Credit republika.co.id
Tampilkan postingan dengan label MYANMAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MYANMAR. Tampilkan semua postingan
Selasa, 04 September 2018
Senin, 03 September 2018
Misteri 'Kapal Hantu' Berbendera Indonesia Muncul di Myanmar Terjawab
YANGON
- Sebuah kapal tanpa awak atau "kapal hantu" ditemukan mengapung di
Teluk Martaban di dekat wilayah Yangon, Myanmar, pekan lalu. Angkatan
Laut setempat telah menemukan jawaban dari misteri kapal yang membawa
bendera Republik Indonesia (RI) itu.
Kapal kontainer besar, kosong dan berkarat tersebut bernama Sam Ratulangi PB 1600. Nelayan Myanmar merupakan penemu pertamanya. "Itu terdampar di pantai (dan) membawa bendera Indonesia," kata pihak Kepolisian Yangon."Tidak ada pelaut atau pun barang di kapal."
Pihak Angkatan Laut setempat mengatakan kapal kontainer itu ditarik oleh kapal tunda menuju ke pabrik pemecah kapal di Bangladesh. Namun, para awak meninggalkan kapal itu setelah terperangkap dalam cuaca buruk.
Pihak berwenang dan personel Angkatan Laut telah menaiki Sam Ratulangi PB 1600 pada hari Kamis untuk mencari petunjuk setelah kandas di pantai Myanmar. Awalnya, polisi dan pengamat bingung bagaimana kapal besar, tanpa pelaut atau pun barang di atasnya, bisa berakhir di Myanmar.
Kapal kontainer besar, kosong dan berkarat tersebut bernama Sam Ratulangi PB 1600. Nelayan Myanmar merupakan penemu pertamanya. "Itu terdampar di pantai (dan) membawa bendera Indonesia," kata pihak Kepolisian Yangon."Tidak ada pelaut atau pun barang di kapal."
Pihak Angkatan Laut setempat mengatakan kapal kontainer itu ditarik oleh kapal tunda menuju ke pabrik pemecah kapal di Bangladesh. Namun, para awak meninggalkan kapal itu setelah terperangkap dalam cuaca buruk.
Pihak berwenang dan personel Angkatan Laut telah menaiki Sam Ratulangi PB 1600 pada hari Kamis untuk mencari petunjuk setelah kandas di pantai Myanmar. Awalnya, polisi dan pengamat bingung bagaimana kapal besar, tanpa pelaut atau pun barang di atasnya, bisa berakhir di Myanmar.
Menurut situs Marine Traffic
yang mencatat pergerakan kapal di seluruh dunia, Sam Ratulangi PB 1600
dibangun pada tahun 2001. Panjangnya lebih dari 177 meter (580 kaki).
Menurut kantor berita AFP yang dikutip BBC, lokasi kapal itu terakhir tercatat di lepas pantai Taiwan pada tahun 2009. Sam Ratulangi PB 1600 adalah contoh kapal telantar pertama yang muncul di perairan Myanmar.
Pada Sabtu (1/9/2018) kemarin, Angkatan Laut Myanmar mengatakan, pihaknya menduga kapal itu ditarik oleh kapal lain setelah dua kabel ditemukan di kepalanya.
Mereka kemudian menemukan tugboat, yang disebut sebagai Independence, sekitar 80 km (50 mil) di lepas pantai Myanmar.
Setelah menanyakan kepada 13 anggota awak kapal Indonesia, mereka mengetahui bahwa kapal tunda itu telah menarik kapal Sam Ratulangi PB 1600 sejak 13 Agustus, dan bermaksud untuk membawanya ke sebuah pabrik di Bangladesh yang akan membongkar dan menyelamatkan kapal.
Namun, beberapa kabel yang menempel di kapal putus saat cuaca buruk melanda, dan mereka memutuskan untuk meninggalkan kapal.
Pihak berwenang sedang menyelidiki lebih lanjut. Menurut laporan Eleven Myanmar, pemilik kapal tunda itu diduga berasal dari Malaysia.
Bangladesh memiliki industri pemecah kapal besar, dengan ratusan kapal komersial tua dibongkar di Chittagong setiap tahunnya.
Menurut kantor berita AFP yang dikutip BBC, lokasi kapal itu terakhir tercatat di lepas pantai Taiwan pada tahun 2009. Sam Ratulangi PB 1600 adalah contoh kapal telantar pertama yang muncul di perairan Myanmar.
Pada Sabtu (1/9/2018) kemarin, Angkatan Laut Myanmar mengatakan, pihaknya menduga kapal itu ditarik oleh kapal lain setelah dua kabel ditemukan di kepalanya.
Mereka kemudian menemukan tugboat, yang disebut sebagai Independence, sekitar 80 km (50 mil) di lepas pantai Myanmar.
Setelah menanyakan kepada 13 anggota awak kapal Indonesia, mereka mengetahui bahwa kapal tunda itu telah menarik kapal Sam Ratulangi PB 1600 sejak 13 Agustus, dan bermaksud untuk membawanya ke sebuah pabrik di Bangladesh yang akan membongkar dan menyelamatkan kapal.
Namun, beberapa kabel yang menempel di kapal putus saat cuaca buruk melanda, dan mereka memutuskan untuk meninggalkan kapal.
Pihak berwenang sedang menyelidiki lebih lanjut. Menurut laporan Eleven Myanmar, pemilik kapal tunda itu diduga berasal dari Malaysia.
Bangladesh memiliki industri pemecah kapal besar, dengan ratusan kapal komersial tua dibongkar di Chittagong setiap tahunnya.
Tetapi bisnis ini kontroversial, di mana para kritikus mengatakan bahwa pekerjaan itu tidak diatur dengan baik dan berbahaya bagi buruh.
Credit sindonews.com
Jumat, 31 Agustus 2018
Kapal Indonesia Ditemukan Terdampar Tak Berawak di Myanmar
Ilustrasi kapal. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Kapal kontainer itu disebut ditemukan kosong tak berawak dan disebut media lokal sebagai 'Kapal Hantu'.
Media lokal The Irrawaddy menulis, berdasarkan Departemen Administrasi Kelautan Myanmar, kapal tersebut terdaftar di Palau, Pasifik, kemudian terdampar di Teluk Martaban akibat cuaca buruk sejak tiga hari lalu.
"Tidak ada kru ataupun kargo di kapal itu," kata pihak otoritas kelautan setempat dalam pernyataannya dan dikutip dari The Irrawaddy, Kamis (30/8).
Departemen Administrasi Kelautan Myanmar menduga bahwa kapal tersebut ditarik oleh kapal lain sampai jarak tertentu sebelum dilepas dan kandas, atau ditinggalkan setelah gagal dalam upaya menarik kapal itu.
Dalam pernyataannya, pihak otoritas di Myanmar juga menyebut akan segera menghubungi otoritas di Palau sesegera mungkin untuk mencari tahu pemilik kapal tersebut.
CNNIndonesia.com sudah menghubungi pihak Kementerian Luar Negeri dan Duta Besar RI untuk Myanmar untuk mengonfirmasi laporan terkait keberadaan kapal ini namun belum mendapatkan respons hingga berita ini ditayangkan.
Kabar keberadaan kapal tersebut juga diumumkan oleh pihak Kepolisian Yangon melalui sebuah unggahan di akun media sosial miliknya.
Pihak kepolisian menyebut kapal itu ditemukan pada 29 Agustus 2018 pukul 08.00 pagi waktu setempat oleh warga dan dilaporkan ke pihak berwajib.
Kepolisian ditemani perwakilan dari Imigrasi serta Departemen Administrasi dan petugas terkait kemudian memeriksa kapal tersebut.
"Menurut hasil penyelidikan [sementara] dikonfirmasi kapal itu berada di menit Lintang Utara 16° 39,249, Bujur 96° 5,439 menit. Kapal sepanjang 177 meter, lebar 27,9 meter, berat 26.510 ton. Kapal bernama Sam Ratulangi PB 1600," tulis pihak Kepolisian Yangon di unggahan tersebut.
