Tampilkan postingan dengan label FILIPINA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILIPINA. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Maret 2019

Duterte Sebut Perang Lawan Cina Jadi Pembantaian Filipina





Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (kanan), dan Presiden Cina, Xi Jingping (kiri) menjelang penandatanganan di Beijing, Cina, pada Oktober 2016. Reuters
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (kanan), dan Presiden Cina, Xi Jingping (kiri) menjelang penandatanganan di Beijing, Cina, pada Oktober 2016. Reuters

CBManila – Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mengatakan negaranya tidak mampu berperang melawan Cina terkait sengketa Laut Cina Selatan. Duterte beralasan Cina merupakan negara kaya yang memiliki banyak senjata berkualitas bagus.

Menurut Duterte, berperang melawan Cina sama saja dengan pembantaian massal terhadap pasukan Filipina.
“Jika kita perang melawan Cina, saya akan kehilangan semua tentara karena mereka berangkat berperang dan itu akan menjadi pembantaian saja. Kita tidak memiliki kapasitas untuk melawan mereka,” kata Duterte saat mengunjungi daerah Negros Occidental pada Jumat, 8 Maret 2019 seperti dilansir Manila Bulletin.

Duterte melanjutkan,”Tidak seperti Cina, uang kita digunakan untuk membayar pendidikan dan gaji guru. Mereka (Cina) dulu memberi makan raknyatnya dengan jatah. Tapi apa yang mereka lakukan adalah manufaktur banyak senjata,” kata Duterte.

Sekarang ini, pemimpin berusia 73 tahun itu mengatakan, Cina telah mengalami peningkatan yang banyak dengan industrialisasi yang menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya.
“Sekarang mereka negara kaya. Mereka memiliki banyak senjata berkualitas bagus. Selama bertahun-tahun, mereka diperintahkan oleh Presiden mereka untuk terus memproduksi senjata,” kata dia.
Namun, Duterte menegaskan sikapnya untuk terus melindungi negara dari pihak yang ingin menduduki Tanah Air. Dia mengakui jika Cina sekarang berada pada titik terjadi di wilayah yang disengketakan.
Duterte telah beberapa kali mengungkapkan pasukan Filpina memiliki kemampuan militer yang jauh lebih lemah dibandingkan Cina sehingga perang kedua negara hanya akan menghasilkan kekalahan militernya.
Namun, Duterte sebelumnya tidak pernah mengaitkan kecanggihan militer Cina dengan kemampuan industri negara itu, yang berhasil meningkatkan kemampuan ekonominya.

“Mereka sekarang berada pada titik itu. Tidak seorangpun mengatakan sebelumnya bahwa kita harus menaruh kanon dan senapan mesin di sini. Jadi Cina mengklaimnya,” kata dia.
Filipina sebenarnya memenangkan putusan arbitrase yang menolak klaim Beijing atas seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Tapi Duterte menempuh jalur dialog bilateral dengan Cina untuk menyelesaikan sengketa perbatasan wilayah laut ini. Saat Presiden Cina, Xi Jinping, mengunjungi Manila pada 2018, Duterte berkomitmen menyelesaikan sengketa LCS ini secara damai.

Secara terpisah, Menhan Filpina, Menteri Pertahanan, Delfin Lorenzana, mengatakan akan membentuk tim kajian soal perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat terkait konflik di Laut Cina Selatan. Ini menyusul aktivitas pesawat pengebom B-52 AS yang terbang di atas LCS dan menimbulkan reaksi dari Cina, seperti dilansir CNN.

Credit  tempo.co




ICC Bakal Lanjutkan Investigasi Duterte Meski Filipina Keluar?



Foto 19 April 2018 ini, menunjukkan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, bercanda kepada fotografer ketika dia memegang senapan Galil buatan Israel yang dipamerkan oleh mantan Kepala Kepolisian Nasional Filipina Jenderal Ronald
Foto 19 April 2018 ini, menunjukkan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, bercanda kepada fotografer ketika dia memegang senapan Galil buatan Israel yang dipamerkan oleh mantan Kepala Kepolisian Nasional Filipina Jenderal Ronald "Bato" Dela Rosa di upacara pergantian-komando di Kamp Crame di kota Quezon timur laut Manila. (AP Photo / Bullit Marquez, File)

CBManila – Pengadilan Kriminal Internasional atau ICC kemungkinan bakal melanjutkan investigasi terhadap Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, terkait dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan meskipun negara itu menarik diri dari keanggotaan.

Duterte memerintahkan Filipina mundur dari keanggotaan ICC karena dilaporkan ke pengadilan internasional itu terkait perang narkoba, yang dinilai banyak kalangan menewaskan ribuan orang. Keanggotaan Filipina di ICC bakal efektif berlaku mulai Ahad pekan depan.
“Ada kemungkinan besar Presiden Filipina dan sejumlah pejabat lainnya yang berada di balik pembunuhan pada perang narkoba bakal terus diinvestigasi oleh jaksa penuntut ICC bahkan setelah 17 Maret,” kata Ruben Carranza, direktur Reparasi Keadilan di International Center for Transitional Justice, seperti dilansir oleh ABC – CBN pada Ahad, 10 Maret 2019.

ICC yang berbasis di The Hague meluncurkan pemeriksaan penduluan atas laporan mengenai peran Duterte dalam aksi pembunuhan tim pembunuh di Davao City. Duterte sempat menjadi wali kota selama 2 dekade di kota itu. Dia juga menghadapi laporan di ICC terkait perang narkoba, yang telah merenggut korban ribuan jiwa.
Pelaporan kasus ini ke ICC menyebabkan Duterte memutuskan menarik Filipina keluar dari keanggotaan pengadilan pada Mei 2018.
“Ada preseden bahwa meskipun sebuah negara menarik diri dari ICC, jaksa penuntut tetap menginvestigasi kasusnya,” kata Carranza.
Ini terjadi pada Burundi, yang keluar dari ICC namun jaksa penuntut tetap memeriksa dugaan aktor negara terlibat dalam serangan luas terhadap warga sipil.
Sebelumnya, Duterte beralasan Statuta Roma, yang menjadi dasar pendirian ICC, tidak efektif ataupun tidak bisa dijalankan di Filipina karena tidak diumumkan secara lokal.
“Itu adalah posisi legal yang memalukan bagi pemerintah,” kata Carranza mengkritik alasan Duterte. Ini karena Manila telah menyumbang dana untuk operasional ICC dan juga telah menominasikan seorang hakim aktif.

Elvira Miranda, ibu dari Leover Miranda dari korban tewas akibat narkoba menangis dekat peti mati anaknya saat upacara pemakaman di Manila, Filipina, 20 Agustus 2017. AP
Selain menggunakan jalur ICC, para pelapor Duterte juga bisa menggunakan dua mekanisme legal lainnya untuk mengusut pemimpin yang terkenal dengan gaya bicara blak-blakan itu.

Jalur pertama adalah meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa memeriksa kasus perang narkoba yang digencarkan pemerintahan Duterte. Dan jalur kedua adalah menggunakan yurisdiksi universal oleh negara maju yang memiliki kekuasaan untuk menginvestigasi pemimpin asing.
Saat ini, Carranza mengatakan, PBB telah membentuk mekanisme penyelidikan untuk perang di Suriah dan dugaan pelanggaran HAM warga minoritas etnis Rohingya di Myanmar.
Secara terpisah, pengacara Jude Sabio mengatakan ICC telah memintanya untuk menghadirkan saksi menjelang keluarnya Filipina pada 17 Maret 2019 dari keanggotaan di pengadilan internasional itu.
Seperti dilansir CNN Filipina, Sabio merupakan pengacara dari Edgar Matobato dan Arturo Lascanas, yang keduanya mengaku sebagai orang suruhan Wali Kota Duterte untuk melakukan pembunuhan ekstra-judisial di Davao City.
Pada April 2017, Sabio menyerahkan dokuman 77 halaman mengenai pembunuhan di Davao City. Senator Antonio Trilanes dan anggota DPR Gary Alejano ikut memberikan informasi soal sepak terjang Duterte ini.



