Tampilkan postingan dengan label MYANMAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MYANMAR. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 September 2018

Militer Myanmar Minta Maaf Terbitkan Foto Palsu Rohingya


Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Juru bicara pemerintah dan militer tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.




CB, YANGON -- Militer Myanmar mengeluarkan permintaan maaf pada Senin (3/9) dan mengakui dua foto yang diterbitkan dalam buku miliknya bukan foto asli.

Surat kabar resmi militer, harian Myawady, mengeluarkan pernyataan pada Senin dari divisi penerbitannya yang menghasilkan buku Myanmar Politics and Tatmadaw: Part I. Penerbit meminta maaf atas dua foto.

"Ditemukan dua foto itu salah diterbitkan. Kami dengan tulus meminta maaf kepada para pembaca dan pemilik foto untuk kesalahan itu," kata kelompok penerbitan dalam sebuah pernyataan.


Ini merujuk pada foto dari Tanzania dan satu lagi foto yang menunjukkan korban perang kemerdekaan Bangladesh 1971. Myawady, dalam pernyataannya, tidak menyebutkan perubahan gambar.

Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay dan juru bicara militer Mayor Jenderal Tun Tun Nyi tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Jumat lalu, kantor berita Reuters memberitakan tentara Myanmar menerbitkan sebuah buku yang menceritakan tentang krisis Rohingya. Dalam buku itu terdapat foto-foto yang menggambarkan Rohingya.

Sebuah foto hitam-putih menunjukkan seorang lelaki berdiri di atas dua mayat, sambil memegang alat pertanian. "Bengali membunuh etnis lokal secara brutal", tulis keterangan di bawah foto.

Foto itu muncul di bagian buku yang mencakup kerusuhan etnis di Myanmar pada 1940-an. Keterangan foto menyebutkan umat Buddha dibunuh oleh Rohingya. Rohingya disebut sebagai "Bengali" untuk menyiratkan mereka adalah imigran gelap.

Reuters melakukan pemeriksaan untuk mengecek keaslian foto itu. Dari hasil pemeriksaan diketahui foto itu diambil selama perang kemerdekaan Bangladesh 1971. Saat itu ratusan ribu orang Bangladesh dibunuh oleh pasukan Pakistan.

Ini adalah salah satu dari tiga foto yang muncul dalam buku itu. Buku diterbitkan pada  Juli oleh departemen militer hubungan masyarakat Myanmar. Foto itu telah disalahpahami sebagai gambar arsip dari negara bagian barat Rakhine.

Bahkan, Reuters menemukan dua foto aslinya diambil di Bangladesh dan Tanzania. Foto ketiga diberi label palsu karena menggambarkan Rohingya memasuki Myanmar dari Bangladesh. Padahal kenyataannya para migran meninggalkan negara itu.



Credit  republika.co.id






Senin, 03 September 2018

Misteri 'Kapal Hantu' Berbendera Indonesia Muncul di Myanmar Terjawab


Misteri Kapal Hantu Berbendera Indonesia Muncul di Myanmar Terjawab
Kapal hantu berbendera Indonesia, Sam Ratulangi PB 1600 ditemukan di kawasan pantai Myanmar. Foto/Kepolisian Yangon/Facebook

YANGON - Sebuah kapal tanpa awak atau "kapal hantu" ditemukan mengapung di Teluk Martaban di dekat wilayah Yangon, Myanmar, pekan lalu. Angkatan Laut setempat telah menemukan jawaban dari misteri kapal yang membawa bendera Republik Indonesia (RI) itu.

Kapal kontainer besar, kosong dan berkarat tersebut bernama Sam Ratulangi PB 1600. Nelayan Myanmar merupakan penemu pertamanya. "Itu terdampar di pantai (dan) membawa bendera Indonesia," kata pihak Kepolisian Yangon."Tidak ada pelaut atau pun barang di kapal."

Pihak Angkatan Laut setempat mengatakan kapal kontainer itu ditarik oleh kapal tunda menuju ke pabrik pemecah kapal di Bangladesh. Namun, para awak meninggalkan kapal itu setelah terperangkap dalam cuaca buruk.

Pihak berwenang dan personel Angkatan Laut telah menaiki Sam Ratulangi PB 1600 pada hari Kamis untuk mencari petunjuk setelah kandas di pantai Myanmar. Awalnya, polisi dan pengamat bingung bagaimana kapal besar, tanpa pelaut atau pun barang di atasnya, bisa berakhir di Myanmar.

Menurut situs Marine Traffic yang mencatat pergerakan kapal di seluruh dunia, Sam Ratulangi PB 1600 dibangun pada tahun 2001. Panjangnya lebih dari 177 meter (580 kaki).

Menurut kantor berita AFP yang dikutip BBC, lokasi kapal itu terakhir tercatat di lepas pantai Taiwan pada tahun 2009. Sam Ratulangi PB 1600 adalah contoh kapal telantar pertama yang muncul di perairan Myanmar.

Pada Sabtu (1/9/2018) kemarin, Angkatan Laut Myanmar mengatakan, pihaknya menduga kapal itu ditarik oleh kapal lain setelah dua kabel ditemukan di kepalanya.

Mereka kemudian menemukan tugboat, yang disebut sebagai Independence, sekitar 80 km (50 mil) di lepas pantai Myanmar.

Setelah menanyakan kepada 13 anggota awak kapal Indonesia, mereka mengetahui bahwa kapal tunda itu telah menarik kapal Sam Ratulangi PB 1600 sejak 13 Agustus, dan bermaksud untuk membawanya ke sebuah pabrik di Bangladesh yang akan membongkar dan menyelamatkan kapal.

Namun, beberapa kabel yang menempel di kapal putus saat cuaca buruk melanda, dan mereka memutuskan untuk meninggalkan kapal.

Pihak berwenang sedang menyelidiki lebih lanjut. Menurut laporan Eleven Myanmar, pemilik kapal tunda itu diduga berasal dari Malaysia.

Bangladesh memiliki industri pemecah kapal besar, dengan ratusan kapal komersial tua dibongkar di Chittagong setiap tahunnya. 

Tetapi bisnis ini kontroversial, di mana para kritikus mengatakan bahwa pekerjaan itu tidak diatur dengan baik dan berbahaya bagi buruh.



Credit  sindonews.com





Jumat, 31 Agustus 2018

Indonesia Tanggapi Laporan Dewan HAM Soal Rohingya


Warga muslim rohingya menunggu penyaluran bantuan berupa paket makanan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Warga muslim rohingya menunggu penyaluran bantuan berupa paket makanan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika

Indonesia telah mengusulkan formula 4+1 kepada Pemerintah Myanmar.



CB,  JAKARTA -- Pemerintah Indonesia memberi tanggapan atas laporan awal Tim Pencari Fakta Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya dugaan terjadinya genosida di negara bagian Rakhine, Myanmar.

"Pesan Indonesia kepada Pemerintah Myanmar sangat jelas. Indonesia telah mengusulkan formula 4+1 kepada Pemerintah Myanmar," demikian disampaikan dalam keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI yang diterima di Jakarta, Kamis (30/8).

Formula 4+1 yang diusulkan pemerintah Indonesia, yaitu pentingnya segera menciptakan stabilitas dan keamanan, menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan terhadap semua orang tanpa melihat latar belakang etnik dan agama, akses terhadap bantuan kemanusiaan serta implementasi rekomendasi laporan Kofi Annan.

"Pesan tersebut sangatlah jelas. Indonesia berkeyakinan, jika elemen dari Formula 4+1 dijalankan, maka tragedi kemanusiaan dapat ditangani dan kondisi Rakhine State semakin baik," kata pernyataan dari Kemlu RI.

Selain itu, pemerintah Indonesia telah mencoba memainkan peran sebagai bridge builder. Indonesia juga mencoba berkontribusi dalam penanganan krisis kemanusiaan dengan berbagai bantuan, baik ke Myanmar maupun ke Bangladesh.

Namun, setelah lebih dari satu tahun sejak lingkaran kekerasan pertama terjadi, tidak banyak kemajuan yang dicapai di negara bagian Rakhine. Pemerintah Indonesia memandang semua pihak memahami kompleksitas isu dan proses reformasi yang masih berlangsung di Myanmar. Namun demikian, kompleksitas isu tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan krisis terus berlangsung.

Pemerintah Indonesia menegaskan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia semua masyarakat di Rakhine State, termasuk minoritas Muslim, adalah tanggung jawab Pemerintah Myanmar dan harus ditegakkan secara konsisten dan inklusif. Untuk itu, diperlukan komitmen politik yang kuat dari Pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan masalah.