"Kapal kargo ditemukan terdampar. Produk kapal berbendera Indonesia. Tim verifikasi gabungan terus menyelidiki hingga saat ini." tulis pernyataan tersebut
Credit cnnindonesia.com
Kamis, 30 Agustus 2018
Pembantaian Etnis Rohingya, ASEAN Harus Ambil Sikap
CB, Jakarta - Laporan
tim pencari fakta PBB terkait pejabat tinggi militer Myanmar yang
terlibat dalam pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingya,
meminta ASEAN agar mengambil langkah-langkah. ASEAN secara tak langsung
di desak untuk mengambil sikap agar peristiwa serupa tidak terulang
lagi.
Vitit Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, mengatakan situasi yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, sangat kritis bagi masyarakat Rohingya, khususnya setelah peristiwa pembantaian pada Agustus 2017. Muntarbhorn menilai kebijakan pemerintah Myanmar terkait pembantaian pada satu tahun lalu itu, berbeda dengan kebijakan saat suku Rohingya mengalami tindak kekerasan pada 1970-an dan 1990-an.
"ASEAN diundang untuk melihat kasus ini dan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya agar kekerasan serupa tidak terulang lagi," kata Muntarbhorn, saat ditemui dalam seminar dialog nasional Indonesia dalam kerangka PBB tentang analisis risiko yang diselenggarakan oleh CSIS, Rabu, 29 Agustus 2018.
Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Sebelumnya tim pencari fakta PBB pada 27 Agustus 2018 mempublikasi hasil investigasi yang memperlihatkan adanya keterlibatan pejabat tinggi militer Myanmar dalam pembantaian suku Rohingya pada Agustus 2017. Tindak pembantaian itu telah mendesak masyarakat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Menurut Makarim Wibisono, diplomat senior Indonesia, inti permasalahan dari pembantaian dan tindak kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, adalah karena kelompok masyarakat minoritas ini tidak dikategorikan sebagai warga negara Myanmar.
"Jadi, permasalahannya adalah kewarganegaraan," kata Makarim.
Myanmar saat ini dipimpin oleh pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan peraih Nobel perdamaian 1991. Namun begitu, terlihat militer masih mengendalikan pemerintahan.
"Mendiskusikan pembantaian yang dialami etnis Rohingnya di lingkup ASEAN akan sulit karena ada prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN," kata Makarim.
Nilai penting dari komunitas ASEAN adalah menciptakan masyarakat yang saling peduli dan solidaritas antar anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya, sulit memperlihatkan solidaritas kepada masyarakat Rohingya, Myanmar. Ini terlihat dari sulitnya akses kemanusiaan bagi suku Rohingya ditembus hingga jalan paling mudah ditembus untuk membantu para pengungsi hanya lewat Bangladesh. Dengan begitu, pembantaian di negara bagian Rakhine adalah tantangan bagi seluruh negara anggota ASEAN.
Vitit Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, mengatakan situasi yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, sangat kritis bagi masyarakat Rohingya, khususnya setelah peristiwa pembantaian pada Agustus 2017. Muntarbhorn menilai kebijakan pemerintah Myanmar terkait pembantaian pada satu tahun lalu itu, berbeda dengan kebijakan saat suku Rohingya mengalami tindak kekerasan pada 1970-an dan 1990-an.
"ASEAN diundang untuk melihat kasus ini dan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya agar kekerasan serupa tidak terulang lagi," kata Muntarbhorn, saat ditemui dalam seminar dialog nasional Indonesia dalam kerangka PBB tentang analisis risiko yang diselenggarakan oleh CSIS, Rabu, 29 Agustus 2018.
Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Sebelumnya tim pencari fakta PBB pada 27 Agustus 2018 mempublikasi hasil investigasi yang memperlihatkan adanya keterlibatan pejabat tinggi militer Myanmar dalam pembantaian suku Rohingya pada Agustus 2017. Tindak pembantaian itu telah mendesak masyarakat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Menurut Makarim Wibisono, diplomat senior Indonesia, inti permasalahan dari pembantaian dan tindak kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, adalah karena kelompok masyarakat minoritas ini tidak dikategorikan sebagai warga negara Myanmar.
"Jadi, permasalahannya adalah kewarganegaraan," kata Makarim.
Myanmar saat ini dipimpin oleh pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan peraih Nobel perdamaian 1991. Namun begitu, terlihat militer masih mengendalikan pemerintahan.
"Mendiskusikan pembantaian yang dialami etnis Rohingnya di lingkup ASEAN akan sulit karena ada prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN," kata Makarim.
Nilai penting dari komunitas ASEAN adalah menciptakan masyarakat yang saling peduli dan solidaritas antar anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya, sulit memperlihatkan solidaritas kepada masyarakat Rohingya, Myanmar. Ini terlihat dari sulitnya akses kemanusiaan bagi suku Rohingya ditembus hingga jalan paling mudah ditembus untuk membantu para pengungsi hanya lewat Bangladesh. Dengan begitu, pembantaian di negara bagian Rakhine adalah tantangan bagi seluruh negara anggota ASEAN.
Credit tempo.co
Myanmar Tolak Laporan Genosida Rohingya PBB
NAYPYIDAW
- Myanmar menolak laporan penyelidik PBB yang menyatakan para
jenderalnya harus dituntut karena genosida. Sebaliknya, Myanmar
mengatakan masyarakat internasional telah membuat tuduhan palsu.
Pernyataan ini muncul setelah laporan PBB, yang menandai pertama kalinya organisasi itu secara eksplisit menuduh pejabat Myanmar terlibat genosida atas tindak brutal terhadap Muslim Rohingya tahun lalu.
"Sikap kami jelas dan saya ingin mengatakan dengan tajam bahwa kami tidak menerima resolusi apa pun yang dilakukan oleh Dewan Hak Asasi Manusia," kata juru bicara pemerintah Myanamr, Zaw Htay, dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan di media pemerintah.
Pernyataan ini muncul setelah laporan PBB, yang menandai pertama kalinya organisasi itu secara eksplisit menuduh pejabat Myanmar terlibat genosida atas tindak brutal terhadap Muslim Rohingya tahun lalu.
"Sikap kami jelas dan saya ingin mengatakan dengan tajam bahwa kami tidak menerima resolusi apa pun yang dilakukan oleh Dewan Hak Asasi Manusia," kata juru bicara pemerintah Myanamr, Zaw Htay, dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan di media pemerintah.
Ia mengatakan Myanmar tidak mengizinkan para penyelidik PBB masuk ke negara itu.
"Itu sebabnya kami tidak setuju dan menerima resolusi apa pun yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia," tegasnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (30/8/2018).
Dia menambahkan bahwa negara itu tidak memiliki toleransi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan telah membentuk Komisi Penyelidikan untuk menanggapi tuduhan palsu yang dibuat oleh PBB dan komunitas internasional lainnya.
Pihak berwenang Myanmar awal tahun ini membentuk sebuah panel yang terdiri dari dua anggota lokal dan dua anggota internasional - diplomat Filipina Rosario Manalo dan Kenzo Oshima, mantan duta besar Jepang untuk PBB - guna menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.
Myanmar membantah sebagian besar tuduhan, mengatakan militer menanggapi ancaman sah dari militan Rohingya, yang menyerang pos polisi di seluruh negara bagian Rakhine barat.
"Jika ada kasus terhadap hak asasi manusia, berikan saja kami bukti kuat, catatan dan tanggal sehingga kami dapat mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang melanggar peraturan dan peraturan," ujar Zaw Htay.
Pada hari yang sama ketika PBB merilis laporannya, Facebook menutup akun jenderal angkatan darat Myanmar Min Aung Hlaing dan pejabat militer lainnya. Facebook menuduh mereka menggunakan platform itu untuk menyebarkan kebencian dan informasi yang salah.
Terkait hal itu, Zaw Htay mengatakan pemerintah tidak memerintahkan larangan itu dan mempertanyakan Facebook tentang tindakan tersebut. Ia mengatakan pemblokiran telah menyebabkan meningkatnya kritik dan ketakutan di antara orang-orang.
"Itu sebabnya kami tidak setuju dan menerima resolusi apa pun yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia," tegasnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (30/8/2018).