Credit  tempo.co




Rabu, 06 Maret 2019

Filipina Sebut Perjanjian dengan Amerika Bisa Menimbulkan Perang



Foto satelit yang diambil, pada 8 Januari 2016, ini memperlihatkan tanggul dan dermaga yang telah selesai dibangun di Pulau Subi Reef, Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.  Tiongkok terus membangun infrastruktur di pulau yang masih menjadi sengketa tersebut. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Digital Globe
Foto satelit yang diambil, pada 8 Januari 2016, ini memperlihatkan tanggul dan dermaga yang telah selesai dibangun di Pulau Subi Reef, Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan. Tiongkok terus membangun infrastruktur di pulau yang masih menjadi sengketa tersebut. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Digital Globe

CBManila – Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, mempertanyakan perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat. Dia mengatakan perjanjian itu bisa menyeret Filipina terlibat dalam perang menyusul terbangnya pesawat pengebom B-52 terbang di atas kepulauan yang dipersengketakan pada awal pekan ini.

Delfin menyebut perjanjian itu berisiko menimbulkan kebingungan dan kekacauan saat krisis terjadi.
“Filipina tidak sedang berkonflik dengan siapapun dan tidak akan terlibat perang dengan siapapun di masa depan,” kata Lorenzana kepada media seperti dilansir CNN pada Rabu, 6 Maret 2019.

Lorenzana melanjutkan kapal perang AS semakin sering terlihat berlayar di Laut Filipina Barat. “Ini memungkinkan terjadinya perang. Dalam kasus itu dan berdasarkan perjanjian pertahanan, Filipina bakal otomatis terlibat,” kata Lorenzana. AS dan Filipina menandatangani Mutual Defense Treaty.

Laut Filipina Barat merupakan nama lokal untuk Laut Cina Selatan, yang menjadi area maritim tempat kapal perang Amerika Serikat melakukan berbagai navigasi untuk menjaga kebebasan kegiatan pelayaran.
Aktivitas kapal perang AS ini menimbulkan kecaman dari Cina, yang mengklaim seluruh wilayah LCS sebagai wilayahnya. Cina juga membangun pangkalan militer di kepulauan di LCS dan dilengkapi dengan landasan pesawat dan rudal presisi terpandu.
Pada Senin kemarin, sebuah pesawat pengebom AS B-52 terbang di dekat kepuluan yang dipersengkatan di LCS. Ini merupakan penerbangan pertama pesawat dengan kemampuan membawa rudal berhulu ledak nuklir sejak November 2018.

Lorenzana memerintahkan tim kajian untuk mengkaji ulang apakah perjanjian dengan AS itu masih layak dan relevan pada hari ini.
“Itu perjanjian berusia 67 tahun, apakah masih relevan untuk kepentingan nasional kita?” kata dia. “Apakah akan mempertahankannya, memperkuatnya atau mengakhirinya.”

Media Philstar melansir Lorenzana mengatakan ada klausul dalam perjanjian itu yang memiliki ambiguitas sehingga membingungkan Filipina. “Saya tidak percaya ambiguitas atau ketidakjelasan bakal bisa berfungsi sebagai alat pencegah. Faktanya, itu bisa menimbulkan kebingungan dan kekacauan saat krisis terjadi,” kata Lorenzana.




Credit  tempo.co




Senin, 25 Februari 2019

Enam Warga Melbourne Berencana Gulingkan Pemerintah Filipina


.
.
Salah satu terdakwa pernah tinggal di Filipina.




CB, MELBOURNE -- Enam pria Australia mengaku bersalah atas tuduhan berencana masuk ke Filipina dan mendorong umat Islam menggulingkan pemerintah negara itu. Keenam pria asal Melbourne ini telah membeli kapal dan berencana berlayar dari Kota Cape York di Queensland menuju Filipina Selatan pada pertengahan 2016.


Demikian terungkap dalam persidangan kasus ini di Melbourne, Jumat (22/2). Sebelumnya, ada perintah pengadilan yang melarang pemberitaan atas kasus ini dan larangan tersebut berakhir hari ini.

Menurut berkas tuntutan yang disampaikan jaksa, dalam menjalankan aksinya kelompok ini menggunakan bahasa kode, menggunakan nama alias, serta berusaha mendapatkan kredit bank untuk digunakan membiayai aksinya.

Keenam terdakwa, yaitu Robert Cerantonio, Shayden Thorne, Paul Dacre, Antonino Granata, Kadir Kaya, dan Murat Kaya. Mereka sepakat mendorong penggulingan pemerintah di Filipina Selatan secara paksa atau dengan jalan kekerasan. Paul Dacre, Antonino Granata dan Kadir Kaya divonis penjara empat tahun, sedangkan Murat Kaya tiga tahun delapan bulan.


Murat Kaya, in handcuffs, is escorted into court by police.
Photo: Salah satu terdakwa, Murat Kaya, saat tiba di pengadilan, Jumat (22/2/2019). (AAP: Tracey Nearmy)


Jaksa Robert Cerantonio menyatakan seluruh terdakwa memiliki kaitan dengan ekstremisme, khususnya Cerantonio, yang pernah tinggal di Filipina dan disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok ini. Disebutkan, Cerantonio mendukung perlawanan ISIS di Irak dan Suriah serta menganjurkan pemberlakuan hukum syariah.


"Masing-masing terdakwa bisa dikaitkan dengan bukti-bukti yang sejalan dengan dukungan pada tujuan dan ide ekstremisme Islam dan jihad serta antipati terhadap masyarakat Australia dan aturan hukum," kata jaksa dalam tuntutannya.


Meskipun jaksa tidak menyebutkan secara rinci bagaimana para terdakwa berusaha menjalankan rencananya menggulingkan pemerintah, namun disebutkan rencana ini sama sekali bukan khayalan. "Seruan untuk menggulingkan pemerintah asing dengan paksa atau menggunakan kekerasan membahayakan tatanan masyarakat," kata Jaksa Penuntut Umum.


Menurut berkas tuntutan, Haci Kaya, ayah dari terdakwa Murat and Kadir Kaya, memberikan dana 90 ribu dolar AS untuk membiayai rencana tersebut.


The father of Kaya brothers, Haci Kaya, walks out of court.
Photo: Haci Kaya, ayah dari dua terdakwa, di luar gedung pengadilan. (ABC News: Danielle Bonica)


Para terdakwa menggunakannya membeli mobil yang digunakan membawa perahu mereka ke Cape York. Ditambahkan, mereka juga membeli peralatan navigasi dan membuat peta rute pelayaran.


Dalam menjatuhkan vonisnya, Hakim Michael Croucher menyatakan para terdakwa sepakat membeli kapal untuk meninggalkan Australia secara rahasia agar bisa masuk ke Filipina. "Aksi mereka ini direncanakan secara buruk dan sulit untuk berhasil," katanya.


Hakim Croucher menyatakan turut mempertimbangkan perilaku terdakwa selama berada dalam tahanan serta adanya kemungkinan merehabilitasi mereka. "Tampaknya mereka mengakui kesalahannya dan mengakui kewenangan pengadilan ini," katanya.




Credit  republika.co.id






Kamis, 21 Februari 2019

Kemenlu Sebut Sedang Upayakan Pembebasan Sandera Abu Sayyaf


Kemenlu Sebut Sedang Upayakan Pembebasan Sandera Abu Sayyaf
Ilustrasi penyanderaan WNI yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf. (Foto: Istockphoto/cyano66)




Jakarta, CB -- Kelompok teroris Abu Sayyaf diketahui menyandera tiga orang nelayan, dua berasal dari Indonesia dan satu dari Malaysia. Kelompok itu telah membuat video amatir berisi ancaman yang lantas beredar luas.

Tiga orang itu adalah Heri Ardiansyah (19) dan Hariadin (45), serta Jari Abdulla (24) yang merupakan warga negara Malaysia. Ketiganya bekerja sebagai nelayan kapal pukat yang sedang berlabuh di Sandakan, Sabah, berdekatan dengan kawasan Kepulauan Tawi-tawi di Filipina.

Video tersebut menarik perhatian seorang aktivis Wakatobi, Dariono yang meminta pemerintah pusat secepatnya mengambil tindakan mediasi terkait penyanderaan itu.


Ia mengungkapkan bahwa tayangan video itu menampilkan kedua sandera asal Indonesia yang mulutnya ditutup dengan lakban, juga kedua mata ditutup dan tubuh terikat kain hitam. Lima orang yang mengenakan seragam bersenjata lengkap tanpa mengelilingi mereka.

