibagi. Tapi Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara di masa depan.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID





Senin, 04 Desember 2017

Yordania Siapkan Pertemuan Darurat Terkait Yerusalem



Polisi Israel berjaga di luar kompleks Masjid Al Aqsha di Kota Tua Yerusalem.
Polisi Israel berjaga di luar kompleks Masjid Al Aqsha di Kota Tua Yerusalem.


CB, AMMAN -- Yordania telah memulai persiapan mengadakan pertemuan darurat Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengenai Yerusalem. Pertemuan ini akan diadakan sebelum Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Seorang pejabat senior pemerintah AS pada Jumat (1/12) lalu mengatakan Trump kemungkinan akan membuat pernyataan kontroversial tersebut dalam sebuah pidato pada Rabu (6/12). Pengakuan terhadap Yerusalem akan membalikkan kebijakan lama Amerika dan mungkin akan mengobarkan ketegangan di Timur Tengah.
 
Yordania akan mengundang anggota kedua lembaga tersebut untuk bersidang jika pengakuan tersebut diperpanjang. Mereka akan membahas cara menangani konsekuensi dari keputusan semacam itu yang dapat menimbulkan kekhawatiran.
 
"Hal ini pada akhirnya dapat menghambat semua upaya perdamaian dan pasti akan provokatif bagi negara-negara Arab dan Muslim serta masyarakat Muslim di seluruh Barat," kata seorang diplomat Yordania, secara anonim.
 
"Tidak ada masalah yang bisa menggerakkan orang Arab dan Muslim secara serentak seperti masalah Yerusalem," tambah dia.
 
Dinasti Hashemite Raja Abdullah adalah penjaga tempat suci umat Islam di Yerusalem sehingga Amman peka terhadap perubahan status kota yang disengketakan itu. Para pejabat khawatir langkah tersebut dapat memicu kekerasan di wilayah Palestina dan tumpah ke Yordania. Yordania merupakan sebuah negara tempat keturunan pengungsi Palestina tinggal setelah pembentukan Israel pada 1948.
 
"Gelombang kemarahan yang luar biasa akan menyebar ke seluruh dunia Arab dan Muslim," kata sumber diplomatik regional lainnya. Ketegangan di kompleks Al Aqsha, situs tersuci ketiga umat Islam di Yerusalem, awal tahun ini juga memicu kerusuhan.
 
Orang-orang Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Masyarakat internasional juga tidak mengakui klaim Israel atas kota yang telah menjadi tempat suci bagi agama Yahudi, Muslim, dan Kristen.
 
Yordania kehilangan Yerusalem Timur dan Tepi Barat oleh Israel selama perang Arab-Israel pada 1967. Yordania mengatakan nasib kota ini hanya boleh diputuskan pada penyelesaian akhir.
 
Raja Abdullah memperingatkan dampak dari langkah Trump. Trump awal tahun ini mengatakan dia terbuka terhadap solusi baru untuk mencapai perdamaian Timur Tengah, bahkan jika negara Palestina tidak dibentuk.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID


Palestina Serukan Liga Arab dan OKI Selamatkan Yerusalem


Yerusalem
Yerusalem


CB, YERUSALEM -- Menteri Luar Negeri Palestina Riad al-Maliki pada Ahad (3/12) mendesak Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) segera menggelar rapat untuk membahas situasi politik terkini di Yerusalem. Seruan tersebut ia sampaikan menyusul laporan yang menyebutkan bahwa Presiden AS Donald Trump kini sedang bersiap untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Kementerian Luar Negeri Palestina lewat pernyataan resminya mengungkapkan, al-Maliki belum lama ini telah melakukan komunikasi via sambungan telepon dengan pemimpin Liga Arab Ahmad Abul Ghait dan Sekretaris Jenderal OKI Yusuf al-Utsaimin. Kepada mereka berdua, al-Maliki meminta agar Liga Arab dan OKI segera mengadakan pertemuan darurat untuk menolak rencana AS terkait masa depan Yerusalem.

