Pesawat tempur Angkatan Bersenjata Singapura. (Getty Images/Chris McGrath)
Jakarta, CB
--
Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny
Moerdani terapung-apung di langit Natuna. Pesawat TNI Angkatan Udara
yang mengangkut Menteri Pertahanan dan Keamanan RI periode 1988-1993 itu
belum bisa mendarat di Pangkalan Udara TNI AU Ranai, Natuna, Kepulauan
Riau.
Di kokpit, pilot pesawat cekcok dengan pemandu lalu lintas udara Singapura yang memegang kendali penerbangan di wilayah Natuna.
Kisah
tahun 1991 ini diceritakan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Udara
Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim dalam bukunya yang berjudul “Quo
Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?”
“Siapa yang berada di dalam pesawat?” kata pemandu udara Singapura.
“Kami membawa tamu VVIP,” ujar pilot TNI AU.
“Izin pendaratan belum bisa diberikan,” kata pemandu udara Singapura.
“Kami harus mendarat sekarang,” ujar pilot TNI AU, mulai jengkel.
Lima belas menit pilot TNI dan pemandu udara Singapura itu adu mulut sebelum akhirnya Moerdani bisa mendarat di Natuna.
Begitu
menginjakkan kaki di Natuna, Jenderal Moerdani melampiaskan
kemarahannya. Ia mengatakan Indonesia harus mengambil alih kontrol atas
ruang udara atau FIR (
flight information region) di Natuna yang selama ini dipegang Singapura.
“Masak terbang di wilayah sendiri tapi diatur oleh negara lain,” kata Moerdani.
Sejak dulu, ujar Chappy, Benny Moerdani telah meminta pemerintah Indonesia mengambil alih ruang udara dari kendali Singapura.
Namun
hingga kini setelah 70 tahun Indonesia merdeka, seluruh penerbangan di
langit Kepulauan Riau, dari Natuna ke Batam atau dari Tanjungpinang ke
Pekanbaru, tetap harus minta izin ke otoritas penerbangan Singapura.
Kontrol ruang udara di atas Kepulauan Natuna. (Dokumen Chappy Hakim/Red & White Publishing)
|
Soal kontrol ruang udara ini kembali menghangat setelah Presiden Jokowi,
awal September, menginstruksikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memodernisasi peralatan dan
meningkatkan kemampuan personel mereka agar Indonesia siap mengelola
ruang udaranya sendiri.
Jokowi memberi waktu tiga-empat tahun
bagi Kementerian Perhubungan dan Tentara Nasional Indonesia untuk
berbenah. Untuk itu Indonesia akan mulai berkomunikasi dengan Singapura
dan Malaysia –negara tetangga yang ruang udaranya juga berbatasan dengan
Indonesia– soal rencana pengambilalihan ini.
Presiden pun
memerintahkan Panglima TNI untuk mengawasi perbatasan. Ia berpesan,
pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh negara lain tak boleh lagi
terjadi.
Tapi menjaga ruang udara Indonesia sama sekali bukan
perkara mudah. TNI AU yang menggelar patroli di langit Natuna sejak
pertengahan September menyusul instruksi Jokowi untuk menjaga ruang
udara dan perbatasan Indonesia, mengatakan hampir setiap hari memergoki
pesawat asing melintas tanpa izin.
Rupanya langit Natuna menjadi
jalan pintas bagi banyak pesawat. Sementara jalur khusus yang telah
disediakan oleh Indonesia bagi pesawat-pesawat asing, yakni zona udara
di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dilanggar dengan
seenaknya.
ALKI, berdasarkan konvensi hukum laut internasional,
merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan kapal atau pesawat asing.
Alur laut ini menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Kemarahan TNILangit Kepulauan Riau memang
menjadi lintasan favorit pesawat asing, termasuk jet-jet tempur
Singapura. Menurut Komandan Pangkalan TNI AU Tanjungpinang, Letnan
Kolonel Penerbang I Ketut Wahyu Wijaya, pesawat tempur Singapura kerap
terlihat berlatih di utara Pulau Bintan yang berdekatan dengan
Singapura.
Singapura beralasan, mereka berlatih di wilayah latihan militer atau MTA (
military training area),
yakni zona udara Indonesia yang dapat digunakan Singapura untuk
melakukan latihan militer karena negara kota itu tak memiliki ruang
udara yang cukup luas untuk berlatih.
Masalahnya, perjanjian MTA
antara Indonesia dan Singapura itu telah habis tahun 2001. Indonesia,
kata Ketut, tak memperpanjang perjanjian itu karena merasa lebih banyak
dirugikan. Tapi tetap saja, ujarnya, Singapura ngotot mengatakan MTA itu
merupakan wilayah berbahaya sehingga harus dioperasikan oleh Angkatan
Bersenjata Singapura.
Ketut lantas bercerita bagaimana TNI kerap
bersitegang dengan Angkatan Bersenjata Singapura di udara. Jet tempur
Northrop F-5 dan F-16 Fighting Falcon milik Singapura yang sedang asyik
berlatih di langit Kepulauan Riau, biasanya kabur ketika melihat pesawat
TNI terbang ke arah mereka. Itu jika ketahuan.