"Saya adalah Warga Negara Indonesia, pekerjaan saya nelayan di Sabah, Sandakan. Saya kena tangkap oleh Abu Sayyaf di Laut Sandakan. Saya minta perhatian pemerintah Republik Indonesia, terutama Presiden dan Bapak Dadang yang mengurus," ujar seorang sandera dalam video.

Menanggapi video terkait, Kementerian Luar Negeri RI memberikan sejumlah konfirmasi pada Rabu (20/2) malam. Mereka menyatakan telah menerima laporan penculikan itu, serta telah menghubungi keluarga sandera sembari terus melakukan upaya-upaya pembebasan.

"Kedua orang yang muncul di video adalah WNI asal Wakatobi, Sulawasi Tenggara, atas nama Hariadin dan Heri Ardiansyah. Keduanya diculk kelompok bersenjata Filipina Selatan saat bekerja menangkap ikan di perairan Sandakan, Sabah, Malaysia pada 5 Desember 2018 bersama satu orang warga negara Malaysia," kata pihak Kemenlu dalam pesan yang diterima CNNIndonesia.com.

Kemenlu mengungkapkan, pihaknya terus berkomunikasi dengan keluarga kedua WNI di Wakatobi untuk menyampaikan perkembangan upaya pembebasan.

"Kasus ini adalah penculikan ke-11 yang dilakukan terhadap WNI di perairan Sabah, Malaysia, oleh kelompok bersenjata di Filipina Selatan," ujarnya.

Terkait video yang beredar, disebutkan bahwa kelompok Abu Sayyaf selalu melakukan hal serupa untuk memberi tekanan. "Video semacam ini selalu disebarkan oleh penyandera dalam setiap kasus penyanderaan, untuk menekan keluarga," katanya.




Credit  cnnindonesia.com




Abu Sayyaf Kembali Culik WNI Sedang Melaut


Abu Sayyaf Kembali Culik WNI Sedang Melaut
Ilustrasi kelompok Abu Sayyaf. (SITE INTEL GROUP via REUTERS)



Jakarta, CB -- Kelompok teroris Abu Sayyaf dilaporkan menyandera tiga nelayan asal Indonesia dan Malaysia. Mereka bahkan mengunggah video berisi ancaman ketiganya bakal dipancung jika permintaan tebusan tidak dibayar.

Seperti dilansir The Straits Times, Rabu (20/2), ketiga nelayan yang disandera Abu Sayyaf itu terdiri dari dua warga Indonesia, Heri Ardiansyah (19) dan Hariadin (45), serta satu orang warga Malaysia bernama Jari Abdulla (24).

Video rekaman itu marak beredar di media sosial Facebook. Ketiganya adalah nelayan kapal pukat yang berlabuh di Sandakan, Sabah. Daerah itu berada sangat dekat dengan kawasan Kepulauan Tawi-tawi di Filipina.


Mereka dilaporkan ditawan Abu Sayyaf sejak 5 Desember 2018 lalu.

Rekaman video itu muncul beberapa hari setelah perwakilan Abu Sayyaf mengontak istri Jari, Nadin Junianti Abdullah. Saat itu penyandera meminta supaya dia mengabarkan kepada otoritas Malaysia untuk segera mengontak mereka mengatur pembayaran tebusan dan pembebasan.

Menurut Nadin, sang penyandera mengancam suaminya bakal kesulitan jika permintaan mereka tidak dipenuhi. Dia juga diminta mengontak jurnalis Malaysia pada 11 Februari lalu.

Hanya saja Nadin tidak mengungkap berapa jumlah uang tebusan yang diminta. Hingga berita ini dibuat, Kementerian Luar Negeri Indonesia belum memberikan konfirmasi mengenai kejadian itu.




Credit  cnnindonesia.com



Kamis, 14 Februari 2019

Komisi HAM ASEAN kecam penangkapan Maria Ressa


Komisi HAM ASEAN kecam penangkapan Maria Ressa
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum ditemui usai menjadi panelis diskusi di Jakarta, Rabu (23/1/2019). (ANTARA/Yashinta Difa)





Jakarta (CB) - Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR) mengecam penangkapan jurnalis dan Pemimpin Redaksi Rappler Maria Ressa di Filipina.

Kecaman itu disampaikan Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum yang menyatakan ketidaksetujuan dan keprihatinan atas penangkapan Maria Ressa, pemimpin redaksi Rappler, situs berita yang kritis terhadap pemerintah Filipina.

"Tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 23 Deklarasi HAM ASEAN yang menjamin kebebasan bependapat dan berekspresi," ujar Yuyun Wahyuningrum saat dihubungi ANTARA News di Jakarta, Rabu malam.

Pasal 23, lanjut Wahyuningrum berbunyi: Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi, baik secara lisan, tulisan, atau melalui cara lain yang dipilih oleh orang tersebut.

"Filipina adalah salah satu yang menandatangani Deklarasi HAM ASEAN. Saat itu, Presiden Filipina Benigno S. Aquino III menandatangani deklarasi tersebut," kata dia.

Dengan demikian, lanjut Yuyun, penangkapan Maria Ressa melanggar komitmen yang disepakati sendiri oleh Filipina.

Sebelumnya dilaporkan bahwa Maria Ressa, pemimpin redaksi Rappler, situs berita yang kritis terhadap pemerintah Filipina, ditangkap di kantor pusatnya di Manila, Rabu sore waktu setempat.

Ressa ditangkap dengan tuduhan melakukan cyber-libel atau fitnah-siber terkait pemberitaan seorang pebisnis yang diduga memiliki koneksi dengan mantan hakim.

Tuduhan itu, menurut Ressa, sebenarnya adalah usaha pemerintah Rodrigo Duterte untuk membungkam media.

Fitnah-siber menjadi yang terbaru dari serangkaian tuduhan beragam yang ditujukan kepada jurnalis senior Filipina itu.





Credit  antaranews.com





Dituduh Memfitnah, Aparat Filipina Tangkap Bos Rappler


Dituduh Memfitnah, Aparat Filipina Tangkap Bos Rappler
Editor in Chief Rappler, Maria Ressa. (REUTERS/Eloisa Lopez)


Jakarta, CB -- Sejumlah anggota Biro Investigasi Filipina menangkap jurnalis sekaligus kepala kantor berita Rappler, Maria Ressa. Dia ditetapkan sebagai tersangka delik fitnah digital, tetapi di mata kalangan pegiat hak asasi dan sejawat pewarta hal itu dianggap sebagai bentuk persekusi yang dilakukan pemerintah.

Seperti dilansir AFP, Rabu (13/2), aparat menangkap Ressa di kantornya di Ibu Kota Manila. Ini adalah perkara baru yang disangkakan kepadanya, setelah dugaan penggelapan pajak.

"Dia ditangkap dan dibacakan hak-haknya. Saya janji akan mengajukan pembebasan dengan jaminan malam ini juga," kata sesama pendiri Rappler, Beth Frondoso.


Ressa dibawa pergi dari kantornya dengan pengawalan ketat aparat Filipina, dan juga menjadi sorotan media massa setempat. Perempuan yang masuk dalam daftar orang-orang berpengaruh pada 2018 versi majalah Time itu tidak memberikan pernyataan apapun.

Terkait penangkapan itu, Persatuan Wartawan Filipina menyatakan kecewa dengan sikap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte. Mereka menyebut pemerintah hanya mencari-cari alasan untuk membungkam media massa.

"Penahanan Ressa adalah bentuk manipulasi delik fitnah digital dan jelas merupakan aksi persekusi yang tidak tahu malu yang dilakukan oleh pemerintah yang bermental perundung. Sekarang mereka menggunakan cara-cara konyol untuk membungkam media massa," demikian pernyataan Persatuan Wartawan Filipina.

Aparat menyatakan kasus ini bermula dari berita yang terbit di Rappler, yang ditulis mantan jurnalis mereka, Reynaldo Santos, Jr., tujuh tahun lalu. Saat itu, Santos mengulas soal dugaan hubungan antara seorang pengusaha dan hakim Filipina yang diduga melanggar hukum.

Pada 2017 lalu, sang pengusaha keberatan dengan artikel itu tetapi ditolak oleh penyelidik. Namun, kasus itu ternyata diserahkan kepada kejaksaan Filipina.

