Tampilkan postingan dengan label UIGHUR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UIGHUR. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Desember 2018

Ini Lima Pernyataan Bersama Lima PT Islam di DI Yogyakarta


Massa berbagai ormas Islam menggelar aksi solidaritas selamatkan muslim Uighur di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina di Jakarta.

CB, YOGYAKARTA -- Apa yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang, Cina, masih belum memiliki kejelasan. Karenanya, akademisi Yogyakarta mendorong organisasi-organisasi Indonesia maupun dunia, aktif melakukan penyelidikan.

Hal itu dituangkan dalam sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan sejumlah rektor perguruan tinggi Islam di Yogyakarta. Pernyataan itu disampaikan pula kepada perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta. Berikut pernyataannya:

1. Mendesak organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), khususnya Dewan Hak Asasi Manusia, untuk menggunakan mekanisme prosedur khusus dengan menunjuk ahli independen melakukan penelitian dan investigasi. 

Itu dirasa harus dilakukan demi mengumpulkan semua informasi terkait dugaan diskriminasi dan kekerasan sistematik yang dilakukan pemerintah Cina terhadap etnis Uighur.

2. Mendesak Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial melanjutkan rekomendasinya dengan tindakan efektif berupa upaya peringatan dini dan respon darurat dengan mengirimkan Tim Ad Hoc untuk melakukan penelitian dan invesigasi.

Utamanya, terkait dugaan diskriminasi dan kekerasan sistematik yang dilakukan pemerintah Cina terhadap etnis Uighur.

3. Mendorong pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri untuk mengirim nota klarifikasi atas berbagai laporan yang berkembang terkait dugaan terjadinya diskriminasi terhadap etnis Uighur.

Sekaligus, mengirimkan pesan perhatian publik Indonesia terkait situasi etnis Uighur.

4. Mengajak semua masyarakat Indonesia secara bersama-sama menunjukkan solidaritas dengan mengumpulkan sumber daya dalam bentuk apapun untuk membantu meringankan beban etnis Uighur, terutama yang berada di pengungsian.

5. Mengajak semua masyarakat Indonesia untuk merespon masalah ini dengan kritis, dengan tetap mengedepankan semangat penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Credit REPUBLIKA.CO.ID


https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/27/pke6qk396-ini-lima-pernyataan-bersama-lima-pt-islam-di-di-yogyakarta




Lima Rektor di Yogyakarta Dorong Dunia Aktif Selidiki Uighur


Warga Muslim Uighur berjalan melintas di depan tentara yang berjaga di kawasan Xinjiang Cina.

CB, YOGYAKARTA -- Apa yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang, Cina, masih belum memiliki kejelasan. Karenanya, akademisi Yogyakarta mendorong organisasi-organisasi Indonesia maupun dunia, aktif melakukan penyelidikan.

Hal itu dituangkan dalam sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan sejumlah rektor perguruan tinggi Islam di Yogyakarta. Pernyataan itu disampaikan pula kepada perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta.

Pernyataan yang terdiri dari lima poin itu mendorong dibukanya akses organisasi independen internasional melakukan penyelidikan. Terdapat lima rektor merancang dan membubuhkan tanda tangannya. Ada Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Alma Ata (UAA), Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa) dan Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

Rektor UII Fathul Wahid mengatakan, selain kepada perwakilan PBB, dorongan itu diberikan kepada Menteri Luar Negeri RI. Ini dilakukan sekaligus untuk menambah suntikan semangat kepada masyarakat Indonesia.

"Kita masing-masing sudah pula melakukan penggalangan dana dan telah melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk mengirimkan bantuan kepada para pengungsi Uighur," kata Fathul di Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII.

Rektor Unisa, Warsiti menuturkan, pernyataan ini menjadi elemen tambahan atas sikap organisasi-organisasi kemasyarakat Indonesia. Terlebih, kondisi saat ini dirasa cukup serupa dengan apa yang terjadi kepada etnis Rohingya.

"Kita ingin memperkuat desakan itu, minimal lembaga dunia dapat diberikan akses masuk," ujar Warsiti.

Rektor UAA, Hamam Hadi membenarkan, masing-masing perguruan tinggi telah miliki jaringan dengan perguruan-perguruan tinggi di Cina. Tapi, untuk konteks ini, ia merasa masing-masing menghargai persoalan kemanusiaan.

Selama ini, dia mengungkapkan, komunikasi yang terjadi masih sebatas kerja sama dunia pendidikan tinggi. Namun, Hamam menekankan, agar semua pihak tidak terlalu dini mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi di sana.

"Pesan ini turut dimaksudkan agar tidak mengganggu kerja sama yang ada selama ini," kata Hamam.

Rektor UMY, Gunawan Budiyanto menambahkan, sejauh ini komunikasi yang dilakukan dengan perguruan-perguruan tinggi Cina masih seputar akademik. Ia belum pula melihat peluang perguruan tinggi bisa mengangkat persoalan ini.

Untuk itu, ia menegaskan, penyataan bersama perguruan tinggi Islam yang ada di Yogyakarta ini turut menyampaikan pesan moral tersebut. Yaitu, menegaskan Islam tidak memberikan tempat adanya tirani terjadi di dunia.

"Baik tirani mayoritas maupun tirani minoritas, ini menjadi pesan moral kepada dunia luas," ujar Gunawan.

Credit REPUBLIKA.CO.ID

https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/27/pke66h396-lima-rektor-di-yogyakarta-dorong-dunia-aktif-selidiki-uighur






Dubes Cina Jelaskan Kondisi Uighur ke Muhammadiyah


Massa berbagai ormas Islam menggelar aksi solidaritas selamatkan muslim Uighur di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta, Jumat (21/12).

CB, JAKARTA -- Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian bertemu dengan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, Jumat (28/12). Xiao Qian menyambangi Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya 62 Cikini untuk menyampaikan langsung bagaimana kondisi Muslim Uighur di Xinjiang yang sebenarnya.

Melalui penerjemaahnya Li Jibin, Xiao Qian memastikan apa yang disampaikan tentang kondisi Muslim Uighur di Xinjiang kepada ketua Umum Muhammaddiyah merupakan keadaan sesusungguhnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

"Tadi saya melakukan diskusi yang terus terang jujur dan bersahabat dengan yang mulia bapak ketua umum dan teman-teman PP Muhammaddiyah," kata Xiao Qian kepada wartawan.

Xiao Qian mengatakan, dalam pertemuan dengan Haedar Nashir selama kurang lebih satu jam, ia menyampaikan situasi  di Xinjiang baik secara politik, ekonomi, sosial dan masyarakat. Beragam etnis di sana termasuk Uighur sangat menikmati kehidupan beragama. 

"Di samping itu masalah ekstremisme, saparatisme itu selau ada dan menjadi ancaman besar bagi keamanan dan kesetabilan sosial setempat," katanya.

Pada saat sesi tanya jawab Xiao Qian membantah pertanyaan Republika.co.id soal mengapa pemerintah Cina membatasi wisatawan mengakses etnis minoritas Uighur di Xinjiang? Menurutnya pada 2017 ada 100 juta wisatawan yang berkunjung ke Xinjiang yang di dalamnya ada wisatawan domestik dan juga turis luar negeri.

"Siapa saja bisa ke sana tidak ada masalah membatasi. Bahkan pada 2016 bapak Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj berkunjung ke sana," katanya.

Saat ini Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok Djauhari Oratmangung sedang mengunjungi Xinjiang. Saat ditanya alasan memilih Muhammadiyah dan NU untuk dikunjungi, Xiao Qian mengatakan, kedua ormas tersebut memiliki sejarah panjang dan pengaruh penting di Indonesia. 

"Makanya melalui dialog saya dengan pimpinan Muhammaddiyah saya harap Muhammadiyah maupun masyarakat Muslim Indonesia bisa mengenal lebih kondisi sebenarnya di Xinjiang," katanya.

Selain itu Xiao Qian menjelaskan tentang isu re-education camps atau kamp pelatihan di Xinjing yang disebut-sebut sebagai jalan penindasan terhadap Muslim Uighur. Otoritas Cina menegaskan kamp itu hanya untuk memberikan pelatihan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi setempat. 

"Mengenai isu yang disebut re-education camps itu satu hal yang ingin saya titik beratkan satu hal Tiongkok adalah negara multi suku dan multi agama dan ini sangat sama dengan Indonesia yang menghormati kebebasan beragama yang di lindungi UUD dan UU di Tiongkok," katanya.

Xiao Qian menyampaikan ada 10 suku di Xinjiang yang mayoritasnya menganut agama Islam, dengan jumlah penduduk sekitar 14 juta. Di Xinjiang juga kata Xiao Qian ada 24,4 ribu masjid atau sekitar 70 persen dari jumlah total masjid di seluruh Cina, jumlah masjid per kapita berada di jajaran terdepan di dunia.  "Jumlah ulama ada 29 ribu orang dan ada 103 ormas agama Islam di sana," katanya.

Muslim Uighur


Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, kunjungan Xiao Qian ke kantor Muhammaddiyah merupakan yang kedua kalinya. Kali ini Qian menyampaikan informasi dan keterangan yang terbuka mengenai keadaan masyarakat Uighur di Provinsi Xinijiang.