Al-Maliki memperingatkan bahwa langkah AS (mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel) itu bakal menimbulkan konsekuensi serius dan akan meledakkan situasi politik di wilayah Palestina dan wilayah sekitarnya, tulis Kemenlu Palestina lewat pernyataan yang dilansirlaman Wworld Bulletin, Ahad (3/12).

Status Yerusalem sendiri sampai hari ini masih menjadi inti persoalan utama konflik antara Israel dan Palestina. Pasalnya, masyarakat Palestina menginginkan Yerusalem Timur yang saat ini sedang diduduki Israel menjadi ibu kota Palestina. Sementara, selama musim Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) AS tahun lalu, Trump telah berjanji untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sebagai bentuk pengakuannya terhadap kepimilikan kota itu oleh Israel.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID



Bahayanya Jika AS Akui Yerusalem Jadi Ibu Kota Israel


Yerusalem
Yerusalem


CB, KAIRO -- Liga Arab (AL) pada Ahad (3/12) memperingatkan mengenai konsekuensi berbahaya jika Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

"Jika dilaksanakan, itu akan menandai perubahan pendirian bersejarah Washington yang memandang kota suci tersebut sebagai kota Palestina yang diduduki dan bagian tak terpisahkan tanah Palestina yang diduduki," kata Saeed Abu-Ali, Asisten Sekretaris Jenderal AL untuk Tanah Arab dan Palestina yang Diduduki, di dalam satu pernyataan.

Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah media AS pada Jumat (1/12) melaporkan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan mungkin mengeluarkan satu pengumuman pada Rabu.

Trump berikrar selama kampanye presidennya untuk memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, kota suci yang menjadi sengketa dan diinginkan oleh rakyat Palestina sebagai ibu kota negara masa depan mereka.

Abu-Ali, Senin pagi, mengatakan pengakuan AS semacam itu akan memberi Israel lampu hijau untuk melanjutkan pelanggarannya atas semua resolusi internasional dan pendudukannya atas tanah Palestina. Ia mendesak Washington agar bertindak sebagai "penengah yang tak memihak" dalam proses perdamaian.

Selama dua hari belakangan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah mengadakan kontak dengan dan berusaha memperoleh dukungan dari para pemimpin Arab serta Barat, dan memperingatkan potensi dampak yang menghancurkan dari pemindahan Kedutaan Besar AS.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID








Selasa, 28 November 2017

Ribuan pengungsi pulang dari Yordania ke Suriah


Ribuan pengungsi pulang dari Yordania ke Suriah
Arsip Foto. Pengungsi Suriah mencium putrinya saat berjalan di tengah badai hujan menuju perbatasan Yunani-Makedonia, dekat desa Idomeni, Yunani, 10 September 2015. (REUTERS/Yannis Behrakis)




Amman, Yordania (CB) - Sekitar 1.000 warga Suriah yang mencari perlindungan di Yordania telah pulang ke negara asal mereka setiap bulan sejak Juli, ketika gencatan senjata untuk Suriah selatan diberlakukan, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (27/11).

Gencatan senjata yang diperantarai oleh Yordania, Rusia dan Amerika Serikat untuk provinsi Daraa, Quneitra dan Suweida tersebut sebagian besar tetap terlaksana sejak diberlakukan 9 Juli.

Sejak saat itu "jumlah warga Suriah yang pulang ke negaranya secara sukarela bertambah," kata Mohammed al-Hiwari, juru bicara badan pengungsi PBB UNHCR di Amman, kepada AFP.

"Hari ini jumlahnya sudah meningkat menjadi sekitar 1.000 per bulan rata-rata," tambah Hiwari.

Menurut Hiwari, jumlah pengungsi yang kembali secara sukarela ke Suriah naik menjadi 1.203 pada Agustus dan 1.078 pada September.