Duterte selama ini menekan sejumlah kantor berita yang keras mengkritiknya. Seperti ABS-CBN, Daily Inquirer, dan Rappler.

Cara Duterte membuat gentar media massa adalah dengan mengancam bakal memperkarakan pemiliknya dengan tuduhan menggelapkan pajak, atau menolak perpanjangan izin terbit dan siar. Ressa dan Rappler adalah salah satu media yang keras mengkritik kebijakan perang narkoba Duterte, yang sudah menelan ribuan nyawa.

Sejumlah pengkritik Duterte kini dipenjara, termasuk Senator Leila de Lima. Lima dibui karena kasus narkoba, tetapi dia membantahnya dan menyatakan perkara itu direkayasa.

Pemerintah Filipina menuding Rappler Holdings Corp., Ressa, dan akuntan mereka tidak membayar pajak saham pada 2015 sebesar US$3 juta. Sistem hukum di negara itu dikenal bobrok dan lamban, bahkan perkara kecil saja butuh waktu bertahun-tahun untuk disidangkan.



Credit  cnnindonesia.com





Rabu, 13 Februari 2019

Presiden Duterte Ingin Ganti Nama Filipina Jadi Maharlika


Rodrigo Duterte.[CBCPNews]
Rodrigo Duterte.[CBCPNews]

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Senin, 11 Februari 2019, mencetuskan gagasan mengubah nama Filipina menjadi Maharlika. Nama Maharlika dinilai lebih cocok untuk identitas Filipina yang berada di kawasan Malay atau Melayu.  

“Kata Filipina ditemukan oleh penjelajah asal Portugal bernama Ferdinand Magellan yang menggunakan mata uang Spanyol bergambar Raja Philip. Tidak apa-apa, mari kita ubah menjadi Maharlika,” kata Duterte dalam sebuah pidatonya saat menyerahkan sejumlah sertifikat tanah di Maguindanao, Filipina.


Keluarga awak kapal angkatan laut Filipina melambaikan bendera negara mereka untuk menyambut kapal barunya yang bernama BRP Davao del Sur di Pelabuhan Selatan Manila, Filipina, 10 Mei 2017. Angkatan Laut Filipina menyambut datangnya kapal amfibi kedua buatan Indonesia sebagai bagian dari program modernisasi militer. (AP Photo)





Dikutip dari news.abs-cbn.com, Selasa, 12 Februari 2019, Filipina berasal dari nama Raja Spanyol yang pada abad ke-16 dipimpin oleh Raja Philip II. Pada masa itu, Filipina menjadi jajahan Spanyol. Penjelajah asal Spanyol Ruy Lopez de Villalobos adalah salah satu tokoh yang mencetuskan nama Las Islas Filipinas bagi Kepulauan Filipina.

Namun mantan anggota Senat Eddie Ilarde mengajukan proposal rancangan undang-undang 195 ke parlemen untuk mengubah nama Filipina menjadi Maharlika yang memiliki arti dibuat dengan mulia. Nama Maharlika menurut sejarah juga memiliki sejumlah arti yakni orang bebas, pangeran atau bangsawan.   

Menurut tim penyidik Amerika Serikat, mantan diktator Filipina Ferdinand Marcos, juga pernah menggunakan kata Maharlika saat perang dunia II untuk memalsukan catatan militer negaranya.
Marcos mengklaim telah memerintahkan sekelompok gerilyawan yang dikenal Unit Maharlika, tetapi New York Times dalam pemberitaannya menyebut pada 1945 dan 1948 sejumlah perwira Angkatan Darat Filipina menolak permintaan Marcos untuk pengakuan resmi unit tersebut dan menyebut klaim Marcos terdistorsi, dibesar-besarkan, curang, kontradiktif, dan absurd. Tim penyidik di militer Filipina akhirnya menyimpulkan Unit Maharlika adalah fiktif.




Credit  tempo.co




Senin, 11 Februari 2019

Intimidasi Filipina, Cina Kirim 95 Kapal ke Laut Cina Selatan


Presiden Cina, Xi Jiping, menginspeksi latihan perang Angkatan Laut PLA di Laut Cina Selatan, Kamis, 12 April 2018. CNN -- Xinhua
Presiden Cina, Xi Jiping, menginspeksi latihan perang Angkatan Laut PLA di Laut Cina Selatan, Kamis, 12 April 2018. CNN -- Xinhua

CB, Jakarta - Angkatan laut Cina dilaporkan telah mengerahkan armada hampir 100 kapal ke Pulau Thitu, salah satu dari beberapa pulau yang disengketakan di Laut Cina Selatan.
Ini diyakini sebagai upaya Cina untuk menghentikan pekerjaan konstruksi yang sedang berlangsung yang sedang dilakukan oleh pemerintah Filipina.

Dikutip dari Sputnik, 9 Februari 2019, menurut laporan hari Rabu yang diterbitkan oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), sebuah lembaga think tank yang dikelola oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional, Beijing baru-baru ini mulai mengirim kapal dari Subi Reef, yang terletak sekitar 22,2 kilometer laut dari Thitu.

Parade angkatan laut Cina di Laut Cina Selatan terlihat dari satelit pencitraan, 28 Maret 2018. CNN - Planet Labs
Pada tanggal 3 Desember 2018, dengan hari-hari konstruksi yang jauh dari permulaan di Thitu, Cina mengirim setidaknya 24 kapal ke pulau yang disengketakan, menurut laporan. Konstruksi sebelumnya telah dihentikan karena cuaca buruk dan gelombang laut yang besar.
Selama sisa bulan itu, dan memasuki Januari 2019, jumlah armada Cina, terdiri dari kapal-kapal dengan Tentara Pembebasan Rakyat-Angkatan Laut, Penjaga Pantai Cina dan berbagai kapal penangkap ikan, berfluktuasi ketika mereka menempatkan diri di dekat pulau yang diperebutkan ketika konstruksi dimulai.
"Kapal-kapal penangkap ikan sebagian besar telah berlabuh antara 3,7 dan 10,1 kilometer laut di sebelah barat Thitu, sementara kapal-kapal angkatan laut dan penjaga pantai beroperasi sedikit lebih jauh ke selatan dan barat," papar isi laporan.

"Penyebaran ini konsisten dengan contoh-contoh sebelumnya dari 'strategi kubis Cina', yang mempekerjakan lapisan penangkapan ikan, penegakan hukum dan kapal angkatan laut konsentris di sekitar wilayah yang diperebutkan."
Pada tanggal 20 Desember 2018, citra satelit menunjukkan 95 kapal Cina di dekat pulau itu, sebelum banyak yang ditarik kembali, menjadi tinggal 42 kapal pada 26 Januari 2019. Dua kapal terlihat selama 20 Desember yang diidentifikasi AMTI sebagai kapal perang frigat PLAN Type 053H1G dan CCG Type 818 cutter.
"Penurunan jumlah kapal pemerintah, yang mencerminkan pengurangan kehadiran milisi, menunjukkan pasukan Cina telah menetap dalam pola pemantauan dan intimidasi setelah penyebaran besar awal mereka gagal meyakinkan Manila menghentikan pembangunan," laporan itu menyimpulkan.

Pembangunan bagian Barat Laut pulau Mischief Reef, Kepulauan Spratly, Laut China Selatan, dilihat dari udara, 8 Januari 2016. Terlihat tanggul sepanjang 1.900 kaki atau sekitar 589 m, bangunan-bangunan baru, dan dermaga yang telah dan sedang dibangun pemerintah Tiongkok. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Digital Globe
Menurut Philstar, kapal penjaga pantai Cina dan kapal penangkap ikan juga terlihat di dekat Sandy Cay, sebuah gugus pulau yang berjarak sekitar 4,63 kilometer laut dari Pulau Thitu. Juga dikenal sebagai Pulau Pag-asa, pulau ini diklaim oleh Filipina, Cina, Taiwan, dan Vietnam dan merupakan pulau Spratly terbesar kedua.
Rencana pemerintah Filipina untuk membangun jalan landai di atas Thitu untuk memungkinkan kapal-kapal Filipina untuk mengangkut bahan-bahan perbaikan dengan lebih baik dan untuk memperpanjang landasan pulau guna mendaratkan pesawat-pesawat yang lebih besar pada awalnya diumumkan pada bulan April 2017.