Muhammadiyah memberikan masukan bahwa untuk menjawab berbagai macam isu mengenai keadaan di provinsi Xinjiang. "Kami memberi masukan lewat duta besar dan pemerintah Tiongkok untuk selain memberikan penjelasan apa adanya yang terbuka juga menjadikan provinsi Xinjiang terbuka diketahui dan menjadi tempat yang secara international orang bisa berkunjung kesana. Dengan keterbukaan itu juga akan diketahui juga apa yang terjadi sesungguhnya," katanya.

Muhammadiyah berharap ke Cina akan melihat masalah kemanusian di Uighur dengan pendekatan yang komprehensif, mengedepankan perdamaian, non kekerasan dan terciptanya nilai-nilai kemanusiaan secara bersama.

"Saya pikir kami juga telah memperoleh respon yang sangat positif bahwa paradigma baru ini akan menjadi era baru juga buat dunia internasional,"  katanya.


Credit REPUBLIKA.CO.ID

https://m.republika.co.id/berita/internasional/asia/18/12/28/pkg1vg377-dubes-cina-jelaskan-kondisi-uighur-ke-muhammadiyah




Minggu, 23 Desember 2018

Siapa Sebenarnya Etnis Uighur dan Mengapa Berkonflik dengan China?





CB, Beijing - Chaudhry Javed Atta terakhir kali melihat istrinya sekitar lebih dari setahun lalu. Setelah itu, sedikit pun ia tidak pernah mendengar kabar tentang belahan jiwanya, yang menurut desas-desus tetangga, menjadi bagian dari warga Uighur yang dimasukkan ke dalam kamp pengasingan oleh pemerintah China.
Pria asal Pakistan yang berprofesi sebagai pedagang buah itu ingat, dia meninggalkan istrinya di rumah mereka di wilayah Xinjiang--yang dipenuhi oleh etnis muslim Uighur--di wilayah China barat laut, untuk kembali ke negaranya guna memperbarui visa.
Dia ingat hal terakhir yang diucapkan oleh sang istri, "Segera setelah engkau pergi, mereka akan membawaku ke kamp dan aku tidak akan kembali."
Kejadian pilu itu terjadi pada 2017, ketika Atta dan istrinya, Amina Manaji, telah menikah selama 14 tahun. Atta adalah salah satu dari ratusan pengusaha Pakistan yang pasangannya telah menghilang, dibawa oleh pihak berwenang China ke tempat yang mereka sebut sebagai kamp pelatihan.
Beijing telah dituduh menginternir banyak warga minoritas muslim Uighur untuk "dididik kembali", terkait dengan keyakinan yang mereka anut.
Oleh dunia internasional, hal ini dilihat sebagai respons terhadap kerusuhan dan serangan kekerasan yang dituduhkan pemerintah pada kelompok separatis di China barat laut.
Etnis Uighur dan Kazakh di China mengatakan kepada kantor berira Associated Press bahwa tindakan yang tidak berbahaya seperti bersembahyang, melihat situs web asing atau menerima panggilan telepon dari kerabat di luar negeri, bisa membuat mereka ditangkap dan dijebloskan ke kamp pengasingan.
Sebenarnya, siapakah etnis Uighur itu? Mengapa mereka terlibat konflik dengan pemerintah China? Apa yang membuat mereka perlu "dimasukkan" ke dalam kamp pelatihan?
Mengutip dari Voice of America, Selasa (18/12/2018), berikut adalah beberapa rangkuman singkat mengenai kontroversi seputar kehidupan Uighur.



Profil Singkat Uighur
Universitas Islam Xinjiang terus mencetak cendekiawan muslim. Sementara itu, Tim Safari Ramadan SCTV sudah berada Banyuwangi.
Warga Uighur adalah kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam, dan terutama berbasis di wilayah Xinjiang, di barat laut China.
Mereka cenderung memiliki lebih banyak kesamaan budaya dengan orang-orang di negara-negara Asia Tengah dibandingkan etnis Han di China. Bahasa mereka terkait dengan bahasa Turki dan juga memiliki kesamaan dengan bahasa Uzbek, Mongol, Kazakh, dan Kyrgyz.
Islam adalah bagian penting dari identitas mereka. Sebagian besar mempraktekkan bentuk moderat dari ajaran Sunni, dan beberapa meneladani aliran Sufi. Lebih dari itu, orang Uighur cenderung memiliki lebih banyak ciri fisik Mediterania dibandingkan karakteristik Han China.
Sensus penduduk China pada 2010 menempatkan jumlah penduduk Uighur, berada lebih dari 10 juta jiwa, yakni kurang dari 1 persen dari total populasi Negeri Tirai Bambu. Meski begitu, mereka adalah kelompok etnis terbesar di wilayah otonomi Xinjiang.


Di Mana Mereka Tinggal?
Muadzin melakukan panggilan shalat di Masjid terbesar di XinJiang.
Sebagian besar etnis Uighur tinggal di wilayah otonomi Xinjiang, yang merupakan wilayah terluas di China.
Xinjiang secara strategis penting bagi China, karena berbatasan dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.
Hingga saat ini, penduduk Xinjiang didominasi oleh orang Uighur, tetapi masuknya etnis Han ke wilayah itu, kian memicu ketegangan di antara kedua kelompok.
Xinjiang kaya akan sumber daya alam, dan ekonominya sebagian besar berputar di sekitar pertanian dan perdagangan. Kota-kotanya pernah menjadi titik penghentian utama di sepanjang Jalan Sutra yang terkenal di masa lampau.
Apa yang sekarang dikenal sebagai Xinjiang berada di bawah kekuasaan China sejak Abad ke-18. Wilayah ini mengalami periode kemandirian yang singkat di tahun 1940-an, tetapi Beijing kembali mendapat kontrol ketika Komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949.


Mengapa Uighur Berkonflik dengan China?
Warga muslim Uighur melakukan aksi protes menentang tekanan pemerintah China (AP)
Xinjiang telah mengalami pergeseran demografi besar dalam 70 tahun terakhir. Orang Uighur menjadi 75 persen yang mendominasi populasi di kawasan itu pada 1945, tetapi kemudian turun menjadi sekitar 45 persen saat ini.
Hal tersebut disebabkan oleh eksodus besar-besaran masyarakat etnis Han ke kota-kota di Xinjiang, di mana mereka tertarik oleh proyek-proyek pembangunan besar yang telah membawa kemakmuran di wilayah tersebut.
Namun, orang Uighur mengeluh bahwa pekerjaan terbaik selalu diberikan kepada etnis Han, yang kemudian memiliki tingkat ekonomi lebih baik. Hal tersebut, pada akhirnya, memicu kebencian antar kelompok.
Populasi Han China telah tumbuh dari 9 persen pada 1945 menjadi 40 persen saat ini. China juga mengerahkan sejumlah besar pasukan yang ditempatkan di wilayah tersebut.
Seiring perubahan demografi, aktivis mengatakan kemampuan Uighur untuk terlibat dalam kegiatan bisnis dan budaya telah secara bertahap dibatasi oleh pemerintah China. Mereka juga mengatakan pemerintah menempatkan pembatasan keras terhadap Islam, menuding tradisi muslim konvensional sebagai "ekstremisme".
Laporan media mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Xinjiang menyelenggarakan upacara umum dan penandatanganan, di mana etnis minoritas mengucapkan janji setia kepada Partai Komunis China.

Kapan Ketegangan Terjadi antara Uighur dan China?

Ketegangan antara orang Uighur dan pemerintah China meningkat pada 1990-an, ketika dukungan untuk kelompok separatis meningkat di Xinjiang. Kelompok-kelompok itu terinspirasi oleh runtuhnya Uni Soviet dan munculnya negara-negara muslim merdeka di Asia Tengah.
Dunia internasional menuduh China mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap orang-orang Uighur menjelang Olimpiade Beijing pada 2008, tetapi ketegangan meningkat secara dramatis pada 2009.
Kerusuhan terjadi pada tahun itu di ibu kota daerah, Urumqi, dan para pejabat China mengatakan sekitar 200 orang terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah etnis Han. Beijing berpendapat bahwa tindakan keras diperlukan untuk menghentikan penyebaran sentimen separatis.
Ketegangan meningkat lagi pada 2016, ketika seorang sekretaris baru partai kala itu, Chen Quanguo, berkunjung ke Xinjiang, untuk menetapkan kebijakan garis keras yang serupa terjadi sebelumnya di Tibet.
Sejak itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh China sengaja menempatkan satu juta orang Uighur di kamp-kamp pengasingan.
China mengatakan telah menempatkan Uighur di "pusat pendidikan kejuruan" untuk menghentikan penyebaran ekstremisme agama, dan untuk menghentikan gelombang serangan teroris.
Namun, kritik terlanjur meluas terhadap kebijakan China, yang mengatakan tindakan tersebut bertujuan untuk menghancurkan identitas Uighur.