Berbagai nota kesepahaman dan pembentukan komite dan komisi tidak akan membantu memperbaiki situasi apabila tidak terdapat komitmen dan tekad kuat dari pemerintah Myanmar untuk menjalankan. Krisis kemanusiaan yang berawal dari Rakhine State telah berdampak pada kawasan. Ratusan ribu pengungsi meninggalkan Rakhine State menuju Bangladesh. Sebagian diantaranya mencari kehidupan ke negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menekankan sudah saatnya bagi Pemerintah Myanmar untuk bersungguh-sungguh melaksanakan semua komitmen yang sudah dibuat dan menindaklanjuti berbagai rekomendasi dan temuan komisi yang dibentuknya bersama masyarakat internasional. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang sudah berada di Myanmar dan Bangladesh pada saat lingkaran kekerasan terjadi di Rakhine State pada 2016.

Indonesia juga merupakan negara yang sangat aktif menjalin komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan internasional yang memiliki perhatian terhadap tragedi kemanusiaan di Rakhine State, termasuk almarhum Kofi Annan dan Sekjen PBB. 




Credit  republika.co.id





PBB Ungkap Kekejaman Militer Myanmar Terhadap Rohingya


Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP

Aksi pembersihan etnis Rohingya dilakukan secara terencana.



CB, JAKARTA -- Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Dalam laporan tersebut dipaparkan tentang penganiayaan dan kekejaman yang dilakukan Tatmadaw (pasukan keamanan Myanmar) terhadap berbagai etnis di Rakhine, termasuk Rohingya.

Anggota Misi Pencari Fakta PBB melakukan wawancara dengan sejumlah etnis yang tinggal di Rakhine. Mereka semua adalah korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius dari pasukan keamanan Myanmar. Menurut Misi Pencari Fakta PBB pelanggaran HAM yang dialami satu etnis dengan etnis lainnya memiliki kesamaan.

Hal itu misalnya, mereka diusir secara paksa dari tanahnya, ditahan secara sewenang-wenang, dan lainnya. Kemudian kaum perempuan mengalami kekerasan seksual. Salah satu korban mengungkapkan, pada 2017, dia dipukuli dan diperkosa Tatmadaw di sebuah pangkalan militer.

Hal-hal itu pula yang dialami Rohingya. "Di Negara Bagian Rakhine, umat Muslim seperti di penjara, mereka tidak bisa bepergian keluar. Tidak ada HAM untuk Muslim Rakhine. Saya tidak tahu mengapa Allah mengirim kita ke sana," kata salah satu Muslim Rohingya yang diwawancara Misi Pencari Fakta PBB.

Menurut Misi Pencari Fakta PBB, salah satu faktor yang mendorong diskriminasi terhadap Rohingya adalah kebijakan kewarganegaraan. Kebanyakan Rohingya, secara de facto, tak memiliki kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan mereka dirampas secara sewenang-wenang.

Hal itupun tak dapat diselesaikan melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar pada 1982. Dalam UU itu dijelaskan tentang proses verifikasi yang harus dilalui sebelum mendapatkan kartu kewarganegaraan. Masalahnya terletak pada konsep "ras nasional" dan retorika eksklusif yang berasal di bawah kediktatoran perdana menteri Myanmar Ne Win pada 1960.

Etnis Rohingya dianggap sebagai imigran gelap Bengal oleh masyarakat dan pemerintah Myanmar. "Hubungan antara ras nasional dan kewarganegaraan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi Rohingya," kata Misi Pencari Fakta PBB dalam laporannya.

Kemudian apa yang terjadi pada Agustus 2017 sebenarnya tak dapat dipisahkan dari penindasan sistematis terhadap Rohingya pada 2012 yang telah menyebabkan disintegritas komunitas masyarakat di Rakhine. Hal itu kemudian dipantik kembali oleh aksi penyerangan pos militer Myanmar di luar Rakhine oleh gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) pada 25 Agustus 2017.

Hanya berselang beberapa jam setelah penyerangan itu, pasukan keamanan Myanmar segera melancarkan operasi brutal ke Rakhine. Dengan dalih merespons ancaman terorisme ARSA, pasukan Myanmar menggeruduk ratusan desa di Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung.

Operasi yang semula mengincar gerilyawan ARSA, akhirnya turut berimbas pada seluruh warga sipil Rohingya. Otoritas Myanmar menyebut operasi itu sebagai "operasi pembersihan". Ribuan Rohingya tewas terbunuh pascaoperasi tersebut. Banyak pula perempuan-perempuan Rohingya yang diperkosa secara brutal. Sementara 725 ribu Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh.

"Semua orang hanya berlari untuk hidup mereka. Saya bahkan tidak bisa membawa anak-anak saya," kata salah satu Rohingya yang diwawancara Misi Pencari Fakta PBB.

Citra satelit pun telah menggambarkan bagaimana kondisi permukiman dan desa di Rakhine pascaoperasi militer Myanmar. Setidaknya 392 desa atau 40 persen dari seluruh permukiman di Rakhine hancur sebagian dan hancur total. Sebanyak 80 persen di antaranya dibakar pasukan Myanmar.

Sebanyak 70 persen desa yang dibakar berada di Maungdaw, tempat mayoritas Rohingya tinggal. Pasar, sekolah, dan masjid adalah termasuk bangunan-bangunan yang dibakar pasukan keamanan Myanmar. "Daerah-daerah yang dihuni oleh Rohingya secara khusus ditargetkan, dengan pemukiman yang berdekatan atau di dekatnya (Rakhine) aman tanpa diserang," ujar laporan itu.

Atas temuan-temuan tersebut, Misi Pencari Fakta PBB menyebut bahwa militer Myanmar memiliki niat untuk melakukan genosida terhadap Rohingya. Sebab apa yang disebut sebagai "operasi pembersihan" tak dilakukan secara spontan, tapi terencana.

Misi Pencari Fakta menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk  Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

Sementara itu Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan, pemimpin de facto Myanmar seharusnya mundur dari jabatannya. Sebab dia dianggap membiarkan pembantaian Rohingya terjadi. "Dia berada dalam posisi yang seharusnya bisa melakukan sesuatu. Dia bisa saja untuk terus diam, atau lebih baik mengundurkan diri," ujarnya pada Kamis (30/8), dikutip laman BBC.

Menurut Al Hussein, Suu Kyi tak perlu lagi menjadi juru bicara militer Myanmar dan menyangkal tentang pembantaian Rohingya di Rakhine. "Dia tidak perlu mengatakan bahwa ini adalah gunung es dari misinformasi. Ini adalah rekayasa," katanya.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan itu belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.





Credit  republika.co.id




Kapal Indonesia Ditemukan Terdampar Tak Berawak di Myanmar




Kapal Indonesia Ditemukan Terdampar Tak Berawak di Myanmar 
Ilustrasi kapal. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Jakarta, CB -- Sebuah kapal kontainer yang disebut berasal dari Indonesia bernama Sam Ratulangi dikabarkan sejumlah media Myanmar terdampar di Teluk Martaban, Provinsi Yangon.

Kapal kontainer itu disebut ditemukan kosong tak berawak dan disebut media lokal sebagai 'Kapal Hantu'.

Media lokal The Irrawaddy menulis, berdasarkan Departemen Administrasi Kelautan Myanmar, kapal tersebut terdaftar di Palau, Pasifik, kemudian terdampar di Teluk Martaban akibat cuaca buruk sejak tiga hari lalu.



"Tidak ada kru ataupun kargo di kapal itu," kata pihak otoritas kelautan setempat dalam pernyataannya dan dikutip dari The Irrawaddy, Kamis (30/8).



Departemen Administrasi Kelautan Myanmar menduga bahwa kapal tersebut ditarik oleh kapal lain sampai jarak tertentu sebelum dilepas dan kandas, atau ditinggalkan setelah gagal dalam upaya menarik kapal itu.

Dalam pernyataannya, pihak otoritas di Myanmar juga menyebut akan segera menghubungi otoritas di Palau sesegera mungkin untuk mencari tahu pemilik kapal tersebut.

CNNIndonesia.com sudah menghubungi pihak Kementerian Luar Negeri dan Duta Besar RI untuk Myanmar untuk mengonfirmasi laporan terkait keberadaan kapal ini namun belum mendapatkan respons hingga berita ini ditayangkan.

Kabar keberadaan kapal tersebut juga diumumkan oleh pihak Kepolisian Yangon melalui sebuah unggahan di akun media sosial miliknya.


Pihak kepolisian menyebut kapal itu ditemukan pada 29 Agustus 2018 pukul 08.00 pagi waktu setempat oleh warga dan dilaporkan ke pihak berwajib.

Kepolisian ditemani perwakilan dari Imigrasi serta Departemen Administrasi dan petugas terkait kemudian memeriksa kapal tersebut.

