PM Thailand Prayuth Chan-ocha ketika memilih pada referendum Ahad kemarin. (Reuters/Jorge Silva)
Jakarta, CB
--
Rakyat Thailand memutuskan untuk mendukung rancangan
konstitusi baru yang diajukan militer dalam referendum yang berlangsung
Ahad kemarin.
Dengan 94 persen suara yang masuk, hasil awal yang
dirilis oleh komisi pemilihan menunjukkan bahwa 61,4 persen rakyat
Thailang menyetujui rancangan undang-undang militer, sementara hanya
37,9 persen yang menolaknya.
Hasil ini merupakan kemenangan besar bagi Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang melancarkan kudeta pada Mei 2014 lalu.
RUU
dari militer disebut akan mengantarkan Thailand menuju pemilihan umum
pada 2017 mendatang, namun pemerintah terpilih di masa datang harus
memerintah dengan haluan dari militer.
Junta
militer menyebut bahwa rancangan konstitusi baru buatan mereka
ditujukan untuk menghentikan perpecahan di Thailand, yang dalam satu
dekade lebih menyebabkan kerusuhan politik tak berujung.
Namun
partai-partai politik besar dan kritikus mengatakan bahwa RUU itu hanya
akan mengabadikan peran militer dalam politik Thailand.
Hasil
referendum juga menjadi tamparan bagi klan Shinawatra dan sekutu mereka.
Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra digulingkan pada kudeta 2006
sedangkan adiknya Yingluck digulingkan Prayuth.
Ketua
pelaksana Partai Peau yang mengantarkan Yingluck ke kursi perdana
menteru, Wirot-Pao, mengatakan bahwa warga Thailand kemungkinan
menyetujui RUU militer karena melihatnya sebagai jalan tercepat menuju
pemilu mendatang.
“Alasan kebanyakan warga Thailand menerima
konstitusi karena mereka ingin melihat pemilihan umum secepatnya,” kata
Wirot-Pao. “Semua pihak sekarang harus membantu negara ini maju.”
Isu intimidasiJunta,
yang secara formal bernama Dewan Nasional untuk Perdamaian dan
Ketertiban (NCPO) melarang debat soal konstitusi serta kampanye mengenai
referendum. Pihak berwenang telah menahan puluhan orang yang mencoba
melakukan kampanye menolak RUU, termasuk politikus dan aktivis
mahasiswa.
“Itu adalah sebuah kampanye sepihak di mana junta
secara tak langsung mendorong memilih ‘ya’ dan menahan atau
mengintimidasi penentang referendum,” kata Paul Chambers, direktur
lembaga riset Institus Hubungan Asia Tenggara di Chiang Mai. “Akibatnya,
banyak yang orang yang tidak memilih sedang yang lain terpaksa memilih
‘ya’.”
Sekitar 55 persen pemilih ikut berpartisipasi, di bawah 80 persen yang diprediksi oleh komisi pemilihan.
Selain militer, pasar Thailand juga disebut menyambut hasil referendum ini.
“Hasilnya
adalah skenario terbaik kami dan investor harusnya bereaksi positif
karena jelas pemilu akan dilangsungkan tahun depan,” kata Kasem
Prunratanamala, kepala riset di CIMB Securities. “Investor asing telah
menunggu pemilihan dan bisa berinvestasi lebih sekarang.”
Credit
CNN Indonesia
Konstitusi Rancangan Militer dalam Referendum Thailand
Meechai Ruchupan, 77, Ketua Komite
Rancangan Konstitusi Thailand saat mempublikasikan RUU tersebut pada
Januari 2016 mengaku khawatir RUU itu tidak mampu menjadi solusi atas
ketidakstabilan politik Thailand selama satu dekade terakhir.
(Reuters/Chaiwat Subprasom)
Jakarta, CB
--
Publik Thailand berkesempatan untuk berpartisipasi
dalam referendum yang akan menentukan masa depan Thailand pada Minggu
(7/8). Referendum ini akan menentukan apakah rakyat Thailand menerima
atau menolak rancangan konstitusi baru yang ditawarkan pemerintahan
junta militer yang berkuasa, dua tahun setelah kudeta berhasil
melengserkan pemerintahan demokratis.
Thailand memiliki sejarah
panjang kudeta militer. Sejak 1932, Negeri Gajah Putih ini telah
mengalami 19 kali kudeta, sebanyak 12 di antaranya berhasil. Dengan kata
lain, sebanyak 12 perdana menteri dari seluruh 29 perdana menteri yang
pernah menjabat di Thailand berasal dari kubu militer yang melancarkan
kudeta.
Kudeta teranyar terjadi pada Mei 2014, ketika kubu militer di bawah
arahan Jenderal Prayuth Chan-ocha berhasil melengserkan pemerintahan
Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis.
Setelah
berkuasa, pemerintahan junta militer menolak konstitusi yang berlaku,
serta menawarkan kepada rakyat rancangan konstitusi baru yang dinilai
dapat menjadi solusi atas ketidakstabilan politik Thailand selama satu
dekade terakhir.
RUU tersebut, menurut janji pemerintahan junta
di bawah pimpinan Prayuth, merupakan pintu gerbang menuju pemilihan umum
demokratis yang akan digelar pada 2017 mendatang.