Selama enam bulan sebelum gencatan, hanya 1.700 pengungsi Suriah yang kembali ke kampung halaman mereka, katanya.

Yordania berbagi perbatasan bersama sepanjang lebih dari 370 kilometer dengan Suriah, tempat lebih dari 340.000 orang tewas dan jutaan lainnya terlantar sejak konflik pecah pada 2011.

PBB mengatakan Yordania menampung lebih dari 650.000 pengungsi Suriah, namun otoritas di kerajaan itu menyebutkan jumlah sebenarnya adalah 1,3 juta jiwa.

Menampung sedemikian banyak pengungsi menjadi beban berat bagi Yordania yang minim sumber daya alam.

Hiwari menekankan bahwa UNHCR "tidak menyarankan mereka kembali ke zona-zona di Suriah yang dianggap tidak aman."

Gencata senjata di tiga provinsi Suriah bagian selatan itu merupakan bagian dari rencana lebih luas yang didukung Rusia untuk menciptakan zona "deeskalasi" di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak di negara itu.

Rusia dan Iran, sekutu utama pemerintah Suriah, dan pemberontak yang dibantu Turki sepakat pada Mei untuk menciptakan empat zona semacam itu menuju gencatan senjata abadi. 




Credit  antaranews.com





Jumat, 27 Oktober 2017

Hamas Bahas Perkembangan Palestina dengan Yordania


Hamas Bahas Perkembangan Palestina dengan Yordania
Ismail Haniyeh. Foto/Istimewa


AMMAN - Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh membahas perkembangan terakhir Palestina dengan Raja Jordania Abdullah II. Seperti diketahui, kelompok Hamas dan Fatah telah sepakat untuk melakukan rekonsiliasi setelah terlibat perseteruan panjang.

Dalam sebuah telpon, Haniyeh menggariskan situasi politik dan isu persatuan Palestina. Dia menekankan pada hubungan yang kuat antara orang-orang Palestina dan Yordania, mengingat kejadian sejarah di mana Yordania berdiri di samping Palestina.

"Citra Raja Yordania saat menyumbangkan darah selama serangan Israel di Gaza dan peran almarhum Raja Hussein dalam pembebasan pemimpin Hamas terakhir Ahmed Yassin dari penjara Israel terukir di benak orang Palestina," katanya seperti dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (27/10/2017).

Dia juga mengatakan bahwa Hamas menolak semua konspirasi dan usulan negara alternatif untuk orang-orang Palestina. "Palestina adalah Palestina dan Yordania adalah Yordania. Kita tidak akan menerima teori tentang negara lain," katanya.

Pemimpin tertinggi Hamas mengulangi dukungan gerakannya untuk stabilitas Yordania, mencatat bahwa keamanan nasional Yordania adalah keamanan nasional Palestina. Dia juga memuji kustodian Saudi di tempat-tempat suci di Yerusalem.

Sementara itu, Raja Yordania menekankan dukungan negaranya untuk kepentingan Palestina, terutama menjelang tantangan yang terus berlanjut.

Dia mengucapkan selamat kepada Haniyeh atas rekonsiliasi tersebut dan mengatakan bahwa kerajaannya akan berusaha mengembalikan penyebab Palestina ke prioritas utama negara-negara Arab. 



Credit  sindonews.com







Rabu, 11 Oktober 2017

Temui Raja Yordania, Menlu RI Serukan Persatuan Dunia Islam


Temui Raja Yordania, Menlu RI Serukan Persatuan Dunia Islam
Seruan itu disampaikan Retno saat melakukan pertemuan dengan Raja Yordania Abdullah II di Amman. Foto/Kemlu RI


AMMAN - Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyerukan persatuan dunia Islam untuk menghadapi tantangan yang ada demi kepentingan umat. Seruan itu disampaikan Retno saat melakukan pertemuan dengan Raja Yordania Abdullah II di Amman.

"Berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini memerlukan negara-negara Islam untuk bersatu dan bekerja sama dalam mengatasinya," kata Retno, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Kamis (5/10).

Dalam pertemuan itu, Retno dan Raja Abdullah II membahas banyaknya tantangan yang dihadapi umat Islam yang membutuhkan kerja sama kuat antara negara Islam. Untuk itu, lanjut Retno, toleransi dan saling pengertian dibutuhkan dalam berinteraksi antar negara.

"Kenyataan saat ini banyak waktu dihabiskan untuk membahas penyelesaian berbagai konflik di antara negara Islam," ungkapnya.

Di kesempatan yang sama, Retno juga menyampaikan undangan Presiden RI kepada Raja Abdullah untuk hadir sebagai pembicara utama di Bali Democracy Forum, di Bali 7-8 Desember 2017. Undangan tersebut diberikan kepada Raja Abdullah II mengingat perannya dalam memajukan pluralisme, toleransi, dan demokrasi.

Selain itu, keduanya juga memberi perhatian terhadap tantangan dari terorisme dan radikalisme. Beberapa kekhawatiran yang dibahas keduanya terkait  Foreign Terrorist Fighters (FTF) dan perkembangan regionalisasi kelompok terorisme, seperti di Marawi. Dalam kaitan ini Raja Yordania menyambut  baik komitmen dan langkah Indonesia dalam upaya menanggulangi terorisme.

Lebih lanjut, Raja Abdullah II menyampaikan kesiapan Yordania untuk melakukan kerja sama khususnya terkait tukar informasi dan intelijen, program de-redikalisasi dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum. Dalam kaitan ini, Retno  mengharapan agar MoU kerja sama dalam menanggulangi terorisme dan redikalisme antara Indonesia dan Yordania dapat segera diselesaikan.

"Terorisme dan radikalisme merupakan tantangan nyata dan hanya dapat dihadapi dengan kerja sama yang efektif, baik di tingkat bilateral, regional maupun internasional," ucap Retno.

Perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka juga menjadi pembahasan dalam pertemuan itu. Pemimpin Yordania menyampaikan bahwa isu Palestina semakin kurang mendapat perhatian masyarakat internasional, sehingga membutuhkan upaya bersama untuk menempatkannya kembali di agenda masyarakat internasional. Dalam kaitan ini Retnokembali menyampaikan komitmen Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. 



Credit  sindonews.com



Temui Menlu Yordania, Menlu Retno Bahas Situasi Palestina


Temui Menlu Yordania, Menlu Retno Bahas Situasi Palestina
Perkembangan situasi Palestina menjadi salah satu pembahasan utama dalam pertemuan antara Menlu RI Retno Marsudi dan Menlu Yordania Ayman Safadi. Foto/Kemlu RI


AMMAN - Situasi Palestina menjadi salah satu pembahasan utama dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi. Keduanya melakukan pertemuan di ibukota Yordania, Amman.

Dalam pertemuan itu Retno menekankan pentingnya untuk terus menempatkan isu kemerdekaan Palestina dalam  agenda utama masyarakat internasional. Baik Retno, atau Safadii sepakat, bahwa tidak ada solusi lain dalam penyelesaian isu Palestina, kecuali solusi dua negara.

Secara khusus, Menlu Yordania menyampaikan apresiasi atas komitmen Indonesia dalam memperjuangkan dan mencari solusi terhadap berbagai tantangan yang dihadapi Palestina, termasuk kejadian di Mesjid Al’Aqsa baru baru ini.

“Indonesia akan selalu berada bersama Palestina, karena Palestina berada di jantung politik luar negeri Indonesia,” ungkap Retno, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia yang diterima Sindonews pada Rabu (4/10).

