Pesawat
angkut berat C-130 Hercules TNI AU. Indonesia tercatat sebagai negara
pertama di belahan selatan Bumi yang mengoperasikan C-130 Hercules.
Pesawat angkut berat C-130A pertama yang diterima Indonesia itu kini ada
di Pangkalan Udara TNI AU Sulaeman, Jawa Barat, dan difungsikan sebagai
monumen dan sarana latih Korps Pasukan Khas TNI AU. (ANTARA FOTO/Widodo
S Jusuf)
Jakarta
(CB) - Satu pesawat transport berat C-130B Hercules dari Skuadron
Udara 32 TNI AU jatuh di Jalan Jamin Ginting, Medan, Selasa siang,
dengan korban jiwa puluhan orang, baik sipil ataupun militer. Lokasi dia
jatuh memang di kawasan padat penduduk Kota Medan, yang hanya berjarak
sekitar dua kilometer dari Pangkalan Udara TNI AU Suwondo, Medan.
Kepala
Staf TNI AU, Marsekal TNI AU Agus Supriatna mengatakan, C-130B Hercules
itu sempat meminta ijin untuk kembali ke pangkalan (return to base/RTB), hanya dua menit setelah dia sedang dalam tahap airborne menuju ketinggian dan kecepatan jelajah.
RTB memang dimungkinkan dalam penerbangan, dan ini diatur dan dicantumkan dalam formulir rencana penerbangan (flight plan) dan akan diumumkan kepada komunitas penerbangan resmi berupa notice to airmen.
Dalam
menerbangkan pesawat terbang, ada dua tahap sangat kritis yang harus
disikapi sangat serius sesuai prosedur baku penerbangan, yaitu tahap
lepas-landas dan tahap mendarat.
Supriatna juga menyatakan, perawatan C-130B Hercules keluaran 1964 itu ada dalam kondisi dan mekanisme baku yang baik.
Alasannya
logis sekali, C-130 dalam berbagai tipe dan varian merupakan kuda beban
utama angkut berat TNI AU dalam berbagai misinya, karena itu dia harus
selalu dalam keadaan laik udara.
Prosedur
baku perawatan pesawat terbang —sebagaimana dinyatakan dalam manual
perawatan Angkatan Udara Amerika Serikat yang diadopsi banyak negara—
menyatakan, tingkatan perawatan pesawat terbang itu ada dalam empat
tahap, yaitu A Check, B Check, C Check, dan D Check.
Tahap A
Check, ditempuh setelah pesawat terbang menempuh 250 jam terbang atau
setiap 200-300 lepas landas, yang memerlukan hingga 50 jam kerja
pemeliharaan. Tergantung pada tipe, misi, dan varian pesawat terbangnya,
hitungan ini mengacu pada jam terbang terakhir saat dia mendapat
perawatan terakhir.
Tahap B
Check, ditempuh setiap enam bulan, yang memerlukan 120-150 jam kerja tim
teknisi. Bergantung pada tipe dan varian pesawat terbangnya, biasanya
sekitar tiga hari diperlukan untuk B Check ini, yang juga dikerjakan
berbarengan dengan A Check.
Tahap C
Check, ditempuh setiap 20 hingga 24 bulan atau setiap jam terbang aktual
spesifik ditempuh pesawat terbang itu, atau sesuai notifikasi dari
pabrikan pesawat terbang.
C
Check jauh lebih detil dan lengkap ketimbang B Check, meliputi semua
sistem yang ada dalam pesawat terbang itu. Tahap C Check mengharuskan
pesawat terbang itu tidak boleh mengudara untuk sementara wakktu sampai C
Check selesai dan diuji kembali oleh personel yang memiliki sertifikasi
khusus untuk itu.
Biasanya
—tergantung tipe, varian, dan misi yang selama ini dilakukan pesawat
terbang itu (sebagai misal, dalam misi menciptakan hujan buatan, ada
hal-hal khusus yang harus dikerjakan secara ekstra karena dia mengangkut
dan menyebar garam yang korosif ke awan)— C Check ini memerlukan waktu
hingga dua pekan.
Jam kerja
tim teknisi dan inspeksi yang bekerja bisa sampai 6.000 jam dan setelah
semuanya selesai, semua sistem harus diuji lagi secara lebih menyeluruh
dan detil.
Tahap D
Check, adalah yang paling menyeluruh dan mutlak harus dilakukan pada
pesawat terbang, yang biasa dikatakan sebagai perawatan berat. Biasanya,
D Check ini dilakukan tiap enam tahun walau bisa juga lebih cepat.
Secara awam, tahap D Check ini biasa juga disebut sebagai overhaul.
Mesin-mesin akan diloloskan dan dicopot dari pilon-nya, dipereteli dan diperiksa satu demi satu komponennya. Ada falsafah perawatan pesawat terbang, repair by maintain dan repair by replace, di mana yang terakhir ini bermakna langsung mengganti komponen yang kinerjanya sudah menurun.
Tahap D
Check juga menyangkut sturktur pesawat terbang, di antaranya memakai
peralatan sejenis mesin sinar X untuk mengetahui apakah ada kelelahan
material (material fatigue) atau malah retak halus yang bisa membahayakan penerbangan.
Juga kekuatan dan keutuhan baut-baut, selang-selang, sil-sil oli dan sistem hidrolik, dan lain sebagainya.
Tahap D
Check ini sangat kompleks, mirip dengan membongkar habis pesawat terbang
dan membangun kembali pesawat terbang itu, sehingga bisa menghabiskan
sampai 50.000 jam kerja tim teknisi dan inspeksi, atau sekitar dua bulan
atau malah lebih.
Tahap
D Check ini sangat mahal namun harus dilakukan agar pesawat terbang itu
tetap mempertahankan sertifikasi laik udaranya dari badan yang
berwenang.
Banyak sekali yang harus diinspeksi, diuji, dan diperiksa secara sangat detil sesuai spesifikasi dan persyaratan pabrikan.
Misalnya
lagi sistem navigasi dan komunikasi yang harus dikalibrasi, bahkan
komponennya harus diperiksa satu demi satu. Apakah komponen IC-nya masih
bekerja secara baik, layar LCD-nya memancarkan cahaya sesuai
persyaratan, dan lain sebagainya.
Untuk TNI
AU, instansi yang berwenang mengeluarkan sertifikasi ini bukan cuma
sistem tunggal, di antaranya Dinas Keselamatan Penerbangan, yang
dikepalai seorang marsekap pertama (perwira tinggi bintang 1), yang ada
di bawah supervisi asisten operasi dan asisten logistik kepala staf TNI
AU.
Masih
ada lagi Dinas Material yang ada di bawah supervisi asisten logistik
kepala staf TNI AU, dan beberapa yang lain. Mereka saling berkoordinasi
dan saling chek silang.
Setelah pesawat terbang itu selesai menempuh overhaul,
maka dia dirakit lagi sesuai spesifikasi —misal, tipe, kekuatan, dan
kekencangan baut-baut harus sesuai persyaratan— dan diuji terbang.
Penerbangnya juga harus berkualifikasi pilot uji dengan dibantu tim (load master pada C-130 Hercules, contohnya), yang juga memiliki sertifikasi untuk itu.