Dia menambahkan bahwa negara itu tidak memiliki toleransi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan telah membentuk Komisi Penyelidikan untuk menanggapi tuduhan palsu yang dibuat oleh PBB dan komunitas internasional lainnya.
Pihak berwenang Myanmar awal tahun ini membentuk sebuah panel yang terdiri dari dua anggota lokal dan dua anggota internasional - diplomat Filipina Rosario Manalo dan Kenzo Oshima, mantan duta besar Jepang untuk PBB - guna menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.
Myanmar membantah sebagian besar tuduhan, mengatakan militer menanggapi ancaman sah dari militan Rohingya, yang menyerang pos polisi di seluruh negara bagian Rakhine barat.
"Jika ada kasus terhadap hak asasi manusia, berikan saja kami bukti kuat, catatan dan tanggal sehingga kami dapat mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang melanggar peraturan dan peraturan," ujar Zaw Htay.
Pada hari yang sama ketika PBB merilis laporannya, Facebook menutup akun jenderal angkatan darat Myanmar Min Aung Hlaing dan pejabat militer lainnya. Facebook menuduh mereka menggunakan platform itu untuk menyebarkan kebencian dan informasi yang salah.
Terkait hal itu, Zaw Htay mengatakan pemerintah tidak memerintahkan larangan itu dan mempertanyakan Facebook tentang tindakan tersebut. Ia mengatakan pemblokiran telah menyebabkan meningkatnya kritik dan ketakutan di antara orang-orang.
Pemerintah sipil Myanmar berbagi kekuasaan dengan militer, yang mengontrol kementerian utama termasuk urusan dalam negeri dan imigrasi.
Credit sindonews.com
Selasa, 28 Agustus 2018
Tim Pencari Fakta PBB: Militer Myanmar Bantai Rohingya
Tim Pencari Fakta PBB mendesak panglima
militer Myanmar Min Aung Hlaing mundur karena terbukti berniat melakukan
genosida terhadap Rohingya. (Reuters/Hla Hla Htay)
"Ada informasi cukup untuk membenarkan/menjamin dibukanya penyelidikan dan penuntutan terhadap para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara) Myanmar, sehingga pengadilan kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka terkait genosida dengan situasi yang terjadi di Rakhine," demikian kutipan laporan tim tersebut.
Tak hanya militer, dalam laporannya itu tim tersebut juga menyimpulkan pemerintahan di bawah Aung San Suu Kyi membiarkan ujaran kebencian berkembang dan gagal melindungi etnis minoritas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan.
"Kejahatan di negara bagian Rakhine dan cara mereka melakukan kejahatan itu memiliki sifat, gravitasi, dan ruang lingkup serupa dengan pihak-pihak yang mengizinkan genosida berlangsung," bunyi laporan 20 halaman tersebut seperti dikutip Reuters, Senin (27/8).
Dalam jumpa pers di Jenewa, ketua panel tersebut, Marzuki Darusman, mengatakan salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah mendesak para petinggi militer Myanmar turun dari jabatannya.
"Satu-satunya langkah maju saat ini adalah menyerukan pengunduran dirinya [Aung Hlaing]," kata Marzuki yang merupakan mantan Jaksa Agung RI itu.
Selain Aung Hlaing dan lima jenderalnya, Marzuki mengatakan pejabat militer lain termasuk personel tambahan, warga sipil, hingga gerilyawan juga masuk daftar pelaku yang turut memperburuk krisis kemanusiaan ini.
Dalam laporan itu, tim pecari fakta mendesak Dewan Keamanan PBB memastikan semua pelaku dimintai pertanggungjawaban. Tim tersebut menyarankan agar Myanmar segera diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau melalui pengadilan ad hoc.
Tim pencari fakta juga mendesak komunitas internasional memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar.
"DK PBB harus mengadopsi sanksi individu, termasuk larangan perjalanan dan membekukan aset mereka, terhadap para pelaku yang paling bertanggung jawab atas kejahatan serius di bawah hukum internasional ini," bunyi laporan tersebut.
Laporan tersebut dirilis menyusul krisis kemanusiaan yang kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu. Saat itu, militer melancarkan operasi pembersihan dengan dalih memberangus "teroris Rohingya" yang sebelumnya sempat menyerang belasan pos keamanan di Rakhine.
Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, militer diduga mengusir, menyiksa, hingga membunuh etnis minoritas Rohinya yang tinggal di Rakhine. Dengan bantuan warga lokal, militer bahkan disebut membakar desa-desa Rohingya di wilayah itu.
Kekerasan itu pun memicu sedikitnya 700 ribu Rohingya untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Tim pencari fakta telah membuka penyelidikan sejak akhir tahun lalu dan berhasil mewawancarai sedikitnya 875 korban dan saksi mata di perbatasan Bangladesh dan beberapa negara lain.
Tak hanya itu, tim yang terdiri dari lima panelis independen itu juga ikut menganalisis dokumen, foto satelit, gambar, hingga rekaman video terkait krisis kemanusiaan itu.
Dalam laporannya, tim pencari fakta mengatakan tindakan militer, termasuk membakar desa-desa "sangat tidak proporsional."
Dihubungi melalui telepon oleh Reuters, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Tun Tun Nyu tidak bisa segera mengomentari laporan PBB tersebut. Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, juga tak dapat segera dimintai tanggapan terkait pernyataan PBB itu.
Credit cnnindonesia.com
Senin, 27 Agustus 2018
PBB: Genosida Rohingya, Panglima dan 5 Jenderal Myanmar Harus Diadili
JENEWA
- Penyelidik PBB menyatakan, militer Myanmar melakukan pembunuhan
massal dan pemerkosaan terhadap para perempuan Muslim Rohingya.
Penyelidik juga menunut agar Panglima Militer dan lima jenderal di
negara itu diadili karena memiliki "niat genosida".
Laporan penyelidik PBB ini diumumkan di Jenewa, Senin (27/8/2018).
Pemerintah sipil yang secara de facto dipimpin oleh Aung San Suu Kyi juga dinyatakan telah mengizinkan pidato kebencian berkembang, menghancurkan dokumen bukti dan gagal melindungi minoritas dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang oleh tentara di Rakhine, Kachin dan Shan.
"Dengan demikian, itu berkontribusi terhadap atrocity crimes," bunyi laporan penyelidik PBB.
Laporan penyelidik PBB ini diumumkan di Jenewa, Senin (27/8/2018).
Pemerintah sipil yang secara de facto dipimpin oleh Aung San Suu Kyi juga dinyatakan telah mengizinkan pidato kebencian berkembang, menghancurkan dokumen bukti dan gagal melindungi minoritas dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang oleh tentara di Rakhine, Kachin dan Shan.
"Dengan demikian, itu berkontribusi terhadap atrocity crimes," bunyi laporan penyelidik PBB.
Setahun
yang lalu, pasukan pemerintah memimpin penumpasan brutal di negara
bagian Rakhine, Myanmar, sebagai tanggapan atas serangan oleh kelompok
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terhadap 30 pos polisi Myanmar dan
pangkalan militer.
Sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari penindasan selama operasi militer. Sebagian besar dari mereka hingga kini masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Laporan PBB mengatakan, aksi militer termasuk membakar desa-desa Rohingya sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.
PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian. Penunjukan semacam itu jarang di bawah hukum internasional, tetapi telah digunakan di berbagai negara termasuk Bosnia dan Sudan dan dalam kebrutalan kelompok Islamic State (ISIS) terhadap komunitas Yazidi di Irak dan Suriah.
"Kejahatan di Negara Bagian Rakhine, dan cara di mana mereka lakukan, memiliki sifat, gravitasi dan ruang lingkup yang serupa dengan yang telah memungkinkan niat genosida untuk diwujudkan dalam konteks lain," lanjut laporan dari Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar tersebut.
Laporan itu memiliki tebal 20 halaman. "Ada informasi yang cukup untuk menjamin penyelidikan dan penuntutan para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara), sehingga pengadilan yang kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka untuk genosida dalam kaitannya dengan situasi di negara bagian Rakhine," imbuh laporan itu, seperti dikutip Reuters.