Awal pekan ini, laporan AMTI dikritik oleh Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana atas klaimnya bahwa upaya pembangunan yang sedang berlangsung juga akan mencakup reklamasi tanah, lapor Manila Bulletin.
"Sampai sekarang, hanya jalan landai yang sedang dilakukan. Berikutnya adalah beton landasan pacu. Fase ketiga adalah pemanjangan landasan pacu, yang akan memerlukan reklamasi sekitar 300 meter," jelas Lorenzana.
Lorenzana mengeluarkan pernyataan tentang kehadiran kapal-kapal Cina pada hari Jumat, menekankan bahwa upaya pembangunan akan terus berlanjut dan tuntutan sengketa Laut Cina Selatan harus "menghormati kedaulatan Filipina" dan berperilaku dalam "cara beradab yang sesuai dengan anggota komunitas global."





Credit  tempo.co






Jumat, 08 Februari 2019

Malaysia Marah Benderanya Dibakar di Filipina


Malaysia Marah Benderanya Dibakar di Filipina
Cuplikan video pembakaran bendera Malaysia oleh massa di Filipina. Foto/The Star

KUALA LUMPUR - Pemerintah Malaysia marah dan mengecam keras pembakaran benderanya dalam sebuah insiden di Filipina Januari lalu. Bendera yang dikenal dengan sebutan Jalur Gemilang itu dibakar massa yang memprotes pasukan penjaga perdamaian Malaysia di Mindanao.

Kementerian Luar Negeri Malayasia, dalam sebuah pernyataan, menyatakan keprihatinannya atas sebuah video kontroversial yang diterbitkan di akun Facebook "President Pamatong Supporters" tanggal 19 dan 21 Januari. Video itu menampilkan pembakaran bendera Jalur Gemilang.

“Malaysia mengecam keras tindakan itu dan memandang pembakaran bendera Malaysia sebagai insiden serius," bunyi pernyataan kementerian tersebut, dikutip The Star, Kamis (7/2/2019).

"Bendera adalah simbol nasional yang sakral dan harus diperlakukan dengan hormat," lanjut pernyataan kementerian itu.

"Tindakan dan komentar anti-Malaysia yang dibuat oleh individu (pembakar bendera) ini ofensif, dan tuduhan yang dibuat tidak berdasar," imbuh Wisma Putra, sebutan lain untuk Kementerian Luar Negeri Malaysia.

Sosok pembakar bendera yang ditampilkan dalam video itu dilaporkan bernama Elly Pamatong. Dia memproklamirkan diri sebagai pendiri dari United States Allied Freedom Fighters of the East (USAFFE).

Pamatong dilaporkan telah membakar bendera Malaysia untuk memprotes kehadiran pasukan penjaga perdamaian Malaysia di Mindanao.

Kementerian Luar Negeri Malaysia meminta pemerintah Filipina untuk mengambil tindakan tegas terhadap Pamatong dan memastikan insiden seperti itu tidak terulang karena mereka berpotensi menodai hubungan bilateral ramah kedua negara yang sekarang dinikmati. 





Credit  sindonews.com





Filipina Deklarasikan Wabah Campak


Vaksin MMR
Vaksin MMR
Foto: AP Photo/Eric Risberg
Kasus kematian karena campak terus meningkat selama beberapa pekan terakhir.




CB, MANILA -- Pemerintah Filipina mendeklarasikan wabah campak di beberapa wilayah termasuk ibukota Manila. Pada 26 Januari lalu Departemen Kesehatan Bidang Epidemiologi mencatat 1.813 kasus campak dan 26 kematian. Ada kenaikan sebesar 74 persen dari tahun 2018.


Campak bisa sangat berbahaya bagi anak kecil dan bayi. Kenaikan kasus campak ini meningkatkan kekhawatiran untuk 2,4 juta anak yang belum divaksin. Orang tua di Filipina enggan untuk mengimunisasi anak-anak mereka di pusat-pusat kesehatan pemerintah, setelah ada komplikasi terkait dengan vaksin dengue, Dengvaxia.


Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Filipina Dokter Gundo Weiler, mengatakan tingkat imunisasi jauh di bawah target 95 persen dan menurun. Pada 2016, rata-rata angkanya sekitar 75 persen tapi turun jauh pada tahun 2017.

"Dalam skenario ini kami memiliki sekumpulan anak-anak yang tumbuh dari waktu ke waktu tanpa terlindungi dan rentan terhadap campak," kata Weiler, seperti dilansir BBC, Kamis (7/2).


Campak adalah penyakit yang dapat menular melalui udara dan menyebar dengan mudah melalui batuk dan bersin. Gejala awalnya biasanya demam, batuk, pilek dan mata meradang. Beberapa hari kemudian ruam merah muncul di wajah dan tubuh.


Menteri Kesehatan Filipina Francisco Duque mengatakan bronchopneumonia dari komplikasi campak dapat mematikan. Ia mendorong para orang tua untuk mengimunisasi anak mereka.



"Orang tua harusnya tidak menunggu komplikasi terjadi karena sudah terlalu terlambat," katanya.

Duque mengatakan deklarasi wabah campak ini karena Kementerian Kesehatan Filipina melihat kasus kematian karena campak terus meningkat selama beberapa pekan terakhir. Mereka juga meningkatkan pengawasan terhadap kasus-kasus baru dan memperingatkan para ibu serta pengasuh bayi untuk lebih waspada.


Pemerintah Filipina awalnya hanya mendeklarasikan wabah campak di Manila dan Luzon. Tapi Kementeri Kesehatan Filipina menambah beberapa wilayah lainnya. Media-media Filipina mengkritik kerja pemerintah karena wabah campak ini bisa terjadi.


"Wabah penyakit apapun di wilayah tertentu dapat dilihat sebagai kegagalan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan publik," tulis ABC-CBN News.


Menurut mereka pemerintah harus memetakan dan mengidentifikasi wilayah yang rentan terhadap penyakit tertentu. Kegagalan kebijakan ini menurut ABC-CBN News dapat terlihat dalam wabah campak yang sebenarnya dapat dicegah.


ABC-CBN News mengatakan Duque menyudutkan Kepala Kantor Pengacara Publik (PAO) Persida Acosta yang menurutnya telah membuat warga takut terhadap Dengavaxia. Sementara itu dilansir di Inquirer, Menteri Kehakiman Filipina Menardo Guevarra mengatakan seharusnya Acosta tidak perlu disudutkan atas wabah campak ini.


"Kepala PAO Acosta hanya melakukan pekerjaannya dan tidak berniat untuk menakut-nakuti publik tentang dampak negatif vaksin secara umum," kata Guevarra dalam pernyataannya.


Acosta sudah mengajukan tuntutan kriminal terhadap mantan pejabat dan pejabat kementerian kesehatan. Tuntutan ini diajukan setelah beberapa anak meninggal dunia usia diinokulasi vaksin Dengvaxia yang kontroversial.


Tim forensik PAO melakukan pemeriksaan forensik terhadap beberapa anak dan seorang dokter pemerintah yang meninggal dunia setelah diberi vaksin Dengvaxia. PAO berpendapat ada kelalaian pemerintah dalam menyaring calon penerima vaksin.


Perusahaan pembuat vaksin Sanofi Pasteur sendiri sudah menyatakan penerima vaksin yang belum terjangkit dengue akan memiliki risiko yang lebih tinggi terkena penyakit mematikan. Guevarra mengatakan ia sudah memerintahkan panel Kementerian Kehakiman untuk menyelesaikan kasus terkait Dengvaxia.


"Saya sudah meminta panel penyelidiK Dengvaxia untuk menyelesaikan kasus tersebut pada bulan ini," kata Guevarra.


Ia mengatakan dengan dukungan Presiden Rodrigo Duterte, kementeriannya akan meluncurkan berbagai kampanye untuk mensosialisikan keharusan vaksin untuk mencegah penyakit seperti flu dan campak. Tuntutan Dengvaxia itu diajukan oleh  Volunteers Against Crime and Corruption (VACC). 




Credit  republika.co.id



Rabu, 06 Februari 2019

Dubes RI: Belum Ada Bukti WNI Terlibat Bom Gereja di Filipina


Dubes RI: Belum Ada Bukti WNI Terlibat Bom Gereja di Filipina
Dubes RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang akan mengirimkan nota keberatan kepada pemerintah Filipina. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)



Jakarta, CB -- Duta Besar Indonesia untuk FIlipina, Sinyo Harry Sarundajang menegaskan dugaan keterlibatan Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai pelaku aksi bom bunuh diri di Gereja di Pulau Jolo, Mindanao Filipina masih belum jelas.