Credit Liputan6.com


https://m.liputan6.com/amp/3841920/siapa-sebenarnya-etnis-uighur-dan-mengapa-berkonflik-dengan-china


Sabtu, 22 Desember 2018

Muslim Uighur di Xinjiang: Indonesia harus desak Cina agar buka akses informasi

Hak atas fotoKEVIN FRAYER/GETTY IMAGESImage captionKeluarga dari etnis Uighur berdoa saat perayaan Idul Adha di provinsi Xinjiang, Cina, pada 12 September 2016.

Pemerintah Indonesia dinilai memiliki posisi yang kuat untuk mendorong pemerintah Cina membuka informasi atas apa yang menimpa etnis Uighur di provinsi Xinjiang.

Dalam laporan Amnesty Internasional, sekitar satu juta penduduk Uighur mengalami penyiksaan dan tidak diketahui nasibnya ketika dimasukkan ke "kamp pendidikan ulang".

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, mengatakan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, anggota Dewan Keamanan PBB, dan juga memiliki hubungan bilateral yang baik dengan Cina, bisa memanfaatkan hal itu agar menjembatani persoalan yang dialami komunitas tersebut.

"Indonesia punya peranan yang signifikan, karena Indonesia punya hubungan baik dengan Cina. Nah ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk berkomunikasi dengan Cina untuk membuka akses informasi terhadap orang Uighur dan itu akan menghapus kecurigaan global atas kasus Uighur," jelas Agung Nurwijoyo kepada wartawan dalam diskusi di Jakarta, Kamis (20/12).

"Saya pikir Indonesia bisa mendorong di situ untuk membuka akses informasi tentang apa yang terjadi di Cina dan ini jadi pintu masuk Indonesia bermain dalam di level diplomasi global," sambungnya.

Hanya saja, menurutnya, belum adanya sikap resmi pemerintah atas permasalahan ini dikarenakan Indonesia masih menunggu respon negara-negara Islam lain.

"Kayaknya pemerintah masih wait and see, karena rata-rata negara-negara Islam di dunia belum banyak bersuara," ujarnya seraya meyakini bahwa Indonesia akan mengambil jalan soft diplomacy untuk merespon kasus etnis Uighur.

Dari pengamatannya, langkah soft diplomacy itu ditempuh untuk menghindari balasan pemerintah Cina yang justu akan merugikan ekonomi Indonesia, yakni embargo.

Ini melihat besarnya investasi yang ditanam di dalam negeri. Merujuk pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari Cina pada periode Januari-September 2018 mencapai US$ 1,8 miliar.

Hak atas fotoVYACHESLAV OSELEDKO/AFP/GETTY IMAGESImage captionKeluarga Uighur memegang foto sanak famili mereka yang ditahan di kamp pendidikan ulang di Xinjiang.

"Mungkin saja akan diembargo. Secara global, ketergantungan terhadap Cina besar. Bukan hanya negara-negara Islam, tapi Afrika sendiri tergantung pada Cina. Jadi di luar masalah kemanusiaan, kalkulasi politik menjadi pertimbangan untuk memberi respon. Karena pernyataan apapun kan pernyataan politik," ungkapnya.

"Sementara respon keras pasti akan memberikan feed back balik. Karena Cina tidak mau dicampuri urusan dalam negerinya. Meski kemanusiaan urusan semua pihak, tapi Cina tidak begitu."

JK: pemerintah berhati-hati respon isu Uighur

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah belum menentukan sikap apapun atas apa yang menimpa etnis minoritas Uighur, lantaran masih menunggu laporan Duta Besar Indonesia di Beijing.

Di mana pemerintah Cina mempersilakan dubes ke Xinjiang untuk melihat situasi sebenarnya.

Selain itu, pemerintah juga kata JK, akan menunggu penjelasan Duta Besar Cina yang sebelumnya disurati Kementerian Luar Negeri pada 17 Desember lalu.

Menurut JK, pemerintah sangat berhati-hati dalam merespon isu Uighur sebab ada dugaan kelompok tersebut memang terlibat kelompok terorisme. Ia merujuk pada penangkapan empat etni Uighur di Poso karena dituduh membantu Santoso.

"Kita belum ada statment resmi, tentang apa yang terjadi di Xinjiang. Karena pihak Cina menjelaskan orang Uighur terkait dengan radikalisme," jelas Jusuf Kalla kepada wartawan, Kamis (20/12).

Itu mengapa, kata JK, sikap pemerintah berbeda dalam kasus Rohingya dan Uighur.

Hak atas fotoREUTERSImage captionPemerintah Cina mengklaim di tempat inilah etnik Uighur 'menerima pendidikan kejuruan'.

"Jadi kita lihat dulu, karena itu berbeda kasus di Myanmar dengan ini. Tapi pemerintan concern dan sudah disampaikan kepada pemerintah Cina. Perlu dicatat bahwa kita harus bedakan perlakuan diskriminatif dengan kemungkinan adanya radikalisme," imbuhnya.

Namun begitu, sejumlah kalangan mulai dari Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, hingga DPR mendesak pemerintah segera bersikap. Wakil Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan, misalnya meminta pemerintah mengambil tindakan diplomatik. Baginya, pembangunan "kamp pendidikan uang" itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dihentikan.

"Apa yang terjadi di Xinjiang, bagi umat Islam Uighur suatu tindakan kejahatan yang saya yakin ini bertentangan dengan peraturan manapun. Jadi harus dihentikan dan pemerintah Cina harus bertanggung jawab terhadap praktik semacam ini," ujarnya.

Dia juga menyebut dalam beberapa kali kunjungannya ke Cina, pemerintah setempat selalu menyatakan tidak terjadi apa-apa pada kaum Uighur. Tapi jawaban itu, menurut Amirsyah, menunjukkan ada hal yang ditutupi. Karena itu, hari ini (21/12) MUI akan menyatakan sikap resmi kepada pemerintah.

Senada dengan MUI, Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga memaksa pemerintah bersikap tegas atas dugaan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang diderita warga Uighur. Kata dia, pemerintah jangan sampai tersandera hanya karena besarnya investasi Cina di dalam negeri.

"Pemerintah jangan takut dengan Cina karena ada investasi atau utang dalam bentuk proyek. Ini membuat kita tidak mau ikut campur dan menutup mata. Ini bahaya, pengkhianatan terhadap UUD 1945 dan politik luar negeri kita," tukasnya.

Menurut Fadli Zon, kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, menempatkan Indonesia dalam posisi independen dalam menentukan sikap namun aktif dalam perdamaian dunia. Hal itu semestinya bisa ditunjukkan dalam kasus Uighur.

"Kelihatan sekali diplomasi politik Jokowi ini melempem dan betul-betul tidak menunjukkan kapasitas sebagai negara besar."

Keluarga etnis Uighur yang berada di "kamp pendidikan" disiksa

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut dalam laporan lembaganya ada satu juta pendudukan Uighur yang ditahan di "kamp pendidikan ulang". Mereka itu, kata Usman, dituduh sebagai ekstremis dan teroris jaringan ISIS, namun tanpa ada bukti sahih.

Hak atas fotoREUTERSImage captionWakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah belum menentukan sikap apapun atas apa yang menimpa etnis minoritas Uighur, lantaran masih menunggu laporan Duta Besar Indonesia di Beijing.

"Pernah ada penangkapan Uighur di Thailand sebanyak 109 orang. Semuanya dituduh melakukan tindakan terorisme, tapi cuma 13 yang terbukti terlibat itupun kasus pelanggaran hukum biasa," tukas Usman Hamid.

Hasil penyelidikan Amnesty pula, jutaan orang Uighur yang berada di kamp tersebut, tidak diketahui nasibnya. Bahkan pihak keluarga yang sempat ditemui Amnesty, mengaku tak lagi mendapat kabar setelah keluarga mereka dimasukkan ke kamp.

"Pada 3 November lalu, ada seorang etnis Uighur ditangkap di Xinjiang. Belakangan diketahui kondisi kesehatannya memburuk berdasarkan hasil kunjungan keluarganya pada 13 Desember lalu. Dia disiksa selama di kamp dan diisolasi.

Padahal dia sebenarnya tidak berbuat apa-apa di kamp. Tapi dia sempat melihat suatu insiden yang akhirnya memintanya untuk diam, namun dia tak menuruti," kata Usman menceritakan kronologi keluarga Uighur.

"Dia lalu diminta menandatangani dokumen yang menyangkal ada penyiksaan di kamp tersebut. Saat dikunjungi, matanya susah melihat dan ada tanda bekas siksaan," sambungnya.

Bagi Usman Hamid, apa yang menimpa pada kaum Uighur persis sama seperti orang Papua. Dimana mereka mengalami perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan, penangkapan, dan juga kian termarjinalkan karena besarnya arus imigrasi ke Xinjiang.

"Kalau di Papua ada istilah BBM (Buton, Bugis, Makasar) yang berdatangan sehingga membuat orang Papua jadi minoritas, persis terjadi di Xinjiang. Uighur dari penduduk mayoritas jadi minoritas karena banyaknya imigrasi."

Sementara pemerintah Cina yang tengah gencar melakukan pembangunan infrastruktur di Xinjiang termasuk Jalur Sutra, berusaha meredam aksi-aksi pemberontakan dari etnis Uighur demi menjaga kestabilan ekonominya. Caranya dengan menebar isu bahwa etnis Uighur terkait dengan kelompok terorisme.