Pemerintah Myanmar, yang telah dikirimi salinan laporan penyelidik PBB, belum berkomentar.
Dihubungi melalui telepon, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Tun Tun Nyi mengatakan bahwa dia tidak bisa segera berkomentar.
Sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari penindasan selama operasi militer. Sebagian besar dari mereka hingga kini masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Laporan PBB mengatakan, aksi militer termasuk membakar desa-desa Rohingya sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.
PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian. Penunjukan semacam itu jarang di bawah hukum internasional, tetapi telah digunakan di berbagai negara termasuk Bosnia dan Sudan dan dalam kebrutalan kelompok Islamic State (ISIS) terhadap komunitas Yazidi di Irak dan Suriah.
"Kejahatan di Negara Bagian Rakhine, dan cara di mana mereka lakukan, memiliki sifat, gravitasi dan ruang lingkup yang serupa dengan yang telah memungkinkan niat genosida untuk diwujudkan dalam konteks lain," lanjut laporan dari Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar tersebut.
Laporan itu memiliki tebal 20 halaman. "Ada informasi yang cukup untuk menjamin penyelidikan dan penuntutan para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara), sehingga pengadilan yang kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka untuk genosida dalam kaitannya dengan situasi di negara bagian Rakhine," imbuh laporan itu, seperti dikutip Reuters.
Pemerintah Myanmar, yang telah dikirimi salinan laporan penyelidik PBB, belum berkomentar.
Dihubungi melalui telepon, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Tun Tun Nyi mengatakan bahwa dia tidak bisa segera berkomentar.
Panel PBB, yang dipimpin oleh mantan Jaksa Agung Indonesia, Marzuki Darusman, menunjuk Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya yang harus menghadapi pengadilan.
Para Jenderal itu termasuk Brigadir Jenderal Aung Aung, komandan "33rd Light Infantry Division", yang mengawasi operasi di desa pesisir Inn Din di mana 10 anak dan pria dewasa Rohingya dibunuh. Empat jenderal lain tak disebutkan secara detail.
Reuters tidak dapat menghubungi Panglima Min Aung Hlaing atau pun Jenderal Aung Aung pada hari Senin untuk berkomentar.
Pembantaian itu diungkapkan oleh dua wartawan Reuters; Wa Lone, 32, dan Kyaw Soe Oo, 28, yang ditangkap Desember lalu dan diadili atas tuduhan melanggar UU Rahasia Negara. Pengadilan semestinya menyampaikan putusan pada hari Senin, tetapi ditunda sampai 3 September 2018.
Laporan itu mengatakan Suu Kyi, seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian, tidak menggunakan posisi de facto sebagai Kepala Pemerintahan, atau otoritas moralnya, untuk menghentikan atau mencegah peristiwa mengerikan itu berlangsung.
Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar.
Komisaris Tinggi HAM PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein menyebut tindakan keras terhadap Rohingya sebagai "contoh buku teks tentang pembersihan etnis".
Credit sindonews.com
Jumat, 24 Agustus 2018
PBB Peringatkan Satu Generasi Anak-anak Rohingya Beresiko Hilang
CB, Jakarta - PBB mengingatkan tentang resiko hilangnya satu generasi anak-anak Muslim Rohingya
akibat setengah juta Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di
Bangladesh menghadapi berbagai penyakit dan banjir dan ketiadaan akses
pendidikan yang layak.
"Kami membicarakan tentang resiko kehilangan atau potensi kehilangan satu generasi anak-anak Rohingya," kata Simon Ingram, juru bicara UNICEF, Badan PBB untuk urusan anak-anak, dalam konferensi pers di Jenewa, Kamis, 23 Agustus 2018.
Peringatan ini disampaikan Ingram setelah selama 6 minggu ia berada di kamp pengungsi Rohingya di Cox.s Bazar, Bangladesh.
"Ini bukan hanya tentang setengah juta anak-anak atau lainnya di perbatasan Bangladesh, namun juga mereka yang masih tertinggal di negara bagian Rakhine, yang akses pendidikannya tambal sulam dan sangat terbatas," ujarnya.
Foto yang diunggah pada 18 Agustus 2018 ini menunjukkan Gigi Hadid menggambar bersama anak-anak pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh. Kunjungan kakak Bella Hadid ini merupakan bagian dari kerja sama dengan tim kemanusiaan UNICEF untuk memberi bantuan kesehatan kepada pengungsi Rohingya di sana. Instagram.com/gigihadid
Satu tahun sejak 700 ribu Rohingya melarikan diri akibat kekerasan merebak oleh pasukan keamanan Myanmar di Rakhine, UNICEF telah memberikan gambaran suram anak-anak di perbatasan.PBB memperkirakan 530 ribu hingga 600 ribu Rohingya yang tak memiliki kewarganegaraan masih bertahan di Rakhine termasuk sekitar 360 ribu anak-anak. Namun, PBB memiliki akses terbatas untuk masuk ke Rakhine.
Pemerintah Myanmar menyatakan persetujaunnya untuk menerima kembali pengungsi Rohingya yang lari ke Bangladesh. Pemimpin pemerintahan sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi di Singapura menjelaskan, tempat telah disediakan untuk Rohingya yang kembali ke Myanmar.Namun, Ingram menilai prospek Rohingya yang kembali ke Myanmar masih suram. Alasannya, kondisi Rakhine yang masih tidak aman bagi Rohingya.
"Kami membicarakan tentang resiko kehilangan atau potensi kehilangan satu generasi anak-anak Rohingya," kata Simon Ingram, juru bicara UNICEF, Badan PBB untuk urusan anak-anak, dalam konferensi pers di Jenewa, Kamis, 23 Agustus 2018.
Peringatan ini disampaikan Ingram setelah selama 6 minggu ia berada di kamp pengungsi Rohingya di Cox.s Bazar, Bangladesh.
"Ini bukan hanya tentang setengah juta anak-anak atau lainnya di perbatasan Bangladesh, namun juga mereka yang masih tertinggal di negara bagian Rakhine, yang akses pendidikannya tambal sulam dan sangat terbatas," ujarnya.
Foto yang diunggah pada 18 Agustus 2018 ini menunjukkan Gigi Hadid menggambar bersama anak-anak pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh. Kunjungan kakak Bella Hadid ini merupakan bagian dari kerja sama dengan tim kemanusiaan UNICEF untuk memberi bantuan kesehatan kepada pengungsi Rohingya di sana. Instagram.com/gigihadid
Satu tahun sejak 700 ribu Rohingya melarikan diri akibat kekerasan merebak oleh pasukan keamanan Myanmar di Rakhine, UNICEF telah memberikan gambaran suram anak-anak di perbatasan.PBB memperkirakan 530 ribu hingga 600 ribu Rohingya yang tak memiliki kewarganegaraan masih bertahan di Rakhine termasuk sekitar 360 ribu anak-anak. Namun, PBB memiliki akses terbatas untuk masuk ke Rakhine.
Pemerintah Myanmar menyatakan persetujaunnya untuk menerima kembali pengungsi Rohingya yang lari ke Bangladesh. Pemimpin pemerintahan sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi di Singapura menjelaskan, tempat telah disediakan untuk Rohingya yang kembali ke Myanmar.Namun, Ingram menilai prospek Rohingya yang kembali ke Myanmar masih suram. Alasannya, kondisi Rakhine yang masih tidak aman bagi Rohingya.
Credit tempo.co
Kamis, 23 Agustus 2018
Tolak Akui Kekejaman Militer, Suu Kyi Bela Kebijakan Atas Rohingya
SINGAPURA
- Pemimpina Myanmar, Aung San Suu Kyi, membela tindakan pemerintahnya
di negara bagian Rakhine. Lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya melarikan
diri dari rumah mereka dan mencari perlindungan di negara tetangga
Bangladesh.
Berbicara pada sebuah ceramah di Singapura, Suu Kyi menolak untuk mengakui kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar. Sebaliknya ia membenarkan kampanye pemerintahnya terhadap komunitas Muslim yang terkepung.
