Pesawat tempur Angkatan Bersenjata Singapura. (Getty Images/Chris McGrath)
Di kokpit, pilot pesawat cekcok dengan pemandu lalu lintas udara Singapura yang memegang kendali penerbangan di wilayah Natuna.
Kisah tahun 1991 ini diceritakan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim dalam bukunya yang berjudul “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?”
“Siapa yang berada di dalam pesawat?” kata pemandu udara Singapura.
“Kami membawa tamu VVIP,” ujar pilot TNI AU.
“Izin pendaratan belum bisa diberikan,” kata pemandu udara Singapura.
“Kami harus mendarat sekarang,” ujar pilot TNI AU, mulai jengkel.
Lima belas menit pilot TNI dan pemandu udara Singapura itu adu mulut sebelum akhirnya Moerdani bisa mendarat di Natuna.
Begitu menginjakkan kaki di Natuna, Jenderal Moerdani melampiaskan kemarahannya. Ia mengatakan Indonesia harus mengambil alih kontrol atas ruang udara atau FIR (flight information region) di Natuna yang selama ini dipegang Singapura.
“Masak terbang di wilayah sendiri tapi diatur oleh negara lain,” kata Moerdani.
Sejak dulu, ujar Chappy, Benny Moerdani telah meminta pemerintah Indonesia mengambil alih ruang udara dari kendali Singapura.
Namun hingga kini setelah 70 tahun Indonesia merdeka, seluruh penerbangan di langit Kepulauan Riau, dari Natuna ke Batam atau dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, tetap harus minta izin ke otoritas penerbangan Singapura.
Kontrol ruang udara di atas Kepulauan Natuna. (Dokumen Chappy Hakim/Red & White Publishing)
|
Jokowi memberi waktu tiga-empat tahun bagi Kementerian Perhubungan dan Tentara Nasional Indonesia untuk berbenah. Untuk itu Indonesia akan mulai berkomunikasi dengan Singapura dan Malaysia –negara tetangga yang ruang udaranya juga berbatasan dengan Indonesia– soal rencana pengambilalihan ini.
Presiden pun memerintahkan Panglima TNI untuk mengawasi perbatasan. Ia berpesan, pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh negara lain tak boleh lagi terjadi.
Tapi menjaga ruang udara Indonesia sama sekali bukan perkara mudah. TNI AU yang menggelar patroli di langit Natuna sejak pertengahan September menyusul instruksi Jokowi untuk menjaga ruang udara dan perbatasan Indonesia, mengatakan hampir setiap hari memergoki pesawat asing melintas tanpa izin.
Rupanya langit Natuna menjadi jalan pintas bagi banyak pesawat. Sementara jalur khusus yang telah disediakan oleh Indonesia bagi pesawat-pesawat asing, yakni zona udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dilanggar dengan seenaknya.
ALKI, berdasarkan konvensi hukum laut internasional, merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan kapal atau pesawat asing. Alur laut ini menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
|
Langit Kepulauan Riau memang menjadi lintasan favorit pesawat asing, termasuk jet-jet tempur Singapura. Menurut Komandan Pangkalan TNI AU Tanjungpinang, Letnan Kolonel Penerbang I Ketut Wahyu Wijaya, pesawat tempur Singapura kerap terlihat berlatih di utara Pulau Bintan yang berdekatan dengan Singapura.
Singapura beralasan, mereka berlatih di wilayah latihan militer atau MTA (military training area), yakni zona udara Indonesia yang dapat digunakan Singapura untuk melakukan latihan militer karena negara kota itu tak memiliki ruang udara yang cukup luas untuk berlatih.
Masalahnya, perjanjian MTA antara Indonesia dan Singapura itu telah habis tahun 2001. Indonesia, kata Ketut, tak memperpanjang perjanjian itu karena merasa lebih banyak dirugikan. Tapi tetap saja, ujarnya, Singapura ngotot mengatakan MTA itu merupakan wilayah berbahaya sehingga harus dioperasikan oleh Angkatan Bersenjata Singapura.
Ketut lantas bercerita bagaimana TNI kerap bersitegang dengan Angkatan Bersenjata Singapura di udara. Jet tempur Northrop F-5 dan F-16 Fighting Falcon milik Singapura yang sedang asyik berlatih di langit Kepulauan Riau, biasanya kabur ketika melihat pesawat TNI terbang ke arah mereka. Itu jika ketahuan.
Sayangnya kekuatan TNI di Lanud Tanjungpinang belum memadai. Menurut Ketut, mestinya minimal ada empat pesawat tempur di wilayahnya. Selain itu, landasan pacu Lanud seharusnya diperpanjang agar dapat mudah digunakan oleh jet-jet tempur TNI. Pun perlu dibangun hanggar untuk tempat parkir dan perawatan pesawat.