"Isu terorisme jadi dalih mempersekusi orang-orang Uighur. Perang melawan terorisme menjadi dalih menyembunyikan praktik-praktik pelanggaran kemanusiaan."

Dari pengamatan Amnesty, tidak ada satupun negara di Asia Tenggara yang bersuara melindungi warga Uighur. Ini karena derasnya kucuran uang yang diberikan pemerintah Cina. Usman mencontohkan Kamboja yang memperoleh bantuan sebesar 1,2 miliar Dollar setelah memulangkan 20 orang Uighur ke Cina.

"Sayangnya Cina kuat secara ekonomi. Laos juga begitu. Negara-negara ASEAN mendapat kemudahan ekonomi dari Cina dan dengan sendirinya membantu pemulangan Uighur ke Cina tanpa ada persetujuan dari orang yang bersangkutan."

Itu mengapa Amnesty, kata Usman, agak pesimistis negara-negara tetangga akan bersikap tegas terhadap Cina. Dia berharap Indonesia sebagai negara anggota Dewan Keamanan PBB bisa mengambil sikap melindungi etnis minoritas tersebut.

"Indonesia mungkin satu-satunya negara yang relatif kondisi HAMnya lebih baik dan punya tempat lebih strategis di Dewan Keamanan PBB, meski statusnya tidak tetap," pungkasnya.

Credit BBC INDONESIA


https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46637762


GNPF Ulama Sebut Ada Penganiayaan Hingga Jual Organ Uighur


Massa berbagai ormas Islam menggelar aksi solidaritas selamatkan muslim Uighur di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta, Jumat (21/12).


CB, JAKARTA – Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Yusuf Muhammad Martak mengatakan aksi solidaritas untuk umat Muslim di Uighur, Xinjiang pada Jumat (21/12) merupakan upaya umat Muslim Indonesia untuk menyampaikan aspirasi atas derita yang dialami saudara se-Muslim di Uighur.

Menurut kabar yang ia dengar, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara masif oleh pemerintah Tiongkok terhadap umat Islam di Uighur, Xinjiang. 

Bahkan, kata dia, ada yang mengatakan terjadi penganiayaan, pembunuhan, dan penjualan organ. 

"Sebab itu kami meminta kejelasan dan keterangan dari Kedutaan besar Cina yang ada di Indonesia," kata Yusuf kepada awak media di depan Kantor Kedubes Cina, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Jumat (21/12).

Jika kabar tersebut benar, ia menuntut agar hal tersebut dihentikan. "Jangan diteruskan karena itu kan sudah sangat-sangat melanggar HAM sekali. Karena itukan manusia biar bagaimanapun, tidak bisa dianiaya, disiksa semacam itu bahkan sampai dibunuh dengan hal-hal yang sifatnya dengan cara-cara yang sadis," kata dia.

Sementara itu, kata dia, jika Kedubes Cina menampik hal itu, pihaknya akan terbuka dengan kebenaran yang ada. 

"Kami tidak berandai-andai, insya Allah mereka (umat Islam) akan terbuka dan mau menerima, selama mereka (Kedubes Cina) mau menjelaskan semua agar kami mendapatkan informasi yang jelas," kata dia. 

Selain itu, ia mengaku aksi solidaritas yang dilakukan sejumlah umat Islam di Indonesia merupakan dorongan dari rasa empati sebagai sesama muslim. 

"Ini bukan dari satu Ormas (organisasi masyarakat), ini gabungan dan darimana saja dan tidak ada yang mengkoordinir, mereka mempunyai keterpanggilan yang sama, rasa empati pada umat Muslim yang ada di negara lain," kata dia. 

Selain itu, ia menegaskan aksi solidaritas akan terus dilakukan sampai ada komitmen yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk mendorong pemerintah Tiongkok menghentikan derita yang dialami umat muslim Uighur.

"Kami akan terus menyampaikan aspirasi ini, kita akan terus menyampaikan, dengan cara apapun kita akan meyampaikan, selama yang kita sampaikan itu sesuai dengan ketentuan hukum dan tidak melangar hukum," jelas dia.

Bahkan, pada aksi solidaritas tersebut, ada ancaman akan memboikot barang-barang yang diproduksi Cina jika hal ini tidak segera diselesaikan. "Ya itu bisa juga bisa terjadi," kata dia.

Cina, negara yang berideologi komunisme, dilaporkan telah mengoperasikan kamp-kamp reedukasi untuk etnis Uighur dan Kazakhs di Xinjiang. 

The Associated Press mengutip sejumlah saksi yang menyebutkan Partai Komunis Cina telah melarang rakyat di wilayah itu untuk menggunakan bahasa etnis daerah setempat. Larangan bahkan mencakup persoalan yang sifatnya pribadi, semisal menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam.

Xinjiang terletak di bagian barat Cina dan dihuni mayoritas Muslim dari etnis Uighur dan Kazakh. Beberapa tahun silam, isu separatisme menguat di sana. Beijing meresponsnya dengan kebijakan tangan besi dalam dua tahun belakangan. Hasilnya, ratusan ribu Muslimin ditahan dan dimasukkan dalam kamp-kamp.

Kedubes Cina di Jakarta dalam rilisnya mengatakan pemerintah Beijing melindungi dan menjamin kebebasan beragama, termasuk kaum Muslim Uighur. Namun, sebagian masyarakat Musim Uighur terjangkit ekstremisme dan radikalisme. Re-education camp ialah upaya melakukan deradikalisasi melalui pendidikan vokasi.

Credit REPUBLIKA.CO.ID


https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/22/pk482d320-gnpf-ulama-sebut-ada-penganiayaan-hingga-jual-organ-uighur







Pemimpin Uighur: Perangi Terorisme Hanya Dalih Pemerintah China


Bangunan kamp-kamp interniran di Xinjiang, tempat para Muslim Uighur dan lainnya ditahan untuk pendidikan ulang. Foto/REUTERS
BERLIN - Kelompok Muslim Uighur di Xinjiang yang merasa ditindas otoritas China di kamp-kamp "pendidikan ulang" minta negara-negara Muslim di dunia angkat bicara. Ketua Kongres Uighur Dunia, Dolkun Isa, menyebut klaim memerangi terorisme hanya dalih pemerintah China untuk meredam perbedaan pendapat.
Kongres Dunia Uighur yang berbasis di Jerman dibentuk untuk mewakili minoritas Muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang,  China barat. Dalam sebuah wawancara dengan FRANCE 24, dia mengatakan apa yang disebut kamp "pendidikan ulang" yang dibuat oleh China untuk menahan orang Uighur adalah "kamp konsentrasi abad 21". 
Dia juga mengecam negara-negara Muslim karena gagal berbicara tentang nasib orang-orang Uighur China.
Menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia, antara 1 juta hingga 3 juta orang telah ditahan di kamp-kamp "pendidikan ulang" China sejak fasilitas itu dibangun pada April 2017.
Dolkun Isa mengecam penyiksaan fisik dan mental serta "cuci otak" yang dialami oleh kaum Uighur di kamp-kamp di Xinjiang. Dia menepis klaim pemerintah China bahwa pendidikan ulang itu ditujukan untuk memerangi terorisme dan memberikan pelatihan kepada warga setempat.
Isa mengklaim kamp-kamp itu sebagai ganti dari kebijakan "pembersihan etnis". Menurutnya, tuduhan-tuduhan teroris oleh pemerintah terhadap dirinya dan orang-orang Uighur lainnya dibuat untuk meredam perbedaan pendapat.

Dia berharap negara-negara Barat bisa meminta Beijing untuk menutup kamp-kamp tempat komunitas Muslim Uighur dan lainnya ditahan. Namun, dia menyesalkan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak mengangkat masalah ini dalam pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping.
Lebih lanjut dia mengecam negara-negara Muslim karena sebagian besar diam atas nasib orang Uighur."Memalukan, bahwa mereka tidak mau berbicara untuk membela sesama Muslim," tulis FRANCE 24, Kamis (20/12/2018), mengutip Isa.
Credit Sindonews.com



https://international.sindonews.com/read/1364358/41/pemimpin-uighur-perangi-terorisme-hanya-dalih-pemerintah-china-1545284193




China Tuai Kritik Masyarakat Dunia Atas Penindasan Terhadap Etnis Uighur, Ini Reaksi JK dan MUI



tribunjabar/syarif pulloh anwari

Ribuan orang yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Muslim (GSM) untuk muslim Uighur, Xinjiang China, berunjukrasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (21/12/2018) siang. 

CB - Kabar berita tentang muslim Uighur akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat.

Muslim Uighur merupakan suatu kelompok minoritas masyarakat muslim negara China.

Pemerintah China santer diberitakan karena dihujani berbagai kritik dari masyarkat dunia atas perlakuan mereka yang dianggap menindas warga suku Uighur.

Terkait hal tersebut Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut memberikan tanggapan.

Bahkan MUI dan Menteri Agama pun juga tak tinggal diam perihal kasus tersebut.

Selain fakta diatas berikut Tribunnewsmerangkum fakta lainnya yang mengutip dari sejumlah sumber berita.