"Kami, yang hidup melalui transisi di Myanmar, melihatnya berbeda dari mereka yang mengamatinya dari luar dan yang akan tetap tak tersentuh oleh hasilnya," katanya, dalam respon yang jelas terhadap kritik tentang bagaimana pemerintahnya menangani penderitaan Rohingya seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (22/8/2018).
PBB telah menggambarkan kampanye militer Myanmar di Rakhine sebagai pembersihan etnis teks book. Jurnalis dan kelompok hak asasi manusia yang melaporkan dari wilayah itu telah mendokumentasikan perkosaan yang meluas, pembunuhan, dan penghancuran rumah oleh pasukan pemerintah.
Berbicara pada sebuah ceramah di Singapura, Suu Kyi menolak untuk mengakui kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar. Sebaliknya ia membenarkan kampanye pemerintahnya terhadap komunitas Muslim yang terkepung.
"Kami, yang hidup melalui transisi di Myanmar, melihatnya berbeda dari mereka yang mengamatinya dari luar dan yang akan tetap tak tersentuh oleh hasilnya," katanya, dalam respon yang jelas terhadap kritik tentang bagaimana pemerintahnya menangani penderitaan Rohingya seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (22/8/2018).
PBB telah menggambarkan kampanye militer Myanmar di Rakhine sebagai pembersihan etnis teks book. Jurnalis dan kelompok hak asasi manusia yang melaporkan dari wilayah itu telah mendokumentasikan perkosaan yang meluas, pembunuhan, dan penghancuran rumah oleh pasukan pemerintah.
Meskipun
demikian, penerima Hadiah Nobel Perdamaian itu telah menolak untuk
mengutuk aksi kekerasan tersebut. Ia bahkan menolak untuk menyebut nama
Rohingya untuk merujuk ke kelompok etnis tersebut.
Myanmar percaya bahwa Rohingya adalah orang Bengali yang bermigrasi ke negara itu secara tidak sah selama pemerintahan Inggris di benua itu. Myanmar menolak klaim bahwa Rohingya berasa dari wilayah itu berabad-abad lalu.
Sejak 2012, insiden intoleransi agama dan hasutan terhadap umat Islam telah meningkat di seluruh negeri, dengan Rohingya sering diserang dan digambarkan sebagai ancaman terhadap ras dan agama.
Dalam kesempatan itu, Suu Kyi juga mengatakan sulit untuk mengatakan kapan Rohingya yang dapat kembali. Ia pun menyalahkan Bangladesh atas keterlambatan itu.
"Sangat sulit bagi kami untuk menetapkan jangka waktu itu sendiri secara sepihak, karena kami harus bekerja dengan Bangladesh untuk melakukan itu".
Pemerintah Myanmar telah menandatangani beberapa perjanjian untuk mempersiapkan kembalinya Rohingya. Namun badan-badan PBB menuduh Myanmar terpaksa melakukan itu dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkhawatirkan keselamatan warga Rohingya saat kembali.
PBB, yang belum diberikan akses ke Rakhine sejak Agustus 2017, khawatir pengungsi yang kembali tidak akan menjadi kebebasan bergerak jika mereka kembali.
Knut Ostby, seorang pejabat PBB dan koordinator kemanusiaan di Myanmar, mengatakan perjanjian repatriasi telah dilanda penundaan berulang dan pihak berwenang belum mengizinkan mereka mengakses ke wilayah tersebut.
Myanmar percaya bahwa Rohingya adalah orang Bengali yang bermigrasi ke negara itu secara tidak sah selama pemerintahan Inggris di benua itu. Myanmar menolak klaim bahwa Rohingya berasa dari wilayah itu berabad-abad lalu.
Sejak 2012, insiden intoleransi agama dan hasutan terhadap umat Islam telah meningkat di seluruh negeri, dengan Rohingya sering diserang dan digambarkan sebagai ancaman terhadap ras dan agama.
Dalam kesempatan itu, Suu Kyi juga mengatakan sulit untuk mengatakan kapan Rohingya yang dapat kembali. Ia pun menyalahkan Bangladesh atas keterlambatan itu.
"Sangat sulit bagi kami untuk menetapkan jangka waktu itu sendiri secara sepihak, karena kami harus bekerja dengan Bangladesh untuk melakukan itu".
Pemerintah Myanmar telah menandatangani beberapa perjanjian untuk mempersiapkan kembalinya Rohingya. Namun badan-badan PBB menuduh Myanmar terpaksa melakukan itu dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkhawatirkan keselamatan warga Rohingya saat kembali.
PBB, yang belum diberikan akses ke Rakhine sejak Agustus 2017, khawatir pengungsi yang kembali tidak akan menjadi kebebasan bergerak jika mereka kembali.
Knut Ostby, seorang pejabat PBB dan koordinator kemanusiaan di Myanmar, mengatakan perjanjian repatriasi telah dilanda penundaan berulang dan pihak berwenang belum mengizinkan mereka mengakses ke wilayah tersebut.
Credit sindonews.com
Kamis, 09 Agustus 2018
Myanmar Minta Indonesia Berinvestasi di Rakhine
Sittwe, Rakhine. (REUTERS/Soe Zeya Tun)
Langkah itu dinilai Naypyidaw sebagai bentuk kontribusi Indonesia yang lebih besar lagi terhadap pemulihan krisis kemanusiaan yang sempat memburuk dan mernargetkan etnis minoritas terutama Rohingya di wilayah itu.
Permintaan itu disampaikan Penasihat Keamanan Nasional Myanmar U Thaung Tun saat menemui Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Jakarta, Rabu (8/8) pagi.
"Myanmar bilang Indonesia mungkin dapat bantu melakukan kegiatan yang sifatnya ekonomi seperti investasi. Karena kegiatan ekonomi yang bisa jamin sustainability masyarakat yang tinggal di sana," ucap Retno kepada wartawan usai menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun ASEAN Ke-51 Tahun pada Rabu siang.
Retno mengatakan permintaan Myanmar itu masih terus dijajaki pemerintah meski tak memberikan detail terkait rencana investasi Indonesia di wilayah konflik tersebut.
Namun, ia menegaskan pembangunan ekonomi dilihat sebagai salah satu jalan yang bisa menjamin dan memastikan pemulihan krisis kemanusiaan berjalan secara berkelanjutan dan inklusif, terutama menyusul proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Rakhine yang masih berjalan.
"Jika kita ingin berkontribusi dalam menyelesaikan isu di Myanmar kita juga harus melihat kondisinya seperti apa," tutur Retno.
Dalam kesempatan itu, Retno juga meminta Thaung Tun untuk memberikan perkembangan proses repatriasi pengungsi Rohingya yang seharusnya berjalan sejak awal tahun.
"Kami meminta Myanmar terus mengumumkan perkembangan penyelesaian krisis kemanusiaan ke dunia internasional supaya bisa ciptakan dan mendapatkan trust dari negara lain," kata Retno.
Selain bertemu Retno, Thaung Tun juga sempat bertemu dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian demi membahas kerja sama kapasitas pembangunan terkait pasukan polisi masyarakat.
Menurut Retno, peran Polri yang membaur di masyarakat Indonesia bisa menjadi inspirasi bagi fungsi aparat kepolisian Myanmar.
"Ada hal lain yang mereka sampaikan yakni pentingnya kerja sama meningkatkan comunity police. Polisi kita dianggap memiliki pengalaman yang dapat dibagikan ke Myanmar mengenai bagaimana menjalankan tugas secara bersahabat dengan masyarakat," papar Retno.
Credit cnnindonesia.com
Rabu, 01 Agustus 2018
Selasa, 24 Juli 2018
Malaysia Ingin ASEAN Ajak Myanmar Dialog soal Krisis Rohingya
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin
Abdullah mengatakan ASEAN mestinya bisa mendorong dialog dengan Myanmar
terkait krisis Rohingya. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)
Saifuddin mengatakan negara Asia Tenggara harus mampu mencari pendekatan baru yang jauh lebih proaktif untuk meyakinkan Myanmar menangani konflik di negara bagian Rakhine, tempat kekerasan terhadap Rohingya berpusat, secara inklusif.
