Jumat, 12 Oktober 2018

Uni Eropa Ancam Cabut Perdagangan, Kamboja Sebut Tak Adil


Uni Eropa Ancam Cabut Perdagangan, Kamboja Sebut Tak Adil
Ilustrasi penduduk Kamboja (REUTERS/Samrang Pring)


Jakarta, CB -- Kamboja mengecam ancaman dari Uni Eropa yang akan menangguhkan perdagangan yang menguntungkan. Penangguhan perdagangan ini dinilai akan menganggu ekonomi negara yang tengah kesulitan itu. Sebab, sebagian besar pendapatan negara ini didapat dari ekspor ke negara Eropa.

Ancaman ini dikeluarkan sebagai reaksi atas pelaksanaan pemilihan umum Juni lalu yang dianggap tidak adil. Sebab, pemilihan ini diadakan tanpa adanya oposisi yang kredibel dan dinodai oleh tuduhan intimidasi kepada para pemilih.

Pekan lalu, Uni Eropa memperingatkan pemerintah bahwa mereka telah memproses untuk menarik diri dari kesepakatan perdagangan khusus dengan Kamboja. 


Komisioner perdagangan Uni Eropa, Cecilia Malmstrom mengatakan jika ada perbaikan, maka prefensi perdagangan akan ditangguhkan meskipun delegasi negara itu mengklarifikasi keputusan lebih lanjut dapat memakan waktu satu tahun.

Kementrian Luar Negeri Kamboja mengatakan bahwa pihaknya hanya mengambil keputusan ini sebagai ketidakadilan yang luar biasa, ketika Uni Eropa secara terang-terangan mengabaikan kemajuan besar yang dibuat Kamboja.

Kamboja telah mengekspor sekitar $5,7 miliar (Rp 86 triliun) barang ke pasar Eropa. Kebanyakan barang itu merupakan pakaian dan alas kaki yang memiliki akses bebas tarif yang disebut Everything But Arms (EBA). Kesepakatan inilah yang diincar oleh Uni Eropa.

Perusahaan resmi kerajaan memiliki industri pakaian terbesar senilai $7 miliar (Rp 106 triliun) yang menyediakan pekerjaan bagi 740.000 orang di negara yang populasinya 15 juta.

Jika akses perdagangan khusus dibatalkan, Uni Eropa dapat meniadakan upaya 20 tahun negara itu untuk menarik jutaan orang keluar dari kemiskinan.

Kamboja dilanda rezim organisasi ultra-Maois kader Khmer Merah pada 1970an dan mengalami perang saudara hingga pemilihan umum pertama yang disponsori PBB pada 1993.

Partai Rakyat Kamboja, yang dipimpin Perdana Menteri Hun Sen menyapu semua kursi di parlemen selama pemungutan suara. Hal ini memperkuat status negara sebagai negara satu partai dan memperpanjang kekuasaannya selama 33 tahun.

Jalan menuju kemenangan diperhalus setelah pihak berwenang menindak tegas dan Mahkamah Agung membubarkan partai oposisi utama yang memenangkan lebih dari 43 persen suara dalam pemungutan suara terakhir.

Pengamat mengatakan bahwa kehilangan skema perdagangan akan menjadi pukulan besar bagi partai berkuasa khususnya yang fokus terhadap kemajuan ekonomi dan stabilitas negara.

Para pendukung tenaga kerja juga telah memperingatkan langkah tersebut dengan alasan adanya dampak potensial terhadap karyawan.

Koalisi Cambodia Apparel Workers Democratic Union (CCAWDU), Ath Thorn mengatakan bahwa pemerintah dan Uni Eropa harus duduk untuk berbicara dan menemukan cara untuk mencegah hilangnya kesepakatan perdagangan.






Credit  cnnindonesia.com