Selain membahas masalah Palestina, keduanya juga membahas tantangan besar yang dihadapi kedua negara saat ini, yaitu terorisme dan radikalisme. Keduanya sepakat bahwa tantangan ini semakin berat, dengan adanya ancaman regionalisasi kelompok terorisme akibat banyaknya foreign terrorist fighters (FTF) yang kembali dari beberapa negara di Timur Tengah. Situasi di Marawi, Filipina merupakan salah satu contoh dari regionalisasi kelompok teroris.

Dalam kaitan ini, kedua Menlu menekankan pentingnya upaya bersama dalam bentuk kerjasama dan kemitraan untuk penanggulangan terorisme dan radikalisme. Untuk itu, Retno mendorong agar segera diselesaikan pembahasan MoU kerja sama penanggulangan terorisme dan radikalisme.

Beberapa area kerja sama yang disebut kedua Menlu penting untuk dilakukan antara lain pertukaran informasi dan intelijen, pencegahan pendanaan bagi terorisme, penanganan FTF, program diradikalisasi dan dialog interfaith, serta peningkatan kapasitas. 






Credit  sindonews.com












Jumat, 08 September 2017

DPR RI Kaji Laporan Yordania soal Kejahatan Israel


DPR RI Kaji Laporan Yordania soal Kejahatan Israel 
Setya Novanto mengatakan, dokumen dari Yordania tersebut akan dipelajari oleh DPR sebelum ditindaklanjuti dalam bentuk pengambilan sikap bersama atas pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Israel. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi)



Jakarta, CB -- Dewan Perwakilan Rakyat RI akan mempelajari dokumen hasil penyelidikan Yordania atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel di Palestina.

“Secara khusus, parlemen Yordania memberi dokumen pelanggaran kemanusiaan Israel di Palestina. Kami ingin terus satu barisan membela Palestina,” ujar Ketua DPR RI, Setya Novanto, setelah dokumen itu diserahkan di sela Forum Parlemen Dunia di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/9).

Setya mengatakan, dokumen tersebut akan dipelajari oleh DPR sebelum ditindaklanjuti dalam bentuk pengambilan sikap bersama atas pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Israel.

Menurut Setya, pemberian dokumen tersebut merupakan bukti baiknya hubungan bilateral antara Indonesia dan Yordania.

Ia berkata, kedua negara memiliki kesamaan pandangan dalam melihat tantangan global, seperti dalam aspek penanggulangan terorisme dan stabilitas di masing-masing negara.
 
Lebih lanjut, Ketum Golkar ini menyampaikan, Yordania juga menyampaikan rasa prihatin atas konflik kemanusian yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.

Yordania menilai, musibah yang menimpa etnis Rohingya sama dengan sejumlah warga Suriah akibat perang melawan ISIS.

Setya berkata, Yordania merupakan salah satu negara di sekitar Suriah yang saat ini menampung satu juta pengungsi dari negara pimpinan Bashar al-Assad itu.

“Sama halnya dengan Indonesia yang menerima pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar, Yordania juga menerima pengungsi dari Suriah,” ujarnya.

Berkaitan dengan Rohingya, Setya mengklaim, DPR akan membawa dan menerbitkan resolusi dalam pertemuan ASEAN Inter-Parliamentary Assembly yang digelar di Filipina pada 15 September mendatang.
 
Setya juga telah meminta parlemen Yordania untuk membawa tragedi yang menimpa etnis Rohingya dalam sidang Inter-Parliamentary Union Oktober 2017.

“Dengan bersuara di berbagai forum internasional, kami berharap pemerintah Myanmar segera dapat mewujudkan perdamaian di sana,” ujar Setya.

Dalam kesempatan itu, Setya juga menyampaikan bahwa pemerintah Yordania mengucapkan terima kasih atas kecaman Indonesia terhadap kekerasan Israel di Masjid Al Aqsa beberpa bulan lalu lewat berbagai forum internasional, khususnya Organisasi Kerja Sama Islam.

Sebaliknya, Setya juga menyampaikan terima kasih kepada Yordania karena telah memberi dukungan tertulis bagi pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020.





Credit  cnnindonesia.com