"Saya rasa ini bukan hanya tugas Malaysia, tapi Indonesia, dan seluruh negara anggota ASEAN lainnya untuk terus mengajak Myanmar berdiskusi soal isu Rohingya melalui cara yang lebih proaktif," kata Saifuddin di saat berbicara dalam diskusi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (23/7).
|
Sejak krisis kemanusiaan kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu, Myanmar terus menjadi sorotan karena dianggap gagal melindungi etnis Rohingya dari dugaan persekusi militer.
Sementara itu, ASEAN juga banyak dikritik karena dianggap tidak bisa melakukan apa-apa demi menekan Myanmar menghentikan diskriminasi hingga kekerasan yang menargetkan Rohingya.
Dalam diskusi bertemakan Politik Luar Negeri di Era Pemerintahan Baru Malaysia itu, Saifuddin menegaskan bahwa Kuala Lumpur-di bawah komando baru Perdana Menteri Mahathir Mohamad-berkomitmen untuk lebih aktif lagi menangani isu hak asasi manusia baik dalam negeri maupun di kawasan, termasuk isu Rohingya.
|
"Bagi Malaysia, kami pastinya tidak membutuhkan konvensi internasional atau terlibat dalam perjanjian apapun untuk membantu mengatasi masalah Rohingya jika melihatnya dari sisi kemanusiaan," kata Saifuddin. "Mungkin kami tetap membutuhkan waktu dan proses terntentu untuk menerima para Rohingya sebagai pengungsi di Malaysia karena ini perlu persetujuan parlemen dan warga juga. Namun, tetap kami bisa mencari cara lain untuk membantu pengungsi Rohingya yang datang ke negara kami."
Lebih lanjut, Saifuddin menegaskan hal terpenting yang perlu dilakukan ASEAN dalam mengatasi krisis Rohingya adalah kesadaran dari masing-masing negara anggota bahwa tragedi ini menyangkut sisi kemanusiaan dan penegakkan HAM.
"Kabar baiknya adalah masyarakat ASEAN berangsur-angsur menyadari pentingnya penegakkan HAM di kawasan. Ini menjadi nilai tambah yang bisa mempermudah organisasi regional ini untuk terus menangani masalah HAM di kawasan, termasuk isu Rohingya," ujarnya.
Credit cnnindonesia.com
Kamis, 28 Juni 2018
Myanmar Pecat Jenderal yang Pimpin Operasi Terhadap Rohingya
NAYPYIDAW
- Myanmar memecat seorang jenderal yang diduga telam memimpin operasi
brutal terhadap Muslim Rohingya tahun lalu. Pemecatan ini dilakukan di
bawah tekanan dari Kanada dan Uni Eropa (UE).
Militer Myanmar mengumumkan telah memecat Mayor Jenderal Maung Maung Soe. Meski begitu, militer Myanmar memecat Soe bukan untuk alasan operasi terhadap Muslim Rohingya namun atas kelalaian.
"Soe menunjukkan kelemahan dalam menghadapi serangan militan terhadap pos-pos polisi di negara bagian Rakhine barat pada tahun 2016 dan 2017," demikian pernyataan dari kantor komando dinas layanan pertahanan, Min Aung Hlaing, seperti dikutip dari Washington Post, Selasa (26/6/2018).
Menurut pernyataan dari kantor panglima tertinggi Myanmar, Maung Maung Soe gagal menanggapi serangan teroris yang diluncurkan pada Oktober 2016 dan Agustus 2017 oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). ARSA adalah kelompok militan yang pertama kali muncul dua tahun lalu yang berjuang atas nama kaum Rohingya yang terpinggirkan.
Pernyataan itu mencatat bahwa militer tidak menemukan kesalahan apa pun terhadap jenderal itu ketika ia melakukan tugas-tugas normalnya. Tetapi selama serangan itu ia menunjukkan kekurangan dalam merespon tepat waktu terhadap peringatan dini penggunaan kekerasan dan tindakan tanpa hukum oleh ARSA.
Meski begitu, pengumuman ini disambut negatif oleh kelompok hak asasi manusia. Mereka menginginkan sanksi ditambah dengan tindakan oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk mengakhiri impunitas jangka panjang bagi militer Myanmar. Pengadilan pekan lalu memberi Myanmar waktu hingga 27 Juli untuk menanggapi permintaan penuntutan bahwa mereka mempertimbangkan untuk mendengarkan kasus dugaan deportasi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.
"Pengunduran diri ini - disengaja atau dipaksakan - tidak mewakili pertanggungjawaban nyata atas kekejaman yang dilakukan oleh tentara dan pasukan keamanan yang diperintahkan, dalam hal ini, oleh Maung Maung Soe atau Aung Kyaw Zaw," kata Richard Weir, peneliti Myanmar untuk Human Rights Watch.
"Selain itu, belum ada pengakuan bahwa orang-orang ini bertanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan oleh pasukan di bawah mereka, dengan tindakan kelalaian atau perintah langsung," sambung Weir.
“Para korban kekejaman ini layak mendapatkan jawaban dan mereka berhak mendapatkan beberapa ukuran keadilan. Mereka layak meminta orang-orang ini bertanggung jawab, bukan pensiun yang enak,” tukasnya.
Keputusan itu datang tak lama setelah UE dan Kanada mengumumkan sanksi terhadap Maung Maung Soe dan enam perwira militer serta perwira polisi di Myanmar. Kanada dan UE membekukan aset dan memberlakukan larang bepergian kepada ketujuh perwira tersebut yang terdiri dari lima jenderal militer, seorang jenderal perbatasan, dan seorang komanda polisi.
Kanada sebelumnya memberi sanksi kepada Maung Maung Soe pada bulan Februari di bawah tindakan yang berbeda. Pernyataan militer Myanmar tidak menyebutkan sanksi.
“Kanada dan komunitas internasional tidak dapat diam. Ini adalah pembersihan etnis. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland.
Militer Myanmar telah mempertahankan bahwa apa yang mereka sebut sebagai "operasi pembebasan" sebagai respons yang sah terhadap serangan Agustus lalu. Pernyataan ini sebagian besar telah dianut oleh pemerintah sipil Aung San Suu Kyi dan sejumlah besar orang Myanmar.
Etnis Rohingya sangat diremehkan di Myanmar, di mana mereka dipandang sebagai imigran gelap. Kampanye ini mendukung popularitas militer, yang mundur dari pemerintahan langsung negara itu pada tahun 2011.
Credit sindonews.com
Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya
CB, Jakarta - Pada awal Agustus tahun lalu, militer Myanmar mengerahkan operasi penumpasan pemberontak Rohingya,
yang mereka klaim bersembunyi di permukiman sipil negara bagian
Rakhine. Seorang letnan muda bernama Kyi Nyan Lynn ikut ke Negara Bagian
Rakhine, bersama ratusan tentara Myanmar lainnya untuk kampanye militer
yang akan mengusir ratusan ribu Muslim Rohingya dari rumah mereka dan
membakarnya sampai habis.
Letnan Kyi Nyan Lynn adalah tentara dari Divisi Infanteri Ringan ke-33. Kyi Nyan Lynn adalah bagian dari apa yang disebut pengamat militer Barat sebagai ujung tombak Myanmar bersama ratusan tentara yang bertempur terbagi dua divisi infanteri ringan ke-33 dan ke-99. Dua divis ini terkenal karena kampanye kontra-pemberontakannya yang brutal terhadap etnis Rohingya.
Ketika militan Rohingya melancarkan serangan ke seluruh Rakhine Utara pada Agustus tahun lalu, divisi ke-33 dan ke-99 mengusir 700.000 Rohingya ke Bangladesh. PBB mengatakan divisi ini telah melakukan genosida, sementara Amerika Serikat menyebut aksi mereka sebagai pembersihan etnis. Namun Myanmar membantah tuduhan tersebut.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar, berjabat tangan dengan pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi, pada Desember 2015.[REUTERS/Soe Zeya Tun]
Banyak yang menyebut tentara Myanmar melakukan pembunuhan massal dan membakar desa-desa Rohingya. Tapi investigasi Reuters, seperti dikutip pada 27 Juni 2018, memaparkan lebih spesifik peran divisi infanteri ringan ke-33 dan ke-99 Myanmar, bagaimana mereka melakukan serangan brutal di seluruh Negara Bagian Rakhine utara atas perintah langsung Jenderal Senior Min Aung Hlaing, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar.