"Menurut hasil penyelidikan [sementara] dikonfirmasi kapal itu berada di menit Lintang Utara 16° 39,249, Bujur 96° 5,439 menit. Kapal sepanjang 177 meter, lebar 27,9 meter, berat 26.510 ton. Kapal bernama Sam Ratulangi PB 1600," tulis pihak Kepolisian Yangon di unggahan tersebut.

"Kapal kargo ditemukan terdampar. Produk kapal berbendera Indonesia. Tim verifikasi gabungan terus menyelidiki hingga saat ini." tulis pernyataan tersebut





Credit  cnnindonesia.com



Kamis, 30 Agustus 2018

Pembantaian Etnis Rohingya, ASEAN Harus Ambil Sikap


Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar

CB, Jakarta - Laporan tim pencari fakta PBB terkait pejabat tinggi militer Myanmar yang terlibat dalam pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingya, meminta ASEAN agar mengambil langkah-langkah. ASEAN secara tak langsung di desak untuk mengambil sikap agar peristiwa serupa tidak terulang lagi.
Vitit Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, mengatakan situasi yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, sangat kritis bagi masyarakat Rohingya, khususnya setelah peristiwa pembantaian pada Agustus 2017. Muntarbhorn menilai kebijakan pemerintah Myanmar terkait pembantaian pada satu tahun lalu itu, berbeda dengan kebijakan saat suku Rohingya mengalami tindak kekerasan pada 1970-an dan 1990-an.
"ASEAN diundang untuk melihat kasus ini dan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya agar kekerasan serupa tidak terulang lagi," kata Muntarbhorn, saat ditemui dalam seminar dialog nasional Indonesia dalam kerangka PBB tentang analisis risiko yang diselenggarakan oleh CSIS, Rabu, 29 Agustus 2018.

Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar

Sebelumnya tim pencari fakta PBB pada 27 Agustus 2018 mempublikasi hasil investigasi yang memperlihatkan adanya keterlibatan pejabat tinggi militer Myanmar dalam pembantaian suku Rohingya pada Agustus 2017. Tindak pembantaian itu telah mendesak masyarakat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Menurut Makarim Wibisono, diplomat senior Indonesia, inti permasalahan dari pembantaian dan tindak kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, adalah karena kelompok masyarakat minoritas ini tidak dikategorikan sebagai warga negara Myanmar.
"Jadi, permasalahannya adalah kewarganegaraan," kata Makarim.
Myanmar saat ini dipimpin oleh pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan peraih Nobel perdamaian 1991. Namun begitu, terlihat militer masih mengendalikan pemerintahan.
"Mendiskusikan pembantaian yang dialami etnis Rohingnya di lingkup ASEAN akan sulit karena ada prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN," kata Makarim.
Nilai penting dari komunitas ASEAN adalah menciptakan masyarakat yang saling peduli dan solidaritas antar anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya, sulit memperlihatkan solidaritas kepada masyarakat Rohingya, Myanmar. Ini terlihat dari sulitnya akses kemanusiaan bagi suku Rohingya ditembus hingga jalan paling mudah ditembus untuk membantu para pengungsi hanya lewat Bangladesh. Dengan begitu, pembantaian di negara bagian Rakhine adalah tantangan bagi seluruh negara anggota ASEAN.





Credit  tempo.co




Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi tidak akan Ditarik


Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi
Foto: AP

Hadiah Nobel diberikan untuk capaian pada masa lalu.




CB, STAVANGER -- Hadiah Nobel Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi tidak akan ditarik. Panitia Nobel Norwegia mengatakan hal itu dilakukan meskipun ada laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan tentara Myanmar terbukti membantai suku Rohingya dengan niat genosida.

Pada Senin, penyelidik PBB menyatakan tentara Myanmar melakukan pembantaian dan pemerkosaan beramai-ramai dengan maksud genosida. Panglima tertinggi serta lima jenderal negara itu seharusnya dituntut atas kejahatan berat di bawah hukum antarbangsa.

Aung San Suu Kyi, yang memimpin Pemerintah Myanmar dan mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 atas kegiatannya untuk demokrasi menuai kecaman. Hal itu karena dia tidak berbicara menentang tindakan keras tentara terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.

"Sangat penting untuk diingat bahwa hadiah nobel, entah di fisika, sastra, atau perdamaian, diberikan untuk beberapa upaya atau capaian pada masa lalu," kata Olav Njoelstad, sekretaris Panitia Nobel Norwegia.

"Aung San Suu Kyi mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian untuk perjuangannya bagi demokrasi dan kebebasan hingga 1991, tahun dia diberi hadiah itu," katanya. Selain itu, aturan hadiah Nobel tidak memungkinkan hadiah ditarik.

Panitia Nobel Norwegia terdiri atas majelis lima orang Norwegia, kebanyakan mantan politisi dan ilmuwan, yang mencerminkan kekuatan berbeda di parlemen Norwegia. Hadiah Nobel lain diberikan di Swedia.

Pada tahun lalu, ketua panitia itu, Berit Reiss-Andersen, juga menyatakan tidak akan menghapus penghargaan tersebut setelah muncul kecaman atas peran Aung San Suu Kyi dalam bencana Rohingya.

"Kami tidak melakukannya. Bukan tugas kami untuk mengawasi atau menyensor yang pemenang lakukan sesudah hadiah itu diperoleh," katanya dalam wawancara televisi, "Pemenang hadiah itu sendirilah yang harus menjaga nama baik mereka."





Credit  republika.co.id





Myanmar Tolak Laporan Genosida Rohingya PBB


Myanmar Tolak Laporan Genosida Rohingya PBB
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay menyatakan pihaknya menolak laporan genosida terhadap etnis Rohingya yang dikeluarkan oleh PBB. Foto/Istimewa

NAYPYIDAW - Myanmar menolak laporan penyelidik PBB yang menyatakan para jenderalnya harus dituntut karena genosida. Sebaliknya, Myanmar mengatakan masyarakat internasional telah membuat tuduhan palsu.

Pernyataan ini muncul setelah laporan PBB, yang menandai pertama kalinya organisasi itu secara eksplisit menuduh pejabat Myanmar terlibat genosida atas tindak brutal terhadap Muslim Rohingya tahun lalu.


"Sikap kami jelas dan saya ingin mengatakan dengan tajam bahwa kami tidak menerima resolusi apa pun yang dilakukan oleh Dewan Hak Asasi Manusia," kata juru bicara pemerintah Myanamr, Zaw Htay, dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan di media pemerintah.

Ia mengatakan Myanmar tidak mengizinkan para penyelidik PBB masuk ke negara itu.

"Itu sebabnya kami tidak setuju dan menerima resolusi apa pun yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia," tegasnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (30/8/2018).

Dia menambahkan bahwa negara itu tidak memiliki toleransi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan telah membentuk Komisi Penyelidikan untuk menanggapi tuduhan palsu yang dibuat oleh PBB dan komunitas internasional lainnya.

Pihak berwenang Myanmar awal tahun ini membentuk sebuah panel yang terdiri dari dua anggota lokal dan dua anggota internasional - diplomat Filipina Rosario Manalo dan Kenzo Oshima, mantan duta besar Jepang untuk PBB - guna menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.

Myanmar membantah sebagian besar tuduhan, mengatakan militer menanggapi ancaman sah dari militan Rohingya, yang menyerang pos polisi di seluruh negara bagian Rakhine barat.

"Jika ada kasus terhadap hak asasi manusia, berikan saja kami bukti kuat, catatan dan tanggal sehingga kami dapat mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang melanggar peraturan dan peraturan," ujar Zaw Htay.

Pada hari yang sama ketika PBB merilis laporannya, Facebook menutup akun jenderal angkatan darat Myanmar Min Aung Hlaing dan pejabat militer lainnya. Facebook menuduh mereka menggunakan platform itu untuk menyebarkan kebencian dan informasi yang salah.

Terkait hal itu, Zaw Htay mengatakan pemerintah tidak memerintahkan larangan itu dan mempertanyakan Facebook tentang tindakan tersebut. Ia mengatakan pemblokiran telah menyebabkan meningkatnya kritik dan ketakutan di antara orang-orang. 

Pemerintah sipil Myanmar berbagi kekuasaan dengan militer, yang mengontrol kementerian utama termasuk urusan dalam negeri dan imigrasi.


Credit   sindonews.com


Selasa, 28 Agustus 2018

Tim Pencari Fakta PBB: Militer Myanmar Bantai Rohingya


Tim Pencari Fakta PBB: Militer Myanmar Bantai Rohingya
Tim Pencari Fakta PBB mendesak panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing mundur karena terbukti berniat melakukan genosida terhadap Rohingya. (Reuters/Hla Hla Htay)


Jakarta, CB -- Tim Independen Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing mundur karena terbukti berniat melakukan genosida terhadap Rohingya bersama lima jenderal lainnya.

