Salah satu perang terbesar di era Majapahit.
Situs Candi Tugu yang merupakan tapal batas Kerajaan Majapahit dan Pajajaran di Semarang, Jawa Tengah. (VIVA.co.id/Dwi Royanto)
CB - Kisah yang beredar selama ini, perang
Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa
pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dan mahapatihnya, Gajah Mada.
Perang
ini melibatkan sejumlah besar pasukan kerajaan Majapahit pimpinan
Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan kerajaan Sunda
pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur
pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 Masehi.
Pertempuran yang
sangat tidak seimbang tersebut dimenangkan secara mutlak oleh pihak
Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis, termasuk raja kerajaan
Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana.
Tidak cuma itu, permaisuri
dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi – yang sedianya
akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk – ikut tewas dengan cara bunuh
diri setelah meratapi mayat ayahnya.
Diceritakan bahwa timbulnya
perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja
Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan
diiringi sedikit prajurit Sunda.
Gajah Mada menganggap bahwa
kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan
diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan
antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi
perang terbuka.
Upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda
Berbeda
dari versi umumnya yang mengaitkannya dengan ambisi Gajah Mada, Agus
Aris Munandar membuat penafsiran baru berdasarkan kisah Panji Angreni,
yang ditulis pada 1801 atas perintah Pangeran Adimanggala di Palembang.
Menurutnya, Gajah Mada semula setuju dengan perkawinan itu, sebagai upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda tanpa peperangan.
Namun
ayahanda Hayam Wuruk, Krtawarddhana (suami Tribhuwanottunggadewi) yang
disebut sebagai penguasa Kahuripan, keberatan dengan perkawinan itu.
Terlebih Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi, anak Rajadewi
Maharajasa (adik Tribuwana) yang berkedudukan di Daha (Kadiri).
Maka,
Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan perkawinan
tersebut. Gajah Mada hanya perpanjangan tangan orangtua Hayam Wuruk yang
khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka.
Demikian
dikatakan sejarahwan dari Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar
dalam acara Seminar Borobudur Writers & Cultural Festival Magelang,
Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Selain itu ada juga teori
konspirasi. Dalam bukunya ‘Gajah Mada Biografi Politik’, Agus menuliskan
konspirasi pejabat Majapahit karena pada masanya, Gajah Mada itu
terlalu cemerlang. Banyak pejabat Majapahit yang ingin menjatuhkan Gajam
Mada. Mereka pun berkonspirasi, menjadikan Gajah Mada sebagai kambing
hitam.
Soal pernikahan dengan Dyah Pitaloka, Gajah Mada tidak
bersalah. Dia hanya melaksanakan titah sang raja. Justru, sang mahapatih
punya keinginan besar agar Majapahit dan Sunda bergaung menjadi
kerajaan besar.
Sayangnya, Gajah Mada tidak tahu-menahu tentang
konspirasi perjodohan Hayam Wuruk sejak kecil yang sudah dijanjikan pada
sepupunya, Dewi Sekartaji. Kesalahan inilah yang menjurus pada
terjadinya Perang Bubat.
Sumber terbatas
Sumber
sejarah tentang Perang Bubat amat terbatas. Bahkan hingga kini tak ada
satu pun dari sekitar 50 prasasti yang berasal dari masa kerajaan
Majapahit dan 30 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang menyebutkan,
apalagi menguraikan, peristiwa tersebut. Yang ada hanya sumber-sumber
tertulis berupa naskah atau manuskrip.
Pararaton sendiri,
sebagai sumber awal mengenai peristiwa itu diragukan keakuratannya. Dari
hasil pembacaan ulang atas teks Pararaton, Agung Kriswantoro, filolog
Perpustakaan Nasional RI, menyebut data sejarah di dalam Pararaton
sangat mungkin menyimpang dari sumber data primer. Hal ini disebabkan
waktu penulisan teks dilakukan jauh setelah peristiwa sebenarnya
terjadi.
Bahkan Edi Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas
Indonesia, membuat perkiraan lebih jauh. Peristiwa Bubat tidak lebih
dari sisipan penyalin Pararaton, atau malahan tambahan orang Belanda
pertama yang menelitinya.
“Usai perang Bubat itu, diyakini Gajah
Mada meninggal atau mati dengan moksa. Sebab, sampai dimana pun dan
kapanpun Gajah Mada tidak akan pernah mau melawan perintah Raja
Majapahit,” tutur Dimas Cokro Pamungkas, budayawan Trowulan yang
mempelajari tentang Majapahit.
Credit
VIVA.co.id