Namun, para
pakar berpendapat rancangan konstitusi tersebut hanya akan mengabadikan
kekuasaan militer di dalam pemerintahan Thailand.
Dalam wawancara dengan
Reuters,
dua jenderal senior Thailand mengungkapkan bahwa konstitusi baru
merupakan bagian dari restrukturisasi politik yang mendasar dan menjamin
peran permanen militer dalam pemerintahan Thailand.
Dalam
wawancara itu, terungkap indikasi bahwa kubu militer berupaya mencegah
kudeta kembali terjadi, salah satunya dengan cara merancang konstitusi
yang memastikan militer memiliki peran dalam mengawasi pembangunan
ekonomi dan politik Thailand, melemahkan peran partai politik, dan
memiliki kewenangan untuk mengawasi kinerja pemerintahan yang terpilih
secara demokratis.
Strategi nasional 20 tahunDi
bawah rancangan konstitusi yang diusulkan, pemerintahan yang terpilih
melalui pemilu secara hukum diwajibkan mengikuti rencana pembangunan
nasional selama 20 tahun ditetapkan oleh militer.
Juru bicara
pemerintah Thailand Mayor Jenderal Weerachon Sukondhapatipak menilai
kebijakan semacam itu lebih baik untuk pemerintah selanjutnya ketimbang
menjalankan kebijakan populis yang akan berdasarkan kepada kepentingan
partai pemenang pemilu.
Kudeta
teranyar di Thailand terjadi pada Mei 2014, ketika kubu militer di
bawah arahan Jenderal Prayuth Chan-ocha berhasil melengserkan
pemerintahan Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis.
(Reuters/Chaiwat Subprasom)
|
"Setiap kebijakan pemerintah didasarkan pada kepentingan politik mereka
sendiri, dan hal itu berujung pada banyak masalah, [seperti] korupsi,
ketidakadilan dan sengketa," kat Weerachon.
Selama ini, belum ada pemerintahan Thailand yang mengadopsi strategi nasional selama 20 tahun, apalagi menerapkannya.
Selain
itu, Senat yang ditunjuk oleh junta akan menyediakan kursi bagi para
komandan militer yang akan bertugas mengawasi kinerja para anggota
parlemen yang terpilih secara demokratis.
"Mereka akan duduk di
sana [Senat] untuk memastikan bahwa semua reformasi akan dilakukan, dan
pada saat yang sama, memastikan pemerintah yang baru terpilih
benar-benar melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan," kata Jenderal
Thawip Netniyom, Kepala Dewan Keamanan Nasional Thailand (NSC).
Salah
satu klausul dalam rancangan konstitusi itu akan memungkinkan perdana
menteri yang tidak terpilih melalui pemilu mengambil kekuasaan ketika
krisis politik terjadi. Hal ini serupa dengan kudeta militer pimpinan
Prayuth terhadap pemerintahan Yingluck.
Menguasai pemerintahanSejak
berkuasa dua tahun terakhir, kubu militer bertransformasi menjadi
lembaga paling kuat di Thailand, bahkan melebihi kekuasaan Raja
Thailand, Bhumibol Adulyadej, 88, yang dalam beberapa tahun terakhir
didera masalah kesehatan.
Weerachon menilai bahwa jika
pemerintahan demokratis mengikuti rencana jangka panjang kubu militer,
ketimbang meluncurkan kebijakan sendiri, maka "Thailand sudah menjadi
negara maju saat ini."
Rancangan konstitusi, lanjut Weerachon
akan memastikan tidak akan ada lagi kudeta militer di masa mendatang.
Militer di Thailand, secara historis, beroperasi secara independen dan
terlepas dari pemerintahan sipil.
"Idenya adalah agar tidak pernah kudeta lagi. Kami berharap bahwa [kudeta] itu tidak perlu terjadi," kata Thawip.
Thawip
tidak mempermasalahkan partai politik mana yang akan memenangkan pemilu
berikutnya, "selama kita memastikan mereka akan mengikuti konstitusi
baru."
"Tujuan konstitusi adalah untuk tetap mengawasi atau
mengendalikan tindakan pemerintah (untuk) memastikan mereka tidak
melakukan sesuatu yang tidak demokratis," ujar Thawip.
Sementara
itu, Weerachon menyatakan bahwa rancangan konstitusi itu sendiri masih
dalam proses, dan dirancang oleh sektor publik maupun swasta. RUU itu
akan dibagi ke dalam periode lima tahunan dan memberikan cetak biru
untuk reformasi terkait isu-isu sosial, ekonomi dan politik.
Januari
lalu, saat rancangan konstitusi ini dipublikasikan, Ketua Komite
Rancangan Konstitusi Thailand Meechai Ruchupan, 77, sendiri mengaku
khawatir RUU itu tidak mampu menjadi solusi atas ketidakstabilan politik
Thailand selama satu dekade terakhir.
Jika hasil referendum
menunjukkan RUU ini diterima secara luas oleh rakyat, maka RUU ini akan
menjadi konstitusi Thailand yang ke-20, setelah negara itu menghapuskan
sistem monarki absolut pada 1932.
Credit
CNN Indonesia