"Ada informasi cukup untuk membenarkan/menjamin dibukanya penyelidikan dan penuntutan terhadap para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara) Myanmar, sehingga pengadilan kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka terkait genosida dengan situasi yang terjadi di Rakhine," demikian kutipan laporan tim tersebut.

Tak hanya militer, dalam laporannya itu tim tersebut juga menyimpulkan pemerintahan di bawah Aung San Suu Kyi membiarkan ujaran kebencian berkembang dan gagal melindungi etnis minoritas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan.



"Kejahatan di negara bagian Rakhine dan cara mereka melakukan kejahatan itu memiliki sifat, gravitasi, dan ruang lingkup serupa dengan pihak-pihak yang mengizinkan genosida berlangsung," bunyi laporan 20 halaman tersebut seperti dikutip Reuters, Senin (27/8).



Dalam jumpa pers di Jenewa, ketua panel tersebut, Marzuki Darusman, mengatakan salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah mendesak para petinggi militer Myanmar turun dari jabatannya.

"Satu-satunya langkah maju saat ini adalah menyerukan pengunduran dirinya [Aung Hlaing]," kata Marzuki yang merupakan mantan Jaksa Agung RI itu.

Selain Aung Hlaing dan lima jenderalnya, Marzuki mengatakan pejabat militer lain termasuk personel tambahan, warga sipil, hingga gerilyawan juga masuk daftar pelaku yang turut memperburuk krisis kemanusiaan ini.

Dalam laporan itu, tim pecari fakta mendesak Dewan Keamanan PBB memastikan semua pelaku dimintai pertanggungjawaban. Tim tersebut menyarankan agar Myanmar segera diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau melalui pengadilan ad hoc.



Tim pencari fakta juga mendesak komunitas internasional memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar.

"DK PBB harus mengadopsi sanksi individu, termasuk larangan perjalanan dan membekukan aset mereka, terhadap para pelaku yang paling bertanggung jawab atas kejahatan serius di bawah hukum internasional ini," bunyi laporan tersebut.

Laporan tersebut dirilis menyusul krisis kemanusiaan yang kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu. Saat itu, militer melancarkan operasi pembersihan dengan dalih memberangus "teroris Rohingya" yang sebelumnya sempat menyerang belasan pos keamanan di Rakhine.

Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, militer diduga mengusir, menyiksa, hingga membunuh etnis minoritas Rohinya yang tinggal di Rakhine. Dengan bantuan warga lokal, militer bahkan disebut membakar desa-desa Rohingya di wilayah itu.

Kekerasan itu pun memicu sedikitnya 700 ribu Rohingya untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.



Tim pencari fakta telah membuka penyelidikan sejak akhir tahun lalu dan berhasil mewawancarai sedikitnya 875 korban dan saksi mata di perbatasan Bangladesh dan beberapa negara lain.

Tak hanya itu, tim yang terdiri dari lima panelis independen itu juga ikut menganalisis dokumen, foto satelit, gambar, hingga rekaman video terkait krisis kemanusiaan itu.

Dalam laporannya, tim pencari fakta mengatakan tindakan militer, termasuk membakar desa-desa "sangat tidak proporsional."

Dihubungi melalui telepon oleh Reuters, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Tun Tun Nyu tidak bisa segera mengomentari laporan PBB tersebut. Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, juga tak dapat segera dimintai tanggapan terkait pernyataan PBB itu.





Credit  cnnindonesia.com




Senin, 27 Agustus 2018

PBB: Genosida Rohingya, Panglima dan 5 Jenderal Myanmar Harus Diadili


PBB: Genosida Rohingya, Panglima dan 5 Jenderal Myanmar Harus Diadili
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Laporan penyelidik PBB menyatakan, Suu Kyi tak gunakan kekuasaannya untuk hentikan kekerasan mengerikan militer terhadap minoritas Rohingya. Foto/REUTERS

JENEWA - Penyelidik PBB menyatakan, militer Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap para perempuan Muslim Rohingya. Penyelidik juga menunut agar Panglima Militer dan lima jenderal di negara itu diadili karena memiliki "niat genosida".

Laporan penyelidik PBB ini diumumkan di Jenewa, Senin (27/8/2018).

Pemerintah sipil yang secara de facto dipimpin oleh Aung San Suu Kyi juga dinyatakan telah mengizinkan pidato kebencian berkembang, menghancurkan dokumen bukti dan gagal melindungi minoritas dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang oleh tentara di Rakhine, Kachin dan Shan.

"Dengan demikian, itu berkontribusi terhadap atrocity crimes," bunyi laporan penyelidik PBB.

Setahun yang lalu, pasukan pemerintah memimpin penumpasan brutal di negara bagian Rakhine, Myanmar, sebagai tanggapan atas serangan oleh kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terhadap 30 pos polisi Myanmar dan pangkalan militer.

Sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari penindasan selama operasi militer. Sebagian besar dari mereka hingga kini masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.

Laporan PBB mengatakan, aksi militer termasuk membakar desa-desa Rohingya sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.

PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian. Penunjukan semacam itu jarang di bawah hukum internasional, tetapi telah digunakan di berbagai negara termasuk Bosnia dan Sudan dan dalam kebrutalan kelompok Islamic State (ISIS) terhadap komunitas Yazidi di Irak dan Suriah.

"Kejahatan di Negara Bagian Rakhine, dan cara di mana mereka lakukan, memiliki sifat, gravitasi dan ruang lingkup yang serupa dengan yang telah memungkinkan niat genosida untuk diwujudkan dalam konteks lain," lanjut laporan dari Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar tersebut.

Laporan itu memiliki tebal 20 halaman. "Ada informasi yang cukup untuk menjamin penyelidikan dan penuntutan para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara), sehingga pengadilan yang kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka untuk genosida dalam kaitannya dengan situasi di negara bagian Rakhine," imbuh laporan itu, seperti dikutip Reuters.

Pemerintah Myanmar, yang telah dikirimi salinan laporan penyelidik PBB, belum berkomentar.

Dihubungi melalui telepon, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Tun Tun Nyi mengatakan bahwa dia tidak bisa segera berkomentar. 


Panel PBB, yang dipimpin oleh mantan Jaksa Agung Indonesia, Marzuki Darusman, menunjuk Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya yang harus menghadapi pengadilan.

Para Jenderal itu termasuk Brigadir Jenderal Aung Aung, komandan "33rd Light Infantry Division", yang mengawasi operasi di desa pesisir Inn Din di mana 10 anak dan pria dewasa Rohingya dibunuh. Empat jenderal lain tak disebutkan secara detail.

Reuters tidak dapat menghubungi Panglima Min Aung Hlaing atau pun Jenderal Aung Aung pada hari Senin untuk berkomentar.

Pembantaian itu diungkapkan oleh dua wartawan Reuters; Wa Lone, 32, dan Kyaw Soe Oo, 28, yang ditangkap Desember lalu dan diadili atas tuduhan melanggar UU Rahasia Negara. Pengadilan semestinya menyampaikan putusan pada hari Senin, tetapi ditunda sampai 3 September 2018.

Laporan itu mengatakan Suu Kyi, seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian, tidak menggunakan posisi de facto sebagai Kepala Pemerintahan, atau otoritas moralnya, untuk menghentikan atau mencegah peristiwa mengerikan itu berlangsung.

Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar.

Komisaris Tinggi HAM PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein menyebut tindakan keras terhadap Rohingya sebagai "contoh buku teks tentang pembersihan etnis".


Credit  sindonews.com


Jumat, 24 Agustus 2018

PBB Peringatkan Satu Generasi Anak-anak Rohingya Beresiko Hilang




Anak-anak pengungsi Rohingya menikmati sebuah wahana kapal ferris yang belum sempurna saat merayakan Hari Raya Idul Adha di kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh, Rabu, 22 Agustus 2018. Para pengungsi Rohingya ini meninggalkan tempat tinggalnya di Myanmar untuk menghindari kekerasan dan penumpasan besar-besaran. (AP Photo/Altaf Qadri)
Anak-anak pengungsi Rohingya menikmati sebuah wahana kapal ferris yang belum sempurna saat merayakan Hari Raya Idul Adha di kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh, Rabu, 22 Agustus 2018. Para pengungsi Rohingya ini meninggalkan tempat tinggalnya di Myanmar untuk menghindari kekerasan dan penumpasan besar-besaran. (AP Photo/Altaf Qadri)

CB, Jakarta - PBB mengingatkan tentang resiko hilangnya satu generasi anak-anak Muslim Rohingya akibat setengah juta Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh menghadapi berbagai penyakit dan banjir dan ketiadaan akses pendidikan yang layak.
"Kami membicarakan tentang resiko kehilangan atau potensi kehilangan satu generasi anak-anak Rohingya," kata Simon Ingram, juru bicara UNICEF, Badan PBB untuk urusan anak-anak, dalam konferensi pers di Jenewa, Kamis, 23 Agustus 2018.