Sayangnya
kekuatan TNI di Lanud Tanjungpinang belum memadai. Menurut Ketut,
mestinya minimal ada empat pesawat tempur di wilayahnya. Selain itu,
landasan pacu Lanud seharusnya diperpanjang agar dapat mudah digunakan
oleh jet-jet tempur TNI. Pun perlu dibangun hanggar untuk tempat parkir
dan perawatan pesawat.
Operasi pengamanan yang digelar TNI AU di
wilayah Indonesia, yakni Selat Malaka, anehnya justru diprotes
Singapura. Ketut pernah mendapat laporan dari pengendali lalu lintas
udara (
air traffic control) Tanjungpinang yang ditelepon oleh Singapura.
“Singapura
komplain, telepon ke ATC, bilang ‘Kenapa pesawat tempur Indonesia di
MTA? Itu area berbahaya.’ Saya lalu berkata ke ATC, ‘Jangan takut. Kamu
ambil parang dan lempar ke mereka. Itu ruang udara kita. Masak mau
datang ke rumah sendiri harus izin sama tetangga’,” ujar Ketut, jengkel.
Menuruti arahan itu, pesawat TNI AU tak pergi dan tetap menggelar operasi udara. Singapura pun akhirnya diam.
Patroli maritim TNI AU di Selat Malaka. (ANTARA/Joko Sulistyo)
|
Kegeraman juga diperlihatkan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana
Madya Widodo. “Itu wilayah kita sendiri. Tak usah peduli dengan
Singapura karena itu wilayah kita,” kata dia.
Tak kurang,
Panglima TNI Gatot Nurmantyo pun bersuara. Ia mendukung tindakan anak
buahnya yang tak mau mengalah dari Singapura. “Singapura tidak bisa
melarang kita lewat sana,” ujar Gatot.
Ketut mengatakan Singapura
mencari celah untuk dapat menerbangkan pesawat tempur mereka ke wilayah
udara RI. Celah itu berasal dari hak Singapura mengatur ruang udara
(FIR) Indonesia di sekitar Kepulauan Riau.
“FIR di kawasan itu
memang mutlak diatur Singapura. Tapi tidak berarti Indonesia juga
mendelegasikan kedaulatan kepada mereka,” ujar Ketut kepada CNN
Indonesia, akhir September.
Lazim bahwa ruang udara suatu negara
di perbatasan dikelola oleh negara tetangganya. Indonesia misalnya
mengatur ruang udara Christmas Island Australia dan Timor Leste.
“Tapi
kalau negara A mengatur FIR negara B, itu semata-mata untuk keselamatan
penerbangan, bukan untuk kepentingan pertahanan. Contoh, Indonesia
mengatur FIR Pulau Christmas. Lalu jika kita terbangkan pesawat tempur
ke sana, kira-kira kita akan dihadang Australia tidak?” kata Ketut
melontarkan pertanyaan retoris.
Kesulitan SingapuraSingapura
punya alasan sendiri di balik aksinya yang kerap menerobos wilayah
udara Indonesia. Sebagai negara kota dengan wilayah terbatas, Singapura
tak akan pernah memiliki cukup ruang untuk melatih kekuatan angkatan
bersenjata mereka.
Tak heran Singapura terus berupaya agar
Indonesia mengakui MTA, bahkan ngeyel menggunakan kesepakatan yang
dianggap RI kedaluwarsa itu.
Singapura juga menjalin perjanjian
area latihan militer dengan Australia, Selandia Baru, dan Amerika
Serikat. Belakangan, mereka bahkan berhasil membuat kesepakatan serupa
dengan India, Jerman, dan Afrika Selatan.
Perdana Menteri pertama
Singapura, Lee Kuan Yew, pernah mengemukakan kekecewaannya terhadap
kebijakan pemerintah RI yang belakangan ia nilai makin keras terhadap
negaranya.
Lee yang wafat pada 23 Maret 2015 itu merasa kebijakan
Indonesia, terutama pasca-Soeharto lengser, membuat hubungan bilateral
Singapura-RI sulit dikelola. Padahal dahulu relasi kedua negara amat
baik.
“
A confident Indonesia never saw Singapore, a small island, as a threat,”
kata Lee seperti dikutip pakar hubungan internasional Rajaratnam School
of International Studies, Cheng Guan Ang dalam bukunya, “
Lee Kuan Yew’s Strategic Thought.”
Selama
bertahun-tahun, menurut Lee, Indonesia bersedia menyediakan fasilitas
latihan militer bagi Singapura. Selama itu pula, ujar Lee, Indonesia tak
pernah meragukan Singapura atau menuding Singapura melanggar kedaulatan
Indonesia.
Namun Singapura dan Indonesia tentu punya kepentingan
masing-masing. Dari sisi ekonomi misalnya, ruang udara Indonesia yang
dikelola Singapura disebut sebagai jalur ‘gemuk’ yang mendatangkan
pundi-pundi kekayaan.
Ketut mengatakan, pesawat yang melintasi
FIR mesti membayar sekitar US$6 ke negara pengendali. Padahal tiap
menit, untuk satu jalur saja, ada puluhan pesawat yang melewati ruang
udara RI yang kini dipegang Singapura.
Persoalan ketahanan
nasional kerap bertaut erat dengan perekonomian. Simak lebih lanjut soal
pertarungan Indonesia-Singapura berebut ruang udara pada tulisan
berikutnya.
Credit
CNN Indonesia