1. Muslim Uighur Dipantau Ketat

Aksi kekerasan polisi China terhadap muslim Uighur (ISTIMEWA)

Menurut Human Rights Watch, suku Uighur khususnya, dipantau secara ketat.

Mereka harus memberikan sampel biometrik dan DNA.

Selain itu dilaporkan terjadi penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di 26 negara yang dianggap 'sensitif' akibatnya hingga satu juta orang telah ditahan.

Kelompok-kelompok HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan keyakinan mereka.

2. Pemerintah China Menyangkal Hal Tersebut

Pemerintah China membantah tudingan kelompok-kelompok HAM itu.

Pada saat yang sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif terhadap orang-orang yang tinggal di Xinjiang.

Selain itu mengutip dari BBC, mereka menyangkal adanya kamp penahanan khusus tersebut mereka berdalih jika orang-orang di Xinjiang itu mendapatkan 'pelatihan kejuruan'.

Seorang pejabat tinggi di Xinjiang mengatakan wilayah itu menghadapi ancaman tiga kekuatan yakni dari terorisme, ekstremisme, dan separatisme.

3. Kedubes Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Buka Suara

Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Indonesia, memberikan penjelasan lengkap mengenai program pelatihan dan pendidikan vokasi yang dilaksanakan di Xinjiang.

Hal ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia terkait nasib muslim Uighur di Xianjang.

Juru bicara Dubes RRT, Xu Hangtian menegaskan, Tiongkok merupakan negara multisuku dan multiagama.

Hak-hak kebebasan beragama dan kepercayaan warga negara Tiongkok dijamin Undang-undang Dasar. Termasuk bagi Muslim suku Uighur di Xinjiang.

"Pemerintah Tiongkok, memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya, termasuk Muslim suku Uighur di Xinjiang untuk menjalankan kebebasan beragama dan kepercayaan," tegas Xu Hangtian dalam pernyatannya yang diterima redaksi Tribunnews Jakarta, Kamis (20/12/2018).


Hangtian, ada 10 suku di Xinjiang yang mayoritasnya menganut agama Islam, dengan jumlah penduduk sekitar 14 juta.

Selain itu ada 24,4 ribu masjid di wilayah Xinjiang, atau sekitar 70 persen dari jumlah total masjid di seluruh Tiongkok. Jumlah masjid per kapita berada di jajaran terdepan di dunia.

Begitu juga jumlah ulama ada 29 ribu orang, sekitar 51 persen dari jumlah total di seluruh negara.

Pun di Xinjiang, ada 103 ormas agama Islam, mengambil porsi 92 persen dari seluruh ormas agama di Xinjiang.

"Didirikan pula beberapa pesantren dan madrasah," jelas Xu Hangtian.

4. Tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Dari kiri-ke kanan Wasekjen MUI DR Amirsyah Tambunan, KEtua Umum MUI DR (HC) KH. Ma'ruf Amin dan Kepala BNPT Komjen Pol Drs. suhardi Alius, MH
Dari kiri-ke kanan Wasekjen MUI DR Amirsyah Tambunan, KEtua Umum MUI DR (HC) KH. Ma'ruf Amin dan Kepala BNPT Komjen Pol Drs. suhardi Alius, MH (ist)

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Amirsyah Tambunan mengatakan MUI baru akan mengambil sikap secara resmi terkait etnis Uighur di Tiongkok pada, Jumat (21/12/2018) hari ini.

Namun secara pribadi, ia mengatakan penindasan yang terjadi pada masyarakat etnis Uighur di Tiongkok melukai perasaannya sebagai anak bangsa.

Hal itu diungkapkan Amirsyah pada diskusi di Gondangdia Menteng Jakarta Pusat pada Kamis (20/12/2018) saat mengutip dari Tribun Jakarta.

"Ini melukai perasaan kita sebagai bagian anak bangsa. Luka perasaan ini tidak mudah diobati. Karena hubungan bilateral kedua negara bisa bermasalah, baik menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial, tatkala Pemerintah Tiongkok diam tanpa melakukan upaya konkret terhadap tindakan diskriminatif dan kesewenang-wenangan," kata Amirsyah.

Ia pun menilai, PBB harus mengambil sikap tegas terkait hal tersebut.


5. Tanggapan  Wakil Presiden Jusuf Kalla

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditemui di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018).
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditemui di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018). (Rina Ayu)

Wakil Presiden Jusuf Kallamenyatakan Indonesia masih menunggu informasi terkait kondisi aktual warga Uighur Xinjiang.

Ia mengatakan, pada 17 Desember lalu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi telah memanggil Dubes China di Indonesia untuk menyampaikan keprihatinan.

Selain itu, juga telah memerintahkan Duta Besar RI di Beijing untuk melihat keadaan sebenarnya di Xinjiang, RRC.

"Semuanya menunggu laporan dari Kedubes kita dan juga follow up dari pertemuan, pemanggilan Dubes Chinake Menlu pada tanggal 17 lalu," ujar JK, di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018) kemarin.

JK menerangkan, hal itu dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada warga Uighur, Xinjiang.

"Perlu pemerintah, kami sampaikan bahwa pemerintah sangat prihatin dengan apabila ada pelanggaran HAM, kalau itu terjadi ya. Walaupun pihak China selalu membantah tidak demikian, tapi kita prihatin," ujar JK.

"Kalau terjadi diskriminatif dalam agama itu melanggar ketentuan atau ketetapan terhadap HAM internasional yang harus juga ditaati oleh pihak China," sambung dia.

6. Tanggapan Menteri Agama

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/2/2017).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/2/2017). (Tribunnews.com/ Imanuel Nicolas Manafe)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengatakan, harusnya Pemerintah Republik Rakyat China(RRC) memberikan penjelasan terbuka terkait kondisi aktual warga Uighur Xinjiang.

Menurutnya, sejumlah informasi beredar tentang kondisi warga Uighur, dimana salah satunya disebutkan telah terjadi separatisme di sana, sehingga menggerakan simpatik masyarakat dunia.

"Dalam dunia global dengan kecepatan arus informasi seperti saat ini, kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui masyarakat dunia. Maka, akan jauh lebih baik bila pihak otoritas Pemerintah RRC langsung yang menjelaskan ke masyarakat dunia, agar tak menimbulkan dugaan-dugaan yang tak berdasar," ujar Menag di Jakarta, Rabu (19/12/2018).

Meski pemerintah RI telah memanggil Dubes RRC di Jakarta guna menyampaikan perhatian dan kepedulian Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur RRC.

Namun ujar Menag Lukman, penjelasan terbuka dari RRC tentu dibutuhkan masyarakat, apalagi jika bersinggungan dengan persoalan agama.

7. Tanggapan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (Chaerul Umam)

Dugaan pelanggaran HAM yang dialami lebih dari satu juta masyarakat muslim etnis Uighur di China, turut menjadi sorotan serius Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.

Fadli yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, mengecam dan mendesak pemerintah Indonesia untuk bersuara membela muslim Uighur di Xinjiang yang sedang mengalami pelanggaran HAM.

Dari pemberitaan media internasional, perlakuan diskrimiantif dan tindakan represif pemerintah China terhadap muslim Uighur, ungkap Fadli sebenarnya sudah berlangsung cukup lama.

Akan tetapi, sayangnya belum ada negara-negara muslim, termasuk Indonesia, yang berani mengecam tindakan pemerintah China.”

“Meski diberikan status otonomi, penduduk muslim di Xinjiang faktanya justru mengalami perlakuan represif. Lebih dari 10 juta muslim di Xinjiang mengalami perlakukan diskriminatif, baik diskriminasi agama, sosial, maupun ekonomi," kata Fadli Sabtu (15/12/2018).






Credit TRIBUNNEWS.COM


http://bangka.tribunnews.com/2018/12/21/china-tuai-kritik-masyarakat-dunia-atas-penindasan-terhadap-etnis-uighur-ini-reaksi-jk-dan-mui


Jumat, 21 Desember 2018

Xinjiang, Negeri Kaya Minyak yang Tertindas



Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Foto: AP

Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar Cina.



 Oleh: Harun Husein*



Xinjiang tak kunjung tenang. Wilayah otonomi Uighur di barat laut Cina ini, selalu saja mengabarkan nestapa Muslim, yang hak asasinya diinjak-injak pemerintah Komunis Cina. Dua kali kawasan ini coba dimerdekakan, dua kali pula republik Islam berdiri di sana, namun negara baru itu selalu berhasil dibubarkan.

Jika Anda membayangkan Xinjiang sebuah kawasan kecil di tepi gurun pasir Asia Tengah, Anda keliru. Xinjiang adalah sebuah kawasan besar, luasnya setara dengan tiga pulau Sumatra, atau sama dengan Pakistan dan Afghanistan digabung jadi satu. Sejak dulu, Xinjiang merupakan wilayah penting yang diperebutkan.


Dulu, Xinjiang merupakan urat nadi perdagangan dunia, karena berada di Jalur Sutra. Kini, Xinjiang merupakan wilayah yang kaya sumberdaya alam. Ungkapan ‘di mana ada adzan di situ ada minyak’, juga terbukti di sini.