Peringatan ini disampaikan Ingram setelah selama 6 minggu ia berada di kamp pengungsi Rohingya di Cox.s Bazar, Bangladesh.

"Ini bukan hanya tentang setengah juta anak-anak atau lainnya di perbatasan Bangladesh, namun juga mereka yang masih tertinggal di negara bagian Rakhine, yang akses pendidikannya tambal sulam dan sangat terbatas," ujarnya.

Foto yang diunggah pada 18 Agustus 2018 ini menunjukkan Gigi Hadid menggambar bersama anak-anak pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh. Kunjungan kakak Bella Hadid ini merupakan bagian dari kerja sama dengan tim kemanusiaan UNICEF untuk memberi bantuan kesehatan kepada pengungsi Rohingya di sana. Instagram.com/gigihadid

Satu tahun sejak 700 ribu Rohingya melarikan diri akibat kekerasan merebak oleh pasukan keamanan Myanmar di Rakhine, UNICEF telah memberikan gambaran suram anak-anak di perbatasan.PBB memperkirakan 530 ribu hingga 600 ribu Rohingya yang tak memiliki kewarganegaraan masih bertahan di Rakhine termasuk sekitar 360 ribu anak-anak. Namun, PBB memiliki akses terbatas untuk masuk ke Rakhine.

Pemerintah Myanmar menyatakan persetujaunnya untuk menerima kembali pengungsi Rohingya yang lari ke Bangladesh. Pemimpin pemerintahan sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi di Singapura menjelaskan, tempat telah disediakan untuk Rohingya yang kembali ke Myanmar.Namun, Ingram menilai prospek Rohingya yang kembali ke Myanmar masih suram. Alasannya, kondisi Rakhine yang masih tidak aman bagi Rohingya.




Credit  tempo.co




Kamis, 23 Agustus 2018

Tolak Akui Kekejaman Militer, Suu Kyi Bela Kebijakan Atas Rohingya


Tolak Akui Kekejaman Militer, Suu Kyi Bela Kebijakan Atas Rohingya
Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

SINGAPURA - Pemimpina Myanmar, Aung San Suu Kyi, membela tindakan pemerintahnya di negara bagian Rakhine. Lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari rumah mereka dan mencari perlindungan di negara tetangga Bangladesh.

Berbicara pada sebuah ceramah di Singapura, Suu Kyi menolak untuk mengakui kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar. Sebaliknya ia membenarkan kampanye pemerintahnya terhadap komunitas Muslim yang terkepung.

"Kami, yang hidup melalui transisi di Myanmar, melihatnya berbeda dari mereka yang mengamatinya dari luar dan yang akan tetap tak tersentuh oleh hasilnya," katanya, dalam respon yang jelas terhadap kritik tentang bagaimana pemerintahnya menangani penderitaan Rohingya seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (22/8/2018).

PBB telah menggambarkan kampanye militer Myanmar di Rakhine sebagai pembersihan etnis teks book. Jurnalis dan kelompok hak asasi manusia yang melaporkan dari wilayah itu telah mendokumentasikan perkosaan yang meluas, pembunuhan, dan penghancuran rumah oleh pasukan pemerintah.

Meskipun demikian, penerima Hadiah Nobel Perdamaian itu telah menolak untuk mengutuk aksi kekerasan tersebut. Ia bahkan menolak untuk menyebut nama Rohingya untuk merujuk ke kelompok etnis tersebut.

Myanmar percaya bahwa Rohingya adalah orang Bengali yang bermigrasi ke negara itu secara tidak sah selama pemerintahan Inggris di benua itu. Myanmar menolak klaim bahwa Rohingya berasa dari wilayah itu berabad-abad lalu.

Sejak 2012, insiden intoleransi agama dan hasutan terhadap umat Islam telah meningkat di seluruh negeri, dengan Rohingya sering diserang dan digambarkan sebagai ancaman terhadap ras dan agama.

Dalam kesempatan itu, Suu Kyi juga mengatakan sulit untuk mengatakan kapan Rohingya yang dapat kembali. Ia pun menyalahkan Bangladesh atas keterlambatan itu.

"Sangat sulit bagi kami untuk menetapkan jangka waktu itu sendiri secara sepihak, karena kami harus bekerja dengan Bangladesh untuk melakukan itu".

Pemerintah Myanmar telah menandatangani beberapa perjanjian untuk mempersiapkan kembalinya Rohingya. Namun badan-badan PBB menuduh Myanmar terpaksa melakukan itu dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkhawatirkan keselamatan warga Rohingya saat kembali.

PBB, yang belum diberikan akses ke Rakhine sejak Agustus 2017, khawatir pengungsi yang kembali tidak akan menjadi kebebasan bergerak jika mereka kembali.

Knut Ostby, seorang pejabat PBB dan koordinator kemanusiaan di Myanmar, mengatakan perjanjian repatriasi telah dilanda penundaan berulang dan pihak berwenang belum mengizinkan mereka mengakses ke wilayah tersebut. 






Credit  sindonews.com









Kamis, 09 Agustus 2018

Myanmar Minta Indonesia Berinvestasi di Rakhine


Myanmar Minta Indonesia Berinvestasi di Rakhine
Sittwe, Rakhine. (REUTERS/Soe Zeya Tun)


Jakarta, CB -- Myanmar meminta Indonesia membantu negara bagian Rakhine dengan mendorong perekonomian di wilayah yang banyak dihuni komunitas Rohingya tersebut.

Langkah itu dinilai Naypyidaw sebagai bentuk kontribusi Indonesia yang lebih besar lagi terhadap pemulihan krisis kemanusiaan yang sempat memburuk dan mernargetkan etnis minoritas terutama Rohingya di wilayah itu.

Permintaan itu disampaikan Penasihat Keamanan Nasional Myanmar U Thaung Tun saat menemui Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Jakarta, Rabu (8/8) pagi.



"Myanmar bilang Indonesia mungkin dapat bantu melakukan kegiatan yang sifatnya ekonomi seperti investasi. Karena kegiatan ekonomi yang bisa jamin sustainability masyarakat yang tinggal di sana," ucap Retno kepada wartawan usai menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun ASEAN Ke-51 Tahun pada Rabu siang.


Retno mengatakan permintaan Myanmar itu masih terus dijajaki pemerintah meski tak memberikan detail terkait rencana investasi Indonesia di wilayah konflik tersebut.

Namun, ia menegaskan pembangunan ekonomi dilihat sebagai salah satu jalan yang bisa menjamin dan memastikan pemulihan krisis kemanusiaan berjalan secara berkelanjutan dan inklusif, terutama menyusul proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Rakhine yang masih berjalan.

"Jika kita ingin berkontribusi dalam menyelesaikan isu di Myanmar kita juga harus melihat kondisinya seperti apa," tutur Retno.


"Indonesia mencoba berkontribusi agar penyelesaian itu cepat selesai termasuk ekonomi, kesehatan, dan lainnya. Karena tanpa basic needs itu dipenuhi, pada saat repatriasi dilakukan, kehidupan para pengungsi tidak akan tejamin, tidak jelas mau ngapain kan," kata dia menambahkan.

Dalam kesempatan itu, Retno juga meminta Thaung Tun untuk memberikan perkembangan proses repatriasi pengungsi Rohingya yang seharusnya berjalan sejak awal tahun.

"Kami meminta Myanmar terus mengumumkan perkembangan penyelesaian krisis kemanusiaan ke dunia internasional supaya bisa ciptakan dan mendapatkan trust dari negara lain," kata Retno.

Selain bertemu Retno, Thaung Tun juga sempat bertemu dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian demi membahas kerja sama kapasitas pembangunan terkait pasukan polisi masyarakat.

Menurut Retno, peran Polri yang membaur di masyarakat Indonesia bisa menjadi inspirasi bagi fungsi aparat kepolisian Myanmar.

"Ada hal lain yang mereka sampaikan yakni pentingnya kerja sama meningkatkan comunity police. Polisi kita dianggap memiliki pengalaman yang dapat dibagikan ke Myanmar mengenai bagaimana menjalankan tugas secara bersahabat dengan masyarakat," papar Retno.



Credit  cnnindonesia.com



Myanmar Didesak Perbaiki Wilayah Rakhine untuk Rohingya


 Dalam foto file bulan September 2017, sejumlah pengungsi perempuan Muslim Rohingya berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh.
Dalam foto file bulan September 2017, sejumlah pengungsi perempuan Muslim Rohingya berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin

Ratusan ribu pengungsi Rohingya dari Bangladesh akan dikembalikan ke Rakhine.