Hal itu ia sampaikan untuk merespons pernyataan Mendagri Filipina Eduardo Ano yang meyakini pasangan suami istri (pasutri) asal Indonesia menjadi pelaku bom bunuh diri di gereja di Pulau Jolo, Mindanao, Filipina beberapa waktu lalu.

Sinyo menyatakan pihak Kepolisian Nasional FIlipina (PNP) sendiri belum dapat melampirkan bukti yang kuat seperti pemeriksaan DNA maupun rekaman CCTV yang menunjukkan pelaku pengeboman merupakan WNI.


"PNP belum mengeluarkan hasil uji DNA serta gambar resmi hasil rekaman CCTV di lokasi ledakan, yang menyatakan bahwa kedua pelaku sebagaimana dinyatakan oleh Secretary Ano adalah WNI," kata Sinyo dalam keterangan tertulis, Selasa (5/2).



Mantan Gubernur Sulawesi Utara itu menyatakan data DNA dan CCTV itu sangat diperlukan untuk membuktikan tuduhan Ano soal dugaan pelaku pengeboman merupakan warga WNI.

Ia menilai pernyataan Ano itu tak memiliki basis data yang valid. Bahkan, kata dia, Intelijen Filipina (NICA) sendiri menyatakan masih terus melakukan investigasi terkait pelaku pengeboman itu.


Dubes RI: Belum Ada Bukti WNI Terlibat Bom Gereja di Filipina
Bom Gereja Filipina. (Armed Forces Of The Philippines/Handout via REUTERS)

"Intelijen Filipina mengakui bahwa pihaknya belum mengetahui dasar penyampaian informasi yang diberikan oleh Mendagri Ano tentang keterlibatan WNI pada bom bunuh diri," ungkapnya.

Lebih lanjut, Sinyo mengeluhkan sikap Pemerintah Filipina yang kerap menuding WNI terlibat dalam aksi bom bunuh diri di negara berjuluk 'Lumbung Padi' itu tanpa adanya bukti yang kuat.


Ia bahkan mencatat sudah dua kali pemerintah Filipina melontarkan tuduhan tersebut. Pertama, kata dia, WNI dituduh terlibat pada peledakan Bom di Kota Lamitan pada 31 Juli 2018 dan Bom jelang tahun baru 2019 di Cotabato CIty.

"Namun hasil investigasi menunjukkan tidak ada keterlibatan WNI dalam dua pemboman tersebut sebagaimana pernyataan aparat [Filipina] seperti pemberitaan di media," kata dia.

Guna merespon hal itu, Sinyo menyatakan Badan Intelijen Filipina (NICA) berencana membuka investigasi gabungan dengan pemerintah RI secara informal untuk mendalami kasus tersebut.


Tak hanya itu, KBRI Manila berencana akan mengirimkan nota verbal kepada Pemerintah Filipina untuk menyatakan keberatan dan meminta klarifikasi langsung terkait tuduhan tersebut.

"Akan mengirimkan nota verbal untuk meminta klarifikasi kepada pemerintah Filipina serta menyatakan keberatan karena tak adanya notifikasi dari pemerintah Filipina mengenai dugaan keterlibatan WNI pada peristiwa serangan di Jolo," kata dia.





Credit  cnnindonesia.com




Kepolisian Filipina masih tunggu hasil pemeriksaan DNA pelaku bom bunuh diri


Kepolisian Filipina masih tunggu hasil pemeriksaan DNA pelaku bom bunuh diri
Seorang anggota Tentara Filipina berjalan di dalam sebuah gereja setelah serangan bom di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina, Minggu (27/1/2019). (Armed Forces of the Philippines -Western Mindanao Command/Handout via REUTERS)



Jakarta (CB) - Duta Besar RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang mengatakan Kepolisian Nasional Filipina (PNP) masih menunggu hasil pemeriksaan DNA jasad kedua pelaku bom bunuh diri di sebuah gereja di Pulau Jolo, Filipina, pada 27 Januari lalu.
“Sampai saat ini belum ada hasilnya,” kata Harry dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Hasil pemeriksaan DNA jasad kedua pelaku pengeboman akan sangat penting untuk membuktikan dugaan keterlibatan dua WNI dalam insiden yang mengakibatkan 22 orang meninggal dunia dan 100 orang luka-luka, seperti sebelumnya disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano.
Dalam konferensi pers di Provinsi Visayas, Filipina, 1 Februari lalu, Ano menyebut pelaku bom bunuh diri adalah pasangan suami istri WNI bernama Abu Huda dan seorang perempuan yang tidak disebutkan namanya.

Kedua pelaku dibantu oleh Kamah, anggota kelompok Ajang-Ajang yang berafiliasi dengan kelompok Abu Sayyaf. Faksi tersebut telah menyatakan dukungannya kepada jaringan teroris IS.
Namun, berdasarkan hasil pendalaman yang dilakukan KBRI Manila dan KJRI Davao, pihak intelijen Filipina (NICA) sendiri belum mengetahui dasar penyampaian informasi yang dilakukan Menteri Ano tentang keterlibatan WNI dalam insiden tersebut.
“Dengan demikian hingga saat ini belum dapat dipastikan adanya keterlibatan WNI dalam peristiwa pengeboman di Jolo,” kata Harry.


Dalam wawancara dengan media Inquirer pada 3 Februari, Wali Kota Jolo Kherkar Tan menyatakan bahwa dirinya telah mengajukan permohonan kepada kelompok pegiat HAM lokal maupun internasional untuk mengunjungi Jolo guna membantu proses investigasi tindakan teror tersebut.

Wali Kota Tan mengatakan bahwa proses pencarian fakta yang independen perlu dilakukan agar tidak ada yang “dapat ditutup-tutupi”.
Ia juga mengatakan bahwa penduduk dan keluarga para korban ledakan bom menolak mempercayai pernyataan pejabat-pejabat pemerintah yang mengklaim bahwa pelaku bom bunuh diri asal Indonesia yang mungkin telah melakukan serangan tersebut.
Pada 4 Februari lalu, Kepala Kepolisian Nasional Filipina Oscar D. Albayalde menyampaikan keterangan pers bahwa Kammah L. Pae, seorang pria warga Jolo yang diyakini sebagai tersangka utama sekaligus donatur aksi pengeboman, telah menyerahkan diri bersama empat orang lainnya, yaitu Albaji Kisae Gadjali alias Awag, Rajan Bakil Gadjali alias Radjan, Kaisar Bakil Gadjali alias Isal, serta Salit Alih alias Papong.


Kelima orang tersebut adalah anggota kelompok Abu Sayyaf di bawah pimpinan Hatib Hajan Sawadjaan. Mereka menyerahkan diri setelah kepolisian dan militer Filipina melakukan operasi pengejaran besar-besaran.
Kamah diyakini sebagai bagian dari anggota tim yang memandu para pelaku bom bunuh diri, yaitu pasangan Asia yang belum teridentifikasi identitasnya. Pasangan tersebut diketahui tiba di Jolo dengan menggunakan perahu pada 24 Januari 2019.




Credit  antaranews.com


Kepolisian Filipina belum rilis bukti keterlibatan WNI dalam pengeboman di Jolo


Kepolisian Filipina belum rilis bukti keterlibatan WNI dalam pengeboman di Jolo
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal (kedua kanan) bersama Duta Besar RI untuk Filipina Sinyo Sinyo Harry Sarundajang (ketiga kanan) memberikan keterangan pers terkait pembebasan dan penyerahan kembali tiga WNI yang sebelumnya disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan, Jakarta, Rabu (19/9/2018). (ANTARA/Yashinta Difa)




Jakarta (CB) - Duta Besar RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang mengatakan Kepolisian Nasional Filipina (PNP) belum merilis bukti keterlibatan WNI dalam pengeboman di sebuah gereja di Pulau Jolo, Filipina, pada 27 Januari 2019.
“Otoritas setempat belum mengeluarkan hasil uji DNA serta gambar resmi hasil rekaman CCTV di lokasi ledakan, yang menyatakan bahwa kedua pelaku sebagaimana dinyatakan oleh Secretary Ano adalah WNI,” kata Harry dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Dugaan mengenai keterlibatan dua WNI sebagai pelaku bom bunuh diri yang mengakibatkan 22 orang meninggal dunia dan 100 orang luka-luka pertama kali disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Secretary of Interior and Local Government) Filipina Eduardo Ano.
Dalam konferensi pers di Provinsi Visayas, Filipina, 1 Februari lalu, Ano menyebut pelaku bom bunuh diri adalah pasangan suami istri WNI bernama Abu Huda dan seorang perempuan yang tidak disebutkan namanya.
Kedua pelaku dibantu oleh Kamah, anggota kelompok Ajang Ajang yang berafiliasi dengan kelompok Abu Sayyaf. Faksi tersebut telah menyatakan dukungannya kepada jaringan teroris IS.