Divisi ke-33 dan ke-99 datang ke desa-desa Rohingya untuk mengumumkan maksud kedatangan mereka kepada penduduk Rohingya yang cemas dan takut. Pertemuan-pertemuan dengan penduduk Rohingya diadakan di tempat-tempat seperti sekolah dan kantor polisi, untuk menyampaikan pesan serupa.
Sai Sitt Thway Aung dari Divisi Infanteri ke-99 mengunggah foto berseragam di Facebook.[Facebook via Reuters]
Para perwira mengatakan mereka telah datang untuk "membersihkan" daerah itu dan menumpas teroris dan penjahat. Mereka menuduh penduduk Rohingya menyembunyikan teroris dan mengancam akan membakar desa-desa dan menembak siapa saja yang mereka anggap mencurigakan.
Sai Sitt Thway Aung, seorang prajurit divisi ke-99, mengunggah status di Facebook-nya saat dia berada di kota Meiktila, Myanmar tengah.
"Tolong kirim kami secepatnya ke Rakhine di mana para teroris berada. Utang darah orang-orang yang akan saya kumpulkan dengan penuh hasrat," tulis Sai Sitt Thway Aung di Facebook pada 27 Agustus.
Pada 1 September, sekelompok tentara divisi ke-33 menangkap 10 pria dan pemuda Rohingya di Inn Din. Keesokan harinya, dengan bantuan penduduk desa Rakhine, mereka menembak dan memukuli tahanan sampai mati, lalu membuang mayat mereka di kuburan massal.
Dua wartawan Reuters ditangkap pada Desember setelah polisi mengetahui bahwa mereka telah melaporkan pembantaian di Inn Din. Bulan berikutnya, militer mengakui tentaranya telah terlibat pembunuhan itu, dan mengatakan tujuh tentara telah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Militer tidak mengungkap nama, pangkat atau divisi mereka. Namun dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, tetap berada di balik jeruji besi, dituduh melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Negara Myanmar dan terancam hukuman 14 tahun penjara.
Pemandangan salah satu desa Rohingya yang terbakar di Negara Bagian Rakhine. Beberapa tentara dari ke-33 dan ke-99 melakukan pembakaran secara rutin dan sistematis, ungkap polisi kepada Reuters.[REUTERS/Soe Zeya Tun]
Pada 30 Agustus di Maungdaw utara, tentara juga merusak desa Min Gyi, atau yang disebut Tula Toli, menurut kesaksian salah satu pengungsi Rohingya yang kini berada di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Pengamat Human Rights Watch mengatakan pembantaian terjadi di Tula Toli. Tentara menembak penduduk yang melarikan diri dan mengumpulkan ratusan lainnya, kata Human Rights Watch dalam sebuah laporan. Para prajurit kemudian secara sistematis membunuh orang-orang selama beberapa jam. Sebelum membunuh dan memperkosa banyak perempuan dan anak-anak Rohingya.
Seorang perempuan Rohingya bernama Begum mengatakan tentara membawanya ke sebuah rumah di Tula Toli bersama 11 perempuan dewasa dan gadis lain, termasuk adik perempuannya. Dia mengatakan enam tentara dengan lencana divisi ke-99 mendorongnya ke sebuah ruangan yang penuh dengan mayat. Kemudian salah satu tentara menggorok leher adiknya.
"Aku tidak tahan melihatnya jadi aku memalingkan wajahku," katanya sambil terisak-isak dan gemetar ketika dia berbicara.
Begum mengatakan dia ditendang dan dipukuli sampai pingsan. Ketika dia sadar, hari sudah gelap. Punggung dan kakinya terbakar dan kepalanya sakit. Sekitar 10 wanita lainnya terbaring terbakar dan tidak sadarkan diri saat dia merangkak keluar.
Pada 5 September kampanye militer Myanmar di Rakhine secara resmi berakhir. Aung San Suu Kyi menyampaikan ini dalam pidato dua minggu kemudian. Namun serangan-serangan pembakaran di desa-desa Rohingya berlanjut selama berminggu-minggu, seperti yang diperlihatkan gambar-gambar satelit.
Polisi yang ikut dalam pembakaran menceritakan bagaimana tentara membakar desa Rohingya. Setiap operasi melibatkan lima hingga tujuh polisi dan sedikitnya 20 tentara. Polisi mengepung rumah-rumah Rohingya sementara tentara menyisir kemudian membakar rumah beratap daun dan berdinding bambu.
Divisi yang memimpin operasi pembersihan disambut sebagai pahlawan di Myanmar tengah. Foto yang diunggah di Facebook memperlihatkan Sai Sitt Thway Aung dan tentara ke-99 lainnya saat kembali ke pangkalan militer di Meiktila pada Desember.[Facebook via Reuters]
Militer membantah membakar rumah-rumah di Rakhine dan mengatakan kaum militan Rohingya yang membakar rumah penduduk. Namun petugas polisi menceritakan bagaimana divisi ke-33 dan ke-99 melakukan pembakaran secara rutin dan sistematis.
Pada Desember, kelompok bantuan internasional, Médecins Sans Frontières, memperkirakan bahwa setidaknya 6.700 orang Rohingya tewas dalam bulan pertama penumpasan. Pada November, 13 anggota pasukan keamanan tewas dalam konflik, dan dilaporkan 376 militan ARSA tewas antara 25 Agustus dan 5 September, ketika penumpasan secara resmi berakhir.
Letnan Kyi Nyan Lynn adalah tentara dari Divisi Infanteri Ringan ke-33. Kyi Nyan Lynn adalah bagian dari apa yang disebut pengamat militer Barat sebagai ujung tombak Myanmar bersama ratusan tentara yang bertempur terbagi dua divisi infanteri ringan ke-33 dan ke-99. Dua divis ini terkenal karena kampanye kontra-pemberontakannya yang brutal terhadap etnis Rohingya.
Ketika militan Rohingya melancarkan serangan ke seluruh Rakhine Utara pada Agustus tahun lalu, divisi ke-33 dan ke-99 mengusir 700.000 Rohingya ke Bangladesh. PBB mengatakan divisi ini telah melakukan genosida, sementara Amerika Serikat menyebut aksi mereka sebagai pembersihan etnis. Namun Myanmar membantah tuduhan tersebut.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar, berjabat tangan dengan pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi, pada Desember 2015.[REUTERS/Soe Zeya Tun]
Banyak yang menyebut tentara Myanmar melakukan pembunuhan massal dan membakar desa-desa Rohingya. Tapi investigasi Reuters, seperti dikutip pada 27 Juni 2018, memaparkan lebih spesifik peran divisi infanteri ringan ke-33 dan ke-99 Myanmar, bagaimana mereka melakukan serangan brutal di seluruh Negara Bagian Rakhine utara atas perintah langsung Jenderal Senior Min Aung Hlaing, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar.
Divisi ke-33 dan ke-99 datang ke desa-desa Rohingya untuk mengumumkan maksud kedatangan mereka kepada penduduk Rohingya yang cemas dan takut. Pertemuan-pertemuan dengan penduduk Rohingya diadakan di tempat-tempat seperti sekolah dan kantor polisi, untuk menyampaikan pesan serupa.
Sai Sitt Thway Aung dari Divisi Infanteri ke-99 mengunggah foto berseragam di Facebook.[Facebook via Reuters]
Para perwira mengatakan mereka telah datang untuk "membersihkan" daerah itu dan menumpas teroris dan penjahat. Mereka menuduh penduduk Rohingya menyembunyikan teroris dan mengancam akan membakar desa-desa dan menembak siapa saja yang mereka anggap mencurigakan.
Sai Sitt Thway Aung, seorang prajurit divisi ke-99, mengunggah status di Facebook-nya saat dia berada di kota Meiktila, Myanmar tengah.