CB, YANGON -- Badan-badan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Myanmar agar memperbaiki keadaan di negara bagian Rakhine. Hal itu untuk pengembalian ratusan ribu pengungsi Rohingya dari Bangladesh secara aman.


Negara itu juga diminta memberikan jalur jelas untuk kewarganegaraan bagi yang memenuhi syarat. Pernyataan bersama Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) dan Program Pembangunan PBB (UNDP) mengatakan bahwa mereka perlu mendapat jalur penuh ke negara bagian Rakhine.

Saat ini, mereka masih menunggu izin untuk menempatkan petugas-petugas asing di kota Maungdaw, menyusul permintaan pada 14 Juni. Belum ada jawaban dari pihak berwenang Myanmar atas permintaan Reuters untuk memberi tanggapan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani kesepakatan garis besar dengan Myanmar pada awal Juni. Kesepakatan itu memungkinkan ratusan ribu warga Rohingya di Bangladesh kembali dengan selamat tanpa paksaan. Tapi perjanjian rahasia itu, yang dilihat Reuters, tidak memberikan jaminan jelas akan kewarganegaraan atau kebebasan bergerak di seluruh negeri itu.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa kemajuan sangat diperlukan dalam tiga bidang utama. Ketiganya yakni pemberian jalur jelas di negara bagian Rakhine, memastikan kebebasan bergerak untuk semua masyarakat, dan mengatasi akar penyebab konflik.

Lebih dari 700 ribu warga Rohingya lari dari Rakhine, Myanmar barat, sesudah aksi pembersihan oleh tentara. Aksi penumpasan dimulai pada Agustus tahun lalu, sebagai tanggapan terhadap serangan ARSA, kelompok bersenjata Rohingya, ke pos-pos keamanan.

Myanmar menolak tuduhan pembersihan suku dan sebagian besar tudingan soal kekejaman. Negara itu justru menyalahkan kelompok teroris dari Rohingya. Namun, Myanmar mengatakan siap menerima kembali orang-orang yang melarikan diri tersebut.

Rohingya secara umum dianggap sebagai penyelundup oleh Myanmar yang berpenduduk sebagian besar umat Buddha. Myanmar juga menolak kewarganegaraan Rohingya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan para warga Rohingya yang tersisa di Rakhine berada di bawah aturan setempat. Aturan itu sangat membatasi kebebasan bergerak mereka, mencegah mereka mendapatkan pekerjaan, sekolah, dan perawatan kesehatan. Badan dunia tersebut menyerukan hambatan tersebut dapat dicabut.


Selain itu, Kepala Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Filippo Grandi mendesak negara-negara dan pemimpin bisnis di Asia Pasifik untuk memberikan lebih banyak bantuan kepada Bangladesh. Hal itu karena Bangladesh tengah menampung ratusan ribu pengungsi Rohingya.


"Saya mendorong Anda untuk mempertimbangkan dukungan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah Anda dalam solidaritas dengan Bangladesh hingga solusi ditemukan bagi para pengungsi (Rohingya)," kata Grandi dalam pidatonya saat menghadiri Konferensi Tingkat Menteri Ketujuh Bali Process di Bali, dikutip laman UN News pada Selasa (7/8).


Gelombang pengungsi Rohingya mulai memasuki Bangladesh pada Agustus 2017, seusai militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine untuk memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Walaupun memburu gerilyawan, tentara Myanmar turut menyerang dan membunuh warga sipil di sana.


PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.


Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan tersebut belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.





Credit  republika.co.id




Rabu, 01 Agustus 2018

Myanmar Bentuk Panel Selidiki Pelanggaran HAM Rohingya



Satu keluarga imigran pengungsi Rohingya asal Myanmar ketika merayakan Lebaran 2018, di tempat penampungan sementara milik Imigrasi Medan, Sumatera Utara, Jumat (15/6).
Satu keluarga imigran pengungsi Rohingya asal Myanmar ketika merayakan Lebaran 2018, di tempat penampungan sementara milik Imigrasi Medan, Sumatera Utara, Jumat (15/6).
Foto: Antara/Septianda Perdana

Myanmar mengkaim tidak memiliki niat melakukan pembersihan suku Rohingya.




CB, YANGON -- Myanmar membentuk komisi untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di negara bagian bergolak Rakhine. Diplomat Filipina Rosario Manalo dan mantan Duta Besar Jepang untuk PBB, Kenzo Oshima mengatakan komisi beranggota empat orang itu terdiri atas dua anggota lokal dan dua anggota internasional.

Diplomat Filipina Rosario Manalo dan mantan Duta Besar Jepang untuk PBB, Kenzo Oshima menjadi anggota internasional. Manalo, 82 tahun, mantan wakil menteri luar negeri Filipina, akan memimpin komisi tersebut.

Dua anggota lokal ialah pengacara Mya Thein dan ekonom dan mantan pejabat PBB Aung Tun Thet. Pada tahun lalu, Aung Tun Thet diangkat pemimpin Aung San Suu Kyi menjadi peran kunci dalam tanggapan Myanmar atas krisis Rohingya. Pada April, dia mengatakan kepada harian Bangladesh bahwa Myanmar 'tidak memiliki niat melakukan pembersihan suku'.

"Komisi independen ini akan menyelidiki tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM dan isu-isu terkait, setelah serangan-serangan teroris oleh ARSA," kata kantor Presiden Win Myint, merujuk kepada Tentara Penyelamat Rohingya Arakan, sebuah kelompok bersenjata Rohingya.

Lebih dari 700 ribu orang etnis Rohingya meninggalkan negara bagian Rakhine di barat Myanmar. Mereka meninggalkan Myanmar setelah tindakan keras oleh militer yang dimulai Agustus lalu sebagai tanggapan atas serangan-serangan oleh ARSA terhadap pos keamanan.

Myanmar telah menolak tuduhan-tuduhan melakukan pembersihan etnis dan membantah sebagai besar laporan melakukan kekejaman. Sebaliknya, Myanmar menyalahkan 'teroris' Rohingya.

Komisi itu adalah salah satu dari beberapa yang dibentuk dalam beberapa bulan terakhir untuk menyelesaikan masalah di negara bagian Rakhine.






Credit  republika.co.id




Selasa, 24 Juli 2018

Malaysia Ingin ASEAN Ajak Myanmar Dialog soal Krisis Rohingya


Malaysia Ingin ASEAN Ajak Myanmar Dialog soal Krisis Rohingya
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan ASEAN mestinya bisa mendorong dialog dengan Myanmar terkait krisis Rohingya. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)


Jakarta, CB -- Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengeaskan ASEAN harus bisa mendorong Myanmar berdialog demi menyelesaikan krisis kemanusiaan yang menargetkan etnis minoritas Rohingya.

Saifuddin mengatakan negara Asia Tenggara harus mampu mencari pendekatan baru yang jauh lebih proaktif untuk meyakinkan Myanmar menangani konflik di negara bagian Rakhine, tempat kekerasan terhadap Rohingya berpusat, secara inklusif.

"Saya rasa ini bukan hanya tugas Malaysia, tapi Indonesia, dan seluruh negara anggota ASEAN lainnya untuk terus mengajak Myanmar berdiskusi soal isu Rohingya melalui cara yang lebih proaktif," kata Saifuddin di saat berbicara dalam diskusi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (23/7).

"ASEAN harus bisa menyelesaikan masalah Rohingya meski negara anggota menganut prinsip non-intervensi antara sesama karena ada cara lain, yakni melalui pendekatan konstruktif. Kita harus sama-sama mencari jalan untuk merangkul Myanmar dalam isu ini," tambahnya.



Sejak krisis kemanusiaan kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu, Myanmar terus menjadi sorotan karena dianggap gagal melindungi etnis Rohingya dari dugaan persekusi militer.

Sementara itu, ASEAN juga banyak dikritik karena dianggap tidak bisa melakukan apa-apa demi menekan Myanmar menghentikan diskriminasi hingga kekerasan yang menargetkan Rohingya.

Dalam diskusi bertemakan Politik Luar Negeri di Era Pemerintahan Baru Malaysia itu, Saifuddin menegaskan bahwa Kuala Lumpur-di bawah komando baru Perdana Menteri Mahathir Mohamad-berkomitmen untuk lebih aktif lagi menangani isu hak asasi manusia baik dalam negeri maupun di kawasan, termasuk isu Rohingya.

Menurutnya, komunitas internasional tidak perlu terpaku pada perjanjian atau konvensi internasional untuk membantu menyelesaikan krisis Rohingya. Ia menegaskan persekusi yang selama ini menargetkan Rohingya merupakan salah satu masalah yang harus dilihat dari perspektif kemanusiaan.