Namun, berdasarkan hasil pendalaman yang dilakukan KBRI Manila dan KJRI Davao, pihak intelijen Filipina (NICA) sendiri belum mengetahui dasar penyampaian informasi yang dilakukan Menteri Ano tentang keterlibatan WNI dalam insiden tersebut.
"Saat dihubungi KBRI Manila, pihak NICA secara informal menyatakan keterbukaannya untuk melakukan investigasi bersama dengan pemerintah RI,” ujar Harry.
Berdasarkan catatan KBRI Manila, berita keterlibatan WNI dalam aksi bom bunuh diri dan serangan teror telah beberapa kali disampaikan pemerintah Filipina kepada media massa tanpa adanya dasar pembuktian dan hasil investigasi terlebih dahulu.
Tuduhan keterlibatan WNI pernah disampaikan saat terjadi ledakan bom di Kota Lamitan, Provinsi Basilan, pada 31 Juli 2018 serta ledakan bom menjelang tahun baru 2019 di Kota Cotabato atas nama Abdulrahid Ruhmisanti.
“Meski demikian, hasil investigasi menunjukkan tidak ada keterlibatan WNI dalam dua peristiwa pengeboman tersebut sebagaimana pernyataan aparat dan pemberitaan media massa,” lanjut Harry.
Untuk menyikapi penyebaran berita yang belum jelas kebenarannya ini, KBRI Manila akan meminta klarifikasi langsung melalui Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri Filipina.
Nota verbal juga akan dikirimkan oleh pemerintah RI untuk meminta klarifikasi kepada pemerintah Filipina serta menyatakan keberatan karena tidak adanya notifikasi dari pemerintah Filipina mengenai dugaan keterlibatan WNI dalam serangan bom di Pulau Jolo.





Credit  antaranews.com




Diduga Bantu WNI Membom Gereja Filipina, 5 Anggota Abu Sayyaf Menyerah


Diduga Bantu WNI Membom Gereja Filipina, 5 Anggota Abu Sayyaf Menyerah
Kondisi Gereja Cathedral of Our Lady of Mount Carmel di Jolo, Filipina selatan, yang dihantam bom kembar. Foto/REUTERS

MANILA - Lima anggota kelompok militan Abu Sayyaf yang diyakini berada di belakang pemboman mematikan terhadap sebuah gereja di Filipina selatan menyerah diri kepada pihak berwenang akhir pekan lalu. Menurut polisi setempat, salah satu dari mereka diduga membantu dua warga negara Indonesia (WNI) dalam melakukan serangan.

Kepala Polisi Filipina Oscar Albayalde mengumumkan penyerahan diri lima anggota Abu Sayyaf tersebut pada hari Senin (4/2/2019).

Anggota senior Abu Sayyaf; Kammah Pae, ikut menyerahkan diri kepada pasukan pemerintah. Menurut Albayalde, Kammah Pae diduga telah membantu pasangan asal Indonesia dalam serangan pada 27 Januari lalu.

"Dia dipaksa untuk menyerah," kata Albayalde pada konferensi pers. "Dia mungkin tidak ingin mati selama serangan militer," katanya lagi, dikutip Reuters.

Pasukan Filipina telah baku tembak dengan kelompok Abu Sayyaf di Patikul, Provinsi Sulu, pada hari Sabtu. Tiga gerilyawan Abu Sayyaf tewas. Sedangkan dari kubu militer Filipina lima tentara tewas.

Albayalde mengatakan Kammah membantah terlibat dalam pemboman ganda di katedral Jolo yang menewaskan 23 orang, termasuk warga sipil dan tentara. Namun, laporan para saksi mata menunjukkan dia mengawal pasangan asal Indonesia yang diduga terlibat dalam serangan tersebut.

Pasukan keamanan juga mengambil alat peledak improvisasi (IED) dan komponen lain dari rumahnya.

Kelima tersangka akan menghadapi beberapa tuduhan, termasuk tuduhan pembunuhan.

Pelaku serangan bom kembar di gereja teresebut masih simpang siur. Pemerintah Indonesia belum bisa mengonfirmasi laporan dari pihak berwenang Filipina bahwa pasangan suami-istri asal Indonesia sebagai pelakunya. Terlebih, identifikasi pelaku belum jelas.

Abu Sayyaf adalah organisasi militan yang terkenal karena kerap melakukan penculikan untuk minta tebusan. Kelompok ini telah sumpah setia kepada kelompok Islamic State atau ISIS.

"Ada lebih banyak bukti yang perlu diperiksa dengan cermat," kata Albayalde.

Sebelumnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan bahwa ledakan kembar di gereja Jolo kemungkinan akibat serangan bunuh diri. Namun, laporan lain dari militer mengatakan bom-bom itu diduga diletakkan di dalam dan di luar gereja yang kemudian diledakkan dari jarak jauh.

Beberapa hari kemudian, Menteri Dalam Negeri Duterte, Eduardo Ano, mengatakan bahwa serangan itu diduga dilakukan oleh pasangan Indonesia dengan bantuan Abu Sayyaf.

Klaim menteri itu juga sinkron dengan klaim kelompok ISIS melalui media propagandanya, Amaq, bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan di gereja.



Credit  sindonews.com


Senin, 04 Februari 2019

Pengamat Soroti Tudingan Filipina soal Teroris asal Indonesia


Pengamat Soroti Tudingan Filipina soal Teroris asal Indonesia
Kondisi sebuah gereja di Jolo, Filipina usai diguncang bom. (NICKEE BUTLANGAN / AFP)


Jakarta, CB -- Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones menyebut pengusutan kasus bom gereja di Pulau Jolo, Mindanao, Filipina bakal lebih sulit dari kasus bom Surabaya pada 2018.

Sidney menjelaskan kondisi di Filipina sangat rumit karena banyak kelompok teroris yang berseberangan dengan pemerintahan Rodrigo Duterte. Sehingga akan sulit bagi aparat keamanan mengungkap identitas pelaku.

"Sebetulnya jauh lebih rumit keadaan di Filipina karena ada Abu Sayyaf, ada MILF (Moro Islamist Liberation Front) ada beberapa orang lain. Kelompok Abu Sayyaf sendiri paling sedikit 5-6 faksi yang didasarkan suku dan tempat, sangat sulit untuk membedakan satu kelompok dan kelompok lain," kata Sidney saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (2/2).



Dia menyebut banyak kemungkinan pelaku, termasuk teroris asing (foreign terorist fighter). Dugaan ini berdasarkan klaim pemerintah Filipina beberapa waktu lalu bahwa banyak teroris asing yang berkaitan dengan ISIS masuk ke Pulau Jolo.

Sidney mengatakan saat ini kondisi di Filipina mirip seperti di Surabaya. Belum ada satu pihak pun, termasuk pemerintah Filipina, yang bisa dengan pasti memastikan identitas pelaku.

Pernyataan-pernyataan pemerintah Filipina, termasuk keterlibatan warga negara Indonesia (WNI), hanya berdasarkan keterangan saksi yang belum bisa dipastikan kebenarannya seratus persen.


"Seperti dulu dengan bom Surabaya, Semua orang ingin tahu informasi terakhir dan ada beberapa statement yang mungkin tidak selalu 100 persen akurat. Tapi lambat laun diklarifikasi polisi," tuturnya.

Meski begitu, ia mengkhawatirkan pemerintahan Duterte selalu menyebut pelaku pengeboman adalah WNI tanpa bisa mengungkapkan bukti. Hal ini bakal membuat citra buruk Filipina di mata Indonesia.