Operasi pengamanan yang digelar TNI AU di wilayah Indonesia, yakni Selat Malaka, anehnya justru diprotes Singapura. Ketut pernah mendapat laporan dari pengendali lalu lintas udara (air traffic control) Tanjungpinang yang ditelepon oleh Singapura.
“Singapura komplain, telepon ke ATC, bilang ‘Kenapa pesawat tempur Indonesia di MTA? Itu area berbahaya.’ Saya lalu berkata ke ATC, ‘Jangan takut. Kamu ambil parang dan lempar ke mereka. Itu ruang udara kita. Masak mau datang ke rumah sendiri harus izin sama tetangga’,” ujar Ketut, jengkel.
Menuruti arahan itu, pesawat TNI AU tak pergi dan tetap menggelar operasi udara. Singapura pun akhirnya diam.
Patroli maritim TNI AU di Selat Malaka. (ANTARA/Joko Sulistyo)
|
Tak kurang, Panglima TNI Gatot Nurmantyo pun bersuara. Ia mendukung tindakan anak buahnya yang tak mau mengalah dari Singapura. “Singapura tidak bisa melarang kita lewat sana,” ujar Gatot.
Ketut mengatakan Singapura mencari celah untuk dapat menerbangkan pesawat tempur mereka ke wilayah udara RI. Celah itu berasal dari hak Singapura mengatur ruang udara (FIR) Indonesia di sekitar Kepulauan Riau.
“FIR di kawasan itu memang mutlak diatur Singapura. Tapi tidak berarti Indonesia juga mendelegasikan kedaulatan kepada mereka,” ujar Ketut kepada CNN Indonesia, akhir September.
Lazim bahwa ruang udara suatu negara di perbatasan dikelola oleh negara tetangganya. Indonesia misalnya mengatur ruang udara Christmas Island Australia dan Timor Leste.
“Tapi kalau negara A mengatur FIR negara B, itu semata-mata untuk keselamatan penerbangan, bukan untuk kepentingan pertahanan. Contoh, Indonesia mengatur FIR Pulau Christmas. Lalu jika kita terbangkan pesawat tempur ke sana, kira-kira kita akan dihadang Australia tidak?” kata Ketut melontarkan pertanyaan retoris.
Kesulitan Singapura
Singapura punya alasan sendiri di balik aksinya yang kerap menerobos wilayah udara Indonesia. Sebagai negara kota dengan wilayah terbatas, Singapura tak akan pernah memiliki cukup ruang untuk melatih kekuatan angkatan bersenjata mereka.
Tak heran Singapura terus berupaya agar Indonesia mengakui MTA, bahkan ngeyel menggunakan kesepakatan yang dianggap RI kedaluwarsa itu.
Singapura juga menjalin perjanjian area latihan militer dengan Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Belakangan, mereka bahkan berhasil membuat kesepakatan serupa dengan India, Jerman, dan Afrika Selatan.
Perdana Menteri pertama Singapura, Lee Kuan Yew, pernah mengemukakan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah RI yang belakangan ia nilai makin keras terhadap negaranya.
Lee yang wafat pada 23 Maret 2015 itu merasa kebijakan Indonesia, terutama pasca-Soeharto lengser, membuat hubungan bilateral Singapura-RI sulit dikelola. Padahal dahulu relasi kedua negara amat baik.
“A confident Indonesia never saw Singapore, a small island, as a threat,” kata Lee seperti dikutip pakar hubungan internasional Rajaratnam School of International Studies, Cheng Guan Ang dalam bukunya, “Lee Kuan Yew’s Strategic Thought.”
Selama bertahun-tahun, menurut Lee, Indonesia bersedia menyediakan fasilitas latihan militer bagi Singapura. Selama itu pula, ujar Lee, Indonesia tak pernah meragukan Singapura atau menuding Singapura melanggar kedaulatan Indonesia.
Namun Singapura dan Indonesia tentu punya kepentingan masing-masing. Dari sisi ekonomi misalnya, ruang udara Indonesia yang dikelola Singapura disebut sebagai jalur ‘gemuk’ yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan.
Ketut mengatakan, pesawat yang melintasi FIR mesti membayar sekitar US$6 ke negara pengendali. Padahal tiap menit, untuk satu jalur saja, ada puluhan pesawat yang melewati ruang udara RI yang kini dipegang Singapura.
Persoalan ketahanan nasional kerap bertaut erat dengan perekonomian. Simak lebih lanjut soal pertarungan Indonesia-Singapura berebut ruang udara pada tulisan berikutnya.
Credit CNN Indonesia