Cadangan minyak dan gas terbesar Republik Rakyat Cina (RRC) ada di sini, khususnya di Xinjiang bagian selatan (Tarim Basin), tempat Muslim Uighur sejak dulu tinggal menetap di bawah sistem pemerintahan tradisional yang disebut Khanate atau Khaganate.

Dengan luas 1,6 juta kilometer persegi, Xinjiang setara dengan 17 persen wilayah Cina, dan merupakan wilayah otonomi terbesar di Cina. Namun, hanya lima persen (80 ribu kilometer persegi) wilayahnya yang bisa ditinggali. Meski demikian, wilayah yang hanya lima persen ini setara dengan 100 kali luas daratan Jakarta.

Sebagian besar wilayah Xinjiang adalah gurun pasir, padang rumput, danau, hutan, dan perbukitan. Xinjiang berada di kaki Gunung Tianshan yang membelah Asia Tengah. Xinjiang berbatasan dengan delapan negara, yaitu Mongo lia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar yang dibangun dinasti demi dinasti di Cina selama dua ribu tahun. Karena itu, orang-orang Uighur pun menjadikan fakta ini sebagai argumen bahwa tanah mereka bukanlah bagian dari Cina, apalagi mereka pun bukan orang Cina.

Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai orang Turkistan Timur. Kawasan Xinjiang, dalam sejarah diperintah berbagai kerajaan. Mulai Tocharians, Yuezhi, Kekaisaran Xiongnu, negara Xianbei, Kekaisaran Kushan, Khagan Rouran, Kekaisaran Han, Liang,
Qin, Liang Barat, Dinasti Tang, Kekaisaran Tibet, Khagan Uyghur, Khan Kara, Khitan, Kekaisaran Mongol, Dinasti Yuan, Khan Chagatai, Moghulistan, Qaradel, Yuan Selatan, Khan Yarkent, Dinasti Qing, Republik Cina, dan terakhir Republik Rakyat Cina (RRC).

Dinasti Qing masuk ke Xinjiang setelah Muslim Uighur dan khan-khan Muslim lain di Asia Tengah, meminta bantuan untuk menghadapi orang-orang Dzungar-Mongol, yang selalu mengganggu. Setelah orang-orang Mongol Budha ditumpas, Dinasti Qing mendatang kan orang-orang Han dan Hui untuk menempati kawasan utara (Dzugar Basin).

Namun, mereka tidak diperbolehkan memperdagangkan babi dan minuman keras ke kawasan selatan yang dihuni Muslim. Kawasan Tarim Basin, disebut juga sebagai Huiland, atau tanah Hui, yang terjemahan bebasnnya adalah Tanah Muslim.

Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Muslim Uighur
Foto:
Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar Cina.


Sekadar catatan, Hui awalnya bukan nama etnik. Dulu istilah Hui disematkan
kepada penganut Islam, Kristen, bahkan Yahudi. Tapi, lama kelamaan istilah ini menyempit untuk menyebut Muslim.

Jenghis Khan, misalnya, kerap menyebut Muslim dengan istilah “Hui-hui.”
Belakangan, istilah Hui menyempit lagi, khusus untuk orang Cina Muslim berkulit kuning.


Orang Hui dan Han saat ini, sebenarnya secara etnis tak ada bedanya. Pada pertengahan abad ke-19, Dinasti Qing melemah akibat perang dan pemberontakan.


Mulai Perang Candu dengan Inggris, pada 1839 hingga 1860, pemberontakan Taiping atau perang sipil di selatan Cina (1850-1864), dan pemberontakan Muslim

Hui dan Uyghur di Xinjiang pada 1864, yang terimbas pemberontakan Cina Muslim di Gansu dan Shaanxi, dua provinsi di sebelah timur Xinjiang.

Pada 1864, orang-orang Han dan Hui terlibat bentrok parah yang dikenal dengan Revolusi Dungan atau Revolusi Hui Muslim. Revolusi ini awalnya bertujuan memberi pelajaran kepada pemerintahan pemerintahan korup dan para pejabat penindas rakyat, karena itu tak terdengar istilah jihad atau pendirian negara Islam. Tapi, kemudian orang-orang Han (Prajurit Taiping) mendatangi kawasan Muslim seperti Shaanxi atas
dukungan Dinasti Qing dan membentuk milisi Yong Ying.

Orang-orang Hui pun merespons dengan membentuk milisi. Kondisi chaos saat itu berlanjut saat Khan Kokand dari kawasan yang kini Kyrgistan, bersama pasukan Turko-
Muslim-nya memasuki Xinjiang dari Kasghar. Ironisnya, pasukan yang dipimpin Yaqub Beg ini menjalin aliansi dengan milisi Han, dan mengepung pasukan Muslim di Urumqi. Yaqub memerin tah di sana enam tahun.

Rusia pun ikut ambil bagian, dan pada 1871 mengepung kawasan Lembah Ili yang kaya, termasuk Gulja, di utara Xinjiang. Belasan tahun kemudian barulah Dinasti Qing siuman. Mereka mengirim pasukan untuk menumbangkan Ya qub Beg, dan mengambil Gulja dari Rusia.

Selanjutnya, Diansti Qing menggabungkan kawasan utara Tianshan (Dzungar Basin) dengan kawasan selatan (Tarim Basin) yang didiami Muslim, dan pada 1884 menamainya Xinjiang, yang berarti batas baru. Xinjiang menjadi sebuah provinsi.

Tapi, karena orang-orang Han  dan Hui di Xinjiang utara hampir punah gara-gara perang sipil, orang-orang Uighur di selatan pun akhirnya menyebar ke utara. Maka, jadilah seantero Xinjiang didiami mayoritas Muslim Uighur. Selain menjadi rumah orang Uyghur, Xinjiang juga ditinggali orang Kazakh, Tajik, Kyrgyz, Hui, Han, dan Mongol.



Credit  republika.co.id



Kamis, 20 Desember 2018

Ini Jawaban Cina Soal Keprihatinan RI ke Muslim Uighur



Muslim Uighur
Muslim Uighur
Foto: ABC News
Persoalan terhadap Uighur adalah masalah separatisme.




CB, BANDUNG -- Kementerian Luar Negeri RI telah mendiskusikan isu dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina, dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian.

Dalam pertemuan yang diadakan pada 17 Desember lalu, perwakilan Kemlu menyampaikan keprihatinan berbagai kalangan di Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur.

"Kemlu menegaskan sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Merupakan tanggung jawab tiap negara untuk menghormatinya," kata Juru Bicara Kemlu Arrmanatha Nasir di sela-sela acara "Diplomacy Festival" (DiploFest) di Universitas Padjadjaran, Bandung, Rabu (20/12) malam.

Dalam kesempatan tersebut, Dubes Cina menyampaikan komitmen negaranya terhadap perlindungan HAM. Dubes Cina juga sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.

"Walaupun merupakan isu dalam negeri Cina, Kemlu mencatat keinginan Kedubes Cina di Jakarta untuk terus memperluas komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat madani untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur di Cina," ujar Arrmanatha.

Sementara itu, pemerintah Cina menolak tudingan masyarakat internasional bahwa rezimnya telah melanggar HAM terhadap etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.

Pemerintah Cina beralasan tindakan tegas tersebut dilakukan untuk mencegah terjadi penyebaran ideologi radikal di kalangan masyarakat Uighur.



Konsul Jenderal Cina di Surabaya Gu Jingqi mengatakan persoalan yang dialami suku Uighur merupakan masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat.

"Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah Cina, atasi," kata Jingqi kepada Antara di Surabaya, Jumat (13/12).

Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di Cina. Sehingga, Jingqi beranggapan tindakan yang dilakukan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di Cina.

Warga Muslim di Cina sebanyak 23 juta jiwa. Namun Pemerintah memperlakukan warga dengan sama. "Meskipun minoritas, mereka tidak dibatasi dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka," ujarnya



Credit  republika.co.id




Sampaikan Sikap Soal Uighur, Kemlu Panggil Dubes China


Sampaikan Sikap Soal Uighur, Kemlu Panggil Dubes China
Kemlu memanggil Dubes China untuk Indonesia guna menyampaikan sikap pemerintah terhadap kamp tahanan Uighur. Foto/Istimewa

JAKARTA - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyatakan telah memanggil Duta Besar China untuk Indonesia. Pemanggilan itu untuk menyampaikan sikap pemerintah mengenai keberadaan kamp penanahan terhadap kaum minoritas di China, khususnya kaum Muslim Uighur.

Juru bicara Kemlu, Arrmanantha Nassir mengatakan, pertemuan dengan Dubes China tersebut berlangsung pada tanggal 17 Desember lalu. Dalam pertemuan itu, lanjut Arrmanantha, Kemlu menegaskan berdasarkan hukum internasional setiap orang berhak untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama mereka.

"Pada kesempatan tersebut Kemlu menegaskan bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia dan dalam kaitan ini merupakan tanggung jawab setiap negara untuk menghormati ini," ucap Arrmanantha, Jakarta, Rabu (19/12/2018).

Ia lalu mengatakan, dalam kesempatan tersebut juga Dubes China menyampaikan komitmen Beijing terhadap perlindungan HAM dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.