"Tolong kirim kami secepatnya ke Rakhine di mana para teroris berada. Utang darah orang-orang yang akan saya kumpulkan dengan penuh hasrat," tulis Sai Sitt Thway Aung di Facebook pada 27 Agustus.
Pada 1 September, sekelompok tentara divisi ke-33 menangkap 10 pria dan pemuda Rohingya di Inn Din. Keesokan harinya, dengan bantuan penduduk desa Rakhine, mereka menembak dan memukuli tahanan sampai mati, lalu membuang mayat mereka di kuburan massal.
Dua wartawan Reuters ditangkap pada Desember setelah polisi mengetahui bahwa mereka telah melaporkan pembantaian di Inn Din. Bulan berikutnya, militer mengakui tentaranya telah terlibat pembunuhan itu, dan mengatakan tujuh tentara telah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Militer tidak mengungkap nama, pangkat atau divisi mereka. Namun dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, tetap berada di balik jeruji besi, dituduh melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Negara Myanmar dan terancam hukuman 14 tahun penjara.
Pemandangan salah satu desa Rohingya yang terbakar di Negara Bagian Rakhine. Beberapa tentara dari ke-33 dan ke-99 melakukan pembakaran secara rutin dan sistematis, ungkap polisi kepada Reuters.[REUTERS/Soe Zeya Tun]
Pada 30 Agustus di Maungdaw utara, tentara juga merusak desa Min Gyi, atau yang disebut Tula Toli, menurut kesaksian salah satu pengungsi Rohingya yang kini berada di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Pengamat Human Rights Watch mengatakan pembantaian terjadi di Tula Toli. Tentara menembak penduduk yang melarikan diri dan mengumpulkan ratusan lainnya, kata Human Rights Watch dalam sebuah laporan. Para prajurit kemudian secara sistematis membunuh orang-orang selama beberapa jam. Sebelum membunuh dan memperkosa banyak perempuan dan anak-anak Rohingya.
Seorang perempuan Rohingya bernama Begum mengatakan tentara membawanya ke sebuah rumah di Tula Toli bersama 11 perempuan dewasa dan gadis lain, termasuk adik perempuannya. Dia mengatakan enam tentara dengan lencana divisi ke-99 mendorongnya ke sebuah ruangan yang penuh dengan mayat. Kemudian salah satu tentara menggorok leher adiknya.
"Aku tidak tahan melihatnya jadi aku memalingkan wajahku," katanya sambil terisak-isak dan gemetar ketika dia berbicara.
Begum mengatakan dia ditendang dan dipukuli sampai pingsan. Ketika dia sadar, hari sudah gelap. Punggung dan kakinya terbakar dan kepalanya sakit. Sekitar 10 wanita lainnya terbaring terbakar dan tidak sadarkan diri saat dia merangkak keluar.
Pada 5 September kampanye militer Myanmar di Rakhine secara resmi berakhir. Aung San Suu Kyi menyampaikan ini dalam pidato dua minggu kemudian. Namun serangan-serangan pembakaran di desa-desa Rohingya berlanjut selama berminggu-minggu, seperti yang diperlihatkan gambar-gambar satelit.
Polisi yang ikut dalam pembakaran menceritakan bagaimana tentara membakar desa Rohingya. Setiap operasi melibatkan lima hingga tujuh polisi dan sedikitnya 20 tentara. Polisi mengepung rumah-rumah Rohingya sementara tentara menyisir kemudian membakar rumah beratap daun dan berdinding bambu.
Divisi yang memimpin operasi pembersihan disambut sebagai pahlawan di Myanmar tengah. Foto yang diunggah di Facebook memperlihatkan Sai Sitt Thway Aung dan tentara ke-99 lainnya saat kembali ke pangkalan militer di Meiktila pada Desember.[Facebook via Reuters]
Militer membantah membakar rumah-rumah di Rakhine dan mengatakan kaum militan Rohingya yang membakar rumah penduduk. Namun petugas polisi menceritakan bagaimana divisi ke-33 dan ke-99 melakukan pembakaran secara rutin dan sistematis.
Pada Desember, kelompok bantuan internasional, Médecins Sans Frontières, memperkirakan bahwa setidaknya 6.700 orang Rohingya tewas dalam bulan pertama penumpasan. Pada November, 13 anggota pasukan keamanan tewas dalam konflik, dan dilaporkan 376 militan ARSA tewas antara 25 Agustus dan 5 September, ketika penumpasan secara resmi berakhir.
Credit tempo.co
Senin, 11 Juni 2018
Jumat, 08 Juni 2018
Biksu Myanmar Anti Rohingya Masuk Daftar Hitam Facebook
CB, Jakarta - Facebook telah
memasukkan kelompok Budha garis keras di Myanmar termasuk para biksu
yang menyampaikan pernyataan kebencian terhadap kelompok etnis Rohingya
dalam daftar hitam.
Dengan masuk dalam daftar hitam, maka kelompok Budha garis keras dan para biksu tidak dapat lagi mengakses Facebook.
"Mereka tidak lagi dibolehkan muncul di Facebook dan akan akan mencabut akun dan konten yang mendukung, memuji atau yang merepresentasikan orang-orang ini atau organisasi tersebut," kata Manajer Kebijakan Konten Facebook, David Caragliano seperti dikutip dari Channel News Asia, 7 Juni 2018.
Facebook melarang gerakan nasionalis Budha, Ma Ba Tha dan beberapa biksu terkenal yang menyuarakan kebencian pada Rohingya.
Biksu ekstrimis yang masuk daftar terlarang menggunakan Facebook adalah Wirathu pada Januari lalu. Setelah itu disusul Parmaukkha dan Thuseitta.
Sebelumnya, para aktivis mengkritik Facebook yang lamban merespons laporan mengenai postingan-postingan kelompok Budha garis keras dan para biksu yang menyuarakan kebencian pada Rohingya.
Seperti saat mereka menyerukan untuk membunuh jurnalis Muslim dan postingan mereka September lalu yang mengatakan umat Budha dan Muslim masing-masing bersiap untuk baku serang.
Facebook mengakui lamban merespons pengaduan para aktivis.
"Kami dapat melakukan lebih dan namun kami telah lamban memberikan respons," kata Wakil Kepala Kebijakan Publik Facebook Asia-Pasifik, Simon Milner.
Facebook mengatakan, akan menambah jumlah pekerjanya di Myanmar dan memastikan melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap munculnya akun palsu seraya meningkatkan sistem pelaporan dari pengguna Facebook di Myanmar.
Dengan masuk dalam daftar hitam, maka kelompok Budha garis keras dan para biksu tidak dapat lagi mengakses Facebook.
"Mereka tidak lagi dibolehkan muncul di Facebook dan akan akan mencabut akun dan konten yang mendukung, memuji atau yang merepresentasikan orang-orang ini atau organisasi tersebut," kata Manajer Kebijakan Konten Facebook, David Caragliano seperti dikutip dari Channel News Asia, 7 Juni 2018.
Biksu ekstrimis yang masuk daftar terlarang menggunakan Facebook adalah Wirathu pada Januari lalu. Setelah itu disusul Parmaukkha dan Thuseitta.
Sebelumnya, para aktivis mengkritik Facebook yang lamban merespons laporan mengenai postingan-postingan kelompok Budha garis keras dan para biksu yang menyuarakan kebencian pada Rohingya.
Seperti saat mereka menyerukan untuk membunuh jurnalis Muslim dan postingan mereka September lalu yang mengatakan umat Budha dan Muslim masing-masing bersiap untuk baku serang.
Facebook mengakui lamban merespons pengaduan para aktivis.
"Kami dapat melakukan lebih dan namun kami telah lamban memberikan respons," kata Wakil Kepala Kebijakan Publik Facebook Asia-Pasifik, Simon Milner.
Facebook mengatakan, akan menambah jumlah pekerjanya di Myanmar dan memastikan melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap munculnya akun palsu seraya meningkatkan sistem pelaporan dari pengguna Facebook di Myanmar.
Credit tempo.co
Langganan:
Postingan (Atom)