"Bagi Malaysia, kami pastinya tidak membutuhkan konvensi internasional atau terlibat dalam perjanjian apapun untuk membantu mengatasi masalah Rohingya jika melihatnya dari sisi kemanusiaan," kata Saifuddin. "Mungkin kami tetap membutuhkan waktu dan proses terntentu untuk menerima para Rohingya sebagai pengungsi di Malaysia karena ini perlu persetujuan parlemen dan warga juga. Namun, tetap kami bisa mencari cara lain untuk membantu pengungsi Rohingya yang datang ke negara kami."

Lebih lanjut, Saifuddin menegaskan hal terpenting yang perlu dilakukan ASEAN dalam mengatasi krisis Rohingya adalah kesadaran dari masing-masing negara anggota bahwa tragedi ini menyangkut sisi kemanusiaan dan penegakkan HAM.

"Kabar baiknya adalah masyarakat ASEAN berangsur-angsur menyadari pentingnya penegakkan HAM di kawasan. Ini menjadi nilai tambah yang bisa mempermudah organisasi regional ini untuk terus menangani masalah HAM di kawasan, termasuk isu Rohingya," ujarnya.





Credit  cnnindonesia.com


Kamis, 28 Juni 2018

Myanmar Pecat Jenderal yang Pimpin Operasi Terhadap Rohingya




Myanmar Pecat Jenderal yang Pimpin Operasi Terhadap Rohingya
Myanmar memecat jenderal yang memimpin operasi terhadap Rohingya. Foto/Istimewa



NAYPYIDAW - Myanmar memecat seorang jenderal yang diduga telam memimpin operasi brutal terhadap Muslim Rohingya tahun lalu. Pemecatan ini dilakukan di bawah tekanan dari Kanada dan Uni Eropa (UE).

Militer Myanmar mengumumkan telah memecat Mayor Jenderal Maung Maung Soe. Meski begitu, militer Myanmar memecat Soe bukan untuk alasan operasi terhadap Muslim Rohingya namun atas kelalaian.

"Soe menunjukkan kelemahan dalam menghadapi serangan militan terhadap pos-pos polisi di negara bagian Rakhine barat pada tahun 2016 dan 2017," demikian pernyataan dari kantor komando dinas layanan pertahanan, Min Aung Hlaing, seperti dikutip dari Washington Post, Selasa (26/6/2018).

Menurut pernyataan dari kantor panglima tertinggi Myanmar, Maung Maung Soe gagal menanggapi serangan teroris yang diluncurkan pada Oktober 2016 dan Agustus 2017 oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). ARSA adalah kelompok militan yang pertama kali muncul dua tahun lalu yang berjuang atas nama kaum Rohingya yang terpinggirkan.

Pernyataan itu mencatat bahwa militer tidak menemukan kesalahan apa pun terhadap jenderal itu ketika ia melakukan tugas-tugas normalnya. Tetapi selama serangan itu ia menunjukkan kekurangan dalam merespon tepat waktu terhadap peringatan dini penggunaan kekerasan dan tindakan tanpa hukum oleh ARSA.

Meski begitu, pengumuman ini disambut negatif oleh kelompok hak asasi manusia. Mereka menginginkan sanksi ditambah dengan tindakan oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk mengakhiri impunitas jangka panjang bagi militer Myanmar. Pengadilan pekan lalu memberi Myanmar waktu hingga 27 Juli untuk menanggapi permintaan penuntutan bahwa mereka mempertimbangkan untuk mendengarkan kasus dugaan deportasi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.

"Pengunduran diri ini - disengaja atau dipaksakan - tidak mewakili pertanggungjawaban nyata atas kekejaman yang dilakukan oleh tentara dan pasukan keamanan yang diperintahkan, dalam hal ini, oleh Maung Maung Soe atau Aung Kyaw Zaw," kata Richard Weir, peneliti Myanmar untuk Human Rights Watch.

"Selain itu, belum ada pengakuan bahwa orang-orang ini bertanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan oleh pasukan di bawah mereka, dengan tindakan kelalaian atau perintah langsung," sambung Weir.

“Para korban kekejaman ini layak mendapatkan jawaban dan mereka berhak mendapatkan beberapa ukuran keadilan. Mereka layak meminta orang-orang ini bertanggung jawab, bukan pensiun yang enak,” tukasnya.

Keputusan itu datang tak lama setelah UE dan Kanada mengumumkan sanksi terhadap Maung Maung Soe dan enam perwira militer serta perwira polisi di Myanmar. Kanada dan UE membekukan aset dan memberlakukan larang bepergian kepada ketujuh perwira tersebut yang terdiri dari lima jenderal militer, seorang jenderal perbatasan, dan seorang komanda polisi.

Kanada sebelumnya memberi sanksi kepada Maung Maung Soe pada bulan Februari di bawah tindakan yang berbeda. Pernyataan militer Myanmar tidak menyebutkan sanksi.

“Kanada dan komunitas internasional tidak dapat diam. Ini adalah pembersihan etnis. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland.

Militer Myanmar telah mempertahankan bahwa apa yang mereka sebut sebagai "operasi pembebasan" sebagai respons yang sah terhadap serangan Agustus lalu. Pernyataan ini sebagian besar telah dianut oleh pemerintah sipil Aung San Suu Kyi dan sejumlah besar orang Myanmar. 

Etnis Rohingya sangat diremehkan di Myanmar, di mana mereka dipandang sebagai imigran gelap. Kampanye ini mendukung popularitas militer, yang mundur dari pemerintahan langsung negara itu pada tahun 2011.



Credit  sindonews.com






Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya


Foto-foto yang diunggah oleh Letnan Kyi Nyan Lynn dari Divisi Infantri ke-33 di Facebook.[Facebook via Reuters]
Foto-foto yang diunggah oleh Letnan Kyi Nyan Lynn dari Divisi Infantri ke-33 di Facebook.[Facebook via Reuters]

CB, Jakarta - Pada awal Agustus tahun lalu, militer Myanmar mengerahkan operasi penumpasan pemberontak Rohingya, yang mereka klaim bersembunyi di permukiman sipil negara bagian Rakhine. Seorang letnan muda bernama Kyi Nyan Lynn ikut ke Negara Bagian Rakhine, bersama ratusan tentara Myanmar lainnya untuk kampanye militer yang akan mengusir ratusan ribu Muslim Rohingya dari rumah mereka dan membakarnya sampai habis.
Letnan Kyi Nyan Lynn adalah tentara dari Divisi Infanteri Ringan ke-33. Kyi Nyan Lynn adalah bagian dari apa yang disebut pengamat militer Barat sebagai ujung tombak Myanmar bersama ratusan tentara yang bertempur terbagi dua divisi infanteri ringan ke-33 dan ke-99. Dua divis ini terkenal karena kampanye kontra-pemberontakannya yang brutal terhadap etnis Rohingya.

Ketika militan Rohingya melancarkan serangan ke seluruh Rakhine Utara pada Agustus tahun lalu, divisi ke-33 dan ke-99 mengusir 700.000 Rohingya ke Bangladesh. PBB mengatakan divisi ini telah melakukan genosida, sementara Amerika Serikat menyebut aksi mereka sebagai pembersihan etnis. Namun Myanmar membantah tuduhan tersebut.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar, berjabat tangan dengan pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi, pada Desember 2015.[REUTERS/Soe Zeya Tun]
Banyak yang menyebut tentara Myanmar melakukan pembunuhan massal dan membakar desa-desa Rohingya. Tapi investigasi Reuters, seperti dikutip pada 27 Juni 2018, memaparkan lebih spesifik peran divisi infanteri ringan ke-33 dan ke-99 Myanmar, bagaimana mereka melakukan serangan brutal di seluruh Negara Bagian Rakhine utara atas perintah langsung Jenderal Senior Min Aung Hlaing, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar.

Divisi ke-33 dan ke-99 datang ke desa-desa Rohingya untuk mengumumkan maksud kedatangan mereka kepada penduduk Rohingya yang cemas dan takut. Pertemuan-pertemuan dengan penduduk Rohingya diadakan di tempat-tempat seperti sekolah dan kantor polisi, untuk menyampaikan pesan serupa.

Sai Sitt Thway Aung dari Divisi Infanteri ke-99 mengunggah foto berseragam di Facebook.[Facebook via Reuters]
Para perwira mengatakan mereka telah datang untuk "membersihkan" daerah itu dan menumpas teroris dan penjahat. Mereka menuduh penduduk Rohingya menyembunyikan teroris dan mengancam akan membakar desa-desa dan menembak siapa saja yang mereka anggap mencurigakan.
Sai Sitt Thway Aung, seorang prajurit divisi ke-99, mengunggah status di Facebook-nya saat dia berada di kota Meiktila, Myanmar tengah.