"Walaupun merupakan isu dalam negeri, Kemlu mencatat keinginan Kedutaan Besar China di Jakarta untuk terus memperluas komunikasi dengan berbagaj kelompok masyarakat madani untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur di China," kata pria yang akrab di sapa Tata ini. 

"Pertemuan khusus itu diadakan agar Kemlu mendapatkan informasi mengenai kondisi Uighur di China dan menyampaikan keprihatinan masyarakat Indonesia mengenai konflik tersebut," tukasnya. 



Credit  sindonews.com



Selasa, 18 Desember 2018

Pusat Detensi Uighur Mirip Kamp Konsentrasi Semasa Perang



Pagar dibangun di sekitar pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Dabancheng di Xinjiang di wilayah barat jauh Cina.[REUTERS]
Pagar dibangun di sekitar pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Dabancheng di Xinjiang di wilayah barat jauh Cina.[REUTERS]

CB, Jakarta - Pusat rehabilitasi untuk Muslim Uighur di Xinjiang, Cina barat, dilaporkan mirip seperti kamp konsenterasi dan para tahanan Muslim diduga dijadikan pekerja paksa.
Berdasarkan kesaksian dari kerabat tahanan, citra satelit, dan laporan dokumen pemerintah yang terungkap menunjukkan para tahanan dipaksa untuk bekerja di sejumlah pabrik yang dibangun di dalam atau di sekitar kamp, setelah lolos dari fasilitas rehabilitasi, ungkap laporan New York Times, dilansir dari Daily Mail, 18 Desember 2018.

Para tahanan menceritakan kepada kerabat mereka bahwa mereka dipaksa bekerja membuat pakaian di bawah kondisi kerja yang buruk di pabrik dengan upah rendah.
Satu juta lebih Uighur dan minoritas Muslim lain diyakini ditahan di pusat detensi di Xinjiang, menurut laporan PBB.

Televisi pemerintah Cina menunjukkan Muslim Uighur menghadiri kelas tentang bagaimana menjadi warga negara yang taat hukum. Ada bukti bahwa para tahanan juga dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik baru. [New York Times]
Cina sendiri mengklaim kamp itu sebagai pusat pelatihan vokasi profesional yang digunakan untuk kontra-terorisme sekaligus meningkatkan keterampilan.
Namun aktivis Uighur meyakini tiga juta lebih ditahan di kamp, menurut laporan Amnesty International. Di Xinjiang diperkirakan ada sekitar 12 juta Muslim Uighur.
Periset Cina di Amnesty International, Patrick Poon, mengatakan ini adalah orang yang ditahan paling banyak dalam sejarah modern Cina.
"Kamp ini serupa dengan kamp konsentrasi masa perang, dari skala dan kondisi lingkungannya mirip," katanya.
"Di sana ada kelas doktrinisasi politik, di mana orang-orang dipukuli jika tidak mengikuti perintah. Kondisinya sangat represif," tambah Patrick.

Laporan lain mengungkapkan ribuan penjaga kamp dilengkapi dengan gas air mata, senjata listrik kejut, tongkat, menurut dokumen pemerintah.
Dokumen mengungkapkan bahwa kamp yang dijuluki pusat pelatihan vokasional, harus "mengajari seperti sekolah, diatur secara militer, dan dijaga seperti penjara".
Selain itu, kamp juga berupaya menghapus akar budara dan asal-usul tahanan. Dalam laporan sebelumnya, para tahanan dipaksa meminum alkohol dan makan daging babi.

Pekerja berjalan di pagar perimeter yang dikenal sebagai pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Dabancheng di Xinjiang Uighur, Cina, 4 September 2018. REUTERS/Thomas Peter


New York Times melaporkan, selain indoktrinasi, di dalam atau di sekitar kamp juga dibangun sejumlah pabrik. Citra satelit menangkap 10 hingga 12 bangunan besar yang diduga pabrik. Catatan sejumlah perusahaan mengungkap komoditas percetakan, pakaian, atau tekstil dialamatkan ke dalam kamp.
Periset Turki mengatakan para tahanan dipaksa bekerja dengan gaji rendah, berdasarkan kesaksian yang dikumpulkan dari para kerabat tahanan.
Menurut laporan Atajurt Kazakh Human Rights, organisasi HAM yang berbasis di Kazakhstan dan sering membantu etnis Kazan melarikan diri dari Xinjiang., para tahanan dipaksa bekerja membuat pakaian di dalam kondisi buruk dan upah rendah.

Financial Times juga melaporkan salah satu tahanan yang dikirim ke kamp untuk bekerja di pabrik karpet dan yang lain dikirim k pabrik tekstil mengaku hanya mendapat upah US$ 95 atau Rp 1,3 juta per bulan.Namun pemerintah Cina membantah dan mengklaim kamp penahanan Uighur dan minoritas Muslim lain itu hanyalah pusat pelatihan vokasi untuk meningkatkan keahlian kerja yang dibutuhkan di masyarakat Cina, termasuk belajar bahasa Mandarin.



Credit  tempo.co




Senin, 17 Desember 2018

Din Syamsuddin Kecam Penindasan Muslim Uighur di China


Din Syamsuddin Kecam Penindasan Muslim Uighur di China
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin. Foto/SINDOnews


JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin, mengecam keras penindasan terhadap warga Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China.

Seperti dilaporkan media-media internasional, Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang mengalami penyiksaan, pengucilan, dan pelarangan menjalankan ajaran agama.

Penindasan seperti itu, menurut Din Syamsuddin, merupakan pelanggaran nyata atas hak asasi manusia (HAM), dan hukum internasional.

HAM dan International Convenant on Social and Political Rights menegaskan adanya kebebasan beragama bagi setiap manusia. Maka, menurut Din Syamsuddin, Muslim Uighur yang merupakan mayoritas penduduk di Provinsi Xinjiang memiliki kebebasan menjalankan ajaran agamanya.

Din yang juga President of Asian Conference on Religions for Peace (ACRP) meminta agar penindasan itu dihentikan. Dia mendesak Organisasi Kerja sama Islam (OKI) untuk menyelamatkan nasib umat Islam Uighur dab bersikap tegas terhadap rezim China untuk memberikan hak-hak sipil bagi mereka.

"Secara khusus, Dewan Pertimbangan MUI meminta Pemerintah Indonesia untuk menyalurkan sikap umat Islam Indonesia dengan bersikap keras dan tegas terhadap Pemerintah China dan membela nasib umat Islam di sana," bunyi keterangan tertulis Din Syamsuddin, yang diterima SINDOnews.com. Senin (17/12/2018).

Dia mengimbau umat Islam sedunia untuk mengulurkan pertolongan bagi saudara-saudara Muslim lewat cara-cara yang memungkinkan. 




Credit  sindonews.com






Minggu, 16 Desember 2018

Indonesia dinilai harus serius sikapi nasib muslim Uighur

Photo document of Uighur Muslim in China. (dancingturtle.org)


Jakarta (CB) - Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai pemerintah Indonesia harus serius menyikapi kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami muslim Uighur di China dan harus aktif membantu melalui diplomasi HAM.

"Indonesia serius menyikapi hal itu dan aktif membantu muslim Uighur melalui diplomasi HAM, baik secara bilateral terhadap Pemerintah China maupun secara multilateral melalui keanggotaan PBB, OKI, dan lembaga-lembaga internasional lainnya," kata Jazuli di Jakarta, Minggu.

Dia menilai politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif melakukan diplomasi atas setiap bentuk pelanggaran HAM, pengekangan keyakinan yang dilakukan terhadap umat manusia di dunia.

Menurut Jazuli, pelanggaran HAM yang terjadi terhadap muslim Uighur sudah menjadi pengetahuan umum dan telah berlangsung lama dan berbagai laporan LSM HAM dunia termasuk dari PBB memperkuat hal tersebut.

"Dunia tidak boleh tinggal diam, apalagi Indonesia sebagai negara muslim terbesar dengan mandat konstitusional yang jelas ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," ujarnya.

Jazuli yang merupakan anggota Komisi I DPR RI itu menilai Indonesia punya hubungan baik dengan Pemerintah China dan itu semestinya dimanfaatkan untuk saling menguatkan visi peradaban dunia yang bermartabat di atas penghormatan atas hak asasi manusia.

Terutama menurut dia, hak berkeyakinan agama yang merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia yang tidak dapat dihilangkan atau "inlienable rights".

"Untuk itu adalah tanggung jawab kita sebagai bangsa yang bermartabat untuk membantu saudara-saudara kita muslim Uighur dan warga dunia manapun yang tertindas," katanya.

Dia menegaskan bahwa tanggung jawab itu ujung tombaknya ada pada peran diplomasi aktif Pemerintah Republik Indonesia.

