Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk
menunjuk John Bolton sebagai penasihat keamanan nasional menggantikan HR
McMaster menuai sejumlah kontroversi. (REUTERS/Joshua Roberts/File
Photo)
Jakarta, CB -- Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menunjuk John Bolton sebagai penasihat keamanan nasional menggantikan HR McMaster menuai sejumlah kontroversi.
Hal
ini lantaran Bolton, mantan duta besar AS untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB)tersebut dikenal sebagai pengamat garis keras.
Pria
69 tahun itu dikenal sangat mengedepankan pendekatan agresif militer
dalam menghadapi "musuh". Lewat akun Twitter-nya dia menentang pertemuan
Trump dengan Kim Jong-un dengan menyebut bahwa berbicara dengan Korut
tidak akan menghasilkan apa-apa.
Penunjukan Bolton pun lantas memunculkan kekhawatiran bagaimana
kelanjutan rencana dialog Washington dengan Korea Utara menjelang
pertemuan puncak antara Trump dan Kim Jong-un, Mei nanti.
"Sekarang
saya khawatir," ucap Megan Stifel, mantan staf Dewan Keamanan Nasional
era pemerintahan Barack Obama, merespons berita penunjukkan Bolton
melalui Twitter seperti dikutip
CNN, Jumat (23/3).
Dalam wawancaranya kepada
The Wall Street Journal,
Februari lalu, Bolton mengatakan AS seharusnya bisa menyerang Korut
sebagai pencegahan dan upaya menghentikan ancaman senjata nuklir negara
itu.
Bolton juga menganggap berdialog dengan Pyongyang merupakan langkah yang sia-sia.
Selain isu Korut, selama ini Botlon juga dikenal menolak keras
kesepakatan perjanjian nuklir AS dengan Iran yang disepakati Presiden
Obama 2015 lalu.
Bolton kerap mendesak pemerintah untuk mengabaikan perjanjian nuklir tersebut. Dikutip
USA Today, majalah
The American Conservative bahkan mengatakan "Bolton telah bertahun-tahun terobsesi mendorong AS berperang melawan Iran."
Dia
juga terkenal dengan pandangannya yang anti-China dan Rusia. Ketika
Trump berupaya memperkuat relasinya dengan Moskow, Bolton malah
meremehkan Rusia.
"Pemilu terbaru Rusia kemarin menjadi
kesempatan Presiden Vladimir Putin berlatih mengintervensi pemilunya
sendiri agar bisa lebih baik lagi mencampuri pemilu di negara lainnya,"
kata Bolton beberapa waktu lalu.
Sejumlah anggota Kongres pun
mempertanyakan pilihan Trump yang jatuh pada Bolton ini karena
menyangkut jabatan krusial di Gedung Putih.
"Ini bukan pilihan
yang bijak. Bolton tidak memiliki kriteria untuk menjadi Penasihat
Keamanan yang efektif," ujar Senator Demokrat Jack Reed melalui
pernyataan.
Nama Bolton telah lama dikenal di antara pejabat
publik di Washington. Dia bahkan pernah berniat mencalonkan diri sebagai
presiden dari Partai Republik pada 2016.
Bolton pernah ditunjuk
Presiden George W Bush untuk menjadi dubes AS untuk PBB meski dirinya
merupakan salah satu kritikus paling vokal terhadap organisasi
internasional itu.
Bolton bahkan pernah berkata bahwa PBB merupakan organisasi internasional antar-pemerintah yang paling tidak effisien.
Lebih lanjut, terpilihnya Bolton dianggap sejumlah pihak semakin
menegaskan bahwa pemerintahan Trump masih akan menggunakan pendeketan
tegas terutama opsi militer dalam menghadapi ancaman AS, terutama Korut
dan Iran.
"Bolton telah lama mendukung tindakan pencegahan
termasuk opsi militer untuk menghadapi Korut. Pengangkatannya sebagai
Penasihat Keamanan Nasional memberikan sinyal kuat bahwa Presiden Trump
tetap membuka opsi militer dalam hal tersebut," kata Abraham Denmark,
wakil asisten menteri pertahanan untuk Asia Timur era Presiden Obama.
"Terpilihnya
Bolton juga mengindikasikan bakal ada pendekatan yang lebih
konfrontatif terhadap China. Perang dagang AS dan China mungkin hanya
permulaan dari kompetisi geopolitik yang lebih luas lagi," kata Denmark
seperti dikutip
Reuters.Namun dalam wawancara Fox News
terbaru, Bolton menyatakan pernyataan-pernyataan keras dia sebelumnya
telah menjadi 'masa lalu'. "Yang penting sekarang adalah apa yang
dikatakan Presiden," kata Bolton dalam wawancara
Fox News "The Story" seperti dilansir
CNN, Jumat (23/3).
Credit
cnnindonesia.com