"Tolong kirim kami secepatnya ke Rakhine di mana para teroris berada. Utang darah orang-orang yang akan saya kumpulkan dengan penuh hasrat," tulis Sai Sitt Thway Aung di Facebook pada 27 Agustus.
Pada 1 September, sekelompok tentara divisi ke-33 menangkap 10 pria dan pemuda Rohingya di Inn Din. Keesokan harinya, dengan bantuan penduduk desa Rakhine, mereka menembak dan memukuli tahanan sampai mati, lalu membuang mayat mereka di kuburan massal.
Dua wartawan Reuters ditangkap pada Desember setelah polisi mengetahui bahwa mereka telah melaporkan pembantaian di Inn Din. Bulan berikutnya, militer mengakui tentaranya telah terlibat pembunuhan itu, dan mengatakan tujuh tentara telah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Militer tidak mengungkap nama, pangkat atau divisi mereka. Namun dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, tetap berada di balik jeruji besi, dituduh melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Negara Myanmar dan terancam hukuman 14 tahun penjara.

Pemandangan salah satu desa Rohingya yang terbakar di Negara Bagian Rakhine. Beberapa tentara dari ke-33 dan ke-99 melakukan pembakaran secara rutin dan sistematis, ungkap polisi kepada Reuters.[REUTERS/Soe Zeya Tun]
Pada 30 Agustus di Maungdaw utara, tentara juga merusak desa Min Gyi, atau yang disebut Tula Toli, menurut kesaksian salah satu pengungsi Rohingya yang kini berada di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Pengamat Human Rights Watch mengatakan pembantaian terjadi di Tula Toli. Tentara menembak penduduk yang melarikan diri dan mengumpulkan ratusan lainnya, kata Human Rights Watch dalam sebuah laporan. Para prajurit kemudian secara sistematis membunuh orang-orang selama beberapa jam. Sebelum membunuh dan memperkosa banyak perempuan dan anak-anak Rohingya.
Seorang perempuan Rohingya bernama Begum mengatakan tentara membawanya ke sebuah rumah di Tula Toli bersama 11 perempuan dewasa dan gadis lain, termasuk adik perempuannya. Dia mengatakan enam tentara dengan lencana divisi ke-99 mendorongnya ke sebuah ruangan yang penuh dengan mayat. Kemudian salah satu tentara menggorok leher adiknya.

"Aku tidak tahan melihatnya jadi aku memalingkan wajahku," katanya sambil terisak-isak dan gemetar ketika dia berbicara.
Begum mengatakan dia ditendang dan dipukuli sampai pingsan. Ketika dia sadar, hari sudah gelap. Punggung dan kakinya terbakar dan kepalanya sakit. Sekitar 10 wanita lainnya terbaring terbakar dan tidak sadarkan diri saat dia merangkak keluar.
Pada 5 September kampanye militer Myanmar di Rakhine secara resmi berakhir. Aung San Suu Kyi menyampaikan ini dalam pidato dua minggu kemudian. Namun serangan-serangan pembakaran di desa-desa Rohingya berlanjut selama berminggu-minggu, seperti yang diperlihatkan gambar-gambar satelit.
Polisi yang ikut dalam pembakaran menceritakan bagaimana tentara membakar desa Rohingya. Setiap operasi melibatkan lima hingga tujuh polisi dan sedikitnya 20 tentara. Polisi mengepung rumah-rumah Rohingya sementara tentara menyisir kemudian membakar rumah beratap daun dan berdinding bambu.

Divisi yang memimpin operasi pembersihan disambut sebagai pahlawan di Myanmar tengah. Foto yang diunggah di Facebook memperlihatkan Sai Sitt Thway Aung dan tentara ke-99 lainnya saat kembali ke pangkalan militer di Meiktila pada Desember.[Facebook via Reuters]
Militer membantah membakar rumah-rumah di Rakhine dan mengatakan kaum militan Rohingya yang membakar rumah penduduk. Namun petugas polisi menceritakan bagaimana divisi ke-33 dan ke-99 melakukan pembakaran secara rutin dan sistematis.

Pada Desember, kelompok bantuan internasional, Médecins Sans Frontières, memperkirakan bahwa setidaknya 6.700 orang Rohingya tewas dalam bulan pertama penumpasan. Pada November, 13 anggota pasukan keamanan tewas dalam konflik, dan dilaporkan 376 militan ARSA tewas antara 25 Agustus dan 5 September, ketika penumpasan secara resmi berakhir.






Credit  tempo.co








Senin, 11 Juni 2018

Jurnalis Australia Ditangkap di Myanmar


abc news
abc news

Jurnalis ini termasuk yang membawa angin kebebasan pers di Myanmar.




CB   Media lokal di Myanmar melaporkan adanya penangkapan terhadap Ross Dunkley, mantan penerbit suratkabar berbahasa Inggris Myanmar Times. Dia dilaporkan ditangkap di Yangon terkait narkoba.


Pia asal Perth ini terkenal sejak mengelola Myanmar Times yang turut membantu tumbuhnya kebebasan pers di bawah junta militer. Laporan media lokal menyebut Dunkley ditangkap di rumah yang sekaligus menjadi kantornya di Yangon.

Suratkabar The Irrawaddy mengutip juru bicara Kepolisian Kota Bahan, Thein Win, yang mengatakan bahwa Dunkley ditangkap dengan 797 pil "yaba" (metamfetamin dan kafein) dan 303 gram sabu.


Thein Win mengatakan bahwa warga Australia ini menghadapi sejumlah dakwaan menurut ketentuan Undang-undang Narkotika. Ancaman hukumannya seumur hidup atau hukuman mati. Namun, polisi menolak untuk menghubungkan penangkapan ini dengan penggerebekan besar-besaran baru-baru ini di Malaysia.


"Dia adalah pengguna bukan pengedar narkoba," kata Mayor Polisi Thein Win kepada The Irrawaddy.


Foto artikel yang disamarkan menunjukkan sembilan orang dengan tangan terborgol berdiri di depan narkoba, termasuk sabu, kokain, dan ganja yang diletakkan di atas meja. Laporan-laporan media lokal mengatakan pria asing lainnya yang ditangkap adalah John McKenzie (63) yang dilaporkan sebagai warga Australia atau Inggris.


Ross Dunkley memiliki sejarah panjang di kancah media Asia, mulai dari The Vietnam Investment Review pada 1991 sebelum turut mendirikan The Myanmar Times pada tahun 2000. Pada tahun 2011 ia dihukum di Myanmar karena pelanggaran penyerangan dan imigrasi, tetapi dibebaskan karena waktu penahanannya telah habis.


Dia ikut dalam konsorsium yang membeli media Phnom Penh Post pada tahun 2008, tetapi dipecat oleh penerbit dan tokoh pertambangan Australia Bill Clough pada tahun 2013.




Credit  republika.co.id



Jumat, 08 Juni 2018

Biksu Myanmar Anti Rohingya Masuk Daftar Hitam Facebook




Biksu Wirathu. (AP Photo/Gemunu Amarasinghe)
Biksu Wirathu. (AP Photo/Gemunu Amarasinghe)

CB, Jakarta - Facebook telah memasukkan kelompok Budha garis keras di Myanmar termasuk para biksu yang menyampaikan pernyataan kebencian terhadap kelompok etnis Rohingya dalam daftar hitam.
Dengan masuk dalam daftar hitam, maka kelompok Budha garis keras dan para biksu tidak dapat lagi mengakses Facebook.

"Mereka tidak lagi dibolehkan muncul di Facebook dan akan akan mencabut akun dan konten yang mendukung, memuji atau yang merepresentasikan orang-orang ini atau organisasi tersebut," kata Manajer Kebijakan Konten Facebook, David Caragliano seperti dikutip dari Channel News Asia, 7 Juni 2018.
Facebook melarang gerakan nasionalis Budha, Ma Ba Tha dan beberapa biksu terkenal yang menyuarakan kebencian pada Rohingya.
Biksu ekstrimis yang masuk daftar terlarang menggunakan Facebook adalah Wirathu pada Januari lalu. Setelah itu disusul Parmaukkha dan Thuseitta.

Sebelumnya, para aktivis mengkritik Facebook yang lamban merespons laporan mengenai postingan-postingan kelompok Budha garis keras dan para biksu yang menyuarakan kebencian pada Rohingya.
Seperti saat mereka menyerukan untuk membunuh jurnalis Muslim dan postingan mereka September lalu yang mengatakan umat Budha dan Muslim masing-masing bersiap untuk baku serang.
Facebook mengakui lamban merespons pengaduan para aktivis.

"Kami dapat melakukan lebih dan namun kami telah lamban memberikan respons," kata Wakil Kepala Kebijakan Publik Facebook Asia-Pasifik, Simon Milner.
Facebook mengatakan, akan menambah jumlah pekerjanya di Myanmar dan memastikan melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap munculnya akun palsu seraya meningkatkan sistem pelaporan dari pengguna Facebook di Myanmar.




Credit  tempo.co