"Memang kalau terus-menerus begini, ada statement yang keluar tanpa dicek, tanpa didasarkan atas bukti memang respect untuk pemerintah Filipina menurun di mata orang Indonesia," imbuh dia.


Bom meledak di gereja Pulau Jolo, Mindanao, Filipina pada Minggu (27/1). Tercatat 22 orang tewas dan lebih dari seratus orang luka-luka.

Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano mengklaim pelaku adalah pasangan suami istri berkewarganegaraan Indonesia. Namun hal itu belum bisa dipastikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi.

"Kami mendengar kabar bahwa pelakunya warga Indonesia, dari kemarin saya sudah berkomunikasi dengan otoritas Filipina namun sampai pagi ini belum terkonfirmasi hasil identifikasinya," ucap Retno pada acara Diplomacy Festival, di Universitas Andalas, Padang, Sabtu (2/2).



Credit  cnnindonesia.com




Mendagri Filipina: Indonesia Bantu Identifikasi Pengebom


Presiden Filipina Rodrigo Duterte (tengah) mengunjungi Gereja Katedral Katolik di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina, Senin (28/1). Kunjungan dilakukan dua hari setelah dua bom meledak saat Misa Ahad.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (tengah) mengunjungi Gereja Katedral Katolik di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina, Senin (28/1). Kunjungan dilakukan dua hari setelah dua bom meledak saat Misa Ahad.
Foto: Malacanang Palace Via AP

Penyelidikan masih membutuhkan hasil forensik dan DNA pelaku.




CB, MANILA -- Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Año mengatakan akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam mengidentifikasi serangan bom bunuh diri di Jolo, Sulu, Mindanao pada 27 Januari lalu. Pengeboman yang dilakukan di gereja katedral tersebut menewaskan 22 orang dan melukai 100 lainnya.

"Saya berbicara dengan Presiden (Rodrigo Duterte) semalam, ia juga memiliki sumber lain tapi juga mengarah ke pasangan asal Indonesia," kata Año di stasiun radio pemerintah Filipina seperti dilansir di Manila Bulletin, Ahad (3/2).

Sebelumnya, Año mengatakan pelaku pengeboman ini adalah anggota ISIS yang berasal dari Indonesia. Ano mengatakan para pelaku mendapat bantuan dari kelompok separatis Abu Sayyaf. Dalam wawancaranya dengan radio pemerintah Filipina, Año mengatakan penyelidikan masih membutuhkan hasil forensik dan DNA pelaku.

"Kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia dan mereka akan membantu, setidaknya kami akan tahu jika kami bisa mengidentifikasi pelaku pengeboman dibalik serangan ke katedral," kata Ano.  

Dalam wawancaranya tersebut Año mengatakan pasangan asal Indonesia ingin menunjukkan contoh kepada rakyat Filipina bagaimana serangan bom bunuh diri dilakukan. Año mengatakan serangan bom bunuh diri tidak ada dalam tradisi Filipina.

"Mereka ingin memberi contoh dan menuai perang agama jadi mereka memilih gereja untuk menabur konflik antara Kristen dan Muslim," kata Año.

Año memperingatkan keberadaan teroris asing lainnya di Jolo. Tapi ia juga memastikan pasukan pemerintah Filipina sudah melancarkan operasi melawan mereka dan Abu Sayyaf.

Ia mengakui para pelaku teror bertujuan membentuk gerakan ISIS di sebelah selatan Filipina. Año mengatakan para pelaku juga sedang merekrut anggota mereka di sana.




Credit  republika.co.id





Gereja Dibom, Militer Filipina dan Militan Abu Sayyaf Baku Tembak


Pasukan militer Filipina baku tembak dengan militan - militan kelompok garis keras pada Sabtu, 2 Februari 2019 atau sepekan setelah serangan bom di gereja katedral Jolo. Sumber: Ben Hajan/EPA/aljazeera.com
Pasukan militer Filipina baku tembak dengan militan - militan kelompok garis keras pada Sabtu, 2 Februari 2019 atau sepekan setelah serangan bom di gereja katedral Jolo. Sumber: Ben Hajan/EPA/aljazeera.com

CB, Jakarta - Pasukan militer Filipina baku tembak dengan militan - militan kelompok garis keras pada Sabtu, 2 Februari 2019. Dalam baku tembak ini, lima tentara Filipina gugur dan tiga militan tewas.
Dikutip dari channelnewsasia.com, Minggu, 3 Februari 2019, baku tembak sengit terjadi di wilayah selatan Kepulauan Jolo, Filipina selatan. Wilayah itu dikenal sebagai markas militan Abu Sayyaf, sebuah kelompok radikal di Filipina.
"Baku tembak pada Sabtu kemarin sangat sengit dan berlangsung hampir dua jam," kata Juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina, Gerry Besana.

Dua bom meledak di dalam gereja Katedral dan halaman parkir gereja di Jolo, Sulu, Filipina selatan. [CHANNEL NEWS ASIA]

Baku tembak terjadi sepekan setelah serangan bom bunuh diri di gereja katedral Bunda Maria dari Gunung Karmel di Jolo. Serangan bom pada 27 Januari 2019 itu, terjadi saat sedang dilakukan misa Minggu, sebanyak 21 orang tewas dan ratusan orang luka-luka. Teror itu tercatat salah satu yang paling mematikan yang pernah terjadi di Filipina.Serangan bom tersebut membuat Presiden Filipina Rodrigo Duterte sangat geram. Dia pun memerintahkan agar Angkatan Bersenjata Filipina menumpas militan - militan Abu Sayyaf.

Sumber di pemerintah Filipina mengatakan pelaku penyerangan gereja katedral lebih dari satu orang. Akan tetapi, Manila belum bisa menyimpulkan kecurigaan mereka. Kelompok radikal Islamic State atau ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Kelompok radikal Abu Sayyaf memiliki banyak fraksi dan afiliasi, beberapa diantaranya beraliansi dengan ISIS. Sejumlah otoritas berwenang di Filipina telah mengungkapkan kecurigaan sebuah fraksi di Abu Sayyaf yang melakukan serangan bom di geraja katedral.




Credit  tempo.co





Dikabarkan Meninggal,Presiden Duterte Muncul di Facebook


Presiden Filipina Rodrigo Duterte berdoa saat misa pemberkatan pernikahan di gereja Katolik San Agustin di Manila,16 September 2017 [Phillipine Star]
Presiden Filipina Rodrigo Duterte berdoa saat misa pemberkatan pernikahan di gereja Katolik San Agustin di Manila,16 September 2017 [Phillipine Star]

CB, Jakarta - Setelah beberapa hari menghilang dan dikabarkan meninggal, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mendadak muncul lewat tayangan video langsung di Facebook pada hari Minggu, 3 Februari 2019.
Duterte mengenakan kaus T-shirt warna putih dalam video yang diunggah via akun istrinya, Honeylet Avancena. Ia berbicara singkat.

"Bagi mereka yang percaya pada berita saya meninggal, saya meminta anda tolong doakan agar jiwa saya tenang," ujar Duterte dengan suara pelan.

Mengutip the Straits News, video itu kemudian dibagiakn ke berbagai media di Filipina lewat akun Twitter mereka.
Avancena mengunggah video suaminya yang saat itu keduanya sedang mendiskusikan satu artikel surat kabar sambil Duterte memakan makanan ringan.

Duterte dikabarkan terakhir kali tampil di publik Filipina pada Jumat pekan lalu setelah membatalkan hadir dalam satu acara karena kondisi kesehatannya kurang baik.Duterte kemudian berkunjung ke gereja Katederal di Jolo, Sulu pada hari Senin, 28 Januari 2019. Katedral menjadi sasaran aksi teroris
pada hari Minggu pekan lal dan menewaskan 20 orang. Pelakunya diduga pasangan suami istri asal Indonesia.

Kondisi kesehatan Duterte menjadi isu yang banyak dibahas setelah uji kesehatan pada Oktober 218 menunjukkan hasil negatif, yang artinya Duterte sehat.
Sebelumnya, presiden Rodrigo Duterte mengatakan dirinya akan mundur dari jabatannya sebagai presiden Filipina jika terdiagnosa terkena penyakit serius.



Credit  tempo.co