Credit ANTARANews.com




Kamis, 29 November 2018

Dugaan Pelanggaran HAM Etnis Uighurs, Cina Siap Melawan Sanksi



Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, mengatakan segala kebijakan Beijing di kawasan itu ditujukan untuk mengedukasi para terduga teroris. Sumber: Wikipedia
Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, mengatakan segala kebijakan Beijing di kawasan itu ditujukan untuk mengedukasi para terduga teroris. Sumber: Wikipedia

CB, Jakarta - Beijing tidak akan tinggal diam jika Amerika Serikat menjatuhkan sanksi yang menyasar pejabat tinggi Negara Tirai Bambu itu terkait tuduhan pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang. Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, mengatakan segala kebijakan Beijing di kawasan itu ditujukan untuk mengedukasi para terduga teroris.
Dalam wawancara dengan Reuters, Rabu, 28 November 2018, Cui mengatakan tindakan Beijing di Xinjiang adalah upaya memberantas terorisme internasional yang menggunakan sebuah propaganda. Ini sama hal dengan Amerika Serikat memberantas kelompok Islamic State atau ISIS di Irak dan Suriah.

"Bisakah Anda bayangkan jika pejabat tinggi Amerika Serikat yang bertugas memerangi ISIS akan dikenai sanksi? Jika tindakan semacam itu dilakukan pada pejabat kami, maka kami tak bisa tinggal diam," kata Cui, yang tidak menjelaskan secara rinci tindakan yang mungkin dilakukan.


Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, mengatakan segala kebijakan Beijing di kawasan itu ditujukan untuk mengedukasi para terduga teroris. Sumber: news.cgtn.com


Beijing menghadapi kritikan dari sejumlah aktivis, akademisi dan pemerintah asing serta para ahli di PBB terkait penahanan massal pada penduduk etnis Uighur di Xinjiang. Etnis Uighur adalah kelompok minoritas dan sebagian besar beragama Islam.
Sebelumnya pada Agustus lalu, sebuah panel HAM PBB mengatakan telah menerima banyak laporan kredible bahwa jutaan penduduk etnis Uighurs di Cina ditahan di sebuah tempat yang mirip kamp penawanan penuh rahasia.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sedang mempertimbangkan menjatuhkan sanksi-sanksi kepada sejumlah perusahaan dan pejabat pemerintah Cina yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap kelompok etnis Uighur. Diantara pejabat yang diincar Amerika Serikat adalah Sekertaris Partai Komunis Cina di Xinjiang, Chen Quanguo. 






Credit  tempo.co




China Sebut Muslim Uighur Tak Normal, Layak Masuk Kamp Khusus


China Sebut Muslim Uighur Tak Normal, Layak Masuk Kamp Khusus
Etnis Uighur di kawasan Xinjiang, China. (Kevin Lee)


Jakarta, CB -- Pemerintah China menolak tudingan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Muslim Uighur di Wilayah Otonomi Xinjiang, dengan memaksa mereka masuk ke kamp khusus. Mereka malah menganggap etnis Uighur bukan orang normal dan mencoba 'mendidiknya'.

"Kami mencoba mendidik mereka kembali. Mencoba mengembalikan mereka menjadi orang normal yang menjalani kehidupan sehari-sehari secara lazim," kata Duta Besar China untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, seperti dilansir CNN, Rabu (28/11).

Tiankai menyatakan pemerintah China bakal membalas jika pemerintah AS menjatuhkan sanksi, atas tuduhan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur. Mereka tetap menyangkal tudingan itu, dan menyatakan kamp itu cuma bagian dari 'pelatihan'.


"Jika hal itu dilakukan, kami akan membalas," kata Tiankai.


Sejumlah orang Uighur yang pernah merasakan dijebloskan ke kamp konsentrasi itu mengaku dipaksa mempelajari propaganda Partai Komunis China setiap hari. Bahkan beberapa mengaku disiksa.

Menurut pernyataan 270 orang akademisi, konon etnis Uighur yang tidak mengikuti seluruh 'pendidikan politik' ala pemerintah China bakal dipukuli, dimasukkan ke sel, atau dihukum dengan cara menekan kejiwaan atau melanggar norma agama.

Memang ada sejumlah warga Uighur yang terlibat perkara terorisme. Namun, hal itu dianggap tidak bisa dijadikan pembenaran untuk bersikap diskriminatif.

Pemerintah China dikenal berlaku diskriminatif terhadap wilayah Xinjiang dan etnis Uighur yang memeluk Islam. Mereka kerap memberlakukan aturan tak masuk akal, seperti melarang puasa saat Ramadhan, dilarang menggelar pengajian, hingga salat berjamaah. Bahkan aparat China secara ketat menempatkan pos-pos pemeriksaan di seluruh wilayah hingga perbatasan Xinjiang.


Alasan pemerintah China melakukan hal itu adalah untuk mencegah penyebaran ideologi radikal di kalangan etnis Uighur. Namun, dari sisi etnis Uighur, mereka menyatakan justru perlakuan pemerintah China yang memicu radikalisme dan ekstremisme.

Saat pemimpin Partai Komunis China, Mao Tse Tung meluncurkan program Revolusi Budaya pada 1966 hingga 1976, sejumlah masyarakat yang memegang teguh prinsip religius ikut terdampak. Padahal, mulanya gagasan itu bertujuan memerangi kaum bangsawan di masa kekaisaran yang dianggap menyusup ke pemerintahan, dan hendak mengembalikan posisi mereka.

Karena program itu juga pasukan China menyerbu dan mencaplok Tibet. Hal itu menyebabkan pemimpin Tibet, Dalai Lama, mengungsi dan hingga saat ini berada di pengasingan di India.


Tentara Merah China dan organisasi sayap Partai Komunis juga kerap merusak rumah-rumah ibadah serta simbol-simbol kaum bangsawan saat masa Revolusi Budaya.




Credit  cnnindonesia.com





Rabu, 28 November 2018

China Ancam Balas AS Jika Beri Sanksi Soal Muslim Uighur


China Ancam Balas AS Jika Beri Sanksi Soal Muslim Uighur
Laporan Kongres AS menyatakan setidaknya satu juta mayoritas Muslim Uighur telah dipenjara di pusat pendidikan yang sangat besar di provinsi Xinjiang, China barat. Foto/Istimewa

WASHINGTON - China akan memberikan pembalasan terhadap Amerika Serikat (AS) jika Washington menjatuhkan sanksi kepada Beijing atas pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Ancaman itu dilontarkan oleh Duta Besar China untuk AS Cui Tiankai.

Laporan Kongres AS menyatakan setidaknya satu juta mayoritas Muslim Uighur telah dipenjara di pusat pendidikan yang sangat besar di provinsi Xinjiang, China barat.

Pemerintahan Trump semakin vokal tentang nasib kaum Uighur dan kelompok bipartisan anggota parlemen AS telah menyerukan sanksi terhadap Beijing atas perlakuannya kepada kelompok minoritas.

Namun berbicara kepada Reuters, Cui mengklaim pemerintah China berusaha "mendidik kembali" teroris dan mengeluh bahwa Beijing ditahan dengan standar ganda.

"Bisakah Anda bayangkan (jika) beberapa pejabat Amerika yang bertanggung jawab atas perang melawan ISIS akan dijatuhi sanksi?" kata Cui seperti dikutip dari CNN, Rabu (28/11/2018).

Ia lantas membandingkan militer AS yang memerangi ekstremis Islam di Timur Tengah dengan reaksi China di Xinjiang. Ia mengatakan sementara Washington membunuh para teroris, Beijing berusaha membantu mereka.

"Kami mencoba untuk mendidik kembali sebagian besar dari mereka, mencoba mengubahnya menjadi orang normal (yang) dapat kembali ke kehidupan normal," ujarnya.

Setelah 11 September 2001, serangan teroris di New York dan Washington, AS memenjarakan lebih dari 20 orang Uighur tanpa pengadilan di fasilitas penahanan Teluk Guantanamo, menyusul penangkapan mereka di Pakistan dan Afghanistan.

Tiga tahanan Uighur terakhir di Guantanamo tidak dibebaskan sampai Desember 2013, hampir 12 tahun setelah mereka pertama kali ditahan.

Cui mengatakan jika ada sanksi terhadap pejabat China akan ada tanggapan proporsional dari Beijing.

"Jika tindakan seperti itu diambil, kami harus membalas," tegas Cui tanpa merinci tindakan spesifik yang mungkin diambil China.

Pemerintah China telah berulang kali membantah menahan etnis Uighur di kamp-kamp di Xinjiang. Sebaliknya malah mengklaim kamp-kamp itu adalah pusat pelatihan "pendidikan kejuruan" sukarela.

Tetapi mantan narapidana Uighur menceritakan kisah yang berbeda, mengatakan mereka dipaksa untuk mengulang propaganda Partai Komunis setiap hari, berterima kasih dan memuji Presiden China Xi Jinping, sementara yang lain mengklaim mereka disiksa di kamp-kamp.

Pada hari Senin, sebuah kelompok yang terdiri dari 270 akademisi yang peduli di seluruh dunia merilis sebuah pernyataan yang secara keras mengutuk tindakan Beijing di Xinjiang. Mereka mengatakan para tahanan dipaksa untuk menanggung "kekurangan gizi dan tekanan psikologis yang parah."

"Mereka yang tidak sepenuhnya berpartisipasi dalam pendidikan ulang politik sering menjadi sasaran pemukulan, kurungan isolasi, dan bentuk-bentuk pelanggaran agama dan psikologis. Ada banyak laporan tentang kematian di kamp-kamp tersebut, terutama di kalangan orang tua dan lemah," bunyi pernyataan itu. 




Credit  sindonews.com