AS bersama Prancis dan Inggis meluncurkan serangan udara ke Suriah.
Kendati belum menemukan bukti, Rusia, kata Yevtushenko, tak akan menghalang-halangi upaya penyelidikan yang dilakukan Organisasi Larangan Senjata Kimia (OPCW) di Douma. Sebaliknya, Rusia akan melindungi tim penyelidik OPCW karena mereka yang akan membuktikan apakah senjata kimia benar-benar digunakan di Douma.
Kendati demikian, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Heather Nauert telah mengatakan negaranya memiliki bukti bahwa pemerintah Suriah bertanggung jawab atas serangan gas beracun di Douma. "Suriah bertanggung jawab. Kami semua sepakat," ujarnya.
Namun sama seperti Rusia, AS, kata Nauert akan menunggu hasil penyelidikan OPCW terlebih dulu. Namun ia menegaskan hasil penyelidikan OPCW hanya untuk merumuskan fakta dan temuan, bukan siapa pihak yang bertanggung jawab.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia, dalam sebuah pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada Jumat kemarin, menuduh AS mengadopsi kebijakan untuk melancarkan skenario militer terhadap Suriah. Ia menilai retorika AS terkait Suriah tak dapat ditoleransi dan memiliki dampak besar bagi keamanan global.
Pekan lalu, serangan gas beracun terjadi di Douma, Suriah. Serangan yang diduga menggunakan senjata kimia itu dilaporkan menewaskan sedikitnya 70 orang. Pemerintah Suriah dituduh bertanggung jawab atas terjadinya serangan tersebut. Namun tuduhan segera dibantah, termasuk oleh sekutunya, Rusia.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Jumat (14/4), memerintahkan pelaksanaan serangan dengan menargetkan fasilitas senjata kimia Presiden Suriah Bashar al-Assad sebagai tanggapan atas terjadinya serangan gas beracun pekan lalu. Trump mengatakan operasi gabungan dengan Prancis dan Inggris sedang bergerak menuju sasaran. Mereka siap melanjutkan tindakan itu sampai Suriah menghentikan penggunaan senjata kimia.
Credit republika.co.id